Di mata air ada air mata. Di tengah deras hujan ada deras tangis. Itu
lah mengapa ada seseorang yang berkata: “I
love walking in the rain because there is no one can see me crying.”
Belakangan ini langit sering menangis. Aku pun berdansa bersama hujan. Ia
adalah tempat menari paling asyik. Saat dimana aku menjadi diriku sendiri.
Tidak ada orang lain. Hanya aku, hujan, dan langit.
“Airin, kenapa kamu suka berhujan-hujan?” ah, Ringga memang perhatian,
sahabatku yang satu ini. Pendaki gunung yang melankolis sekaligus guru musik
yang misterius.
“Karena aku bisa merasakan diriku sendiri.”
“Aneh, kamu kan bisa sakit”
“Tidak. Saat hujan aku bisa semakin dekat dengannya.”
Dengannya. Dengan seseorang lelaki yang kukagumi sejak aku kecil. Lelaki
yang aku cintai. Lelaki yang kepadanya hatiku telah memilih dan akan berpasrah.
Lelaki yang menerbitkan aksara-aksara asmara yang indah layak untuk dibaca.
Lelaki yang suaranya begitu gagah bak gelombang samudera, tetapi matanya begitu
biru dan meneduhkan laiknya langit teduh di kala senja. Lelaki yang hilang di
telan hujan.
“Oh begitu.” Ringga terdiam. Ringga tidak pernah tahu siapa dia. Ringga
baru datang dalam hidupku 6 tahun belakangan ini. Ringga punya kekuatannya
tersendiri. Setiap lelaki punya kekuatannya masing-masing. Dan mereka
berlomba-lomba kepada kita para wanita, menawarkan kekuatan mereka
masing-masing kepada kita. Karena mereka pecinta keindahan. Sayangnya sebagian
lelaki adalah pengemis dan tidak pernah berusaha menawarkan kekuatannya.
Sebagian yang lain menaklukkan untuk kenikmatan mereka sendiri.
“Hei, jangan diam dong, Sang Mesias, hehehe”
“Heh, Mesias?”
“Iya kamuu..”
“Kok bisa?”
“Ya iyalah, 10 menit nelpon terus datang gagah dengan motormu.
Nyelametin diriku sahabatmu ini. Mesias dong. Mesias kan mereka yang berani
mati demi sahabatnya?”
“Ya elah..”
“Kok ya elah?”
“Gakpapa”
“Hihihihihi.. Ayo minum teh. Sekarang kamu minum teh ya?”
“Nggak mau, aku mau bikin kopi sendiri”
“Yeee.. Teh juga punya kadar kafein untuk memutarbalikkan senyawa
adenosin kok.”
“Ya, tapi beda doong rasanya.”
“Teh itu mendamaikan Ringga.”
“Ya ya ya.”
Kami selalu bertengkar soal minum teh dan kopi. Bagiku minum teh adalah
upaya menghirup kedamaian. Teh menawarkan ketenangan dan kedamaian. Kopi di
sisi lain menyodorkan dimensi-dimensi kegairahan, tantangan, letupan-letupan
emosional, sisi di mana Ringga ada.
“Kayaknya kamu jadi nggak cerewet kalau pas lagi nge-teh?” Ringga
tiba-tiba menyahut.
“Hahahahaha. Aku sama papa dan mama selalu minum teh sejak kecil. Bagi
keluarga kami, minum teh itu adalah ritual sakral. Tempat di mana kami diam
dari keributan dunia. Saat di mana kami ada dan saling memerhatikan satu dengan
yang lain. Makanya, jadi diem deh..”
Aku ingat masa-masa itu. Masa-masa yang telah lama. Ah memang, rumah
baru terasa rumah setelah kita meninggalkannya. Tetapi hidup toh harus
demikian. Kita meninggalkan untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Kita
melepaskan yang lama untuk menggapai pengalaman-pengalaman dan
kemungkinan-kemungkinan yang baru. Tapi aku jadi kangen rumah. Papa dan Mama,
juga adikku, Arista. Sebenarnya aku adalah anak angkat dari Pada dan Mama. Aku
berasal dari keluarga yang mempunyai banyak anak. Aku anak yang ketujuh dari 5
kakak perempuan dan 1 kakak lelaki. Di usiaku yang baru menginjak 7 tahun papa
dan mama mengadopsiku. 9 tahun kemudian mereka mengadopsi Arista. Papa dan
Mama, entah kenapa tidak bisa memiliki anak. Tetapi ternyata anak bukan hanya
masalah biologis. Anak adalah kepemilikan dari sebuah pemilihan. Aku merasa
Papa dan Mama mencintaiku, membesarkanku dengan kasih. Mereka menerimaku apa
adanya. Mereka memberiku arti tentang kedamaian, cinta dan kasih. Dan mimpiku
selama aku hidup cuma satu: menawarkan kedamaian. Itulah mengapa aku suka minum
teh.
Selain hujan dan teh aku sangat suka pada anak-anak. Doestoevsky,
penulis yang amat disukai Ringga pernah menulis: The soul is healed by being with children. Selain bekerja mencari
uang, aku menyempatkan hari Rabu dan Sabtuku untuk mengajar di sebuah tempat
les kecil, sebuah lembaga sosial non profit memiliki pelayan anak-anak jalanan
dan aku tergabung di sana. Di sinilah aku bertemu Ringga. Kenapa anak-anak
jalanan? Karena di situlah aku memahami rasanya berbagi dengan mereka yang
berkekurangan. Mereka yang jarang mandi dan disentuh oleh kita, orang-orang
kota. Suatu ketika aku memandikan seorang anak jalanan, Tole[1]
namanya. Lusuh! Kotor! Dekil! Tetapi aku menurunkan harga diriku. Aku
memegangnya, menggosok tubuhnya, mengambil kotoran dari telinganya, menyabuni
dan menyamponinya. Penjaga WC umum geleng-geleng melihatku, mungkin heran
kenapa ada gadis cantik muda mau memandikan anak orang, anak jalanan yang
kotor. Usai memandikan Tole, aku menghanduki dan memakaikannya baju. Lalu aku
menghantarkannya pada Ibunya (yang katanya akan memukulinya kalau ia tidak menyetor
uang, eksploitasi yang kejam kepada anak!), dan ketika kami harus berpisah aku
memeluknya. Anehnya, ia tidak segera melepaskan pelukannya padaku. Ternyata
sentuhan bisa berbicara lebih banyak dari kata-kata. Kita bisa mengubah sebuah
jiwa dengan menyentuh. Mereka hanya bisa berbahasa kekasaran dan kekerasan.
Padahal di dalam setiap jiwa merindukan kasih. Pada setiap jiwa ada ruang yang
kosong yang rindu diisi oleh perhatian dan kasih sayang.
“Lho kok jadi diem?” Ringga tiba-tiba menghentakku dari lamunan.
“Eh.. hehehehe, iya nih lagi mikir.”
“Emang orang Feeling bisa Thinking?”
“Bisa laaaaaaah”
“Hahahaha.”
“Eh, ayo muter lagu.”
“Lagu apa? Gimana kalau aku main gitar?”
“Boleh dong.”
Lalu Ringga menyanyi dengan merdu. Seperti sihir ia menarikku dalam
sebuah pusaran. Ia tahu selera laguku. Dan ia menyanyikan sebuah lagu yang
akbar. “You may say I'm a dreamer. But I'm not the
only one. I hope someday you'll join us. And the world
will be as one.” Kami sama-sama pemimpi. Pemimpi akan dunia yang lebih baik. Itulah
mengapa ia menjadi sahabat terbaikku. Trims Ringga. Kamu benar-benar Mesias.
22 September 2013. Pregolan Bunder 36. Kamar Pojok Yang Hening di tengah
Masyarakat Urban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar