Pernahkah engkau mencoba untuk mendekat pada sebuah hati? Pernahkah
engkau menetapkan langkah untuk memiliki sebongkah cinta? Aku yakin kita semua
pernah merasakan pengalaman itu.
Pengalaman itu pernah menghampiri hidupku, bersama dengan langkah
gemericik nan merdu namun bersemangat dari seorang gadis berbaju biru. Si empunya wajah sempurna bening mendamaikan
laksana mata air yang masih suci. Mata belok bersinar dihiasi bulu mata lentik yang
selalu menerbitkan ribuan kegembiraan ketika menatapnya. Senyum dari bibir
manis yang menobatkan hati yang muram. Dan sejuta pesona-pesona kerupawanan
lainnya. Ah. Pengalaman itu benarlah, indah.
Aksara seluruh bumi boleh digabungkan untuk merangkai untaian kata-kata
sehingga lukisan alinea dapat menggambarkan pengalaman itu. Tapi mungkin tak
bisa. Kau boleh kumpulkan sejuta warna yang dapat memberi matamu apa arti
keindahan. Tapi mungkin jutaan warna itu juga tak sanggup mengungkap pengalaman
itu. Sungguh, siapa yang pernah bisa mengungkapnya? Victor Hugo? Les Miserables
sesungguhnya hanya menangkap satu dimensi dari pengalaman itu. Shakespeare? Ah,
Romeo Juliet menurutku terlalu utopis, sehingga tak menggapai realitas dari
pengalaman itu. Siapa lagi sastrawan
yang mampu kau sebut? Siapapun engkau: Platonis atau Derridean. Ateis atau
fundamentalis. Sufi atau orang awam. Fisikawan atau biolog. Aku yakin, tak kan
pernah kau mampu mendeduksi apa sebenarnya pengalaman ini. Einstein sendiri berkata
kalau gravitasi bisa diukur, tapi soal pengalaman ini, siapa yang tahu?
Orang rasional seperti Sherlock Holmes dalam kisah fiksi Sir Arthur
Conan Doyle sering digambarkan tak sanggup menghadapi pengalaman ini. Tentu
saja. Orang yang sanggup menyelami fisika kuantum atau biologi molekuler tak
mungkin memecahkan teka-teki pengalaman ini. Kau yang hafal geometri dan
logaritma juga tak akan dapat menghitungnya dalam rumus-rumus matematis.
Sosiolog hanya bisa menangkap gejala-gejala sosial dari pengalaman ini. Psikolog juga hanya mampu berteori. Filsuf?
Ah, mereka hanya mampu berabstraksi.
Tetapi semua orang mengalaminya. Ini adalah fakta, bukan opini. Tak
perlu argumentasi panjang, atau apologet handal untuk membuktikannya. Penggagas
pacaran konservatif Kristen Joshua Harris mengalaminya. Ateis-humanis macam
John Lennon juga menghayatinya. Soal pengalaman ini, Christina Perri bahkan
melantunkan lagu yang begitu merdu: I
will die everyday waiting for you. . . .For a thousand years. Ribuan tahun akan dijalani, karena
pengalaman ini. Cincin di jari manis biasanya menjadi pertanda puncak dari
pengalaman ini. Tetapi kadang-kadang (atau sering?) pengalaman itu cukup
berakhir pada pergelutan di atas ranjang. Yang pasti, semua orang mengalaminya.
Tak perlu menjadi milyarder sekelas Bill Gates untuk mampu membuat software
yang membawamu ke dalam pengalaman ini. Tak perlu setampan David Beckham untuk
membelenggumu dalam pengalaman ini. Tak perlu. Cukup bukalah ruang dalam
batinmu. Pandanglah sekelilingmu. Lekat-lekat tatap seseorang. Tunggu waktumu. Maka engkau akan mengalaminya.
Ah, aku kok sok memberitahu. Aku sendiri sudah lama tak mengalaminya.
Aku sudah menuntaskan pendidikanku dalam ranah kajian ilmu sosiologi sampai
gelar master. Kenyataannya, ketika pergi nonton bioskop beberapa hari yang
lalu, aku merasa malu. Karena ada dua sejoli berkemeja putih dan bawahan biru
sudah saling berpegangan tangan, dan pipi mereka tersipu-sipu merah. Aku?
Tergulung dalam ombak besar yang menggelombang bernama kesepian dan kepedihan.
Kadang-kadang aku berpikir liar, mungkin lebih baik mati sebagai pengkhianat
asmara daripada hidup tanpa romansa.
Dan, ketika hening perasaan begitu mencekam, maka yang kulakukan adalah
sederhana: mengingatmu, hai wanita berbaju biru. Disitulah ruang simulakrum
yang paling ultim dan sakral bagi diriku. Sayang sejuta sayang, senyummu yang
selalu mendamaikan itu terenggut oleh leukosit-leukosit di dalam aliran
darahmu, yang tidak matang dan berkembang biak secara ganas di sumsung
tulangmu, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhmu. Mereka menghancurkan
metabolisme tubuhmu. Menggusur segala mimpi-mimpimu. Menyapu janji-janji yang
pernah kita buat. Membuatku kehilanganmu. Kehilangan pengalaman itu.
Ingatan akanmu masih begitu kuat. Menghalangi batas pandangku kepada
makhluk lainnya. Karena sungguh, hanya engkau, hai wanita berbaju biru, yang
sanggup merontokkan diriku, lalu menumbuhkan tunas-tunas hasrat yang begitu
rimbun.
Kawan, apakah engkau mengalaminya saat ini? Sungguh, syukuri dan
genggamlah erat-erat. Kehilangan pengalaman itu hanya akan membuatmu menyesal.
*Pregolan Bunder 36. 16 April 2013. “Aku” di dalam tulisan ini adalah
tokoh tanpa nama. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar