Jumat, 23 Oktober 2015

Hanya Tuhanku, Kepuasanku!

Waktu aku masih jomblo ngenes yang tak berpengharapan, diabaikan berulangkali oleh pujaan hati, hanya dianggap "teman," "kakak," atau bahkan "adek," oleh dia yang kutatap dengan nanar, kalimat "Asalkan ada Tuhan yang lain tak perlu" adalah sebuah mantra sakti antiseptik galau gaduh yang tak berujung. 

Bahkan pernah beberapa kesempatan ketika aku mencoba menawarkan kekuatan, dan dompet yang tak ada isinnya ini melindungi perempuan tapi ditikung rekan (sssst sakitnyaaa oh sakitnyaaa), kalimat itu menjadi sebuah wingardium leviooosa atau sejenis Patronus (nonton Hary Potter kaaan) yang mengusir Dementor bernama kesepian, kegalauan, keheningan, kerendahan diri, dan segudang perasaan sendu, pedih, kacau, remuk ah semua deh yang ada di KBBI.  Aku menempelkan kalimat ini pada laptopku (waktu masih di kampus yang penuh kepahitan itu wkwkkw), dan waktu praktek di gereja setahun, aku menempelkannya di dinding kamarku. 

Aslinya, kalimat tersebut berasal dari lagu Be Thou My Vision terjemahan Indonesia: Kaulah ya Tuhan Surya Hidupku, Asal Kau Ada yang lain tak perlu. he he he. Fondasi Biblika-nya jelas Mazmur 23! Tuhanku Gembalaku takkan kekurangan aku, dalam versi Inggris: The Lord is my shepherd, i shall not want. terjemahan versi ku: Tuhanku kepuasanku, aku tak menginginkan yang lain, artinya, Dialah sumber segala sesuatu, Keindahan yang melampaui segala sesuatu, Pribadi Paling Berharga yang melampaui segala sesuatu, ah pokoknya, asal ada Tuhan, hidupku cukup. . .. . . . 

Nah, itu waktu duluuuuu aku jomblo, bayangkan 25 tahun sejak procot jomblo, sungguh hanya kasih karunia-Nya yang menguatkanku menapak jalan yang sepi ituuuuu. wkwkkwkwkw sumpah kalimat barusan alay! Orang sering mengutuk dan mengkritikku: ah kalimat itu pelarian, cuma penghiburan bagi jones-jones yang sok kuat itu!

Well, ternyata kebenaran itu tidak berubah, hanya Tuhanku, kepuasanku berlaku bahkan sampai aku memiliki seorang kekasih (ciyeeeeeeeeeeeee wkwkkwk seriously kenyataan bahwa aku tak jomblo lagi adalah sebuah fakta yang aku sendiri pun tak mampu memahaminya). 

Kebenaran ini kutemukan ketika aku membaca ulang Henri Nouwen dalam bukunya Wounded Healer. Ia menulis bahwa setiap orang mempunyai personal loneliness (kesepian pribadi) dimana dunia menipu kita, bahwa kalau kita punya banyak teman, sahabat rekan, keberadaan di tengah keluarga, kita tidak akan kesepian.  Inilah mengapa orang berlomba-lomba, menjalin persahabatan, menemukan kekasih, berada dalam komunitas, adalah untuk menjawab isu terdalam mereka, untuk membebaskan diri mereka dari isolasi, serta menggenggam keintiman (intimacy) dan rasa dimiliki (belonging). Masalahnya ternyata, sejauh apa pun kita memiliki semua hal itu, kita akan tetap kesepian! 
"Many marriages are ruined because neither partner was able to fulfill the often hidden hope that the other would take his or her loneliness away. And many celibates live with the naive dream that in the intimacy of marriage their loneliness will be taken away" (Nouwen, page 85).

Jadi, ternyata, meskipun anda punya kekasih yang mengasihi anda dan menerima apa adanya (tentu pacar saya yang menulis dalam puisinya wajah saya begitu meragu termasuk kategori ini :P), kekasih anda bukanlah sumber kepuasan tertinggi dan terutama. 

Gini deh, Benarkah pacar/kekasih anda menginginkan anda tiap waktu? Bagi mereka yang menjalani masa pacaran, tentu jawabannya klise klo menjawab iya. Buat saya itu jawaban naif, jawaban yang biasa diberikan anak-anak SMA yang sok kasmaran.  Nah saya baru memahaminya belakangan ini, waktu saya kepengen ngobrol, curhat, cerita etc dengan kekasih, bisa-bisa aja dan sangat biasa dia berkata: gue main basket ya! (she loves basketball so much, guru [agama dan] basket lho!) atau jalan sama teman-temannya. Dulu dengan naif saya akan gelisah kecewa merasa tersisihkan, tapi belakangan saya menyadari, sebenarnya keinginan untuk didengar, diperhatikan itu datangnya dari rasa takut akan kesepian. Bagi pria yang dibesarkan dalam keluarga yang dingin dan miskin ekspresi kentiman seperti saya (Bapak-Ibu saya jarang mencium, memeluk, mengobrol dan berdiskusi dengan kami), relasi dengan lawan jenis bisa menjadi semacam pelarian dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masa kecil yang tak terpenuhi. Nah, disitulah saya menemukan, ternyata memang hanya Tuhanku, kepuasanku! (tidak berarti habis ini saya putusin pacar yaaa wkwkkw). 

Artinya begini, siapa sih pribadi yang 24 jam mau dengerin kita, mau peluk kita, dan mau bener-bener terima kita apa adanya? Tuhan. Siapa sih pribadi yang tak perlu bersungut-sungut terima permohonan maaf kita? Tuhan. Siapa sih yang benar-benar mencintai dengan kasih tak bersyarat? Tuhan.  Saya berani bilang, sehebat-hebatnya pasangan dan kekasih kita (dan saya rasa pacar saya sudah terbaik banget yang bisa saya temukan ciye), dia takkan bisa menggantikan posisi Tuhan! Sungguh, hanya Tuhanku, kepuasanku!

Maka, bagi mereka yang masih jomblo, jangan bersedih, di masa-masa penantian ini, jadikan Tuhan kecukupan hidupmu. Tuhan itu bener-bener cukup kok! Pantaskan diri, siapkan menjadi pasangan yang baik jika Mr/Mrs Right nanti datang. Saya tuh paling melas dan males kalau lihat anak-anak remaja galaunya setengah mati klo di PHP, di Friendzone atau ditikung, bahkan seolah-olah dunia kiamat lalu sayat-sayat tangan gegara di PHK. duh plis deh, Ada Tuhan yang mengasihimu, menerimamu, lebih jauuuuhh daripada orang yang kausukai dan kaukasihi.

Lalu, bagi mereka yang berpasangan atau dalam masa pacaran, siapakah sumber kepuasan tertinggi kita? Kalau kekasih, wah saya pikir kita sedang membangun kolam air yang bocor yang nantinya akan meremukkan kita sendiri. Saya mengakui saya sendiri sadar atau tidak sadar, juga mudah terjatuh pada kegagalan yang sama, gagal cukup dengan Allah. Maka kiranya kita selalu memeluk kasih karunia Allah dan selalu pulang pada Tempat Peristirahatan Abadi yaitu Allah.

Bagaimana dengan anda

"To fall in love with God is the greatest romance; to seek him the greatest adventure; to find him, the greatest human achievement.”

― Augustine of Hippo


Filipi 1:3 Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu

Gili Labak, Oktober.

Senin, 21 September 2015

Kupu-kupu

Kamu adalah kupu-kupu, yang dulu kepompong rapuh tanpa tujuan hidup tiada tentu. Kamu adalah kupu-kupu, yang dulu bertahan dari hantaman alam untuk menyeruakkan sejuta keindahan saat sayap-sayapmu berkembang. Kamu yang pernah hampir mati, meratap dalam kekalahan tragis akibat ganasnya manusia, menangis penuh sesak hati dan mengutuk keberadaan diri. Kamu yang terus mencoba ada, walau sering merasa tak punya alasan untuk terus ada.

Kamu adalah kupu-kupu, yang akhirnya menerobos keluar cangkang yang mengungkungmu penuh keterancaman. Kamu lalu belajar untuk terbang, mengembangkan sayap dan menyambangi tempat-tempat dimana keindahanmu diakui. Bunga-bunga dan kelopaknya menantimu, namun tak jarang kamu salah menyapa dan berhenti, bunga-bunga itu mengkhianatimu, menghempaskanmu dalam jerit keraguan yang melindasmu dalam kepekatan murka. Kamu mencoba terus ada, walau terus ragu, apakah ada alasan untuk kamu sebenarnya ada.

Sampai tiba dimana alam semesta mewahyukan takdirnya, kau menghinggap padaku, pada sebuah malam yang tak kelabu. Ketika cakrawala bersenandung hangat dalam serbuan mentari senja yang mendayu. Kita memang tak banyak berwicara, sering diam tanpa aksara. Namun toh wajahmu mengirimkan sejuta sinyal yang mengungkap tanda-tanda. Bahwa masa lalu telah berakhir, diganti masa kini dan masa mendatang, masa kamu dan aku.

Aku bersyukur, kamu adalah kupu-kupu, yang kini berhenti di hidupku. Kembangkanlah keindahanmu seluas samudera, karena aku akan melindungimu. Terbanglah dan menari, aku akan menantimu dan menguatkanmu setiap waktu. Bukankah kini kamu adalah kupu-kupuku?



-Starbucks, TP 4. 21 Sept 2015

Selasa, 01 September 2015

Catatan Bacaan "Walt Mueller, Youth Culture 101"

Walt Mueller, dalam Youth Culture 101 melaporkan tentang perubahan kultur dalam kehidupan remaja di Amerika era ini. Ia menyebutnya "perfect strorm." Salah satu perubahan kultur yaitu keluarga yang berubah, apa saja?
1. perubahan yang pertama adalah meningkatnya dan makin diterimanya perceraian.
"National studies show that kids from divorced and remarried families are more aggressive toward their parents."
2. Perubahan yang kedua adalah menjamurnya gaya hidup pasangan tinggal bersama tanpa pernikahan dan juga kelahiran anak tanpa pernikahan.
"50 percent of teenagers who regularly attend church approve of couples living together before marriage."
3. Perubahan yang ketiga adalah krisis "fatherlessness" atau ketiadaan ayah.
Konsekuensi ketiadaan ayah dalam kehidupan remaja begitu mengerikan, remaja yang hidup tanpa ayah menjadi lebih bermasalah dalam emosional, psikologi dan aspek-aspek lainnya.
4. Perubahan yang keempat adalah bertumbuhnya jumlah ibu yang bekerja di luar rumah.
Akhirnya waktu bersama remaja pun berkurang!
5. Perubahan yang kelima adalah sangat-sangat berkurangnya waktu orangtua bersama anak-anaknya.
6. Makin banyak remaja yang menjadi korban dari kekerasan dalam keluarga mereka, baik itu kekerasaan fisik, seksual atau verbal, rumah menjadi sebuah medan perang.
Kesimpulan yang diberikan Mueller: "today teenagers desire real relationships that are characterized by depth, vulnerability, openness,listening and love- connectedness in their disconnected, confused, and alieanated world.
Kyrie Eleison!

(Youth culture 101, page 39-48)
(menyambut September sebagai bulan keluarga GKI Pregbund)

Senin, 31 Agustus 2015

A Bitter Realist

I'm not idealitst anymore, I'm a bitter realist - Soe Hok Gie


Dulu, aku suka mengutip kalimat Soe yang berbunyi: saya memilih untuk menjadi idealis sejauh-jauhnya. Tapi aku makin kesini makin menyadari, kalimat itu oke ketika aku masih muda, waktu masih mahasiswa, ketika mimpi-mimpi tentang dunia yang ideal begitu meletup-letup. Mimpi soal perdamaian, kasih, penerimaan, keadilan dan segala rupa mimpi-mimpi indah lainnya. Namun kini, menjejak usiaku yang ke 26, aku makin menyadari ideal adalah kondisi yang tak mungkin ada dan tak mungkin dicapai, dalam hal apa pun itu. Tidak ada yang namanya kesempurnaan. Bahkan mungkin tidak perlu mengejar kesempurnaan. Soal hubungan antar manusia, beragama, politik, sosial, ekonomi, apapun itu, tidak ada yang ideal, kawan.

Lihatlah dunia: penuh dengan kebobrokan, penuh dengan kehancuran, rusak, korup, sampah, memuakkan sekali. Maka pilihan terbaik yang tidak melelahkan untuk hidup di dunia ini adalah belajar untuk nrimo, kata orang Jawa. Menerima bahwa segala sesuatu ada dalam tataran sebuah drama yang dirancang oleh Sang Sutradara. Kita cuma aktor dari drama itu, tak bisa kita lawan, tak bisa kita apa-apakan. Ini pun, termasuk menerima kenyataan-kenyataan yang memahitkan dan melukai batin kita sebagai manusia.

Inilah langkah awalku menjadi a bitter realist. Seorang yang berusaha untuk melihat dunia dengan kacamata realistis dan rasional, dan dengan hati yang pahit. Kupikir itu menyembuhkanku dari kekecewaan-kekecewaanku pada dunia ini, pada orang-orang, pada institusi-institusi, pada mereka-mereka para penjahat dan penjajah.  A Bitter Realist tentu tidak jadi orang yang diam dengan ketidakidealan yang ada, ia akan menjadi corong yang kuat laksana nabi-nabi era Perjanjian Lama.  A Bitter Realist akan menjadi seorang pejuang untuk melawan kemunafikan dalam berbagai bidang. A Bitter Realist tentu saja, akan menjadi pihak yang berusaha mengasihi musuh-musuh hingga terluka. A Bitter Realist, mungkin bergerak dalam lajur yang sama dengan seorang Wounded Healer, penyembuh yang terluka, dimana ketika ia terjerembap di dalam keterlukaan serta kekecewaan yang ada, ia menjadi penyembuh dan sarana pemulihan bagi orang lain. Bukankah ini jalan yang terbaik untuk menapaki hidup dalam sesak serta luka yang tak berujung? Dunia dimana lingkaran kebencian serta dendam terus menerus berulang dalam siklus yang kekal?

Rabu, 05 Agustus 2015

untuk perempuan yang sedang berada dalam pelukan



Aku malu pada rindu, karena aku selalu mengusirnya bertalu-talu

Aku takut pada rindu, karena menjumpainya adalah sakit yang menderu

Aku enggan berbalut rindu, karena selimutnya seumpama selubung kabut yang membatu.

Dan kalbu menjadi luruh karena rindu yang memekik seribu, menggaduh serbu, mengguncang penuh gemuruh!

Terimakasih pada cinta, meski tiga tahun ia perlu menunggu. Kadang sesal menjadi sendu, mengapa aku tak berani malam itu?

Betapa pengecutnya aku, menghindar dari tuduhan dan penghakiman sosial dan memaksakan perasaan terhanyut oleh waktu.

Kini aku disiksa rindu, kepada perempuan yang (tidak) sedang berada dalam pelukan. 

Andai jarak tiada berarti, kata seorang pesenandung lagu, tentu rindu tak perlu berproklamasi dengan angkuh.

Namun, aku mencoba menyadari, ini adalah konsekuensi situasi yang berpadu dengan hukuman sang waktu.

menjalaninya dengan syahdu serta penuh seru pada sang pencipta rindu, adalah gagasan terbaik yang bisa dijalani tanpa sungut-sungut yang tak perlu.


aku merindu padamu, kekasihku.


*judul puisi ini terambil dari lagu Payung Teduh 


Pregbund 23, untukmu yang bermata elok, berpipi binar dan bermuka riang yang sedang meriang ^^, cepatlah sembuh!

Surabaya-Jakarta 6 Agustus 2015

Sabtu, 18 Juli 2015

Contemplative Relationship



Akhir-akhir ini aku banyak berpikir dan merenungkan apa arti dari sebuah relasi. Secara khusus apa sih arti relasi antara dua insan: lelaki dan perempuan. Terutama dalam konteks anak muda: apa sih arti pacaran? 

[Ngomongin soal ini banyak buku yang ngebahas, eh dan aku jadi ingat waktu di seminari aku baca Joshua Harris, I Kissed Dating Goodbye (bener ngga judulnya? LOL), semua orang yang ngelewatin aku mereka akan teriak: Himawan bertobat! Bacanya bukan Barth sekarang tapi mau pacaran! Hahaha, setelah setengahnya membaca buku itu aku merasa sangat bosan, kulempar buku itu ke kursi dan kemudian berpaling lagi pada buku-buku filsafat wkwkwk teman yang meminjami buku itu heran dan berkata: cepet banget bacanya? waktu aku kembalikan bukunya] 

Nah back to topic. Apa sih arti sebuah relasi? Nah disini, dipengaruhi pendekatanku terhadap Youth Ministry, aku menawarkan arti sebuah relasi dengan istilah contemplative relationship!

Apa itu contemplative?

Aku ambil deskripsinya dari buku Yaconelly, Contemplative Youth Ministry:

Contemplation means "being" with God within the reality of the present moment. Contemplation is about presence. It's about attentiveness --opening our eyes to God, ourselves, and others. Contemplation is an attitude of the heart, an all-embracing hospitality to what is. Contemplation is a natural human disposition. It's the way in which we approached the world as children: vulnerable, open and awake to the newness of the present moment.
Singkatnya, kontemplatif adalah berada bersama-sama dengan Allah, setiap saat setiap waktu, setiap ruang, berjalan bersama-Nya. Maka, jika digandengkan dengan kata relasi, contemplative relationship dapat kita pahami sebagai relasi diantara dua manusia yang berjalan bersama-sama dengan Allah untuk menuju kebaruan yang terus menerus di dalam diri mereka. 

Nah, ciri khas penting dari contemplative relationship ini adalah ditandai dengan 

(1) refleksi-refleksi yang berkala diantara kedua belah pihak, lelaki dan perempuan. Apa yang kurang dariku, apa yang salah dengan omonganku, apa yang harus kulakukan untuk jadi orang yang lebih baik? Bagaimana Tuhan kita temui dalam relasi ini? Apakah engkau dan aku makin mengasihi Yesus daripada mengasihi pasangan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk diajukan, karena contemplative relationship berpusat pada pengenalan akan Kristus, akan diri sendiri dan kemudian pasangan.

(2) momen-momen istirahat yang khusus. Semua hal di dunia ini, pasti melelahkan! Bukankah satu-satunya istirahat yang sejati ada di dalam hadirat Allah kita? Kecukupan dan keberlimpahan yang penuh hanyalah di dalam kasih Sang Mahakasih itu sendiri, maka memiliki waktu rest dari komunikasi pasangan adalah kunci penting. Memenuhi kasih dengan kasih sejati adalah bensin terbaik untuk kendaraan berelasi kita.

(3) tidak berorientasi pada aktivitas namun pada keintiman dan pengenalan. Dewasa ini orang pacaran dan berelasi dengan ditandai: baju couple, foto Instagram berdua, makan berdua, nonton berdua, liburan berdua, dan aktivitas yang dijalani bersama-sama. Aktivitas, atau kuantitas pertemuan, tentu penting, namun itu bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah waktu kualitas dimana kita berbicara dan mendengarkan, memahami dan dipahami, berusaha mengerti dan diterima apa adanya. Jadi bisa saja begini, orang pacaran 2 tahun tapi nggak kenal apa-apa dari pacarnya, karena dia cuma berpusat pada aktivitas! Relasi yang kontemplatif begitu berbeda perspektif dengan activity based relationship. Bisa saja pasangan ini tidak pernah kemana-mana, tidak banyak orang yang tahu, kadang juga telpon dan chat begitu jarang karena masing-masing sibuk, tapi keduanya memusatkan pada diskusi, tukar pendapat, obrolan dan bahasa-bahasa kasih yang membuat fondasi relasinya makin pekat. Contemplative relationship dengan demikian, akan sangat baik dikembangkan bagi mereka yang sedang mengalami LDR alias hubungan jarak jauh. Aku sendiri pelaku nya! wkwkwkkwkwkw



Nah, di dalam refleksi-refleksiku tentang relasi ini, Roh Kudus mengingatkanku pada kalimat Rasul Paulus dalam Filipi 3:8: 
Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya.
Itu berarti, relasi/pacaran itu tak lebih penting daripada pengenalan akan Kristus Yesus. Relasi yang tak menghasilkan apa-apa dalam pengenalan akan Dia hanyalah sekedar relasi kosong yang didasari pada hawa nafsu, egoisme dan pencarian kepuasan hasrat manusiawi. Bukankah hanya Dia (bukan pacar kita) yang bisa memenuhi segala sesuat? Bukankah hanya Dia (bukan pacar kita!) Sang Gembala yang baik, air hidup yang abadi, kasih yang sejati, dimana kita merasa cukup?

Pertanyaan bagi pembaca, kalau engkau yang belum pacaran, mau membangun jenis relasi yang bagaimanakah engkau? Berpusat pada aktivitas dan sekedar keren-kerenan supaya tak dicemooh jomblo ngenes tak berpengharapan? Atau relasi yang berpusatkan pada keberadaan bersama Allah?

Lalu, kalau engkau sudah berpacaran, relasi apa yang kamu miliki?  







#Pregbund, 18 Juli 2015. rest day 

Sabtu, 11 Juli 2015

Cinta yang Sederhana

Akhirnya aku memiliki sang sederhana. Tanpa bualan-bualan sampah dan janji-janji penakluk aku menggenggammu. Tak perlu menjadi laki-laki tukang eksploitasi, hanya sekedar otentik dan menawarkan kekuatan yang tak banyak adalah cara terbaik untuk menyatakan keberadaan diriku. 

Dan segalanya kini jadi berbeda, bukan?


Pagi yang dulu penuh kemalasan dan hampir tanpa harapan hidup berubah jadi fajar penuh semangat dan canda. Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, sekedar sapa tawa di pagi hari olehmu adalah suntikan sederhana penyemangat sukma.


Siang yang sering dipenuhi rasa kesal juga lelah karena ini dan itu, bertransformasi menjadi siang yang dilingkupi rindu yang penuh serta utuh menyatu di dalam kalbu.  Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, sekedar sinyal bagus sehingga kita dapat melihat wajah satu dengan yang lain di layar telepon genggam kita adalah sebuah ritual penjaga relasi, sederhana namun berjuta makna.


Senja yang lalu adalah senja yang kelabu. Tanpa hasrat, tanpa rasa, belenggu rutinitas terbahak-bahak karena aku digenggam dalam penjara rasa bosan yang begitu gaduh. Tapi kini senja adalah latar belakang terbaik bagi lukisan-lukisan asmara yang kita gambar bersama. Kadang kita lukis pertengkaran, perdebatan, kadang kita lukis gombalan, penguatan dan penghiburan. Semua menjadi kumpulan-kumpulan cerita dalam sebuah lukisan relasi yang mengungkap tanda: kebahagiaan. Bukankah kebahagian tak identik dengan keadaan tenang semriwing-semriwing? Kebahagiaan adalah soal menjalani suka-duka, jurang-puncak, lembah-dataran, bersama-sama sang keindahan: kamu!  Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, cukup dengan suara jernih di telingaku, itu adalah obat terbaik bagi kanker rindu yang menguasai hemoglobin, neuron, bahkan jantung batinku.

Dan malam bukanlah akhir hari yang dipenuhi keputus asaan, kepicikan pikir atau kedangkalan mimpi. Malam adalah waktu kita bercengkerama dalam ruang yang memang begitu singkat dan terbatas, namun bahasamu begitu dalam, renyah, dan sekali lagi, sederhana. Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, cukup dengan tangisan-tangisan pengakuan sebagai tanda pembaharuan hubungan, itu adalah alat terbaik untuk dasar dari sebuah revolusi.


Aku berdoa supaya kamu tetap sederhana. Kita tetap sederhana. Karena mencintaimu adalah caraku untuk melawan kapitalisme dengan cara yang paling sederhana. Di dunia dimana orang-orang menawarkan cinta dan romantika dengan bermewah-mewah, bahkan sering dengan kosmetik hipokrisi yang naif dan angkuh, aku ingin kita saling merindu dalam ruang yang sempit, dan kecil, yang tak banyak orang ingin menjalaninya: ruang hubungan jarak jauh, ruang yang sederhana meskipun ia memiliki kerumitannya sendiri-sendiri yang hanya kita berdua yang tahu. Yang pada suatu saat nanti, godaman-godaman rindu itu akan kita bayar tuntas, ketika aku dan kamu menjadi satu, sekali lagi, dalam bingkai kesederhanaan.  Aku jatuh cinta pada cinta yang sederhana. Cinta yang tak menuntut, tapi cinta yang kepadanya aku rela memberi segala-galanya.


Ah, Terimakasih, karena mencintaiku dengan sederhana. Terimakasih karena menjadi yang sederhana.