Manusia suka dengan kemapanan. Tentu
kita bisa sepakat mengenai hal ini. Kemapanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan bahkan dalam soal religius, adalah nilai-nilai yang seringkali menjadi dambaan
manusia [tak terkecuali mahasiswa teologi]. Kita senang dengan relasi-relasi
antar-manusia yang di dalamnya hampir tidak ada dentuman konflik, kita senang
jika dompet kita berisi sehingga bisa makan lebih banyak, membuat perut
menggendut, dan lemak bertambah-tambah, kita senang kalau punya gelar sarjana,
orang memandang “wah” dengan status kita sebagai seorang “mahasiswa”, meskipun
terlalu sering kita tak menunjukkan watak sarjana di hari-hari kita. Secara
religius, tentu saja yang paling jelas, kita paling senang berbicara tentang
surga, kekekalan, dunia lain di mana kita dapat melarikan diri dari realita.
Ya, kemapanan itu menyenangkan.
Tetapi ada dimensi lain dari
kemapanan, yang, sayangnya seringkali tak terperhatikan. Kemapanan, bagi saya,
adalah pharmakon, obat, sekaligus
racun. Kenapa bisa racun? Karena kemapanan bisa menjadi candu, opium! Kalau
Karl Marx, filsuf Jerman, ateis, itu pernah mengatakan diktum “agama adalah
candu bagi rakyat” maka saya mengatakan kemapanan adalah candu bagi kita semua.
Kemapanan menjadi sebuah opium yang
meninabobokan diri kita, ketika kita begitu terpaku olehnya, begitu terpikat
olehnya dan bergantung di dalamnya. Kemapanan bisa membuat kita lupa akan dunia
di mana kita berada. Dunia yang bobrok, yang penuh dengan tikus-tikus kantor
merajalela merampok uang rakyat, yang penuh dengan kaum the have yang membanjiri jalanan dengan mobil-mobil mewah tanpa
peduli kehidupan the poor. Dunia yang penuh dengan bangunan gedongan,
yang dibangun, seringkali dengan amnesia terhadap sekolah dasar negeri yang
bakal ambruk.
Dan bukankah hidup kita lekat dalam
dada kita? Gadget di saku kiri,
depan, belakang. Makan kenyang tiga kali sehari tak cukup, sering kita tambah
dengan menikmati makanan di luar sana.
Atap yang tak bocor, AC yang dinyalakan di kala panas, pakaian berlemari
kalau kedinginan, para sahabat dan handai taulan kalau air mata hendak tertumpah
keluar. Ah, sungguh hidup kita amat mapan.
Kemapanan itu bisa menjadi opium,
membuat kita terlena, dan lupa bahwa di sana ada kaum tertindas, kaum liyan, kaum yang tak dipedulikan oleh negara.
Anak-anak jalanan yang sebenarnya adalah korban dari sistem yang lebih besar.
Pengangguran dan kriminal yang sebenarnya korban dari sistem yang tak berpihak
kepada kaum lemah. Yang kita tahu, yang sering kita trenyuh, tapi sering pula kepada mereka kita tak melakukan apa-apa.
Tangan kita yang “kudus” itu enggan kudisan kalau menyentuh anak-anak jalanan
yang tak pernah tertawa.
Karena itu, mawas dirilah, hati-hati
dengan opium kemapanan.
*Kutulis setahun lalu waktu aku masih berada di kampus, dan aku mempostingnya sebagai usaha untuk refleksi kritis terhadap diriku sendiri yang mulai menikmati tinggal di kota metropolitan ini.
saya menantikan tulisan berikutnya tentang antidote/penawar dari opium kemapanan ini :)
BalasHapus