“How strange it
is, to know that she is at peace and all is well, and yet to be so sorrowful”
-Marthin Luther, saat
kematian putrinya berumur 14 tahun.
“ It’s okay to
have tears in our eyes as long as we have hope in our hearts”
-Ben Witheringthon, setelah
anak perempuannya, Christy, meninggal.
Aku pernah berpendapat di dalam kehidupan ini ada dua kejadian
yang sanggup mengubahkan kehidupan itu sendiri. Apa itu? Pertama, Cinta. Kedua, Kematian. Maka, ketika orang yang kita cintai dipeluk oleh
kematian, niscaya kehidupan kita akan diubahkan. Kita akan menjalani segala
sesuatu sebagai satu hal yang pertamakali, misalnya: paskah pertamakali tanpa orang yang kita
kasihi, perayaan ulang tahun, jamuan pernikahan, penerimaan raport anak, natal,
dan berbagai momentum kehidupan lainnya yang dijalani pertamakalinya tanpa orang yang telah terlebih dahulu berpulang.
Kehidupanmu,
ku, kita pasti akan mengalami transformasi
(bisa destruktif atau konstruktif) ketika kita berjumpa dengan cinta yang
menggandeng (atau digandeng?) mesra oleh kematian. Cinta dan kematian adalah dekonstruktor
(mengambil istilah Jacques Derrida, kita terjemahkan saja: menghancurkan lalu
membangun kembali) paling ultim bagi mozaik kehidupan kita sebagai manusia, Dasein yang sedang mengada di dunia ini. Pasangan itu adalah leiden (istilah Karl Jaspers, artinya penderitaan) tertinggi yang
menyengat ganas, mengoyak jiwa, membasahi hidup dengan derai air mata.
Aku tahu, dan memahami konsep ini sejak beberapa bulan
yang lalu. Namun baru tanggal 13 Maret yang lalu, sejak Mbakku meninggal, aku belajar
menghidupi paragraf di atas. Mudah menuliskannya di dalam aksara, tetapi menghayati
kebenarannya begitu susah, pahit, dan menyesakkan.
Baiklah. Ini adalah sebuah catatan. Catatan tentang
kenangan. Bukankah salah satu cara terbaik untuk memaknai kedukaan,
penderitaan, dan kehilangan, adalah membuat catatan? Sehingga generasi di depan
sana nanti, dapat melihat kasih, kebaikan Tuhan, dan kesetiaan-Nya? Aku rindu
berkisah apa-apa yang pernah aku alami dan pelajari dari seorang Mbak Krist. Sampai hari ini aku masih tidak percaya bahwa
Mbakku sudah tiada. Menulis catatan seperti ini barangkali adalah usaha untuk
meraih kesadaran. . . . . . bahwa ia telah pulang ke pelukan Bapa yang lebih
mengasihinya daripada aku mengasihinya.
***
Aku digendong. Mbak Krist yang memakai baju biru. 23 tahun yang lalu? |
Dulu, ketika keluarga kami belum berkecukupan (dalam
arti punya rumah dan kendaraan bermotor sendiri), buku adalah semacam barang
mahal yang tak bisa kami miliki. Tapi bersyukurnya aku punya Mbak Krist. Saat
itu aku masih SD (seumuran Gantha sekarang), dan salah satu hal yang paling
menyenangkan adalah, setiap kali Mbak-ku pulang ke Malang, seringkali ia akan
membawaku ke Gramedia (salah satu surga bagi kosmologi masa kecilku di Kota
Malang pada era 1995-2000an). Kami akan
berbelanja 1 atau 2 buku komik. Harta intelektual pertamaku adalah komik-komik
seri tokoh dunia, aku bisa mengenal Newton, Galileo, Napoleon, Lincoln, Gandhi,
Edison, Luther dan serangkaian tokoh-tokoh dunia akbar lainnya. Wah, cakrawala
atau horizon pengetahuanku seperti melebar melampaui anak-anak seumuranku pada
waktu itu. Mbak Krist punya andil menaruh titik-titik cita-cita menjadi ilmuwan
pada masa yang disebut psikolog Jean Piageat periode operasional konkrit:
masa-masa dimana aku berupaya menggunakan logika dalam hidupku.
[Btw, sebenarnya waktu kecil aku lebih sering
memanggil Mbakku sebagai Mbak Nik. Merujuk nama aslinya sebelum baptis:
Tunikyah. Baru beranjak remaja aku memangilnya Mbak Krist.]
Suatu ketika ia mengirim surat dan bertanya: kepingin
dibeliin apa? (setelah aku berusia sekarang ini, aku mengira-ngira surat ini
dikirimnya waktu ia praktik setahun di sebuah gereja di Garut, mungkin itu
sekitar 1997-1998). Maka aku (dan kakakku yang nomor 8 adik dari Mbak Krist
juga) menjawab dengan panjang lebar, benda yang aku ingat aku minta waktu itu
ada dua: sepatu, dan, buku serial tokoh dunia! Tak lama kemudian datanglah
sekardus penuh barang-barang kiriman Mbak Krist. Wah sangat menyenangkan! Ada
dodol Garut yang sebulan kami makan tak habis-habis. Dan, tentu saja ada sepatu disana! Aku ingat
waktu itu sepatu merk Precise dengan
garis biru yang aku pakai dengan masa aktif cukup lama. Aku begitu bangga dan
senang pada sepatu itu. Bagi anak kecil yang tak punya banyak benda, bersepatu precise membuat diriku merasa seperti jagoan di film-film superhero. Ia adalah sepatu
dengan memori menyenangkan yang aku miliki dalam hidup ini. Juga buku-buku komik serial tokoh dunia! Ah begitu
senangnya aku waktu buku-buku favoritku datang.
Lupa tahun berapa. Aku masih SD |
Mbak Krist juga menambahi buku-buku lainnya, yaitu
cerita-cerita tentang tokoh Kristen dan lagu-lagu sekolah Minggu! Pertama-tama
aku tak berminat membaca buku-buku ini, tetapi kemudian aku menikmatinya
juga. Kalau tidak salah ada cerita
tentang George Muller, C. H Spurgeon waktu itu. Aku sangat terinspirasi oleh
orang-orang ini. Dalam teori
perkembangan iman James Fowler, maka aku sedang membangun kepercayaan mitis
harafiah dalam fase ini. Aku mulai mencoba mencerna betapa kerennya orang-orang
yang hidup beriman Kristen.
Kadang-kadang aku menyanyi dari buku-buku lagu sekolah minggu (terbitan
BPK?). Senang! Aku teringat Mbak Krist pernah menanyaiku pribadi waktu aku
masih kecil: “Tuhan Yesus itu siapa Wan buatmu?” Baru belakangan ini aku sadar
Mbak Krist waktu itu sedang melakukan penginjilan pribadi untukku. Aku ingat
waktu itu percakapan diakhiri dengan aku agak berkaca-kaca kemudian pergi ke
belakang untuk melakukan sesuatu.
Ohya, Mbak Krist juga orang yang pertamakali
mengajakku nonton bioskop. Aku ingat kami nonton di Surabaya waktu itu. Filmnya
adalah “The Mummy Return.” Di perjalanan
di bus aku juga habiskan buku Harry Potter The
Sorcerer Stone punya Mbak Krist. Senang
sekali waktu itu, aku menikmati dua seni yang aku cintai sampai saat ini: film
dan buku cerita. Semoga nanti aku bisa punya kesempatan menulis fiksi dan membuat film.
Berpotret dengan Mas Amon dipernikahan Cak Min. Sekitar 2000an? |
Waktu SMP, Mbak Krist pindah ke Malang, aku sering
main-main kerumahnya (Mbakku sudah menikah dengan Mas Amon pada tahun itu).
Seperti biasa, salah satu yang ingin kulakukan pasti adalah ini: membaca. Tapi
waktu itu SMP tidak ada buku-buku yang menarik bagiku di lemari perpustakaan
Mbak Krist untuk aku baca. Ia menawarkanku untuk membaca buku berjudul Obor
Allah di Asia, yaitu kisah tentang John Sung. Juga kemudian, buku biografi
Hudson Taylor, Bentara Kristus yang ditulis oleh Roger Steer. Ah, aku menikmati
buku-buku itu, bagaimana kisah misionaris-misionaris yang dipakai Tuhan untuk
mengubahkan orang-orang. Tetapi tak ada pemikiran sedetik pun waktu itu aku mau
menjadi seperti mereka. Waktu SMP kegiatan yang aku ikuti adalah pencak silat
dan kemudian main catur. Aku ingin menjadi pemain catur juara dunia waktu itu. Jelas,
tidak ada pemikiran “menyerahkan sepenuh waktu bagi pelayanan” saat itu.
Saat-saat SMA lah Mbakku punya peran yang sangat penting
dan menjadikannya perempuan paling berpengaruh bagiku selain Emak. Sebagai pembina remaja ia pasti
tahu aku sedang berada dalam krisis waktu itu.
Pada kisaran tahun 2004/2005 Bapakku meninggal karena serangan jantung.
Dan aku mengalami krisis yang hebat pada masa itu. Pencarian jati diri.
Depresi. Dan tentu saja, jauh dari Tuhan.
Salah satu kejadian yang aku ingat, aku menempel semacam stiker
kata-kata kotor dan makian di helmku. Aku bergaya seperti anak-anak underground yang menempel helm NSX-nya
dengan stiker-stiker band metal, punk etc. Ketika melihatnya, Mbakku hanya
berkata: “Wah Wawan wis gede ya? sudah nggak butuh Tuhan lagi.” (Wah, Wawan
sudah besar ya? Sudah nggak butuh Tuhan lagi). Aku terdiam waktu itu. Lalu
menyadari betapa kacaunya hidupku saat itu. Aku saat itu jarang terlibat
pelayanan. Menjadi WL-Singer hanya karena terpaksa jadwal. Tapi kalimat itu
melenting dan membuatku berpikir. Kecemasan eksistensial pun melanda.
Singkat cerita, aku mengalami pengalaman pertobatan atau
lahir baru pada masa-masa itu. Salah satu tonggak pentingnya adalah camp siswa
di SMA 4. Lalu mulai masa kelas tiga SMA, aku mulai menggumulkan untuk melayani
penuh waktu. Aku pun menyampaikan keinginan itu kepada Mbakku.
“Mbak, kalau mau sekolah Alkitab dimana enaknya?”
“Lho, kamu mau sekolah Alkitab?” tanyanya, kalau tak
salah waktu itu kami naik mobil sedang jalan-jalan.
“Iya. Tapi dimana? Bandung?”
“Wah, ya SAAT aja”
“SAAT?” [Jujur, waktu itu aku tak tahu sama sekali
tentang SAAT. Sampai remaja aku berjemaat di GPdI]
“Iya, SAAT, sekarang lagi mbangun kampus baru kok. Ayo
kesana.”
Waktu itu mampirlah kami berkunjung ke kampus baru
SAAT di Jalan Bukit Hermon No. 1 yang masih dalam pembangunan. Di masa pendidikan
sekolah dasar bahkan juga sekolah menengahku, aku setiap hari selalu melewati
kampus SAAT lama di Jalan Arief Margono untuk pergi ke sekolah. Tak pernah kusangka tempat yang dulunya aku
anggap seperti benteng atau gudang putih aneh itu ternyata menjadi kampus
tempatku belajar melayani dan berteologi.
Waktu SMP, Aku pernah diajak Mbak Krist mengikuti kebaktian natal
civitas entah pada tahun berapa. Aku sangat lupa waktu itu siapa yang
berkhotbah. Tapi aku ingat waktu itu aku sempat mampir ke rumah Bapak-Ibu
Asrama (Ibu Tuti waktu itu yang menemui). Betapa rancangan Tuhan tak terselami
dan jalan-jalan-Nya bukan jalan-jalan kita bukan?
Beberapa waktu kemudian aku baru tahu kalau Mbakku
juga mengambil Magister Konseling di kampus ini ketika ia berkata: “Ayo kalau kamu
serius, nanti kalau keterima kita bisa masuk barengan.” Waktu itu ia sudah
diterima dan tinggal menunggu waktu kuliah saja. Ia berikan padaku formulir pendaftaran untuk
aku isi sembari berkata: “Masalah pembiayaan, aku carikan donatur untuk
kuliahmu nanti.” Selama kurang lebih
satu tahun aku bergumul untuk mengisi formulir itu. Akhirnya aku selesaikan
pengisiannya dan tetek mbengek birokrasi yang aku perlukan (rekomendasi dari
teman, guru agama, dan pendeta). Lalu aku, diantar Mbak Krist, pergi ke SAAT
untuk mendaftar. Sejak saat itu, ketika ada kolom “wali” yang harus diisi, maka
yang aku tulis adalah nama Mbak Krist (berhubung Emak agak tidak terlalu tahu
tentang birokrasi ini dan itu).
Pada waktu wisuda SMA, Mbak Krist-lah yang menghadiri
wisudaku, saat itu ia bercerita, “Kamu kalau ketrima di SAAT, sudah siap ada
donatur yang support.” Hatiku
berseri-seri waktu itu. Asal tahu saja, sejak mengalami pembaharuan hidup di
dalam Kristus waktu itu, aku menjadi gemar membaca buku. Pengantar Teologi Kristen 1 karya Pdt. Daniel Lucas (yang baru aku
ketahui kemudian rektor SAAT), Berbagai
Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja karya Jan Sihar Aritonang, buku-buku
John Stott, lalu buku Rick Warren yang ada di lemari buku pribadi Mbak Krist pun
aku lahap. Termasuk bacaanku waktu itu adalah buku Teologi Sistematika karya
Louis Berkhof terjemahan penerbit Momentum. Ah, betapa kagum aku terahadap
luasnya dan menariknya ilmu teologi. Maka,
masuk sekolah teologi bisa jadi, sebuah “pemenuhan hasrat eksistensial teologi”
bagi diriku yang masih anak remaja naif saat itu. Namun, Mbak Kristku berpesan
sangat sederhana waktu aku mau masuk asrama kampus, “Yang penting jangan munafik
aja kalau sudah ada di dalam sana. Tetap apa adanya, Wan.”
Mbak Krist pernah beberapa kali memarahi aku waktu di
SAAT, waktu itu masih masa-masa intensif. Ketika ia dan teman-teman serius
belajar bahasa Inggris untuk mengikuti kelas intesif bahasa Inggris oleh Tante
Sonya, aku tidak terlalu serius belajar. Apa yang aku lakukan? Membaca
buku-buku filsafat! Sebelum masuk SAAT aku mulai suka membaca filsafat.
Buku-buku karya Frans Magnis, semacam Pengantar
pada Pemikiran Karl Marx aku lahap. Nietzsche karya St. Sunardi juga aku
baca. Maka, alih-alih belajar atau menghafal grammar seperti mahasiswa baru
lainnya (biasanya memang di kampusku mahasiswa baru lagi getol-getolnya belajar
untuk meraih nilai yang baik. Hasil indoktrinasi kakak tingkat sih ini. Agak
kurang membebaskan mereka untuk belajar dan menghargai ilmu). Ketika orang lain
menghafal vocabulary, maka aku asik membaca Thus
Spoken Zarahthrustra. Hahaha. Waktu itu di perpustakaan Mbak Krist
bertanya: “Lho wan, kamu nggak belajar tah?” Jawabku: “Sek bosen, lagi asik
baca.” Dia pun terdiam. Setelah itu kami ujian. Esoknya kami terima nilai
ujian. Kalau tak salah nilaiku 80an. Mbak Krist mendapat nilai sempurna. Ia
berkomentar: “Kamu itu ya, nggak belajar aja dapet segitu. Coba kalau belajar.
Ayo yang niat kalau kuliah.”
Pada akhir semester satu, waktu ia melihat nilai
Bahasa Yunaniku tak mendapat A ia juga berkomentar: “Kamu ini, masih single, gak punya pacar, baru lulus SMA,
kok nggak bisa dapet A.” [Susunan
kalimatnya kalau aku ceritakan ke orang lain selalu membuatku tertawa]. Lalu dia ceritakan waktu ia di STTB ia
berhasil mendapat nilai sempurna untuk mata kuliah itu. Aku bilang dengan cuek:
“Ah, santai aja mbak, nilai teman-teman yang A itu lho tidak membuktikan
apa-apa. Aku cuma males menghafal.” Aku
baru sadar hari-hari ini sebenarnya, Mbakku memotivasiku untuk berusaha sebaik
mungkin karena pendidikan adalah barang mahal bagi keluarga kami.
Sempat waktu itu uang untuk konsumsi aku tak dapat
bayar, meminta pada Mbakku aku sungkan. Maka aku hanya bisa berdoa minta Tuhan
nyatakan pemeliharaan-Nya. Esoknya, tiba-tiba
pada ujian Teologi Sistematika (diampu Pdt. Daniel Lucas) dia ngeloyor masuk dan
memberi amplop berisi uang untuk membayar dana konsumsi. Saat itu, melalui
Mbakku aku belajar akan apa arti bersandar pada Tuhan. Ia bercerita, “Donaturmu
kayaknya lupa-lupa, Tuhan tegur aku sih, kayaknya aku bersandar pada manusia
untuk uang kuliahmu. Nanti coba apply ke SAAT aja Wan. Kamu juga berdoa supaya Tuhan
sendiri yang cukupkan segala kebutuhan kuliahmu.”
Pernah juga ada masa-masa pameran buku di kampus.
Mbakku bertanya: “Kamu kok ndak beli Wan?” Jawabku: “Lha ndak punya duit.
Hehehe.” Lalu ia membeli buku sambil berkata: “Nih aku beli, tapi kamu aja yang
baca.” Lalu kita berdua tertawa. Aku memang tidak terlalu banyak membeli buku
saat itu. Buku-buku yang menjadi wajib baca sebagian besar aku pinjam dari Mbak
Krist, perpustakaan atau kakak tingkat. Uang saku begitu terbatas, maka
menghemat dan berhikmat dalam membeli kebutuhan serta buku adalah kewajiban. Melihat
banyaknya tumpukan buku di kamarku sekarang, dan ada beberapa dus berukuran
besar yang masih tersimpan di Malang, aku merasakan pemeliharaan Tuhan yang
luar biasa.
Kisaran ulang tahun pertamaku di SAAT ada yang agak
istimewa. Aku terkaget-kaget karena ada bungkusan kue ultah yang cukup besar di
lobby gedung rektorat. Di dalamnya ada kartu, dan ternyata dari Mbak Krist. Aku kirim sms
terimakasih dan ia menjawab: “Hehehe, sama-sama Wan. Nggak pernah ada yang kasi
kue ultah kan?” Aku menangis berkaca-kaca waktu itu. Di dalam keluarga kami tak
ada tradisi perayaan ulang tahun selama ini [salah satu alasan di balik betapa
anehnya diriku, pada tahun-tahun awal, melihat dan mengalami perayaan ultah di
kampus putih]. Aku saja baru tahu kalau ulang tahun Mbak Krist 22 Maret setelah
di SAAT. 2 tahun lalu aku membelikannya syal dari tabunganku sendiri untuk
pertamakalinya dan ia berkomentar: “Wah sekarang kita kado-kadoan ya, gaya kamu
Wan. Hehehe.” Ah, Tuhan baik bagi kami. Komentar yang sama ia berikan ketika Januari
lalu, aku mentraktirnya makan: “Wah gaya kamu sekarang bisa traktir-traktir.” Dengan
senyumnya yang khas. Sekali lagi, Tuhan baik bagi kami.
Aku sempat mengalami masa-masa genting di kampus.
Waktu masa-masa stress praktik dua bulan yang pertamakalinya aku berkontak
dengan Mbak Krist. Komentarnya sangat sederhana tapi menguatkan: “Yang penting
tulus melayani dan memberi, Wan.” Lalu
di semester 5, saat itu aku sangat bergumul dengan praktik akhir pekan yang
melelahkan rohani, fisik, dan mental. Juga aku mulai bertanya-tanya: apakah aku
cocok menjadi hamba Tuhan? Aku tak pandai berkhotbah, tak pandai berelasi
dengan orang, tak pandai mengajar sekolah minggu, juga sama sekali tak sanggup
bermain musik! Ah begitu payah diriku. Waktu itu di perjalanan menuju Kesamben
aku berkirim pesan dengan Mbakku dan menceritakan apa yang aku alami. Mbakku,
dengan gayanya yang biasa, berkomentar dengan sangat sederhana, “Cari Tuhan
Wan, yang penting relasimu sama Tuhan terjaga.” Aku menangis di bus waktu itu.
Aku teringat firman Tuhan di Amos 5 “Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup!”
Semester 8, aku agak sumpek dengan proposal skripsi
dan juga masalah relasi. Aku mengalami insomnia yang sangat akut sehingga sukar
tidur selama beberapa hari. Lalu aku sms
mbakku dan berkata: “Mbak lagi sumpek nih.” Lalu ia menjawab, “Ayo besok tak
jemput kita makan di luar biar nggak stress.”
Akhirnya kami makan pada hari Kamis. Ia hanya memberi wejangan, “Santai
aja kamu Wan hidupnya, masih muda, konsentrasi selesaikan studi aja.” Ini adalah semester dimana aku mengalami
Tuhan dengan sangat. Konseling aku kerjakan, dan aku mengalami tangisan-tangisan
yang membebaskan. Aku tahu sisi-sisi gelap di dalam diriku. Aku mengalami
terobosan-Nya dan kepenuhan hidup di dalam-Nya pada saat itu.
Pada tahun 2012 Mbak Krist berhasil selesaikan Magister
Konselingnya, begitu bangga aku saat itu. Di dalam hatiku, ah 2 tahun lagi kami
akan foto bersama lagi dengan aku di sisi wisudawan meraih gelar S. Th. Betapa kagetnya ketika praktik dua bulan di
Jakarta, Mbakku memberitahu kalau sedang menjalani operasi pengangkatan. Ia
menderita kanker payudara. Ah! Kami tak pernah menduga. Saat itulah kami mulai berjalan
bersama-sama melewati lembah kekelaman. Aku ingat, di buku-buku yang aku pinjam
dari Mbakku, selalu ada ayat dari Mazmur 23:1, “Tuhan adalah gembalaku takkan
kekurangan aku.” Itulah kenapa aku membacakannya di kebaktian pemberangkatan
jenazah saat itu.
Pada masa-masa sulit dan perjuangannya, bukannya aku
yang menguatkan tetapi Mbakku lah yang menguatkan. Ia bercerita tentang
keajaiban-keajaiban Tuhan. Biaya kemoterapi yang ratusan juta, bisa Tuhan
penuhi. Ia masih khotbah dan pelayanan
dengan aktif meskipun kakinya melepuh dan harus memakai kursi roda. Ia tak pernah bercerita stadium berapa
kankernya. Tapi aku tahu dari informasi teman-teman dokterku yang ia derita
pasti cukup ganas karena kisaran awal-pertengahan 2013 ia beritahu aku kalau
kankernya bermestastasis. Gentar hatiku waktu itu. Aku bersyukur Januari lalu
aku sempat pulang beberapa hari ke Malang. Selama 2 hari berturut-turut kami
jalan-jalan di Mall. Ia memilihkan beberapa baju untukku. Aku juga memilihkan
sepatu untuknya bisa jalan-jalan dengan lebih enak. Ah, Tuhan baik bagi kami.
Pada tanggal 9 Maret, malam Senin, Emakku menelpon: “Wan,
kalau sempat pulang ya, Mbakmu perutnya membesar.” Aku menjawab: “Iya, Minggu
aku pasti pulang.” Senin tanggal 17 aku ada jadwal mengisi sebuah pelayanan di
kampus putih, tentu aku berkesempatan pulang ke rumah saat itu.
Malam Rabu, 11 Maret, Emakku menelpon lagi: “Wan
segera pulang, Mbakmu, opname.” Diiringi dengan sms dari kakakku. Aku masih tak
terlalu gelisah. Aku putuskan untuk pulang pada siang harinya. Rabu 12 Maret,
aku sampai sekitar jam 4 sore di rumah sakit, aku hanya sempat berbicara
sejenak dengan Mbak Krist dan ia berkata : “Siapa yang nyangka Wan, aku sakit
begini.” Aku temani, berikan dia minum, sempat juga menelpon Mas Amon di waktu
itu. Jam 9 aku pulang ke rumah karena ada kakak ipar yang bisa ganti jaga. Jam
1 pagi aku ditelpon Mbak Krist masuk ICU. Ah hatiku mulai gementar! Aku tahu
kondisi medis fisik Mbakku sudah sangat drop dan buruk. Tetapi rasioku masih
mengira Mbak Krist akan bertahan. Jam 4 pagi air di paru-parunya diambil tapi
tak membantu. Mulai saat itu aku menemani di sisi mbakku, doaku cuma sederhana:
“Tuhan minta mukjizat. Engkau adalah gembala kami takkan kekurangan kami.” Jam
9 pagi Mbakku dipindah ke ruang isolasi. Aku tinggal sebentar untuk mengisi perut
karena aku sangat lapar. Aku masih berdoa minta mukjizat saat itu. Jam 10 tepat
dokter memanggilku dan berkata “Mas, jantungnya berhenti, tapi kami berusaha
pacu. Berdoa ya Mas.” Aku mulai berkaca-kaca. Benarkah aku harus mengalami
kehilangan lagi? Salah satu kehilangan terbesar dalam tahun-tahun hidupku?
10.10 dokter memanggilku ke dalam ruangan. Ada banyak teman-teman dokter juga
di ruangan itu. Mereka memberitahuku bahwa Mbakku sudah meninggal. Sontak aku
menangis waktu itu. Aku jarang menangis. Namun saat itu, rasioku tak kuasa
menahan pahitnya kenyataan yang harus aku hadapi. Aku mengalami kehilangan
seseorang paling berpengaruh dalam hidupku. [Saat itu aku tahu, benar-benar tahu, bagaimana pelik dan laranya memiliki kehilangan. Lihat postingan di blog ini dengan judul "Memikili kehilangan."]
No one ever
told me that grief felt so like fear
-C. S. Lewis, A
Grief Observed
Makan-makan di bulan Desember 2013 |
***
Kalau ditanya apa yang aku pelajari dari kehidupan
Mbakku. Kebenaran sederhana ini adalah jawaban pertamanya: mengenal Allah di dalam Kristus adalah hal yang paling berharga di muka
bumi ini. Ada seorang teman yang
berkisah ketemu Mbak Krist dan Mbakku bersaksi “Aku, usia 37. Punya suami dan 1
anak. Sudah punya S-2. Dan sedang menderita kanker. Tapi hal yang paling aku
syukuri adalah aku punya Tuhan yang kukenal.”
Desember yang lalu ia sempat ke Surabaya, lalu kami ngobrol-ngobrol, “Bersyukur
Wan, kita ini jadi anak Tuhan, kalau nggak, nggak kebayang kamu sekarang hidup
kita kayak apa.” Bagi Mbakku, mengenal
Allah adalah segala-galanya. Ia mengenggam, menghayati kebenaran Rasul Paulus
dalam Filipi 3:10 “Yang kukehendaki adalah mengenal Dia dan kuasa
kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi
serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan
dari antara orang mati.” Ya, Mbakku mengenal Dia, Mbakku juga sudah mengalami
persekutuan dalam penderitaan-Nya. Sekarang saatnya menanti kebangkitan, ketika
Yesus datang kembali untuk kedua kali.
Kawan, hidup adalah rangkaian kehilangan demi
kehilangan. Kita punya kesehatan kita pasti kehilangan. Kita punya kepandaian
kita pasti kehilangan. Kita punya kecantikan-ketampanan kita pasti kehilangan.
Kita punya keluarga kita pasti kehilangan. Kita punya kehidupan pasti juga akan
kehilangan. Maka, tak ada satu pun hal di muka bumi ini yang bisa kita genggam
erat-erat. Hanya pengenalan akan Allah sajalah yang paling berharga dan kekal
adanya. Milikilah kehilangan. Jadikanlah
kehilangan sebagai teman untukmu belajar tentang kehidupan.
Kedua, Hidup
Untuk Orang Lain. Usai mendapati kenyataan Mbak Krist meninggal, aku duduk
terdiam cukup lama di kursi tunggu ruang isolasi. Lalu dokter memanggilku. Aku bertanya-tanya
ada apa lagi? Ternyata ada dokter dari bank mata dan ia bercerita bagaimana
Mbakku telah menulis perjanjian untuk mendonorkan kornea matanya. Sayang,
kornea tak bisa diambil karena berhubungan dengan penyakitknya. Aku begitu
terkejut karena seingatku Mbak Krist tak pernah bercerita tentang hal ini.
Sampai matinya, ia hidup untuk orang lain. Yang dipikirkan adalah orang lain.
Ia tak mau opname karena tak mau merepotkan orang lain. Bukankah hidup yang
satu kali ini saja akan bermakna ketika kita tak hidup bagi diri sendiri tetapi
hidup untuk orang lain?
Ketiga, ini yang aku coba selalu hidupi : tak perlu hidup munafik. Aku sudah bercerita di atas apa yang
menjadi pesannya ketika sebelum aku masuk SAAT hanya dua kata : jangan munafik.
Ya, Mbakku sangat otentik dan apa adanya. Sebelum aku masuk ladang pelayanan
dia juga berkata: “aku doakan kamu terus supaya kamu tetap tulus dan apa adanya
ya Wan.” Maka, jangan heran kalau aku begitu membenci kemunafikan dan selalu memperjuangkan
kehidupan otentik. Apalagi dengan jabatan atau profesi atau peranku saat ini
yang sangat memungkinkanku untuk memakai topeng-topeng rohani untuk menyembunyikan
kebobrokan diriku.
Keempat, pemeliharaan
Tuhan itu sempurna. Beberapa waktu
yang lalu aku agak galau tentang ini dan itu. Tentang masa depan. Tentang
pelayanan. Tentang diriku. Seperti biasa, Mbak Krist menjadi tempatku mengadu
ketika aku berada di dalam titik amat stress.
Ia hanya menjawab sangat sederhana. “Santai aja Wan, Tuhan sudah siapkan
semua. Liaten aku tah.” Aku menangis berkaca-kaca saat itu. Tuhan berbicara
melalui Mbakku saat itu. Ya, pemeliharaan Tuhan itu sempurna. Mbakku melewati
masa-masa kemoterapi dengan biaya yang amat besar. Tetapi dana Tuhan cukupkan. Aku
melihat sendiri, ada orang-orang yang tidak kami kenal, tetapi turut
berpartisipasi dalam biaya. Tuhan itu baik bagi kami. [lihat salah satu postingan di blog ini dengan judul "Tuhan sudah siapin semua."]
Kelima, menjadi
pelayan yang tegar, setia, dan berintegritas.
Mbakku pernah bercerita tentang konflik yang ia alami di masa
pelayanan. Tak bisa kuceritakan di sini. Tetapi yang pasti ia begitu tegar
membela iman konservatif-injili yang ia pegang pada saat itu. Pada masa kemoterapi, ia masih berkhotbah
satu bulan sekali di kebaktian umum. Ketika kondisinya memburuk ia
berkonsentrasi di kebaktian remaja. Ia tetap berkhotbah meski dari kursi roda.
Pernah ia bercerita ketika khotbah wig-nya terkena angin dan terlempar, sontak
terlihat kepalanya yang membotak efek samping kanker. Ia tetap bersukacita
ketika hal-hal itu terjadi karena ia menceritakan padaku dengan tertawa-tawa.
Tak cukup untuk menulis banyak hal yang lainnya.
Tetapi lima poin di atas adalah pelajaran-pelajaran mendasar dan paling ultim
untukku. Mbak Krist bagiku adalah role model seorang hamba yang radikal,
tegar, setia pada pengajarannya dan berintegritas. Aku yang masih sangat muda
ini, suka bermalas-malas, kurang setia, kurang banyak memberi waktu bagi orang
lain, egois dan arogan. Aku seringkali tertegur oleh teladan mbakku. Ya, ia
adalah guru dan mentorku sebagai seorang hamba yang rendah hati, setia dan
berkemurahan.
***
Wisuda MK tahun 2012 |
Salah satu hal yang aku doakan di masa-masa survival Mbakku adalah ia bisa bertahan
setidaknya bisa datang ke wisudaku pada bulan Mei ini. Tetapi Tuhan berkehendak
lain. Aku berusaha menerimanya. Yang pasti aku mengalami kebaikan Tuhan selama
masa-masa melewati lembah kekelaman ini.
Waktu aku sangat gelisah tentang
kesehatan Mbakku, suatu sore di bulan Desember datanglah seorang pemuda dan
sharing tentang sebuah lagu. Lagu ini berjudul Blessings, karya Laura Story [silahkan cek di https://www.youtube.com/watch?v=eOOFAaUGfRE]. Lagu ini menjadi salah satu teman
terbaikku di masa-masa sulit itu.
Entah bagaimana ceritanya, beberapa hari sebelum Mbakku di panggil pulang. ada teman yang pasang status bbm “lebih baik kematian daripada kelahiran, Pengkhobtah 7:1b” aku langsung copas. Tuhan rupanya sudah siapkan diriku untuk mengahadapi kenyataan kematian yang aku cintai.
Refleksi-refleksi tentang kehilangan juga menguatkanku
untuk memaknai kedukaan tidak dari perspektif fana, tetapi perspektif
kekekalan. Douglas Webster pernah berkata, “Merupa jiwa menegaskan bahwa hidup
tidak dibentuk oleh kehilangan, demikian pula dukacita tidak membingkai hakikat
kehidupan. Kenyataan tertinggi yang membungkus semua kesakitan dan penderitaan
adalah kasihkarunia dan kebaikan Allah.” (Merupa
Jiwa, 276). Dalam pembentukan Sang Pejunan, kedukaan dan penderitaan
bukanlah bingkainya, kasih karunia dan kebaikan Allah-lah bingkainya!
Di minggu-minggu ini, dalam upaya pemulihan, aku juga
membaca buku Henri Nouwen, Letter of
Consolation. Buku ini membantuku melihat kematian yang kukasihi dengan
memandang kematian Kristus. Apa yang terjadi sesudah kematian (dan kebangkitan
Kristus?) yaitu murid-muridnya mengerjakan panggilan mereka. Maka sesungguhnya,
setelah kematian yang kita kasihi, mengerjakan panggilan kita sebaik mungkin
adalah cara terbaik untuk menghormati ia yang meninggalkan kita terlebih
dahulu.
***
Ohya, namaku, Himawan Teguh Pambudi. Himawan artinya
gunung. Maksud dari namaku adalah aku menjadi orang yang berbudi teguh seperti
gunung. Mbak Kristlah yang memberiku nama ini. Betapa ia sangat berperan
penting dalam diriku bukan?
Ah, Selamat jalan Mbakku yang terkasih!
Terimakasih buat teman-teman yang begitu mendukung di
masa-masa sulit ini, baik dalam doa, ucapan, kedatangan, dan bantuan lainnya.
Tuhan gembala kita, takkan kekurangan kita!
The darker
the night, the brighter the stars,
The deeper
the grief, the closer of God!
-Fyodor Doestoevsky, Crime
and Punishment
hanya satu kata him, "Terpujilah Nama Tuhan kita Yesus Kristus."
BalasHapustenang wan,... seng sabar relakan kita semua merasa kehilangan, skrng kita hanya bisa mendo'akan,..kpn2 dolan ng omah sufat wan,..tak enteni,..
BalasHapus