Apa arti Pulang? |
Tiba-tiba pertanyaan itu menggerung gelisah dalam
ruang batin. Kemarin aku pulang ke Malang. Aku terheran-heran mengapa aku sangat ingin pulang. Padahal 2 minggu
yang lalu, sebelum sibuk-sibuk Natal, aku juga pulang ke Malang. Seperti biasa
kalau aku pulang ke Malang tujuanku jelas: rumah. Rumah emakku tinggal, dan rumah kakakku.
Aku punya rumah yang lain: rumah di taman wilis nomor sembilan[1] dan kampus di
jalan bukit hermon nomor satu,[2] tetapi kalau masa
liburanku hanya pendek aku sangat jarang mau kesana. Apa yang kulakukan selama
di rumah? Tidur lebih banyak daripada biasanya, membaca, nonton film, ngobrol
dengan orang-orang yang ada di rumah. Lalu malam ini, agak bosan mengerjakan
riset yang mau aku tulis dalam bentuk paper akademik, kemudian glesat-glesot[3]
nggak jelas seperti ulat yang baru diputus cinta, tiba-tiba ruang
simulakrum merayap hadir dalam kecepatan cahaya dan bertanya: apa sih arti
pulang?
(Playlist on: Home by Michael Bubble)
***
Aku pernah diberi kisah menarik. Waktu aku kecil
keluarga kami tak punya rumah. Dan aku, lahir sebagai anak bungsu dari 10 orang
bersaudara. Hmm, sepanjang 23 tahun aku
hidup di dunia setiap aku ceritakan hal ini ke semua orang, mereka pasti
berkata: banyak banget! Emakku, harus aku akui, orang yang kuat hahaha. Aku dilahirkan
dengan kondisi apa adanya, bahkan hampir tiada apa-apa. Rumah dengan bilik
bambu dan beralaskan tanah tanpa semen. Bahkan diceritakan aku dilahirkan tanpa
bantuan dukun beranak! Aku lahir mendekati tengah malam di hari Sabtu Legi,
kata orang Jawa neptu (angka hari lahirku) itu dihitung besar:
15, maka kata Bapakku, dulu ketika beliau masih hidup, aku adalah anak dengan
kemujuran yang paling tinggi.
Sebelum keluargaku punya rumah sendiri, maka kami
harus kontrak. Kata kakak-kakakku, keluargaku waktu itu sangat sering nunggak uang kontrakan. Bapakku cuma security alias satpam dan Emakku tukang
cuci di gereja. Maka, dengan sekian anak
yang harus dihidupi, memang menjadi sebuah perjuangan yang penuh tetes keringat
dan banting tulang dalam arti yang paling literal. Ada cerita bahwa genteng rumah kontrakan kami
diambili karena kami nunggak uang kontrakan berbulan-bulan.
Atau gosip-gosip tentang miskinnya keluarga kami dan utang yang juga banyak.
Ah, situasi yang pasti sulit tentu pada waktu itu. Konon (dan kisah ini dibenarkan oleh kakakku kemarin), aku ini mau
diberikan ke keluarga lain, gara-gara anaknya Bapak dan Emakku sudah terlalu
banyak.
Bapakku dulu anak haji yang kecewa dengan bapaknya
lalu lari dari rumahnya (itulah yang
membuat aku jarang punya cerita tentang kakek-nenek, aku tak kenal!). Beliau bertemu di jembatan merah Surabaya
dengan Emakku yang berusia 16 tahun (beberapa
waktu yang lalu aku menemukan akta nikah mereka yang sangat kuno bin ajaib).
Emakku sendiri berasal dari keluarga yang biasa-biasa, cenderung miskin, yang tinggal
di daerah kumuh Surabaya. Tak kutahu dimana mereka, bahkan saat ini aku sedang
hidup di kota ini, aku tak ingat ada dimana mereka. Kami tak berhubungan sama
sekali seumur aku hidup, kuduga kedua orangtuaku punya kepahitan yang amat besar
kepada keluarga asal mereka.
Lalu pada usiaku yang keenam perbaikan ekonomi kami
mulai terlihat. Kami pindah ke lokasi Klayatan ini. Daerah ini dulunya adalah
daerah pinggiran di kota Malang yang masih sangat murah pada kisaran tahun 1996
(tahun itu mall termegah yang pernah ada di kota ini adalah Ramayana dan
Sarinah). Dengan bantuan kakak-kakakku
yang sudah agak mapan, maka kami membangun rumah. Kalau nggak salah ukurannya
lumayan 5x15 meter bisa jadi lebih. Aku yang
masih kecil (sampai sekarang sih tubuhku
kecil dan kurus, mungkin kekurangan gizi pada awal pertumbuhanku) turut
membantu membangun rumah itu dengan angkat batu-bata. Sembari rumah kami
dibangun pelan-pelan, kami kontrak satu tahun di dekatnya.
Rumah yang beralamat di Klayatan II/60b itu jadi dan
layak ditinggali sekitaran tahun 1997 atau 1998. Aku ingat karena waktu itu aku
menyaksikan kejatuhan Soeharto dari TV cembung 14 inch yang kami punyai. Juga
beberapa tahun sesudahnya ketika Megawati naik tahta. Waktu itu Bapakku senang
sekali! Suatu ketika aku bermain permainan militer, lalu aku menyebut-nyebut
G30s PKI, dan beliau memarahiku! Aku terdiam waktu itu, baru berpuluh tahun
kemudian aku tahu kenapa beliau begitu marah.[4]
Rumah dengan tiga kamar itu menjadi saksi masa
pertumbuhanku. Bagaimana aku berantem dengan kakakku nomer 9 karena rebutan
memindah channel pesawat televisi.
Atau soal menyalakan lampu atau tidak. Atau soal makanan, yang, selalu terbatas.
Sekarang kami bisa dengan bangga mengajak keluarga kami makan di restoran yang
agak mahal.
Rumah itu menjadi saksi bagaimana aku bertumbuh
sebagai seorang introvert. Aku jarang keluar rumah. Paling banter hanya akan
main bola di sore hari atau berlatih di SSB pada minggu pagi sebelum berangkat
ke gereja. Dan karena keluargaku adalah satu-satunya yang pergi ke gereja, maka
di hari minggu aku juga jarang bermain dengan teman di kampung. Aktif di Karang
Taruna pun aku tak pernah. Aku asyik dengan mainanku. Zaman masih SD-SMP, aku suka bermain
robot-robotan, atau dengan kreatif menggunakan benda-benda disekelingku seperti
payung yang sudah rusak sebagai pistol-pistolan (kami juga jarang dibelikan mainan, mainan yang kami punya biasanya
hadiah natal pemberian guru sekolah minggu). Para pahlawan di Televisi seperti
Power Ranger, Satria Baja Hitam,
adalah teman-temanku. Komik seperti Dragon Ball, lalu Seri Tokoh Dunia
adalah sahabat terbaikku. Ah ini dia, yang
menyenangkan sebagai anak bungsu, adalah ketika engkau menerima raport dan hasilnya bagus, maka
kakak-kakakmu akan bertanya: mau dikado apa? Biasanya mereka mengajakku ke toko
buku Gramedia di alun-alun kota. Pada waktu itu, Gramedia adalah tempat yang
kukunjungi hanya pada waktu awal tahun pelajaran atau liburan. Tempat yang
menurutku sangat menyenangkan. Dulu Gramedia tidak membungkus plastik
buku-bukunya sehingga kau bisa membaca buku sampai puas tanpa membeli. Masa-masa
berkunjung ke Gramedia adalah pembentukan kosmologi eskatologisku yang pertamakali:
bagiku Gramedia adalah surga.
Rumah itu sungguh menjadi saksiku ketika aku suatu
ketika dimarahi keras oleh emakku karena mengecewakan mereka. Aku pisuhi[5]
guru bahasa daerahku di SMP dan itu membuatku mendapat nilai moral yang sangat
buruk. Tetapi juga menjadi saksi
masa-masa manis: ketika aku sukses menjadi jawara catur di Kota Malang lalu
bertanding di kejuaran-kejuaran daerah.
Rumah itu juga menyaksikan aku ketika aku, pada suatu
pertandingan penentuan final, melakukan tindakan bodoh: mengorbankan menteri
cuma-cuma dan akhirnya kalah. Sebetulnya aku mau tipu lawanku, tapi aku malah
yang melakukan langkah buta. Kata teman-temanku waktu itu satu langkah yang
senilai 250 ribu. Itu harga juara kami, karena kami sebagai satu grup gagal
jadi juara utama dan hanya sekedar jadi juara dua gara-gara langkahku yang
salah itu. Rumah menjadi saksi betapa aku tidak bisa tidur tiga malam meratapi
kekalahan itu, bahkan terbangun di tengah malam dan memukul-mukul bantal
tidurku. Kesedihan yang level
kesedihannya hanya bisa disamai atau dilampaui momen ketika cintaku hanya
bertepuk sebelah tangan.
Rumah itu menjadi saksi bisu juga, kisaran Juni 2005,
Bapakku yang sudah sakit-sakitan selama setahun lebih, dipanggil oleh Gusti
pulang ke haribaan. Emakku melolong
dengan tangis yang amat keras pada malam itu. Aku yang waktu itu di rumah
sendirian (karena kakakku yang nomor sembilan sudah kuliah di Surabaya),
kebingungan lalu memanggil kakakku yang pertama yang tinggal di RT agak jauh
dari rumah kami. Mulai hari itu rumahku sekaligus menjadi saksi masa gelap
dalam hidupku. Masa aku kehilangan iman, masa aku mencari identitas, masa aku
tak punya harapan dan tujuan.
Waktu SMA aku harus bekerja di toko keluarga milik
kakakku. Nilai-nilaiku jeblok. Karier caturku hancur. Bayangkan saja, jam 7
pagi sampai 2 siang aku disekolah, lalu aku harus melanjutkan berdagang di
pasar Gadang sekitar jam 4 sore sampai 10 malam. Sampai rumah aku kelelahan.
Pernah dalam satu semester, ada sembilan mata pelajaran, dan tujuh diantaranya
aku remidi, hanya dalam pelajaran agama dan penjaskes aku tidak remidi, itu pun
nilainya mepet. Menyedihkan.
Di hadapan teman se SMA-ku dulu aku hanyalah pria
kurus tak berpengharapan, ngantuk ketika kelas, gugup ketika presentasi,
nyontek ketika ulangan harian, cuma bisa berpuisi murahan kepada cewek yang aku
sukai. Setelah aku kelas tiga, maka aku melepas pekerjaan paruh waktuku di toko,
baru prestasiku agak membaik.
Rumah itu juga menjadi saksi perubahan hidupku.
Kisaran tahun 2007 aku mengikut camp kerohanian di sekolahku. Dan disitu aku
rekomitmen ulang percaya pada Kristus, aku tahu saat itu aku lahir baru. Yohanes
3:3 menggema dalam sukmaku yang kosong dan kesepian saat itu. Lalu aku mengambil baptisan selam di
gerejaku: GPdI Hebron. Mulai saat itu aku menggumuli panggilan hidupku sebagai seorang pelayan
Tuhan penuh waktu.
Singkat cerita, dengan bimbingan kakakku yang nomor 5
yang juga pelayan penuh waktu, maka aku kuliah di kampus putih di Jl. Bukit
Hermon No 1. Karena aku harus menginap di asrama, maka rumah pun hanya emakku
yang tinggal. Akhirnya atas kesepakatan keluarga, rumah beralamat Klayatan
II/60 itu dikosongkan dan disewakan sebagai tempat kos-kosan. Emakku diminta
tinggal di Klayatan III/43 bersama kakakku yang keempat. Ini adalah rumah kedua
yang keluarga kami bangun di daerah ini. Kau bisa lihat pemeliharaan Tuhan
dalam hidup keluarga kami bukan?
Sekarang, kalau aku berkata pulang, maka aku pulang ke rumah ini. Rumah yang tidak menjadi
saksi atas hidupku karena aku tak pernah tinggal di dalamnya dalam jangka waktu
tahunan. Paling hanya masa liburan kuliah atau ketika aku ambil jeda dari
pelayanan seperti saat ini.
***
Lalu, kembali ke pertanyaan yang tadi, apa sih arti
pulang?
Aku berpikir-pikir, apa yang membuatku, sehabis
kebaktian buka tahun baru 2014 di hari Rabu kemarin, ingin pulang.
Ah, pada akhirnya rumah bukan soal dimana engkau
tinggal, bukan tempat, bukan gedung. Tetapi pulang
adalah soal memiliki dan menggenggam kenangan. Kenangan bersama
orang-orang. Kenangan pada masa kau berusaha menjadi manusia dewasa. Kenangan,
bahwa ketika dunia melukaimu, masih ada mereka yang menerimamu, yaitu keluarga,
bahkan semengecewakannya keluarga itu.
Kau akan tahu artinya pulang kalau kau sudah mengalami
seperti aku, hidup sendirian di perantauan (agak lebay karena tempatku melayani hanya berjarak 3-4jam dari rumah ini.
Barangkali yang bikin melankolis adalah
frasa “hidup sendirian” hahaha maklum masih single
:p).
Oke deh. Lalu apa artinya pulang?
Pulang adalah
mengingat kembali siapa engkau dulu, menyadari bagaimana besar karya-Nya dan
betapa megahnya lukisan-Nya dalam hidupmu. Sulaman-Nya terdiri dari
benang-benang berwarna: penderitaan, kebahagian, penolakan, penerimaan,
kekecewaan, kesukaan, dendam, pengampunan. Betapa bejana yang retak dan rapuh
ini dibentuk-Nya pelan-pelan. Kadang bejana ini memberontak, dungu dan ricuh.
Tetapi bukankah Ia adalah Allah yang kasih-Nya terus mengejar dan tak peduli
pada penolakan kita? Ia yang tak akan menyerah atas hidup kita yang berharga di
mata-Nya bahkan terukir di telapak tangan-Nya.
Lalu, Ia dengan penyertaan-Nya yang sempurna bersama-sama denganmu dan
membentukmu, sampai saat ini, sampai di titik ini.
Nah sekarang, menutup catatan malam ini, dimanakah engkau
berada sekarang? Di rumahmu? Syukurilah! Tak banyak orang bisa pulang. Di perantauan? Syukurilah!
Karena kau akan bisa pulang. . . . .
. .setidaknya pulang pada kenangan.
***
Matius
9:6
Tetapi
supaya kamu tahu bahwa di dunia ini Anak manusia berkuasa mengampuni dosa –
lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu- : “Bangunlah, angkatlah tempat
tidurmu dan pulanglah ke rumahmu.”
Menarik sekali, usai Tuhan Yesus menyembuhkan orang
lumpuh itu, Ia tidak menyuruhnya pergi memberitakan Injil, tetapi menyuruhnya
untuk pulang. Mungkin, supaya orang lumpuh itu mengingat-ingat kenangan,
seperti aku malam ini, lalu menyadari betapa besarnya karya Allah dalam
hidupnya. Calvin pernah berkata hidup
adalah theatrum Gloria Dei: panggung
kemuliaan Allah. Aku percaya panggung itu kecil terlebih dahulu: rumah kita.
#Klayatan III/43B. 2 Januari 2014. Seharian ini
merenung apa yang akan kulakukan dalam kehidupan pelayananku di 2014. Lalu aku
juga memenuhi diri dengan membaca literatur psikologi remaja dari John W.
Santrock dan naskah berat teolog pascamodern kesukaanku Kevin Vanhoozer, Drama of Doctrine. Tetapi, ternyata
energi terbesar untuk melangkah ke dalam tahun yang akan melelahkan adalah menemukan
Tuhan dan karya-Nya dalam hidupmu. Jelas, karena, pemberian terbaik yang Allah
berikan dalam hidup kita adalah diri-Nya sendiri. Thank you, my sweet Jesus!
Diposting khusus untuk:
1. Zadok Elia, my brother hahaha yang hari ini waktu makan siang bersama dia membaca blog ini dan berkata: aku heran nggak ada cewek yang suka sama kamu. Pernyataan yang memberi semangat di awal tahun. :D
2. Esther Stephanie Hermawan, my best sacred companion hahaha yang waktu kuceritakan kalimat Zadok dia menulis: idem. LOL
[1]Rumah
Perkantas Malang
[2] Kampus
Seminari Alkitab Asia Tenggara
[3] Tidur
tapi nggak tidur, berbaring gelisah gitulah
[4] Aku tahu
kisah kejamnya Orde Baru melalui novel Tapol yang diangkat jadi cerita
bersambung di Koran Jawapos (lupa tahunnya), belakangan semakin tajam dengan
studi pribadiku tentang filsafat Marxisme, dan pembacaan novel-novel seperti
Pulang, Amba, dan biografi Anak-anak Revolusi.
[5] Kata-kata
kotor, makian
nice sharing :)
BalasHapus