“Jadi
siapa ada di dalam di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru.”
2
Korintus 5:17a
“Bu, saya suntik ya
untuk pasang infus..sakit sedikit.” Kata perawat yang sudah
memegang erat tanganku dengan bantuan temannya. Aku menjawab,
“Silahkan..”. Tak lama kemudian si perawat dengan temannya entah
bergumam apa dan berkata lagi kepadaku, “Bu, maaf saya cabut
suntikannya.” Lalu ia juga berkata "sakit sedikit ya Bu." Aku menjawab
“ya.” Kemudian mereka mencari cari lagi pembuluh darahku sambil
berdiskusi di mana letaknya, seperti dua orang remaja yang sibuk
mencari giwang kecilnya yang jatuh di kolong. Pikirku: "duh ini bikin
pasien takut aja." Tak lama kemudian kembali dia memberi tahuku bahwa
akan melakukan suntikan lagi. Sayangnya begitu jarum suntik menusuk
dan rasa sakit itu terasa, tak lama kemudian mereka menyabutnya lagi
tentu dikeluarnya jarum ini disertai kesakitan pula pada tubuhku.
Dan sayangnya tusuk menusuk kemudian cabut mencabut ini terjadinya
beberapa kali. Aku tak mengerti bagaimana ilmu menyuntik, apakah
memang begitu rumit dan sulit? Yang pasti rasa sakit ini mereka tidak
rasakan. Ingin rasanya menegor mereka supaya tidak melakukan
kesalahan, ingin rasanya berteriak meneriakkan rasa sakit yang
terasa, ingin pula rasanya menghentikan proses pemasangan infus dan
tempat penyuntikan obat-obat ini. Namun, apakah yang akan terjadi
jika hal itu kulakukan? Sekitarku tentu akan memprovokasiku untuk
melakukannya lagi disertai dengan sedikit menakut-nakuti bagaimana
jika penyakitnya tidak sembuh. Maka tak kuhiraukan celoteh para
perawat yang masih memegang tanganku dan sibuk mencari pembuluh darah
yang akan disuntik demi mengalirkan infus. Aku memilih memejamkan
mata dan mengatur pikiranku.
Kupikirkan tentang dalam
keadaan seperti ini apa peran sebagai manusia yang diciptakan baru?
Manusia tanpa lahir baru ya pasti sakit dengan suntikan-suntikan
seperti ini, yang sudah lahir baru sama sajalah rasa sakitnya tidak
ada diskon untuk rasa sakit. Manusia tanpa kelahiran kembali pasti
merasa lelah, enggan, bosan karena sudah berkali-kali seperti ini,
manusia baru? Sami mawonlah. Lha mosok ndak ada bedanya sih
manusia baru dan manusia lama?
Tiba-tiba terbersit dalam
ingatan dan mataku yang terpejam tetang paku salib Kristus yang
ditancamkan pada tangan dan kakiNya. Tentu paku itu beribu kali
lebih besar dari jarum suntik yang ditusukkan pada tanganku, tentu
tak ada kata permisi dari orang yang akan menancamkannya pada
tubuh-Nya, dan tidak ada permintaan maaf tatkala sakit menghujam
tubuh-Nya. Bukan hanya tak ada basa-basi sopan santun sebelum
menancapkan paku itu, tetapi yang ada adalah makian dan cemoohan.
Bisa saja yang didengar Tuhan Yesus saat itu kata-kata seperti ini,
“Rasain luh...jangan teriak-teriak...teriak sono sampai
mampus...dasar penjahat jahanam.”
Saat ini aku menderita
sakit bisa jadi karena salahku dimasa lalu yang kurang menjaga pola
makan, pola istirahat, atau pola olah raga. Namun Kristus menderita
bukan karena kesalahannya tetapi karena karena aku, demi aku, untuk
aku. Ternyata penderitaanku hanyalah secuil kecil bak kerikil bahkan
debu dibanding derita Kristus waktu itu. Ah, tatkala memikirkan
derita yang telah ditanggungnya, memikirkan deritaku tidaklah ada
gunanya. Pikiran tentang Kristus membuat rasa takjub dan haru akan
cinta-Nya mememenuhi hati, pikiran dan perasaanku. Dan kurasakan
dengan jelas Dia bersamaku, merasakan semua yang kurasa, mengalami
segala yang kualami. Oh perubahan perasaan dan pikiran ini
menyatakan padaku bahwa inilah kerja Roh Kudus yang ada dalam hati
seseorang yang telah mempersilahkan-Nya masuk di dalam hati dan
melahirkan baru seseorang.
Sungguh beruntungnya
diriku dengan anugrah hadirnya Roh Kudus di hatiku. Rasa sumpek itu
segera lenyap. Perasaan mau marah, ingin menuntut, hasrat untuk
mengelarkan makian reda bahkan lenyap. Jika manusia tanpa lahir baru
tentunya hal ini sulit dimengerti. Aku teringat seorang teman dari
Madura yang berbarengan menjalani kemo berkata kepadaku, “Saya ini
rah marah terus bu, kalo kemo itu. Lha gimana gak rah marah ta
iye...sakit semua badan nih. Badan rus kurus begini, kepala sing
pusing, maunya tah muntah terus...mangkel hatiku Bu kenapa saya sakit
begini. Saya bukan koruptor, bukan perambok, apalagi pembunuh kok
dikasih sakit begini. Ibu kok tenang-tenang aja, saya kira tadi
dokter, ternyata pasien sama kayak saya.” Kira-kira begitulah
keadaan pribadi yang tanpa Roh Kudus dalam hatinya, karena ia tidak
memiliki penghibur sejati yang tak akan meninggalkannya. Dialah, Roh
Kudus, yang melahirkan kita kembali ketika kita mempercayakan jiwa
kita kepada Putra Tunggal Allah Yesus Kristus, Juru Selamat dunia?
Kawan-kawan sudahkan percaya pada-Nya? (jawablah dengan tulus, jujur
tapi tegas dalam hatimu)
Kira-kira pada suntikan
yang kelima atau enam, baru para perawat itu bersorak lirih,
“berhasil..berhasil.” Kemudian mereka berpamitan, seiring rasa
damai setelah menerungkan paku salib Kristus maka aku pun sanggub
berkata, “Terimkasih untuk bantuan ibu-ibu.” Dalam hati aku
berkata terimakasih Tuhan, tiada terkira rakmaat dan berkatMu. Rasa
sakitMu karena paku salib yang tiada terkira itu tak menghalangiMu
untuk dapat mengasihi dan kemudian menyertaiku. Kiranya rasa sakitku
juga tak menghalangiku untuk terus memikirkan cintaMu padaku. Amin.
*Catatan ini adalah catatan Mbak Krist yang kutemukan di laptopnya. Catatan-catatan ini ditulisnya di masa-masa survival menghadapi cancer payudara kisaran Juni 2012 sampai kemarin 13 Maret ia dipanggil pulang ke pelukan Bapa di surga. Daripada teronggok tak berarti sebagai soft file, menurutku amat berharga sekali ku posting di blogku. Kiranya pembaca terberkati. Terpujilah Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar