Wolstertoff pernah menulis bahwa hidup adalah rangkaian kehilangan. Dan
memang demikianlah adanya. Kehilangan adalah masa ketika sesuatu yang pernah
ada, diambil, direbut, direngkuh, dicuri, dari gengggaman tangan kita. Kau boleh lulus sarjana psikologi atau
pastoral konseling, tetapi menghadapi seseorang yang sedang mengalami masa
kehilangan akan menerbitkan kesulitan-kesulitan tersendiri.
Suatu ketika komunitasku kehilangan seorang gadis muda berumur 19 tahun.
Cantik. Rupawan. Masa depannya cemerlang dan gemilang. Tetapi ia direnggut oleh
Sang Embuh. Pergilah ia. Kisah kasih berkemelut di sekeliling kematiannya. Kami
menangis jutaan detik. Orang-orang berubah jadi zombie, mayat hidup yang
berjalan dalam kepedihan dan duka. Merasa tak mengerti dan bertanya-tanya
tentang keadilan pun ketidakdilan. Itulah kehilangan. Menghancurkan.
Aku pernah mengenal seseorang yang begitu mencinta sang kekasih. Lelaki
gagah perkasa dewasa dan satria. Rela mengorbankan segala sesuatu demi
panggilan hidup. Tetapi gara-gara itu, ia kehilangan kekasih yang telah
berjalan dengannya selama 7 tahun. Sang perempuan meninggalkannya pergi ke
benua biru dengan kalimat menyakitkan: kau hanya memikirkan dirimu
sendiri! Puluhan bulan kemudian mereka
bernostalgia kembali, dan lelaki ini menerima pukulan2 menyakitkan tetapi penuh
rindu di dadanya. Sang perempuan masih mencintainya dengan begitu dalam. Namun
lelaki itu mencoba untuk berdiri walau rapuh: ia telah kehilangan wanita itu.
Hubungan mereka telah berakhir. Lelaki itu kehilangan. Dan kehilangan itu
merobek sukmanya begitu dalam. Butuh waktu sekian juta megasekon untuk
memulihkan keramahtamahan hatinya untuk menerima perempuan yang lain. Itulah
kehilangan. Melukai.
Pernah kuberkunjung dalam sebuah upacara duka. Bayi yang masih kecil dan
belum beranjak untuk berjalan sudah dicuri oleh sang kehidupan. Ibunya yang
tentu mengandung dengan susah derita menangis penuh ronta. Tak henti-henti air
mata berderai mendedahkan pahit yang tak tersembuhkan. Itulah kehilangan. Air
mata lah sahabatnya.
Kau bisa jadi sarjana matematika atau teknik kimia. Kau bisa jadi ahli
geometri atau biotek. Kau boleh jadi sarjana terbaik ilmu komunikasi juga
manajemen bisnis. Kau juga bisa saja ambil master dalam dua jenis ilmu yang
berbeda. Kau boleh jadi filsuf handal, segala teori kau hapal. Tetapi
menghadapi kehilangan, kau hanya akan jadi semut kecil yang terlindas kaki
gajah. Itulah kehilangan. Kita jadi kalah karenanya.
Adakah cara untuk melawannya?
Hmmm. . perlukah melawannya?
Kehilangan adalah ketika kita merasa bahwa kita pernah memiliki sesuatu.
Ah bagaimana, kalau, kehilanganlah yang kita miliki. Jadi jangan lawan
kehilangan tapi milikilah kehilangan. Jadikan ia sahabat baik yang rela ada
setiap waktu dalam hidupmu bermain-main denganmu. Jadikan ia kekasih yang
membuatmu bertumbuh makin murni. Jadikan ia orangtua yang menegurmu untuk
menjadi dewasa. Jadikan ia guru yang mengajarmu tentang arti dan makna. Jadikan
ia bunga-bunga kapas dan engkaulah dandelion yang sedang tegar bertahan
menjalani siklus kehidupan. Maka ia boleh terus ada, tetapi kau memilikinya,
dengan cara yang berbeda.
Jika kau memilikinya. Maka kau akan berdansa bersamanya dengan gerak
gelisah. Jika kau memilikinya maka kau akan menari dengan gemulai rancak
keterkejutan. Jika kau memilikinya maka kau akan bernyanyi dalam suara nyaring
walau serak memahitkan. Jika kau
memilikinya doa kau panjatkan walau iman seolah kabur ditelan kabut nestapa.
Aku pernah kehilangan.
Seorang ayah. Ada beberapa teman baik yang pergi karena harus menjalani
hidup mereka. Pernah –orang-orang yang aku rasa sebagai sahabat tapi
berkhianat. Pun eros yang harus dilepaskan karena hidup yang tak berpihak pada
situasi hati. Ya. Aku juga sering kehilangan.
Kini pun aku terancam kehilangan. Seorang yang sedarah dan pribadi paling
penting dalam hidupku sedang bertarung dengan virus ganas. Yang kapanpun dapat
membunuh dan mengakhiri nyawanya. Ratusan juta dan obat telah diinfeksikan,
entah sampai kapan sanggup menahan untukku tak kehilangan.
Tapi aku mau belajar untuk memiliki kehilangan. Karena hanya di dalam
kehilangan aku akan mendapatkan. Karena hanya dengan tangan kehilangan kita
bisa bebas mendekap. Karena dengan memiliki kehilanganlah aku akan belajar
banyak hal.
Ad Majorem Dei Gloriam.
12 Oktober 2013. Sebuah subuh. Pregolan Bunder 36. Tak bisa tidur
sepanjang malam.
Untukmu, untuknya, untuk dia, untuk mereka yang mengajariku arti
kehilangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar