Kisaran bulan April
2012, di tengah sebuah pergumulan, aku ngetweet
begini: “rasanya lebih baik jadi penjahat namun otentik, daripada jadi
rohaniwan yang nampak baik namun munafik.”
Kalimat di atas
mungkin akan mengejutkan bagi beberapa pihak, karena ditulis oleh diriku, yang
adalah mahasiswa teologi. Namun, mohon cermati sesungguhnya, ide mendasar yang
ingin aku sampaikan adalah soal “menjadi pribadi yang otentik.” Dan sungguh,
ide tentang menjadi pribadi yang otentik ini adalah ide yang relevan,
kontekstual sekaligus revolusioner di tengah zaman ini.
Kenapa demikian?
Lihatlah, kawan, kita
ini hidup dalam sebuah dunia yang penuh dengan sapuan kosmetik. Puspa ragam
iklan yang mendengung bak nyamuk ingin menyerap darah manusia, menawarkan
berbagai macam produk yang membawa kita, manusia, untuk menjadi pribadi yang
“tampil menawan, rupawan, memikat, dan sempurna.” Inilah sebuah dunia yang
menghantar kita hidup di dalam relung kemunafikan.
Ya. Dunia yang meminta
kita untuk menjadi sempurna. Cermati iklan yang ada: pria dengan perut six-pack, gagah sempurna dengan mobil
mewah atau sepeda motor mahal; atau perempuan cantik dengan kulit putih mulus
dan tubuh ramping, akan menjadi ukuran sebuah “kesempurnaan” tubuh manusia.[1] Bukankah kita
larut pada tuntutan untuk menggapai hal-hal itu? Coba kau tanya apa yang
diinginkan seorang anak remaja pria, pasti jawabnya: ingin sukses, punya materi
dan berpacar cantik. Jawaban yang umum dan wajar bukan? Barangkali setiap kita
juga akan menjawab hal yang sama bila ditanya.
Dan pada saat yang
sama, dunia yang meminta kita menjadi sempurna itu adalah dunia menipu kita
dalam sebuah kehidupan yang ilusif.
Dunia yang ilusif itu membuat kita berada dalam “bisnis hipokrisi.”[2] Kita ingin
menjadi hebat, kita ingin menjadi kuat dan powerfull,
saat itu pula kita tidak ingin terlihat lemah, rapuh dan kalah. Bagi dunia
ilusif ini, orang-orang lemah dan rapuh adalah orang-orang yang gagal. Mereka
yang miskin hanyalah pihak yang perlu disingkirkan. Mereka yang marginal hanya
akan disisihkan. Inilah sebuah dunia yang penuh kemunafikan. Orang tidak bisa
menjadi dirinya sendiri. Orang harus menjadi apa yang dunia ini katakan dan
inginkan.
Lalu mengapa kita perlu menjadi otentik?
Karena Alkitab sendiri
yang menggagas ide anti kemunafikan itu!
Orang Farisi yang
tampil sebagai rohaniwan yang perkasa, gagah dengan semua dogma, lekat dengan
Taurat di jiwa dan lahiriah. Memakai ukuran dunia ilusif yang kujelaskan di
bagian terhadulu, tentu mereka adalah orang-orang yang berhasil. Namun
perhatikan, orang Farisi ini malah dikecam Tuhan Yesus sebagai “munafik” (bdk.
Mat. 15:7, dalam pasal 23 kata ini dipakai sebanyak 6 kali). Hypocrite: hidup dalam topeng,
kepalsuan, bermain sandiwara. Mereka
digambarkan “suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam lingkungan ibadat dan
pada tikungan jalan raya, supaya dilihat
orang.” (Mat. 6:5) Jadi, inilah ciri-ciri
orang munafik, yaitu mereka yang melakukan sesuatu untuk dilihat, dipandang
orang lain. Tindakan itu tentu berpijak pada sebuah kacamata terhadap realitas
bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh orang lain. Orang seperti orang Farisi
hidup dalam fashion show, penuh
topeng sandiwara, superfisial!
Firman Tuhan
menegaskan bahwa menjadi otentik adalah sebuah perintah “Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu
muslihat dan segala macam kemunafikan,
kedengkian dan fitnah” (1Petrus 2:1). Ini berarti menaruh kemunafikan di
keranjang sampah! Jelaslah bahwa kemunafikan bukanlah ide Alkitabiah, menjadi
pribadi yang otentik-lah jawabannya!
Lalu apa itu otentik?
KBBI memberi arti: dapat dipercaya, asli, tulen, sah. Sedangkan kamus Oxford
Dictionary menjelaskan authentic sebagai of undisputed origin or veracity; genuine.
Jadi otentik adalah apa yang sesuai fakta.
Apa yang ada di dalam diri kita. Bahasa sederhananya, menjadi diri sendiri,
pribadi yang apa adanya sehingga tidak perlu menuntun menjadi orang yang “ada
apanya.” Otentik adalah soal menerima diri kita apa adanya.
Munafik, Otentik dan Kepemimpinan Kristen
Soal kepemimpinan pun
turut dipengaruhi oleh ilusi yang ditawarkan oleh dunia ini. Kalau kawan belajar
tentang science of leadership,[3] ada satu
periode dalam sejarah ilmu kepemimpinan, dimana seorang pemimpin itu ditentukan
dari tampilan luarnya, good looking atau
tidak, bersuara berat atau tidak. [memang ini penting, tapi tidak yang
terutama!]. Jadi seseorang ditentukan
oleh tampilan yang dipandang oleh
orang lain.
Dan akhirnya, ini
membuat para pemimpin terjatuh kedalam kemunafikan: berusaha tampil hebat
padahal lemah; berusaha tampil kuat, padahal rapuh; berusaha tampil suci,
padahal berdosa; berusaha terlihat sehat padahal sakit. Dunia ilusif ini membawa banyak orang
–termasuk rohaniwan- terjerat dalam dosa kemunafikan.
Kepemimpinan Kristen dan kelemahannya
Yesus, menurutku
adalah pribadi yang otentik. Ia tampil sesuai panggilan-Nya sebagai manusia
yang lemah, di hadapan Allah, di taman Getsemani Ia sungguh rapuh. Namun pria
yang lemah dan kalah ini, menjadi seseorang yang disebutkan “Allah sangat
meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama atas segala nama” (Filipi
2:9)
Joseph Ratzinger, Paus
Benediktus yang awal tahun ini melengserkan diri dari jabatan Paus, menurutku
juga adalah pemimpin yang otentik. Di
usia yang sudah uzur, ia berani mengakui bahwa fisiknya sudah lemah,
sehingga bisa mempengaruhi efektifitas pelayanan gereja. Sangat bertolak
belakang dengan beberapa pendeta, yang sampai pada masa kepemimpinannya
seharusnya berakhir, namun merasa masih kuat dan sanggup memegang tampuk
kekuasaan.
Inilah yang membedakan
kepemimpinan Kristiani dengan kepemimpinan non-Kristiani. Sendjaya meringkasnya
dengan lugas “Karakteristik eksklusif pemimpin yang membedakannya dari pemimpin
non-Kristen adalah kelemahan. . . . Dalam kelemahan pemimpin, kuasa Allah yang
tidak terbatas itu dinyatakan. Karena,”only
the weak shall be strong, only the humble exalted, only the empty filled; only
nothing shall be something” demikianlah kalimat Marthin Luther.”[4]
Kita adalah
orang-orang yang lemah dan rapuh. Mengakui kelemahan dan kerapuhan, menerima
diri apa adanya tanpa berupaya menjadi terlihat sempurna di pandangan orang
lain adalah langkah menjadi pribadi yang otentik. Marilah hidup di dalam
kelemahan dan kerapuhan itu, namun tentu saja kita harus tetap terus menerus berupaya
untuk disempurnakan dan menjadi lebih baik karena itulah panggilan kita sebagai murid Kristus.
Inilah sebuah seruan
dan sebuah ajakan, mari makin menjadi otentik dan bukan munafik. Berani
mengakui segala kelemahan dan kerapuhan kita, pertama-tama di hadapan Allah,
dan kemudian di antara sesama kita. Berhentilah untuk mencapai pencapaian demi
pencapaian, mencoba mereguk kesempurnaan, permintaan dari dunia ilusif yang akhirnya menenggelamkan kita
dalam lumpur hipokrisi.
Aku masih ingat pesan kakakku tercinta sebelum aku
masuk seminari: Cuma satu Wan, jangan
jadi munafik! Bertahun-tahun kemudian, ide yang sama terungkap kembali
ketika aku masuk ladang praktik setahun, mentorku berkata: yang penting kamu otentik Wan! Makin hari lepas hari, gagasan
otentik ini makin terlihat kebenarannya. Bagaimana dengan anda?
#ditulis khusus untuk:
1. 1. Moury
Setiawan yang hari ini “ditahbiskan” menjadi ketua senat kampus putih. Idenya
soal menjadi diri sendiri, atau menjadi otentik, menurutku adalah gagasan
revolusioner di tengah segala kondisi yang ada. Selamat berjuang bro! Doaku
menyertaimu.
2. 2. Para
sahabat yang bergelut untuk menjadi orang-orang otentik di tengah
kondisi-kondisi hipokrisi yang begitu gaduh memenjara kita dalam hari-hari yang
ilusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar