Human Existence - What, Why, Who? |
Aku
ingin menembus ruang dan waktu untuk menjumpaimu. Bahkan kalau mampu, aku mau memutarbalikkan
semesta untuk sejumput kenikmatan yang aku rasakan saat memandang titik hitam
di tengah-tengah bola matamu. Karena sebenarnya, aku butuh pengakuan yang
bermertamorfosis menjadi keangkuhan ketika mendaku sebagai pelindung yang
rupawan di hadapanmu. Oh sungguh, tanpa memelukmu, serta merta duniaku laksana
bumi yang menua ini, sakit, sepi dan kalah.
Bukankah kau adalah pusaran lubang hitam yang menarik partikel-partikel
materi disekitarmu, menghancurkannya, lalu menyemburkannya kembali dalam ruang
hampa, sampai mereka membentuk kebendaan dan keberadaan yang baru. Bukankah, kau adalah pusat dari tata surya,
inti dari galaksi, fondasi dari kontelasi semesta yang tak dapat rengkuh oleh
tangan insan yang rapuh ini. Merasakan
suaramu, mendengarkan detak syaraf yang menjalar ketika kau berwicara, lagi
bertatakrama, adalah sebentuk pertautan antara imanensi dan transendisi,
momentum itu layak dihargai dengan apapun, bahkan semilyar megasekon kerjakeras
untuk membayar utang supaya kita bertemu di titik koordinat yang saat ini tak
kuketahui.
Galaksi |
Sayangnya,
di waktuku ini, dimensimu begitu
berbeda. Kau mengada dalam ruang ketidakjumpaan yang hegemoninya melindas
kemewaktuan. Jauh, begitu jauh, sampai
jutaan tahun cahaya yang sanggup kucerna dengan hitungan fisikaku, tak mampu
mendefinisikan jarak diantara aku dan kamu.
Fakta ini dikalikan dengan ketakberhasratanmu untuk menyediakan diri
dirampas oleh renjana yang abadi di dalam sukmaku, mewujudkan sebuah deduksi
sempurna yang memahitkan dan tak dapat dianalogikan dengan melodi segetir apa
pun. Kalau pun bisa kuputar galaksi ini
dan kuremukkan gravitasi yang menarikku untuk tak bergerak dari sisi ini menuju
dimensimu, aku hanya akan menemukan eksistensi yang menolak masa depan yang aku
tawarkan. Lalu tawaranku itu hanya akan
menjadi mimpi yang didekonstruksi terus menerus, dan tak pernah bisa dibangun
menjadi ruang simulacrum yang nyata. Maka dari itu, aku hanya bisa bersenandung
sedih di sini, di dimensiku ini, menulis luapan eksistensiil yang mewakili
megaliter air mata dan sekian juta teriakan sesak dari relung dada paling dalam
yang tak terjangkau oleh homo sapiens mana pun. Mengotak atik mimpi, menawarkan
alternatif opini, sampai aku menyadarkan alam sadarku sendiri, bahwa hidup
sebenarnya hanya soal maukah kau mencandra, mengais, menyusun, merangkum,
mengargumentasikan makna di dalam batas-batas ruang, waktu, dimensi, galaksi,
dan gravitasi.
#Corat-coret
nggak jelas saja, mau mengucap makasih untuk manusia-manusia yang berada dalam
dimensi yang lain, namun ada dalam batin saya belakangan ini, menorehkan vaksin bagi kegamangan eksistensi saya:
Dee Lestari, Gelombang, buku ini memberi inspirasi
untuk memaknai mimpi lebih dari perkara sederhana, juga keinginan untuk pergi
ke area lain di muka bumi ini.
Christoper
Nolan, Interstellar, filmnya
menyadarkan saya akan luas dan hebatnya semesta kita, dan sejuta kemungkinan
eksistensial yang masih bisa kita raih di masa mendatang. Film paling bagus yang kutonton belakangan ini, lebih bagus dari Fury.
Robert Downey, The Judge, tokoh yang diperankannya dengan epic, Hank
mengingatkan saya korelasi antara menjadi professional dan urusan domestik.
Tan Malaka, D.
N. Aidit, risalah-risalah mereka memercikkan harapan tentang Negara sosialisme
Indonesia di masa mendatang.
Paulus, surat
Korintus yang pertama di pasal pertama ayat keempat mengingatkan saya filsafat
hidup yang sederhana: nrimo dan mengucap syukur.
Untuk pemilik
sepasang mata bening di ujung dunia sebelah sana yang takkan pernah bisa aku
jumpai dalam situasi ideal yang aku inginkan, mungkin sampai aku mati, selamat merayakan hari menjadi keberadaan
yang terlempar di tengah dunia ini.
When
everything made to be broken, I just want you, to know who I am.
_Iris,
Go Goo Dolls_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar