Dunia ini adalah dunia dimana kita dinilai dari
sebanyak apa kita bisa memiliki. Aku rasa kamu akan setuju dengan hal itu. Waktu aku masih di kampus putih, tempatku
belajar teologi dan pelayanan pastoral, gejala ini terlihat amat sangat. Penghuni asrama pria dianggap “berhasil,
sukses, dan hebat” bukanlah dari kedalaman berpikir, atau skill kepemimpinan,
itu mungkin iya tetapi bukan yang terutama (setidaknya dari perspektifku). Penghuni asrama pria dianggap hebat dari
apakah mereka bisa memiliki. Memiliki
apa? Selain daftar yang aku ajukan yakni, khotbah bagus, sikap manis-taat
kepada otoritas, baju necis-bersih,[1] syarat yang
paling ultim adalah ini: memiliki salah satu dari penghuni asrama seberang, asrama
wanita.
Dan karena saat
itu aku adalah pria yang gagal memiliki salah satu penghuni asrama seberang,
maka terjustifikasilah diriku sebagai pria gagal total. Failed dengan spidol merah.
Kalau kamu saat ini adalah orang sepertiku, maka kamu
akan dianggap rendah, gagal, dan ini dia labeling
yang tepat: pecundang. Ada seorang sahabat dekat[2] pernah berkata:
elu si kurang effort, makanya gagal
memiliki.
Hahahaha. Ada
yang berada dalam kondisi yang sama? Acungkan tangan dan mari bertobat :p
***
Aku tak mau bermelankolik dan berkartasis di sini,
tiga paragraf di atas cuma sekadar sebuah contoh. Tetapi hidup di realita pelayanan pastoral
membuatku sadar, budaya “menilai dari apa yang dimiliki” ini mengakar rumput
sampai ke jemaat. Manusia bingung untuk memiliki. Manusia sibuk mengejar
sesuatu untuk dimiliki. Manusia gelisah kalau tak memiliki. Manusia merasa
kurang bernilai, kurang terhormat, kurang
seperti dunia kalau tidak memiliki. Entah itu uang, barang, jabatan,
kesehatan dan segala-galanya.
Kenyataan ini juga ditangkap oleh musikus favoritku
Young Iwan Fals[3]
(), yang pernah bernyanyi “Mimpi yang
terbeli” mengisahkan bagaimana orang harus melakukan tindakan kriminal
untuk membeli barang-barang supaya mereka menjadi sama dengan orang-orang di
sekeliling mereka.
Pandangan “menilai
diri dari apa yang dimiliki” ini kadang-kadang, eh, bukan, seringkali
membuat manusia berubah menjadi monster yang menakutkan dengan topeng-topeng
hipokrisi yang mereka pakai. Otentisitas disisihkan dan tak dipedulikan. Kita
takut kalau kita tak memiliki.
Lalu, apakah yang demikian salah?
Tidak salah juga sih. Karena kita perlu memiliki, tetapi kepemilikan itu perlulah
dilandasi kepada panggilan dan bukan kebutuhan.[4] Apakah yang kita usahakan untuk dimiliki
adalah bagian dari panggilan kita di dunia ini? Atau sekadar pemenuhan
kebutuhan yang berasal dari keinginan hawa nafsu memuaskan diri sendiri?
Kalau kita punya perspektif kepemilikian berdasarkan panggilan, hidup akan lebih sehat. Sehingga kalau kita nggak memiliki, maka kita tak gelisah, tak gundah, tak merasa
kurang. Karena ketika nggak memiliki,
saat itulah kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang saat ini kita miliki.
Masalahnya, ternyata secara ontologis kita nggak
pernah punya apa-apa! Semua yang kita miliki berasal dari Sang Pemberi Yang
Satu. Maka dari itu beranikah berbangga kita ini dengan diri kita dan apa yang
saat ini seolah-olah kita miliki? Tidak
bukan?
Pada galibnya, semesta mendedahkan kasunyatan ini
kepada kita: belajar bersyukur pada apa yang saat ini kita miliki karena Ia-lah
Sang Pemberi. Tak perlu galau menduka kalau tidak memiliki. Belajarlah untuk
merasa cukup. Karena orang yang cukup
adalah orang yang memiliki. Orang miskin adalah orang yang tidak punya apa-apa,
karena itu tidak pernah merasa cukup. Orang kaya adalah orang yang memiliki,
maka itu ia akan selalu merasa cukup.
Dalam segala
hal kami menunjukkan bahwa kami pelayan Allah, yaitu: . . .sebagai orang tak
bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu (2Korintus 6: 4, 10)
Lagu dari grup Band Kutless enak nih:
"I'm Still Yours"
If You washed away my vanity
If You took away my words
If all my world was swept away
Would You be enough for me?
Would my beating heart still sing?
If I lost it all
Would my hands stay lifted
To the God who gives and takes away
If You take it all
This life You've given
Still my heart will sing to You
When my life is not what I expected
The plans I made have failed
When there's nothing left to steal me away
Will You be enough for me?
Will my broken heart still sing?
If I lost it all
Would my hands stay lifted
To the God who gives
And takes away
If You take it all
This life You've given
Still my heart
Will sing to You
Even if You take it all away
Youll never let me go
Take it all away
But I still know
That I'm Yours
I'm still Yours
Oh, I'm Yours
I'm still Yours
I'm still Yours
#Pregolan Bunder 36. Solitude Day yang
menumbuhkembangkan jiwa kujalani hari ini. Untukmu.
[1] Anehnya aku agak kurang dalam memiliki itu semua.
Apakah tulisan ini dimulai dari kebencian? Aku berdoa semoga tidak
[2] Karena ia sahabat, maka ia lebih mudah melukai. Orang-orang yang paling membuat kita terluka
adalah mereka yang paling dekat dengan kita, percayalah itu. Tetapi jangan
sampai kamu takut untuk memiliki kedekatan. Karena dalam kedekatan ada
pertumbuhan. Bacalah SoulCraft-nya Douglas
Webster, atau Relasi-nya Paul David Tripp untuk memperkaya hal ini, relasi antar
manusia ada di dalam bagian dari santifikasi.
[3] Mengapa
kutaruh kata Young? Karena Old Iwan tak lebih dari penjaja kopi yang sedang
berusaha memenuhi kebutuhan di masa tua, bukan lagi anak muda idealis
penngkritik penguasa
[4] Thanks to Pdt. Sandi Nugroho yang memaparkan hal ini
di Camp beberapa waktu yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar