Hujan. Air mata yang runtuh dari langit yang menangis. Bukan. Uap yang
berubah senyawa menjadi air karena panas di atas atmosfer, lalu turun ke bumi,
untuk menjalani siklus perubahannya kembali. Ia merupa kesegaran: bagi mereka
yang sedang kekeringan dan sedang berputus asa melihat tanah terpecah-pecah,
hujan sehari adalah pemuas dahaga, sekaligus pemekik harapan. Namun pendulum
yang lain tentu akan menggugat: hujan adalah durga yang menghadirkan
kehancuran, banjir badang yang merusakkan tanaman. Rumah-rumah pinggir kali
longsor dikikis aliran air yang membengkak dari salurannya. Ternyata hujan
melahirkan dua sisi kejadian, yang suka mau pun yang duka. Yang bahagia mau pun
yang terluka. Semua tergantung siapa kita. Semua tergantung di mana kita.
Coba ubah dirimu menjadi hujan. Bayangkan kau adalah air yang turun dari
atas langit. Jangan jadi hujan gerimis, tetapi jadilah hujan deras yang turun
dengan kecepatan tinggi. Sebab gerimis hanyalah hujan yang malu-malu, laiknya
pria yang tak pernah sanggup mengungkap kata cinta, malu-malu agar dirinya
bereksistensi. Gerimis tidak akan mendedahkan apa-apa. Tetapi hujan deras
adalah ia, lelaki yang berani. Berani menatap dua janin kejadian [entah yang
mana] yang akan dikeluarkannya: suka mau pun duka.
Mainkan imajimu: bayangkan kau melahirkan janin yang pertama. Kau adalah
hujan deras yang memanen suka. Para petani dan penggarap sawah, yang selama ini
lontang-lantung menanti air turun sehingga tanah kembali gembur, merekalah yang
pertamakali berteriak memuja kehadiranmu. Ibu-ibu dan anak-anak desa yang
sekian minggu tak mandi karena kekurangan air, barangkali mereka akan menari
dan berdansa bersamamu. Oh, tidakkah gembira ria sukmamu? Tidakkah kebahagiaan
kita adalah ketika kita menghadirkan kebahagiaan dalam diri orang lain?
Lanjutkan imajimu! Kau adalah lelaki yang berani: menyatakan rasa yang
telah lama tergurat dalam rongga-rongga hatimu. Yang sesak karena tak segera
keluar. Yang resah karena terus menerus dibekap. Lalu kau membebaskan rasa itu.
Dan kau adalah lelaki yang berani, dan menatap janin kesukaan: wanita yang kau
cintai adalah tanah kering yang jutaan detik telah menunggu sikap satriamu, ia
adalah padang gersang yang menanti dialiri aliran kasih sayang yang disalurkan
oleh lebatnya perhatian, keamanan, dan perlindungan. Janin kebahagiaan pun
menjadi milikmu: kau bernyanyi dengan melodi-melodi asmara yang memuncak dalam
keheningan sakral. Indah tergerai senyum rindangmu. Akhiri imajimu: Kau adalah
lelaki yang mengatakan cinta, dan bersambut dalam gayung pengantinmu. Kau adalah hujan deras yang memeluk,
menggendong, menumbuhkan janin kebahagiaan.
Tapi tunggu dulu. Hidup harus rasionalistis dan realistis. Tak semua
kejadian seperti yang kita inginkan. Mainkan imajimu: bayangkan kau melahirkan
jenis janin yang kedua. Kau adalah hujan deras yang memetik duka. Mereka yang
rumahnya di pinggiran kali, yang sebenarnya toh juga bukan tanah milik mereka,
tergusur karena banjir yang membesar gara-gara sungai yang tak sanggup menahan
arus yang lebat. Lalu mereka pun berseru kecewa: “Hujan deras! Kenapa kau
ungkapkan dirimu di saat kami seperti ini?” Kau akan menjadi pihak yang
bersalah di mata mereka. Mereka yang kaya pun juga barangkali tak mau kalah:
mereka yang mobilnya tak bisa berjalan, karena kehadiranmu membuat jalan-jalan
macet dan tergenang oleh air. Mereka yang tinggal di rumah-rumah mewah, tetapi
keberadaanmu membuat rumah mereka terbenam air kotor dan terdekap lumpur.
Tentulah sedih hatimu! Kau yang mengecewakan sekaligus dikecewakan.
Lanjutkan imajimu! Kau adalah lelaki yang berani: mengungkap cerita
tentang rasa yang terpendam lama dalam rumah hatimu. Yang sekian megasekon kau
tahan untuk pergi keluar. Yang kau kunci rapat-rapat agar ia tak menyakiti
lingkungannya. Lalu kau mengizinkan cerita itu beredar. Namun sayang, kau
melahirkan janin kedukaan. Ia adalah wanita yang menolakmu. Ia adalah wanita
yang tak berani menerima kehadiranmu. Barangkali ia takut hidupnya tergerus
oleh kedigdayaanmu sebagai pria. Atau ia terlalu lemah akibat luka-luka selama
ini ia alami, sehingga tak berani membuka ruang tempat tinggal bagi hatimu.
Atau jelas ia tak menyukaimu seperti kamu menyukainya: Ia laksana orang-orang
kaya yang tinggal dalam istana-istana kompleks perumahan mewah, angkuh enggan
disentuh oleh air lumpur kotor seperti dirimu. Kau terluka. Kau mengecewakan
baginya, sekaligus kau dikecewakan oleh kenyataan itu. Akhirnya kau hanya bisa menangis
di tengah sepi bersama janin duka itu. Hujan deras pun berakhir dalam ratapan
pedih tak tertahankan.
Ah. Imajinasi yang berlebihan. Analogi yang tak begitu tepat juga.
Tetapi hujan deras sore ini mengajarkanku untuk lebih berani. Menurunkan asmara
ke tempat yang seharusnya: bumi, hati seorang wanita. Tentu dengan konsekuensi
yang harus aku tanggung. Apapun itu.
#Habis hujan deras di Malang. 14.00-15.30, Senin, 17 Desember 2012
Klayatan III/43.
Himawan T. P.
Semburat rasa, adalah ketika aksara tiada.
Lalu kita, mencoba untuk mengkarsa nada.
Ketika bagaskara mendedahkan tangis air mata.
Kita mencoba berjingkat untuk berdansa.
Karena tarian adalah satu cara agar kita mengada.
Lalu kita berderai tawa sekaligus canda.
Dalam ruang-ruang pijak yang begitu ramai dalam hening yang sama.
Kita, aku dan kamu, yang tak pernah satu tapi selalu bersama.
Dalam keberbedaaan merayakan unitas yang satu.
Cukuplah sudah kegundahan-kegundahan ini.
Matikan surya. Diamkan jiwa.
Sang Embuh itu menyeruak masuk dalam tanda-tanda sunyi tak terdengar, namun Ia begitu terasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar