Jutaan detik
menggelitik. Dalam kalbu, terpetik rintik-rintik butiran asmara. Butiran yang
harus luruh. Bukan karena tak mampu bertahan, tapi karena tak perlu ditahan.
“Ni! Diem aja lu.”
suara sahabatku menggelegar membuyarkan lamunanku.
“Hi Jos, dasar lu,
ngerusak lamunan gue aje.” Sahabatku, Jose, orang timor yang berambut kriwil,
berkulit hitam legam, berasal dari pelosok sana. Wajahnya boleh seram, tetapi
di
dataran Jawa ini, dia adalah orang dengan hati tulus yang pernah aku kenal.
Sungguh, ia adalah sahabat terbaikku.
“Ni, entah kenapa, gue
liat2, lu sering ngelamun sekarang ini. Apalagi sejak lu gak kontak2 lagi ama
Maira.”
“Ah, nggak kok, gue
lagi sibuk mikirin skripsi gue nih. Susah, kagak kelar-kelar! Hipotesis gue
tentang Karl Jaspers, filsuf eksistensi itu, nggak ada datanya!” Aku mencoba
meraih pelarian.
“Dasar lu, orang
filsafat, bikin judul skripsi yang mbulet-mbulet,
tapi nggak ada aplikasinya buat rakyat. Kayak gue dong, calon sarjana ekonomi,
yang memikirkan sistem ekonomi makro yang akan mengubah wajah Indonesia.
Hahahaha.”
Aku terdiam, terhentak
dengan pernyataan sahabatku itu. Memang benar, studi filsafatku terasa lebih
banyak berteori daripada memikirkan hal-hal praktis buat rakyat. Tetapi
kenyataan itu bukanlah hal yang membuatku gundah belakangan ini. Maira. Nama
itu lebih membuat gundah gelisah lebih daripada Jaspers, filsuf Jerman kesohor
itu yang menjadi judul skripsiku di jurusan filsafat yang aku tempuh.
Ya. Maira Hadisaputra.
Mahasiswa semester 4 jurusan psikologi di sebuah kampus tersohor. Aku bertemu
dengannya di sebuah acara bakti sosial gereja. Pertama berkenalan dengannya aku
tak memiliki perasaan apa-apa. Lagipula aku tahu dia sudah memiliki seorang
kekasih yang selalu menemaninya. Selama beberapa bulan ini kami berteman dan
menjadi sahabat.
Tapi rupa-rupanya persahabatan itu hendak berujung pada
terganggunya sebuah hubungan. Kedekatanku dengan Maira membuatku terpojok dan
melahirkanku sebagai pihak yang tertuduh mengganggu hubungannya dengan pacarnya.
Maira sendiri, kepada teman-temannya, selalu bilang bahwa Geni tidak ada
hubungannya dengan keretakan relasinya dengan Bayu, pacarnya. Tetapi kenyataan
berbicara lain, setiap ada dia, aku tahu ada percikan-percikan yang timbul di
dalam ruang kalbuku.
Namaku Geni. Artinya,
api. Terdakwa penganggu hubungan Maira-Bayu. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir
jurusan filsafat di sebuah sekolah teologi-filsafat di Ibukota. Lantas, bukan
aku mau mengelak, aku malah mau mengaku di sini. Jujur saja, siapa tak bakal
jatuh cinta pada Maira. Anak gadis kelahiran sunda-chinese. Rambut hitam
tergerai lurus, mata sipit namun dengan sorot mendamaikan, kulit putih
kemerah-merahan halus, bulu mata lentik, gigi seri serasi. Neng geulis kelahiran Bandung, yang secara fisik lebih mewakili
ibunya yang keturunan Tionghoa itu. Penerus trah Hadisaputra yang adalah salah
satu pemilik restoran chinese terkenal di kota Bandung. Turunan keluarga kaya,
mapan, dan tentu, kapitalis. Dari segala sisi, fisik, ekonomi, sosial, keturunan,
kecerdasan, kedewasaan, kematangan diri, jelas dia adalah gadis idaman semua
lelaki.
Dan kepada Maira, yang
telah dipunya, aku jatuh cinta. Rasa itu datang di bulan kesembilan pertemanan
kami. Selama ini kami hanya sekadar bertemu di acara-acara sosial gereja,
kadang-kadang berbicara, tetapi tak jarang kami saling mengirim sms. Frekuensi
komunikasi kami makin meningkat ketika hubungannya dengan Bayu mulai terganggu.
Dia telepon aku tiap hari sabtu. Pengganti dating-nya. Katanya Maira, lebih
baik berwicara dengan seorang sahabat dengan taraf kebijaksanaan luar biasa
daripada sepi sendiri. Ah, bodoh. Saat itu aku pelan-pelan terperosok dalam
candu. Padahal, tidakkah setiap candu memiliki kenikmatannya sendiri, namun
detik demi detik ia akan menggerogoti hidup kita? Pada akhirnya, candu akan
menghancurkan dan menghantarkan kita pada gerbang kematian. Pun, sama halnya
dengan candu asmara yang salah. Sampai akhirnya kami sering keluar bersama,
berjalan-jalan bersama, dan menghabiskan waktu bersama.
Dosakah aku mencintainya?
Aku tak tahu.
“Ni, aku nggak tahu
ya, kalau ada kamu, rasanya ada damai, nyaman.” Sepenggal kalimat Maira yang
pernah meletupkan kembang api di dalam relungku. Saat itu kami duduk di pinggir
taman, memandang langit malam tiada bintang. Ia pegang tanganku, dan, aku
sambut pegangan itu. Hangat. Sekaligus dingin. Hangat karena lubuk ini begitu
merindu untuk merekahnya bunga-bunga cinta. Dingin, karena akal gundah menatap
sebuah kesalahan yang sedang terjadi. Tanpa
sadar, malam itu aku memulai pelanggaran. Pelanggaran sebuah batas dalam
hubungan. Sesungguhnya, manusia harus berpikir rasional, setiap hubungan
memiliki batasan-batasannya sendiri. Teman, orangtua, persahabatan, pacaran,
suami-istri, keluarga, partner kerja. Semua kita, berhak punya batasan-batasan.
Batasan adalah bagian kehidupan yang tidak boleh dimasuki, atau dilangkahi oleh
orang lain. Ada tempat di mana hidup kita, tidak diganggu oleh keberadaan orang
lain. Pertengkaran, perselisihan, pertikaian, cek-cok, pembunuhan, kesakitan
hati, dendam, dimulai dari batasan-batasan dalam sebuah hubungan yang
dilangkahi. Bila pagar batasan hubungan yang dilanggar atau dilompati akan
membuat tuan rumah, marah, tak lagi ramah.
“Emang nggak papa ya
gue pergi ama elu, bahkan sampe pegangan begini. Bayu gimana?”
“Gakpapa, kan kita jelas.”
Jelas? Darimananya?
seruku lirih dalam hati.
“Kita kan sahabatan
Genii. Plis deh. Semua orang juga tahu! Hehe. Bayu sekarang lagi sibuk ngurus
kerjaan. Dia lebih mentingin gaweannya daripada pacarnya yang butuh dia.
Sekarang, ada kamu...”
Jadi gue siapa?
Sahabat?
“Lu gila apa!” damprat
Jose.
“Lu, mau main jadi
orang ketiga? Ngancurin hubungan orang? Biadab lu. Bajingan! Katanya orang yang
berpikir, tapi lu nggak adil sama pikiran dan tindakan lu sendiri. Sadar Ni,
sadar! Maira itu punya orang. Ingat, mereka bentar lagi juga tunangan, bakal
kawin tahu nggak? Sarjana kere macam lu mana bisa diterima keluarganya?”
“Tapi gue sayang dia
Jos? Si Bayu juga gak terlalu peduli ama Maira? Masa pacaran tapi nggak pernah
kontak? Nggak pernah pergi berdua?”
“Justru itu! Lu masuk
ke dalam lubang yang seharusnya diisi oleh Bayu. Kalau lu bener temen, harusnya
lu kasih tahu Bayu n ngedukung mereka. Bukan tambah ngancurin. Secara
ontologis, hubungan kalian salah!”
Secara ontologis? [Ontos:
asal, hakikat. Logos: ilmu]. Jadi, secara hakikat asmaraku salah? Dasar Jose.
Bahkan ia memojokkanku dengan istilah filsafat.
Kalimat itu
benar-benar menohokku. Aku, sarjana filsafat, harusnya berpikir jernih dengan
memakai logika dan berpikir rasional. Tetapi kepada Maira, aku terpojok dengan
perasaanku. Benar memang, perasaan, bukan rasio, yang sering membawa masalah.
Orang korupsi karena rasa bernama nafsu. Orang membunuh karena rasa bernama
dendam. Orang berusaha meraih sukses karena rasa bernama ambisi. Orang menangis
karena rasa bernama sedih. Ya, rasa. Berjuta kali, rasa menghancurkan umat
manusia. Bukankah ia yang membuat hantu bernama Hitler itu lekat dengan rasa
angkuh atas rasnya dan lantas, memprakarsai Holocaust? Tidakkah rasa haus akan
kekuasaan yang membawa rezim otoriter semacam Soeharto, yang tega mengambil
nyawa orang tidak berdosa begitu banyak? Rasa, seringkali ia meremukkan manusia
dalam rintihan-rintihan memedihkan, ratapan-ratapan yang menyayat sukma.
“Mai, kita nggak bisa
deket terus deh.” Aku pun ambil waktu berbicara dengan Maira di satu penghujung
petang.
“Hah, kenapa? Kita kan
sahabatan?”
“Orang lihat aku ini
semacam racun buat kamu dan Bayu. Nggak boleh ada.”
“Kok kamu ndegerin
suara orang sih? Whatever lah,
temen-temenmu dan temen-temenku bilang apa. Kita sahabat ya sahabat. Nggak ada
apa-apa kok di antara kita.”
“Lalu gimana dengan
Bayu”
“Ya, dia…… marah sih.
Kemarin bilang kalau aku ini susah dipercayai lagi.”
“Tuh kan. Kita harus
atur jarak Mai. Malah kalau bisa mungkin aku harus memutuskan hubunganku
denganmu.”
“Ah, bodo! Ngapain.
Udah lah, selow aja deh.”
“Gak bisa Mai. Semakin
kita deket. Semakin hubunganmu dengan Bayu aku hancurin.”
“Kenapa kamu berpikir
kamu hancurin hubunganku?”
“Aku sayang kamu Mai!
Aku jatuh cinta ama kamu! Nggak nyadar?”
Maira terdiam, membisu
menatapku dengan lekat. “Ni, kamu serius?”
“Ya. Karena itu kita
nggak bisa deket. Aku harus membunuh rasa itu. Menguburnya dalam-dalam. Meski
aku tahu, akan sangat perih, sakit dan penuh derita.” Aku menghujam Maira
dengan kalimatku itu, yang rasanya, sekeras batu kali dilempar ke dahi.
Malam itu, kami
mengakhiri pertemuan kami tanpa menuntaskan keputusan. Maira terdiam, lalu
menangis. “Maaf ya Ni. Aku memberikan perasaan itu padamu.”
“Jangan minta maaf.
Aku yang salah.” Dan kami pun, dimulai malam itu, dengan tanpa kata, memutuskan
untuk bersama-sama saling menjauh.
Tapi kenapa aku yang
mengaku bahwa aku yang salah? Apakah karena konsepsi bahwa asmara selalu milik
dua orang individu dan bukan tiga? Tidakkah Kitab Suci tak hanya mencatat kisah
Yakub-Rahel? Tetapi juga Daud-Betsyeba, yang malah nanti melahirkan keturunan
Yesus? Bodoh. Mengaku salah tanpa alasan
itu bodoh.
Sudah dua bulan ini
aku dan Maira menjauh. Sakit tak tertahankan memekik di tengah dadaku.
Kadang-kadang di malam hari aku duduk sendirian dan menangis. Rasa, bukan
rasio, yang selalu membawa pedih. Kadang-kadang Mai sms atau menelpon, sungguh
aku ingin membalas atau mengangkatnya, tetapi aku menahan diriku. Aku ganti
nomorku dan pindah tempat kos. Agar bayangan Maira tak mengangguku lagi. Saat
itulah aku tahu artinya kehilangan. Ketika sesuatu yang ingin kita dekap erat,
genggam lekat, dipaksa untuk dilepaskan dari hidup kita. Aku, benar-benar,
kehilangan.
Di saat-saat
kehilangan seperti inilah, aku mengerti apa itu arti dari penderitaan. Bagi hatiku
yang pahit dan remuk, kehilangan Maira adalah penderitaan terbesar yang pernah
aku alami dalam hidup ini. Penderitaan, Leiden
kata filsuf Karl Jaspers. Semua bentuk penderitaan, entah itu penyakit fisik,
ketegangan, keputusasaan, perbudakan, kelaparan, kemiskinan, juga, kehilangan
ia yang kita ingin miliki, memiliki sifat desktruktif, juga konstruktif bagi
manusia (Dasein)-keberadaan di dalam
dunia-. Penderitaan itu dekstruktif, menghancurkan, karena ia menggerogoti
manusia sedikit demi sedikit. Tetapi ia bisa konstruktif bagi seorang manusia,
kalau ia punya ketabahan hati untuk menerima, menanggung penderitaan dan
bertumbuh melalui penderitaan tersebut.
Sekarang, di saat
seperti inilah aku harus memilih, apakah aku hendak mati dalam penderitaan akan
bayangan Maira? Atau aku memilih untuk bertumbuh, menerima akan keadaan ini,
dan aku tanggung sakit tak tertahankan ini, sebagai jalan untuk sesuatu yang
lebih baik di depan sana.
Sungguh, jembatan
cinta ku telah roboh karena ia terlalu terlarang untuk dibangun. Leiden pun
muncul dalam perjalanan hidup ini. Leiden yang menyayat luka.
Luka. Ia membuat
merintih. Pedih yang memekik. Derita yang menari. Gores yang mengiris.
Penderitaan yang terbuncah karena rasa. Rasa menerbitkan hujan problema. Rasa
menitikkan tangis gulana. Rasa mengoyakkan benteng kalbu. Rasa meranggas
tembok-tembok sejahtera. Dan yang terluka, hanya bisa menunggu dalam waktu.
Tetapi manusia perlu sadar, tidakkah ada Sosok yang dekat dengan mereka yang
terluka? Tidakkah ada Sosok yang siap membebat mereka yang hatinya kecewa?
Sosok ultim, Tuhan Sang Empunya kehidupan ini? Sesungguhnya, justru dalam
penderitaan ini, di tengah usaha melepaskan dan meninggalkan cinta terlarang
terhadap Maira, barangkali aku akan menemukan hakikat hidup itu sendiri. Sang
Pencipta?
*2 Juni 2012. Jl.
Gedong 5. Mangga Besar 1. Jakarta Pusat. Sebuah usaha untuk membumikan sebuah gagasan teologis yang "dahsyat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar