Aku mau menceritakan tentang apa yang aku temukan ketika bersama Ringga
di sebuah siang. Saat itu, aku datang ke rumah kontrakannya, untuk minta
bantuan tugas akhirku. Sebagai sarjana
psikologi, aku perlu melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang
beberapa diantaranya dikenalkan oleh Ringga.
Rumah kontrakan itu ia tempati bersama dengan beberapa temannya. Rumah
sederhana di tengah kota panas ini, tetapi begitu rindang dan hijau, bahkan
lebih layak disebut hutan. Kau akan temukan kandang-kandang ayam, sangkar
burung di sana, juga pot-pot berisi tanaman. Ringga pernah berkata: “hanya dekat dengan alam kau akan menjadi
seorang manusia.”
Tapi percakapan
ini yang membuatku terkejut.
***
“To love at
all is to be vulnerable. Love anything, and your heart will certainly be wrung
and possilbly be broken. If you want to make sure of keeping it intact, you
must give your heart to no one, not even to an animal. Wrap it carefully round
with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements; lock it up safe in
the casket or coffin of your selfishness. But in that casket – safe, darl, motionless, airless – it will change. It will
not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable. The
alternative to tragedy, or at least to
the risk of tragedy, is damnation. The only place outside of Heaven where you can perfectly
safe from all the dangers and perturbations of love is Hell.” (C. S. Lewis, The Four Loves)
“Ringga, kenapa kamu masang quotes
ini di ruang tamu mu?”
“Hmmm. Kenapa coba?”
“Lho, aku kan nanya, kok ditanya balik?”
“Hehehehe, ya kan kamu bisa nebak,”
“Gimana mau nebak?”
“Kan kamu orangnya punya intuisi yang sangat kuat. Ayo coba berpikir.
Kenapa guru musik naruh quotes ini di ruang tamunya. Hehehehe”
“Lho, kok disuruh mikir.. Dasar orang thinking, mikir teruuus.. Kayak Reed Richards, Mr, Fantastic yang
getol diem di laboratium, sampai pernikahannya sama Susan Storm diduain.
Hehehehe“[1]
“Iya lah, dunia ini hancur karena orang kurang berpikir!”
“Yeh, dunia juga hancur karena orang terlalu banyak mikir dan kurang
berperasaan.”
“Hahahaha. Tetapi rasa, bukan logika yang selalu membuat masalah,”
jawabnya dengan gesit
“Eh, hmmm, kalau menurutku sih ya, luka itu sesuatu yang menyakiti. Jadi
ada rasa sakit, entah itu fisik, entah itu emosional, sesuatu yang membuat kita
nggak nyaman.”
“Wah, dipikirin juga jawabannya.”
“Leeeeh, kan kamu tanyaaaa.”
“Hehehehe, dunia kita ini dunia dimana orang itu saling melukai Rin.
Sejarah kita adalah sejarah saling melukai. Sejak pra sejarah, sampai
postmodern. Lihatlah sejarah, perang salib, perang dunia, perang antar agama.
Kita saling melukai bukan? Sesama manusia saling melukai. Di manapun juga: entah era sebelum kelahiran
Kristus di Makedonia, suku-suku bangsa barbar saling bertempur di Normandia,
dinasti Han di China, penaklukkan Aleksander Agung sampai India, bahkan
Nusantara di bawah Majapahit. Ingat perang Bubat? Sejarah saling melukai di
negeri ini, hanya demi Sumpah Palapa yang mustahil itu Gajahmada membuat sang
putri Pasundan terbunuh. Kisah 1965 juga memperlihatkan kepada kita sejarah
saling melukai. 1998 yang menghancurkan etnis Tionghoa dan melahirkan konflik
berkepanjangan dan kecurigaan antar etnis juga hasil dari sejarah saling
melukai. Betul nggak?”
“Hadeuh, pak guru sejarah lagi ngajar nih”
“Ya kan selain musik dan gunung, aku senang sejarah.”
“Iya deh. Trus apa hubunganya sama quotes C. S. Lewis, sastrawan
sekaligus intelektual terkemuka itu?”
Ringga ini benar-benar filosofis orangnya. Kadang-kadang aku nggak
ngerti apa yang dipikirkan oleh sahabatku satu ini. Sungguh, dia ini orang yang
rumit! Tetapi memang, persahabatan itu sesuatu yang selalu mengubahkan. Semakin
kamu mengenal seseorang, ia akan mengubahmu. Pengenalan yang mendalam selalu
memberi dampak bagi diri kita. Itulah mengapa persahabatan yang panjang dan
dalam itu diperlukan di tengah dunia yang kosong dalam hubungan-hubungan tanpa
makna. Gara-gara aku bersahabat dengan Ringga yang suka merenung, aku pun jadi
suka merenung dan memikirkan ini dan itu dalam kehidupanku. Nanti akan
kuceritakan bagaimana aku mendapati bahwa perenunganku terjadi biasanya ketika
langit menangis menerjunkan air matanya ke bumi.
“Gak ada hubungan langsung sih. Hahahaha”
“Lhoo?”
“Cuma mau bilang kalau selama hidup kita di dunia kamu pasti akan
terluka.”
“Trus?”
“Ya, mari menghadapi kemungkinan-kemungkinan bahwa kita ini akan selalu
terluka. Dan ingat ini, kita hanya bisa menghadapinya dengan hati yang rapuh.”
“Hati yang rapuh?”
“Yeps. Hati yang siap terluka tetapi juga siap untuk ditambal, diobati,
disembuhkan. Di situlah kamu akan mengalami bahwa di dalam hubungan-hubungan
kita sebagai manusia, adalah hubungan-hubungan yang layak diperjuangkan. Karena
setiap kali kita terluka, selalu ada kemungkinan kita mengalami perasaan disembuhkan.”
“Jadi, selalu ada dokter, selalu ada antibiotik, selalu ada insulin
untuk hati kita?”
“Ya, akan selalu ada kasih dan cinta untuk hati yang rapuh.” Ringga
mengatakannya dengan tersenyum. Senyum kharismatis dari seorang sahabat yang
baik. Senyum yang memberikan janji bahwa kebaikan masih ada. Senyum seseorang
yang memiliki cahaya kasih di dalam sanubarinya.
Kalimat serta senyuman itu menyembuhkanku. Di hari yang sama, hari
dimana bertahun-tahun yang lalu Papaku menghilang dari pandanganku. Hari di
mana dunia menimbulkan luka yang sangat mendalam di dalam diriku. Usiaku masih
8 tahun waktu itu. Papa tiba-tiba tak pulang usai kerja. Kecelakaan fatal merenggut nyawanya.
Beberapa bulan sebelum hari di mana aku berkunjung ku rumah Ringga, kutinggalkan
pacarku sejak SMA, karena ia ingin menikmati tubuhku. Aku begitu terluka karena
ia ternyata mencintai karena aku memiliki sesuatu. Sesuatu itu ialah tubuhku. Kejadian
yang masih sering terulang sampai saat ini.
It’s okay to have tears in
our eyes as long as we have hope in our hearts.[2]
Ringga memberikan pengharapan bahwa masih ada kasih dan cinta di dunia
ini. Kita menghadapi dunia yang saling melukai.
Bahkan orang-orang terdekat pun akan melukai kita. Air mata akan selalu
ada. Tetapi selalu ada pengharapan. Pengharapan itu ada di dalam kasih dari
orang-orang seperti Ringga. Orang-orang yang hatinya bercahaya.
***
Pertemuanku dengan Ringga di siang itu mengubah perspektifku, dan aku
menemukan seorang sahabat baru. Sahabat yang baik dalam suka dan duka. Selalu
ada ketika ku bertanya. Kisah ku dan Ringga sangat banyak. Nanti ku curahkan
satu per satu. Hellen Keller pernah
berkata: “lebih baik berjalan dalam
kegelapan bersama seorang sahabat daripada sendirian di tengah terang.”
Sahabat itu begitu penting di dalam dunia ini. Ia adalah harta yang tak
ternilai. Adakah engkau mempunyainya?
#Agak nggak jelas di sebuah sore.
30 September 2013. Please “Wake me
up when September end”
Nice.. aku selalu baca berulang2 pos ini..
BalasHapusterimakasih utk tulisannya. sangat memberkati..