Kalau anda perhatikan
seksama, sampul buku ini memakai
lukisan dari pelukis terkenal Belanda, Rembrandt Van Ryn, yang berjudul “Jacob Wrestling with The Angel.”[1] Lukisan itu memotret puncak atau klimaks dari
perjalanan hidup seorang Yakub, tokoh Alkitab, yang dalam Camp Men’s Breakthrough kali ini menjadi cerminan setiap kita. Refleksi ini memusat pada dua aktor yang
dilukis Rembrandt: Yakub dan malaikat.
Pertama, sosok Yakub. Saya rasa kita semua
akan setuju jika dikatakan: kisah Yakub adalah kisah kita semua, kisah para
lelaki. Ia lahir sebagai anak bungsu
dari dua bersaudara di tengah keluarga yang mengakarkan iklim favoritisme, dan
melegalkan suasana kompetisi yang saling menjegal di antara saudara sedarah.
Kondisi keluarga ini membesarkan Yakub menuju sosok lelaki yang manipulatif, sifat
yang bergaris lurus dengan arti namanya “penipu.”
Lihatlah Yakub, dengan tipu muslihatnya
ia mengambil hak kesulungan dari Esau dengan semangkok kacang merah. Ia menipu
ayahnya juga untuk mendapatkan berkat, sebuah hal yang dipelopori ibunya,
tetapi saya yakin ia menyetujui dan menikmatinya, demi dirinya sendiri.
Yakub lari ke tempat Laban
karena takut atas ancaman Esau, di sini ia menjadi peternak yang berhasil. Lelaki
yang juga pecinta itu pun berhasil mendapatkan gadis idamannya. Ah, bukankah
ini status yang sangat umum harus dan ingin dicapai oleh para lelaki? Lelaki
yang menjadi pemenang adalah seorang penakluk, penguasa, pejuang dan pemilik
keindahan. Ya, Yakub mendapatkan itu semua.
Tetapi benarkah ia lelaki yang menjadi pemenang?
Aksi tipu menipu Yakub tak
berhenti di situ, ia kelabuhi mertuanya sehingga hartanya semakin banyak. Strategi manipulatifnya tak berhenti,
menjelang bertemu dengan Esau, ia membujuk rayu kakaknya dengan harta benda. Namun, semua berubah ketika si lelaki yang mencoba
untuk terus-menerus menjadi pemenang itu, datang ke sungai Yabok, tempat di
mana ia menjadi lelaki yang kalah.
Rembrandt melukis Yakub
sebagai seseorang pria yang gagah, cambang lebat dan kekar adalah tanda seorang
lelaki bagi era Rembrandt. Pakaian yang
dipakai Yakub dalam lukisan Rembrandt adalah pakaian seorang gembala. Jangan membayangkan
gembala sebagai pekerjaan yang mudah, santai dan menyenangkan! Gembala adalah
pekerjaan yang keras: melindungi dari hewan-hewan buas, mengatur domba-domba
dungu, bertarung dengan sengat mentari dan dinginnya tusukan malam. Tentu pekerjaan seorang gembala adalah awal
menjadi seorang pemimpin yang handal. Yakub
telah teruji dalam itu semua.
Maka pertarungan Yakub
dengan sosok Ilahi, seorang malaikat (yang adalah representasi dari Allah
sendiri, melek, yang artinya “utusan”
identik dengan sang pengutus, sehingga pergelutan dengan malaikat ini adalah
pergelutan dengan Allah sendiri), adalah ujian terhadap kekuatan Yakub sebagai
seorang lelaki.
Kekuatan Yakub sebagai
seorang lelaki amatlah kuat, perhatikan Rembrandt melukisnya dengat akurat:
kedua tangannya tak terlihat, mungkin sibuk menyerang untuk mengalahkan lawan. Penulis Alkitab melaporkan, “Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia [Yakub]
sampai fajar menyingsing. Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak
dapat mengalahkannya. . .” Sangat kuat, sangat ambisius, sangat lelaki?
Kedua, sosok malaikat. Lelaki lawan dari Yakub ini juga tak kalah kuat. Menariknya Rembrandt melukis wajah malaikat
sebagai seorang lelaki yang lemah lembut.
Perhatikan matanya yang memandang kepada Yakub. Itu adalah sebuah
tatapan anugerah dan kasih karunia.
Tangannya kanannya memberikan pelukan, tangannya yang lain dan lututnya
menyerang bagian utama pertahanan Yakub: sendi pangkal paha. Kejadian 32:30 menjelaskan bahwa lelaki itu
adalah Allah sendiri. Pihak superior itu memandang dengan mata menyorotkan
kasih karunia, yang seolah-olah berkata kepada Yakub: kapan kamu berhenti untuk
mencari kemenangan dengan caramu sendiri?
Kapan kamu ingat padaku Allah penguasa hidupmu? Tidakkah kamu sadar
bahwa kamu hanyalah sesosok lelaki dengan berbagai kelemahan? Kapan kamu
menyerah kalah?
Kemenangan
Seseorang Yang Kalah
Jika kita perhatikan dengan
seksama kisah di Kejadian 32, orang itu berkata kepada Yakub, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub,
tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan
engkau menang.” Menurut saya,
kalimat ini mengundang banyak pertanyaan.
Jelas-jelas Yakub-lah yang terpukul. Yakub-lah pihak yang kalah. Lagipula, inferioritas Yakub di depan Sang
Malaikat itu begitu ketara. Malaikat itu
memberi nama baru kepada Yakub. Pada
masa itu, pemberian nama oleh seseorang kepada pihak yang lain, menunjukkan
kekuasaan dan kebesaran pihak pemberi nama di atas pihak yang namanya
dibaharui. Oleh karena itu jelas, malaikat-lah pemenangnya dan bukan
Yakub.
Pada akhirnya, Yakub tampil
sebagai lelaki yang kalah, tetapi ia disebut menang. Inilah kemenangan seseorang yang kalah.
Tanpa Yakub menjadi kalah,
ia takkan dapat menjadi seorang pemenang.
Tanpa Yakub mengosongkan dirinya, ia takkan bisa menerima pemberian
Allah. Tanpa Yakub menyerah (surrender) dan mengakui kelemahannya (vulnerable),
ia tidak bisa menikmati anugerah dan kekuatan Allah. Tanpa Yakub melepaskan
genggamannya, ia takkan punya tangan yang terbuka menerima berkat-Nya. Tanpa
Yakub berhenti berusaha dengan caranya sendiri, ia takkan mencapai tujuan dan
rencana-Nya.
Inilah inti menjadi seorang
pemenang dari perspektif firman Tuhan: kalah
di hadapan Allah, supaya kita menang di dalam kemenangan-Nya.
Epilog:
Lelaki yang menjadi pemenang adalah lelaki yang spiritual
Coba anda searching di mesin pencari Mbah Google dengan kata kunci “lelaki”
dan “menjadi seorang pemenang.” Anda
akan menemukan bahwa budaya dunia kita masa kini, memberikan arti lelaki yang
menjadi pemenang dengan gambaran pria-pria kekar, kaya, penuh dengan kekuasaan,
dan dikelilingi wanita cantik. Dari
refleksi kita pada lukisan Rembrandt dan kisah Yakub di Sungai Yabok di atas,
benarkah ini artinya? Sungguh, kita
perlu menggugatnya dan mencari arti yang sejati.
Pada akhirnya, usaha
menemukan dan mengerti arti yang tepat tentang “lelaki yang menjadi pemenang,”
menuntut kita untuk kembali kepada kisah penciptaan lelaki pada Kejadian
1-2. Di situ kita melihat, lelaki
diciptakan dengan hembusan nafas Allah.
Itu berarti identitas lelaki yang sejati, hanya bisa kita temukan di
dalam relasi kepada Allah. Romo Deshi
Rahmadani, SJ menulis:
kepada kita para lelaki, sebenarnya dipercayakan sebuah misi besar misi
besar untuk menyadarkan para sesama lelaki tentang hal ini. Untuk itu, kita sendiri perlu terlebih dahulu
memeluk erat-erat identitas kita sebagai lelaki spiritual. Menjadi lelaki sejati tidak bisa dilakukan
dengan sekadar memilih musik keras, kopi kental atau rokok cerutu. Tidak pula
dengan mengolah otot atau mengumbar kemarahan pada setiap orang yang memotong
jalur kendaraan kita. Jika kita mau
menjadi lelaki sejati, kita harus menjadi sangat spiritual.[2]
Yakub meraih identitas
lelaki sebagai pemenang, ketika ia menemukan damai (rest) di dalam Allah. Saat itulah ia meraih hakikatnya sebagai
lelaki spiritual. Jadi, lelaki sebagai
seorang pemenang adalah berkenaan dengan kehidupan rohani kita.
Sampailah kita pada titik,
di mana kita perlu memandang Yesus Kristus.
Misteri inkarnasi, Allah
menjadi manusia, adalah kisah tentang Allah yang turun dalam rupa seorang
lelaki! Dan tahap-tahap kehidupan Yesus membuktikan bahwa Ia adalah seorang
lelaki sejati.
Ia adalah Putra yang secara istimewa dikasihi oleh Bapa-Nya (boy); Ia adalah lelaki yang siap
bertualang menjelajah wilayah dan tantangan baru (cowboy); Ia adalah lelaki yang melihat jelas sebuah visi baru dan
membiarkan tangan-Nya ikut terkotori, terluka, berlumuran darah, dalam pertempuran
sebagai seorang pejuang yang berani (warrior);
Ia adalah lelaki yang memiliki hati yang mengagumi keindahan manusia yang dari
dalamnya terpancar daya ilahi (lover);
Ia adalah lelaki yang memiliki kuasa begitu besar dan sungguh tahu bagaimana
menggunakan kuasa-Nya agar semua orang yang ada di bawah kekuasaan-Nya dan yang
terbuka pada-Nya mengalami peningkatan kualitas kemanusiaan (king); Ia adalah seorang lelaki yang
kehadiran-Nya selalu dibutuhkan karna dari-Nya terpancar nasihat, peneguhan,
peringatan, dan pelajaran berharga tentang hidup (sage). Benar, lelaki itu
adalah Yesus! Terpisah dari Yesus, kita sebagai lelaki sungguh akan
dibingungkan, tak tahu lagi arah tujuan kita karena Sang Anak Domba Allah
adalah juga Sang Singa dari Yehuda![3]
Saat ini di Camp Men’s Breakthrough, Lelaki Sejati
yaitu Yesus Kristus itu memandang kita dengan wajah-Nya yang penuh kasih
karunia, dan kasih setia Ilahi. Ia
menanti kita untuk tunduk, mengakui kekalahan kita, sehingga kita menemukan
kemenangan di dalam-Nya. Ajakannya
begitu lemah lembut, namun juga begitu dahsyat: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu.”
Maukah anda?
#Tulisan ini ditulis dalam rangka Camp Men's Breakthrough, kisaran bulan Oktober 2013
[1]Lih.
www.gutenberg.org/files/19602/19602-h/19602-h.htm#l
[2]Adam Harus Bicara (Jakarta: Kanisius, 2010) 278. Saya menyarankan untuk
para lelaki dapat membaca buku ini.
Meskipun ditulis oleh seorang Romo Gereja Katolik Roma, kita dapat
menyetujui pendapat-pendapatnya tentang lelaki di dalam buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar