Well, tulisanku kali ini masih melanjutkan permasalahan yang kupikirkan di
tulisanku terdahulu. Malam ini, ditemani dengan lagu “His Glory Appears” by
Hillsong yang syahdu, dan juga kopi Nescafe (eh, nggak promosi lhooooo :p, biasanya aku minum kopi hitam-pahit, entah kenapa hari ini aku minum kopi sachet), aku
mau menuliskan beberapa pokok pemikiran.
The Art of War,
pemenang dan kecepatan
Kemarin aku
melihat-lihat bahan-bahan tugas perkulihan seorang mahasiswa IBM di sebuah kampus kota Pahlawan
ini, yang mengajarkan filsafat “Art of
War”nya Sun Tsu dan diaplikasikan bagi dunia bisnis dan usaha. Bagiku yang
punya ketertarikan tersendiri dalam ilmu manajemen, marketing dan bisnis
[makanya aku baca buku soal New Wave
Marketingnya Hermawan Kertajaya], melahap hal-hal seperti itu adalah
kesenangan tersendiri, sejenis mengenyangkan khazanah pengetahuanku. Lagipula, menjadi entrepreneur adalah mimpi masa SMAku. Membaca dan mempelajari soal-soal itu seperti
bernostalgia dengan diriku di masa dahulu.
Tapi seperti biasa,
apa pun yang kupelajari, ogah aku tolak mentah-mentah, perlu melalui tahap kritis. Namun sayang, bukan pada
tempatnya untuk mengkritisi semua filosofi Sun Tzu di sini. Aku hanya ingin mengungkapkan salah satu
kesimpulanku setelah menonton dan membaca-baca bahan tugas-tugas kawanku itu
yakni: dunia meminta, berharap dan memaksa kita untuk menjadikan dan menujukan
diri kita sebagai pemenang.
Aku sitir beberapa
kutipan Sun Tzu:
“Victorious warriors win first and then go to
war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
― Sun Tzu, The Art of War
― Sun Tzu, The Art of War
Anda mau jadi apa? Jadi
Victorius Warrior kan? Hehehe.
Lalu, kutipan yang
menarik yang kedua:
“If quick, I survive. If not quick, I am lost. This is
"death.”
― Sun Tzu, The Art of War
― Sun Tzu, The Art of War
Well, kutipan ini
memperlihatkan gagasan bahwa mereka yang mau jadi pemenang, Victorius Warrior adalah mereka yang
tercepat.
Kecepatan memberikan kita
kapasitas untuk menjadi pribadi yang sanggup survive. Ingatlah kisah-kisah komik kungfu, jurus yang
mematikan adalah jurus yang tercepat! Bacalah Bleach, ada Shunpo konsep
melangkah cepat disana. Kalau baca Naruto, Hokage keempat yang adalah
ayah Naruto terkenal dengan jurusnya yang sanggup berpindah tempat dengan
kecepatan seperti petir. Sungguh! Cepat itu penting! Cepat itu adalah awal dari
kesuksesan.
Persoalannya?
Menjadi pemenang dan menjadi yang tercepat kerapkali membawa jiwa kita ke dalam gurun kegersangan dan kekeringan makna |
Oke-oke saja sih menjadi yang tercepat, oke-oke saja juga menjadi
pemenang. Namun ada persoalan yang
menderu begitu gaduh dalam batin manusia-manusia modern yang berusaha untuk
menjadi yang tercepat dan menang. Sendjaya mengungkapkan hal ini:
“Kalau ada tiga kata yang menjadi karakteristik dunia modern, tiga kata
tersebut adalah noise, hurry, dan crowd. Ketiganya begitu
kental mewarnai keseharian hidup kita. Efektivitas hidup seringkali diidentikan
dengan keterlibatan kita dalam muchness dan manyness. Selama kita sibuk di kampus, di kantor, di
rumah dan belasan organisasi, semakin kita menjadi efektif. Sibuk, berarti
efektif, namun mesti buru-buru agar semua dapat dikerjakan. Psikolog Carl Jung
pernah berkata bahwa ‘hurry is not of the devil. It is the devil.”[1]
Dalam kata lain, menjadi pemenang membuat kita berusaha untuk cepat,
cepat membawa kita untuk terburu-buru, padahal hurry is the devil.
Kenapa?
Karena dalam ketergesahan-gesahan kita, manusia modern, kita berusaha
menjadi yang tercepat dan menang, dan akhirnya terjerumus untuk melakukan
segala rutinitas tanpa makna. Kita sibuk tanpa kedalaman makna.Inilah yang menyebabkan manusia sering menjadi
kering. Manusia menjadi robot dan sama seperti mesin. Bekerja, bekerja dan
terus bekerja. Sampai kehilangan arti sebagai manusia. Dunia yang kompetisi pun akhirnya
mendehumanisasi kita.
Menjadi pemenang sih oke, menjadi yang tercepat sih oke.
Tetapi persoalannya adalah: jangan sampai kita kehilangan arti dan makna
kehidupan kita.
Yang aku maksud dengan
kehilangan makna adalah “hidup yang penuh dengan banyak aktivitas tapi aktivitas-aktivitas
itu bukan sesuai prioritas dan kehendak Allah untuk kita kerjakan dan malah
menjauhkan kita dari Tuhan dan kasih-Nya.”
Oke. Lalu dengan
demikian. Apa sikap yang tepat supaya hidup ini tetap bermakna meski kita
menjadi cepat dan berusaha mengejar kemenangan?
Memiliki Momen Withdrawal
Jawabannya sederhana
ternyata: memiliki momen withdrawal,
yaitu “withdrawal atau berdiam diri di sini berarti mengalokasikan waktu
bersama Tuhan agar kita memiliki hati yang dengar-dengaran dan taat kepada-Nya.”[2] Dalam bahasa yang lebih biasa terdengar:
punya momen teduh! Punya momen quiet time,
atau lectio divina.[3] Mempunyai waktu untuk kembali kepada Sang
Pencipta hidup![4]
Menariknya, ada banyak
keuntungan ketika kita memiliki momen withdrawal, yakni: [5]
1.
Mendengarkan
Tuhan.
Tuhan berbicara dalam kesendirian
kita, dan disitulah kita dibentuk untuk semakin serupa dengan Dia. Ingatlah
satu kejadian historis pemuliaan Kristus, Allah Bapa berfirman: Inilah Anak-Ku
yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. Dengarkanlah Dia! Jadi jelaslah, mendengarkan
adalah perintah yang penting!
2.
Menyerahkan
diri.
Dunia membentuk kita untuk cepat
dan berusaha menjadi pemenang, sering konsep itu membuat kita lupa diri bahwa
kesuksesan sesungguhnya berasal dari Tuhan. Berdiam diri adalah saat yang tepat
untuk kita menyerahkan segala sesuatunya: keberhasilan pekerjaan, kesuksesan
studi, kekuatan dalam menghadapi kehidupan ini.
3.
Mengalami
perubahan yang real
Momen ini adalah momen dimana kita diubah,
yaitu ketika hanya ada Tuhan dan diri kita, dan Tuhan mengubahkan kita menjadi
orang yang sesuai dengan kehendakNya melalui pembacaan firman Tuhan.
Jadi jelaslah momen withdrawal ini membawa kita menuju
kedalaman batiniah dan kekayaan makna sebagai seorang manusia, apalagi mereka
yang di dalam Kristus! Momen ini adalah
momen di mana kita menggenggam kekuatan ekstra, dan rahmat Tuhan yang selalu
baru setiap pagi (Ratapan 3:23).
Epilog
Nah, sampai aku di
penghujung tulisan ini. Aku ingin
mengutip lagi Charles Ringma mempertegas kepentingan momen withdrawal:
“Kita terus mencoba
berbuat lebih banyak sementara energi kita terus terkuras dan kita jadi seperti
pohon yang tercabut denan akar menggapai-nggapai percuma ke angkasa. Jadi kita
mengangkat tangan ke atas, berdoa memohon kasih karunia dan kemampuan khusus,
padahal seharusnnya kita ditanam kembali di tanah yang subur. Tanah itu tidak
dimaksudkan agar kita mengurangi kegiatan kita, tapi untuk mengubah prioritas
sehingga kita meluangkan waktu untuk diam. Dan dalam ketenangan, kita menemukan
kekuatan dan harapan baru.”[6]
Jadi, di tengah dunia
yang penuh dengan kompetisi yang membentuk kita bermental yang tercepat dan
pemenang. Mari kita memiliki hidup yang bermakna dan tidak kehilangan tujuan
Allah juga kehadiran Allah, dengan memiliki momen withdrawal. Momen kita berdiam dan ditanam kembali di
tanah yang subur. Momen kita dipeluk
hangat oleh Sang Gembala Agung, momen kita pulang ke Bapa yang berlari
menyambut kita, momen kita minum aliran air yang hidup dan menyegarkan sunsum tulang kita. Sebab “Barangsiapa
tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, Ia berbuah banyak, sebab di luar Aku
kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Ditulis secara khusus mengingat beberapa orang:
1. Giovanni Edison, yang beberapa waktu lalu nginep kamarku dan berkata: "Aku punya kerinduan Him, supaya bisa membawa anak2 melewati salah satu pergumulan paling berat masa kini: SIBUK!."
2. Maria Setiani, yg mengizinkan ku untuk mengecap bahan-bahan kuliahnya. Juga, Melviana Aurelia yang lagi sibuk skripsi.
3. Esther Stepfanie Hermawan, Kharis Adirahsetio, David Dwi Chrisna Damping, Dessy Surya Chandra, para sahabat rohaniku yang sangat ngangenin. Mereka adalah pribadi-pribadi yang Tuhan anugerahkan dan membuatku menghayati koinonia en ta pneuma (companion in spirit).
Follow account twitter-ku: @HimawanPambudi dan add Facebook di Himawan Teguh Pambudi
[1] Sendjaya, Jadilah
Pemimpin demi Kristus (Jakarta: Literatur Perkantas, 2012) 194.
[2] Ibid. 198
[3] Soal Lectio Divina, bacalah buku Richard Foster, Sanctuary of the Soul (Surabaya: Perkantas Jatim, 2011) 64-70.
[4] Aku pernah menulis soal
ini, perhatikan di https://www.facebook.com/notes/himawan-teguh-pambudi/refleksi-hidup-dengan-kopi-1-butek-isme-dan-teks-yesaya/10150333962982196
[5] Disarikan: Sendjaya,
Jadilah Pemimpin 200.
[6]Charles Ringma, Dare To Journey with Henri
Nouwen 11.
wow si abang.....
BalasHapus