Firman Tuhan ngomong bahwa
terlebih berbahagia memberi daripada menerima. Nah, aku mendapatkan pemahaman
baru tentang teks ini baru-baru ini. Persoalannya begini, karena kita melihat
bahwa memberi itu adalah “berbahagia.” Maka, kita, khususnya sebagai seorang
hamba Tuhan, punya sidrom Mesianik yaitu “memberi.” Kita selalu ingin, entah
kenapa, memberi sesuatu pada orang lain. Tentu saja, motivasinya baik dan benar
adanya, namun ingat seringkali DOrongan SAya lebih besar dari DOrongan Allah. Jadi sangat sering
pemberian kita itu dibungkus oleh DOSA daripada DOA. Kita memperhatikan jemaat, memberi ide-ide
strategi pelayanan, berkhotbah, mengajar kelas katekisasi, memimpin rapat,
sesungguhnya adalah sebuah pemberian. Namun, jujur saja, pemberian-pemberian
kita suka ditungganggi kepentingan untuk diterima, kepentingan untuk diakui,
kepentingan untuk dihormati. Bukankah hamba Tuhan itu adalah ahli kosmetik
paling mumpuni? Berjubah rohani dan berdandan ilahi, namun hati penuh iri dan
dengki?
Hari-hari ini aku sedang belajar
untuk memberi dengan cara lain, yaitu memberi diri menerima masukan, memberi
diri menerima pelajaran dari orang lain,
memberi diri menerima keadaan. Menerima itu ternyata, juga membutuhkan memberi,
pada saat yang sama. Karena, tidak mungkin kita menerima kalau tangan kita tak
terbuka dilandasi sikap hati memberi diri menampung berkat, perbaikan dan
pembaharuan.
Ya, aku tahu aku ini orang yang
sombong. Sok angkuh hebat dan tahu dalam banyak hal, maka aku berusaha terus
menerus memberi, dan di belakang kepalaku tersimpul sebuah ideologi “Tuhan apa
yang harus aku beri?” Padahal ada masa di mana ternyata yang Tuhan mau adalah
aku menerima sesuatu, aku belajar sesuatu. Dan aku mau mengosongkan tanganku
supaya aku leluasa menangkap berkat-berkat-Nya yang melimpah.
Tuhan tolong kami hamba-hambaMu,
berada dekat salib-Mu, dicengkeram kasih karunia, supaya Yesus makin tampak,
dan kami makin hilang, kecil, tak berarti.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar