“Halo Ngga, lagi ngapain? Aku lagi ngantor nih. Kok bosen ya?” Kubuka smartphone ku jam 10 pagi ini, dan melihat chat darimu, ah, chat yang sama, tiap hari seperti ini.
“Aku baru bangun, sebentar lagi pergi kok. Ada apa kok kamu bosen Rin?,”balasku sekenanya, sambil kakiku bergerak ke arah dapur. Aku hendak melakukan ritual bangun tidur ku, memasak air untuk menyeduh kopi hitam. Ya. Beberapa waktu yang lalu seorang teman datang dan menghadiahiku kopi bubuk dari Sumatra. Sangat pekat! Dan aku sebagai penantang hidup ini selalu engga meminum kopi dengan gula. Bagiku hidup ini harusnya penuh tantangan. Tantangan itu perlu memahitkan. Kehidupan yang penuh tantangan adalah kehidupan yang memahitkan bukan?
Airin adalah manifestasi tantangan yang memahitkan itu.
“Iya nih, kerjaan banyak, dan itu-itu terus. Mana si boss nggodain terus.” Tak lewat dari 5 menit kemudian gadis itu menjawab chat ku. Ah, Airin memang gadis manis. Tubuhnya semampai, rambutnya gemilang hitam lurus berderai indah, matanya belok bulat hitam berbinar. Kalau ia berjalan di tengah taman ia akan menghadirkan hawa kehidupan yang segera menjalar di antara tetumbuhan dan kupu-kupu. Kalau ia berlari di bibir pantai ia menyambut ombak samudera datang padanya, karena seluruh lautan ingin menari bersama sukmanya yang suci. Kecantikannya khas Nusantara. Kulitnya sawo matang tetapi eksotis. Ah! Bagiku ia adalah Sinta.
Tapi mungkin aku bukan Ramayana. Juga bukan Rahwana. Aku cuma jelata. Memandang dari jarak yang cukup aman untuk tak dibunuh pasukan kerajaan. Memandang dewi yang katanya kecantikannya tiada sanding dan tiada banding. [Ah, bagiku mitologi-mitologi kuno punya keserupaan yang sama: memuja keindahan. Ada Aphrodite di Yunani, Venus di Romawi, Rieke Dyah Pitaloka di sejarah Pasundan-Majapahit, dan banyak yang lainnya. Karakteristik ini menunjukkan manusia punya kerinduan yang satu untuk memuja keindahan. Perempuan adalah keindahan itu.]
“Kamu sih, terlalu menarik,” enggan menjawab banyak, maka ku jawab sekenanya.
Usai menikmati trinitas pagi itu, antara aku, kopi, dan kesendirian, segera aku membersihkan diri. Bekerja sebagai pengajar musik privat memberikanku keleluasaan mengatur waktu. Dan aku masih sempat mendaki gunung di akhir pekan, yang bagiku, itulah sabat dan peristirahatanku. Gunung mengingatkanku dari mana aku berasal. Gunung menyadarkanku siapa ibuku: bumi. Gunung memberikanku kekuatan untuk menghadapi masyarakat urban yang keji dalam konsumerisme mereka.
Hari ini hari Rabu. Tidak ada jadwal mengajar. Maka pilihan yang terbaik adalah nongkrong di kedai kopi milik temanku di salah satu mall besar kota ini. Di sana bukan hanya kedai kopi tempat persinggahan eksekutif muda yang otaknya cuma menumpuk uang dan berlibur itu. Atau anak-anak muda yang hanya bisa berbicara tentang jenis i-phone terbaru, tanpa sadar mereka sedang dibodohi oleh kapitalisme. Atau, cowok-cowok cantik yang mengaku cowok tapi mereka tak pernah tahu arti penaklukan dan kemenangan yang hakiki. Atau, para janda metropolitan yang janjian dengan selingkuhan mereka. Kedai kopi ini, diberi nama temanku Kedai Kopi Jenggot. Temanku begitu tergila-gila pada jenggot Marx hingga di berbagai sudut ia memasang foto Marx. Ya, inilah kedai kopi tempat berkumpulnya peminat sastra dan filsafat, terlebih mereka yang “kiri,” tempat berkumpulnya pembaca Doestoevsky, Tolstoy, sampai Pramoedya Ananta Toer.
Aku bukan seorang Marxist. Aku hanya penyuka kopi. Bagiku ide-ide Marx adalah ide yang gagal total. Kedai Kopi Jengggot itu adalah salah satu simbolnya: berbicara tentang sosialisme tetapi eksis di pusat borjuasi. Ah, naif. Tapi, everything has a price. Demikianlah hidup.
Lama juga aku berefleksi di dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi aku terngiang-ngiang satu kalimat yang kubaca tadi malam: Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat merasakan kesenangannya.
Kulihat handphoneku dan ada 5 missed cal dari nomer yang sama: Airin. Ada apa di siang bolong gadis ini, menelponku? Kangenkah?
Kucoba menelepon dia.
“Ringga, tolong aku segera kamu kesini. Bosku. . . bosku. .”
“Kenapa Rin?”
“Bossku menggerayangiku. . .”
Sial! Terulang lagi kejadian itu.
“Kamu tak apa-apa?”
“Aku tadi untuk dapat lari menyelamatkan diri. Sekarang aku berada bersama-sama dengan teman-teman.”
“Aku segera kesana.”
Kututup telepon, dan segera berangkat. Tak perlu lama untuk sampai ke tempat Airin. 10 menit dengan motorku yang lincah. Sialan! Baru 2 bulan ini bekerja di tempat baru, dan Airin selalu mengalami kejadian yang sama. Kenapa para lelaki di dunia ini berhati busuk dan tak menghormati keindahan? Kenapa kesejatian selalu mereka pahami dengan penaklukan semu?
“Airin kamu tak apa-apa?”
“Ringga? Kamu ke sini?”
“Ya, kenapa ini terjadi lagi? Kamu diapakan lagi?”
“Kali ini sebelum ia membuka, aku sempat memukulnya dengan gelas dan berlari.”
“Bagus”
“Tapi, aku akan selesai di sini, tak ada saksi, aku akan dipecat.”
“Tak apa, lebih baik jadi pengangguran daripada hidup di bawah bayang-bayang kebejatan.”
“Trimakasih Ringga, kamu selalu ada, kamu sahabat terbaikku.”
“Ayo kita pergi. Daripada ada apa-apa di sini.” Bulan lalu aku hampir membunuh seseorang. Memukulkan gitar listrik yang kubawa kepada boss Airin yang, lagi-lagi mencoba memakainya sebagai objek dikuasai. Bagi seorang pendaki sepertiku, aku punya kekuatan yang cukup untuk memukul seseorang sampai terkapar. Lebih baik kejadian itu tak perlu berulang lagi.
Sesampai kami di Kedai Kopi Jenggot, segera Airin tertidur nyenyak di sofa. Di perjalanan tadi ia bercerita kalau semalam tidak tidur mengerjakan tugas kantornya. Huh, eksploitasi pekerja lagi.
Kenapa manusia tidak memahami apa arti keindahan? Kenapa manusia tidak menjaga keindahan?
Kupandang wajah Airin yang begitu teduh dalam tidurnya. Benar kata orang, perempuan menunjukkan keotentitakannya ketika ia tidur. Maka jika kau ingin tahu kecantikan seseorang pandanglah ia ketika ia tidur. Itu adalah momen ketika perempuan, sang keindahan itu, tak dikotori oleh bayangan modernisme dan kepalsuan zaman ini. Bedak dan make up itu adalah kebohongan.
6 tahun aku mengenalmu Airin. Perasaan ini tak berubah. Aku akan selalu menjadi pelindung bagimu. Selalu ada untukmu. Meski aku tak pernah mengenggam dan memilikimu.
“Aku bersyukur selalu ada kamu Ringga, kamu sahabat terbaikku.”
Ya, kau menyebutku sahabat terbaik. Tak pernah lebih. Pernah kuutarakan ingin menggenggam hatinya, dan memenangkan dirinya. Tetapi ia menjawab, “Ringga, kamu sahabatku, entah kenapa itu tak akan berubah.” Jadi hatinya tak pernah memilihku. Lalu siapa?
Entahlah. Barangkali semesta menugaskanku hanya untuk peran ini: peran pelindung keindahan. Ya, di tengah kehidupan yang terus berputar ini, kita punya peran masing-masing. Tugas kita sebagai manusia adalah melakukan peran itu sebaik mungkin. Kalau aku hanya ditugaskan untuk melindungi keindahan itu, maka aku akan mengabdikan diri bagi keindahan itu seumur hidupku. Keindahan adalah milik langit dan bumi. Ia menerbitkan sejuta rasa kekaguman, juga ketakutan.
Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat merasakan kesenangannya.
Hatiku begitu pedih, tetapi aku tersenyum memandang Airin. Orang lain tidak tahu akan kesenangan ini. Kesenangan bahwa aku tahu siapa peranku. Karena aku percaya kalimat Doestoevsky: Beauty will save the world!
To be continued. Ini adalah cerita pendek bersambung, semoga setiap minggu bisa memposting satu cerita secara rutin.
Bengawan Solo, Tunjungan Plaza. 18 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar