Belakangan ini problema kejahatan
moral menyeruak bagai aliran banjir deras di masyarakat kita. 1 September 2011,
seorang wanita berumur 27 tahun berinisial RS diperkosa di sebuah angkot di
Jakarta. Pertengahan Agustus, mahasiswi Bina Nusantara, Livia, juga dibunuh
setelah diperkosa. Rangkaian kejahatan moral sejenis pun sangat ranum menghiasi headline media massa Indonesia. Harian Kompas (Senin, 19 September 2011) melaporkan
bahwa kasus pemerkosaan di lima wilayah DKI Jakarta sampai Juni 2011 terhitung
8 kasus, tentu itu data yang kasat mata, entah berapa yang tidak. Bagong
Suyanto, Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Universitas Airlangga, mengurai sebuah
data yang mengerikan bagi bangsa kita, yang konon, katanya beragama dan
bertuhan ini. Beliau berkata, “Studi yang saya lakukan pada 2002 membuktikan
bahwa dari sekitar 300 kasus perkosaan yang terekspose media massa, ternyata
korban pemerkosaan adalah bocah perempuan berusia 2 tahun hingga nenek-nenek
berusia 70 tahun . . .”[1]
Ketika memperhatikan fakta dan realita dunia ini, penulis merasa shock dan berpikir “manusia apa binatang
ya yang melakukan kejahatan seperti
itu?”
Lebih memprihatinkan, ditemui
kecenderungan bahwa masalah kejahatan moral seperti itu disikapi dengan kurang
arif oleh pemerintah. Fauzi Bowo, gubernur DKI Jakarta, mengatakan bahwa
pemerkosaan itu terjadi karena salah perempuan yang memakai rok mini di tempat
umum dan akhirnya “menggoda” kaum lelaki. Tanggapan yang muncul pun beragam.
Kaum feminis merasa bahwa statement
itu sangat mendegradasikan perempuan dan cenderung menyalahkan korban. Dalam
poin ini, penulis sepakat dengan Julia Suryakusuma[2]
bahwasanya pemerkosaan bukan berawal dari baju yang dipakai korban. Tetapi,
pada hakikatnya si pelaku sendiri yang salah dalam an sich-nya. Komentar Fauzi Bowo dan seorang kepala daerah di Aceh
yang berkata, “perempuan yang tidak memakai baju syariah, layak diperkosa”
sangat naif dan menghina perempuan, bahkan
juga menghina kaum laki-laki! Bukankah dengan kalimat
itu, mereka melegitimasikan kaum Adam untuk melakukan tindakan amoral seperti
pemerkosaan itu? Bagi penulis—yang tentu saja adalah lelaki tulen-, kalimat itu
adalah penghinaan besar yang mendegradasikan derajat umat manusia—serta derajat
laki-laki- seperti binatang semata-mata.
Tapi realita menanti jawaban pasti,
pertanyaan penting yang kini perlu
dijawab adalah mengapa kejahatan
moral, seperti pemerkosaan ini dapat terjadi?
Menjawab problem ini adalah krusial, karena data-data di atas melantunkan
raungan melodi kepedihan yang menunjukkan masalah yang akut, membuncahkan
realitas moral bangsa yang korup. Padahal moralitas jelas adalah salah satu
dimensi pembangunan manusia Indonesia. Bukankah manusia Indonesia dikenal
dengan watak luhur dan nilai-nilai moral yang adiluhung? Di sini penulis akan
mengeksplorasi problema ini dari kacamata seorang intelektual
Kristen-Indonesia.
Pertama-tama,
harus diakui bahwa kasus pemerkosaan dan kejahatan moral disebabkan oleh banyak
faktor. Reza Indragiri Amriel, psikolog forensik Universitas Bina Nusantara,
menjelaskan bahwa kejahatan jalanan banyak terjadi akibat dari gaya hidup buruk
sebagian masyarakat. Gaya hidup itu berkaitan erat dengan minuman keras, judi,
juga prostitusi.[3]
Bagong Suyanto dalam artikel yang sama
dengan yang penulis kutip di atas, berargumentasi bahwa
kejahatan pemerkosaan adalah bagian dari kekerasan gender, yakni kekerasan yang
diakibatkan latar belakang pelaku yang menempatkan perempuan dalam posisi
marginal dan tersubordinasi. Dua pendapat tersebut menegaskan bahwa tindakan
kejahatan moral seperti pemerkosaan terdiri dari banyak faktor, baik faktor
buramnya ekonomi, sengkarutnya pendidikan, maupun runyamnya aspek
sosiologis-kultural. Tetapi apakah itu faktor utama? Menurut pendapat penulis
sebagai intelektual Kristen, membanjirnya kejahatan moral di bumi Indonesia ini
diakibatkan oleh kesalahan dasariah manusia. Kesalahan dasariah itu yakni
kesalahan tafsir, mis-interpretation,
salah pemaknaan terhadap hakikat tubuh manusia. Kesalahan yang menghujam
manusia sejak awal peradaban!
Romo Deshi Ramadhani. SJ, Dosen Sekolah
Tinggi Filsafat Driyakara, mengutarakan demikian, “memahami tubuh manusia
adalah sesuatu yang pada dasarnya akan sangat menentukan bagi dunia dan seluruh
sejarah peradaban dan budaya manusia.”[4] Ya,
pemahaman dan pemaknaan terhadap tubuh manusia adalah dasar utama untuk menelisik kasus-kasus
kejahatan moral di depan kita. Membludaknya kejahatan moral yang mewujudrupa
dalam tindakan pemerkosaan di bangsa ini menunjukkan ketidakmengertian manusia
Indonesia terhadap hakikat asalinya sebagai manusia yang bertubuh.
Tanda-tanda realita terjadinya
kesalahan tafsir terhadap tubuh manusia dapat banyak ditemukan. Coba saja anda
mengamati sampul majalah fashion atau
majalah lelaki, anda akan menemukan perempuan-perempuan dengan tubuh yang
indah, (dianggap) sexy, dan segala
macamnya. Model-model ini akhirnya membentuk cara pandang kita terhadap tubuh.
Membuat rasanya tubuh manusia yang ideal haruslah seperti itu, sexy dan menarik. Itu bagi perempuan.
Bagi pria? Sama saja. Coba tengok model-model parfum, mobil, dan segala sesuatu
tentang pria, mereka adalah model pria dengan rambut bergaya masa kini, tubuh
atletis dengan perut six-pack, dan tampang
yang rupawan. Para pria pun merasa bahwa tubuh mereka harus seideal itu.
Akhirnya, tubuh manusia dinilai menurut tampilan luarnya. Tampilan luar yang
ideal itu yang harus dicapai, digenggam, dan diupayakan. Menjamurnya
salon-salon kecantikan, serta berseminya ladang operasi plastik, baik yang
legal maupun ilegal, menjadi justifikasi utama. Berapa banyak kaum remaja putri
yang merelakan uangnya untuk mengoperasi tubuhnya, demi hidung lebih mancung,
paha lebih kencang, dan ribuan bentuk tubuh lain yang hendak digapai. Semua
yang dilakukan ini semata-mata karena mereka memahami bahwa seolah-olah hakikat
tubuh manusia ditentukan oleh tampilan luar.
Fakta di atas juga mempertautkan
kita pada kesimpulan yang lain, yaitu tubuh manusia menjadi objek materi atau
objek pertukaran uang semata-mata. Beberapa waktu yang lalu dilaporkan oleh harian
Jawa Pos, adanya aktor dan aktris yang bagian tubuhnya diasuransikan dengan
harga yang tentu saja membuat mata terbelalak. Di tempat lain, cobalah tengok
misalnya, sebuah pameran otomotif, apa yang ditampilkan oleh pemilik produk dari
pameran tersebut selain produknya –mobil misalnya-? Tentu seorang model! Model
yang cantik, yang kalau bisa memakai rok mini, dengan paras elok, berusaha mendekap para customer. Bukankah di situ tubuh menjadi
komoditi? Tubuh manusia dipakai menjadi alat untuk mendapatkan materi atau
uang.
Justifikasi mutlak sebagai tanda terjadi
salah tafsir terhadap pemahaman tubuh manusia adalah kepercayaan bahwa seks
adalah hal utama yang hendak dicapai. Lihatlah koran-koran lokal, produk-produk
yang menjual alat bantu demi mencapai kepuasan seks amat sering nampang di iklan. Semboyan “alami
kepuasan seks, maka keluarga anda akan bahagia” juga begitu sering kita dengar.
Adiksi terhadap seks menjadi salah satu kecanduan pekat yang hadir dalam
masyarakat kini! Tanyakan kepada anak-anak remaja di sekeliling kita,
pembicaraan apa yang menarik buat mereka. Pasti sebagian besar mereka akan
menjawab bahwa obrolan tentang seks mungkin adalah yang paling menarik hati, sekaligus bikin
penasaran. Menjamurnya bisnis pornografi juga menegaskan bahwa seks menjadi
tujuan utama yang hendak dicapai. Dan ingatlah, seks itu memakai tubuh! Pandangan bahwa seks adalah suatu hal utama
yang hendak dicapai membuat manusia memakai tubuhnya atau memandang tubuh
sebagai alat untuk mencapai kepuasan itu. Kemudian lahirlah usaha-usaha tidak
wajar untuk mencapai kepuasan itu, perselingkuhan, pemakaian alat bantu
seksual, jajanan di prostitusi, sampai kejahatan moral dalam wajah pemerkosaan.
Dengan kesalahan tafsir itu, manusia Indonesia yang adiluhung itu pun terjerembap
dalam lingkaran kejahatan moral, yang merupakan selubung pekat, membuat kita
meratap dan kini harus menggugat.
Dalam terpaan realita-realita yang
menyedihkan itu, yang sesungguhnya mendehumanisasi manusia, penulis merasa
bahwa manusia Indonesia perlu memahami arti hakiki tentang tubuh. Hakiki atau
hakikat artinya adalah hal yang esensial,
yang mendasari dari eksistensi, mendasari keberadaan (ground of being). Pemahaman yang sejati tentang hakikat tubuh harus
ditelusuri di dalam sejarah keberadaan manusia. Seluruh agama mempercayai bahwa
manusia diciptakan oleh Sang Khalik. Karena itu, upaya mencari pengertian yang
tepat tentang tubuh harus dilihat dari narasi kisah penciptaan manusia, di sini penulis
mengupayakan sebuah perspektif dari iman Kristiani.
Dalam kitab suci Kristen, teks Kejadian
1:27 dituliskan demikian, Berfirmanlah
Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap
di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Teks ini memberikan informasi pada kita bahwa Sang Khalik menciptakan
manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Artinya, manusia adalah representasi dari
keberadaan Tuhan dan manusia memiliki karakteristik Sang Pencipta di dalam
dirinya (natur ilahiah).
Lebih dari itu, narasi penciptaan mengisahkan
bahwa Adam diciptakan dari debu tanah, lalu dihembuskan nafas kehidupan oleh
Sang Khalik. Inilah yang membuat manusia begitu berbeda dengan ciptaan yang
lain sebab manusia dapat hidup karena memiliki nafas dari Sang Pencipta
sendiri. Kejadian 2:7 pun dituliskan, “Ketika
itu TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” frasa membentuk
manusia di sini artinya “membentuk sebuah tubuh manusia.” Tentu saja,
representasi Ilahi di dalam diri manusia ini termasuk juga dalam tubuh manusia,
karena hanya tubuh manusia saja yang dapat memperlihatkan apa yang spiritual dan
ilahi. Tubuh manusialah yang merefleksikan persona,
diri manusia secara utuh. Pada
dasarnya tubuh manusia berkaitan erat dengan eksistensi manusia sendiri. Tanpa
tubuh, manusia tidak akan pernah ada. Tubuh yang diciptakan Sang Pencipta itu
pun bagian dari gambar dan rupa Allah. Istilah teknisnya, manusia adalah imago Dei.
Pemahaman tentang manusia sebagai
gambar dan rupa Sang Pencipta sesungguhnya amat subversif-revolusioner pada
konteks Mediterania kuno–tempat mula di mana teks kitab suci ditulis. Di daerah
Mesir Kuno, manusia yang dianggap gambar dan rupa Allah hanyalah sosok yang
berkuasa dan itu adalah raja Mesir. Sedangkan manusia yang lain dianggap sama
seperti binatang. Inilah alasan yang mendasari hadirnya perbudakan serta
transaksi manusia. Tetapi, kisah penciptaan dalam kitab Kejadian ini menantang
pemahaman waktu itu! Nyatanya semua manusia adalah gambar dan rupa Tuhan, representasi
Ilahi sendiri, pribadi yang memiliki karakter dan natur Ilahi. Manusia pun–di
segala tempat, segala ras, warna kulit-adalah individu yang mulia, bernilai
tinggi. Tentu, termasuk tubuh yang merefleksikan eksistensinya.
Pemahaman bahwa manusia adalah representasi
dan berkarakter Ilahi itulah yang membuat manusia masih mempunyai ide-ide
tentang moral. Dalam filsafat Imannuel Kant, disebut sebagai imperatif kategoris, yaitu kebenaran
pada dirinya sendiri yang tidak perlu dipertanyakan. Tubuh pun adalah bagian
dari representasi Ilahi itu. Oleh sebab itu, kita tidak boleh memandang tubuh
sekedar komoditas materialis, atau objek eksploitasi. Apabila itu dilakukan, tidakkah sebuah
penghinaan sedang kita kerjakan terhadap Sang Pencipta? Dan, tidakkah jelas penghinaan pula
terhadap diri kita sendiri, sebagai makhluk
yang berbudi dan bermoral? Benarlah diktum terkenal dari novelis
legendaris Rusia, Aleksandr Solzhenitsyn, “men have forgotten God, that’s why all this happened.” Kehancuran moral manusia dikarenakan
manusia melupakan eksistensi asalinya, melupakan Sang Khalik, Tuhan Pencipta, causa prima dari keterlemparan manusia
ke dalam dunia.
Berkaitan dengan seks, apa makna
hakikinya? Romo Deshi Ramadhani dalam buku Lihatlah
Tubuhku memperlihatkan bahwa seks atau persetubuhan bukan sekadar bertujuan
untuk biologis, tetapi mempunyai dimensi teologis. Pada mulanya, manusia
diciptakan laki-laki saja, yakni Adam. Kemudian di dalam proses kehidupannya,
manusia mengalami “kesendirian asali” (original
solitude), yang membawa manusia ke dalam pencarian akan sosok yang lain
yang melengkapi keberadaannya. Di situlah, Sang Khalik bertindak dengan
membentuk manusia yang lain, perempuan, Hawa, sebagai penolong bagi manusia
pertama, Adam. Tindakan
Ilahi itu pun membawa kehadiran seksualitas atau persetubuhan dalam kehidupan
manusia. Inilah mengapa ada dimensi teologis dalam persetubuhan.
Daripada itu, persetubuhan adalah communion personarum, yakni kesatuan
antar-pribadi, laki-laki dengan perempuan, yang satu dengan yang lain disatukan
dalam pemberian total kepada pasangannya. Ini disebut arti nupsial, atau original unity. Persetubuhan atau seks
adalah momen yang diciptakan Sang Pencipta di mana dengan sepenuh cinta setiap
pasangan mengungkapkan dirinya pada pasangannya. Momen ini tidak mungkin
digapai jika manusia sendirian, atau berelasi dengan bukan lawan jenis (homoseksual). Romo Deshi berkata,
“Persatuan suami dan istri menjadi ‘satu daging’ adalah sebuah bentuk
keikutsertaan manusia secara nyata di dalam seluruh karya Tuhan Pencipta sejak
semula.” Dalam persetubuhan, manusia turut berkarya dalam karya ciptaan Ilahi
untuk menuju kesinambungan umat manusia di bumi ini. Lagipula, manusia
mempunyai tugas untuk memelihara bumi. Manusia harus menjaga dunia ciptaan
Ilahi agar dunia ciptaan mampu
berharmoni dalam kehidupan manusia. Tentu saja, tugas itu tidak mungkin dikerjakan
jika manusia tidak melakukan persetubuhan. Jika demikian, seks juga tidak boleh
dipandang sebagai objek pemuasan biologis belaka. Tanpa dimensi teologis, manusia
menjadi setara dengan animal, yang
memakai seks dengan
alasan biologis saja. Terlebih, pemerkosaan terhadap sesama manusia yang
mempunyai tubuh, adalah degradasi terdalam dalam kehidupan seksualitas manusia–yang
ilahi dan luhur itu!
Berdasarkan uraian di atas, telah
kita dapatkan dua pemahaman utama tentang hakikat tubuh manusia yaitu (i) tubuh
manusia sebagai gambar dan rupa Ilahi, serta (ii) persetubuhan sebagai
representasi keterlibatan manusia di dalam karya ciptaan Ilahi. Dua kesimpulan
dasar tersebut mengurai kesadaran bahwa dunia di mana kita berada menghadirkan
pandangan-pandangan palsu. Pornografi, kaum nudist,
serta mereka yang memuja seks dan tubuh tidak menyajikan pemahaman yang hakiki.
Pengaruh ateisme Nietzsche, subjektivitas pascamodern, humanisme, sekularisme, materialisme,
serta hedonisme, bercampur pekat dalam problem ini. Hanya satu jalan untuk menjawab
problem kejahatan moral yang mewujud dalam aksi-aksi pemerkosaan dan kebejatan
yang lain, yaitu dengan mengembalikan makna tubuh ke dalam makna hakikinya (makna
asal mulanya)!
Satu hal yang harus kita sadari, mengatasi
kejahatan moral di bumi pertiwi ini tidak bisa memakai jalur kekerasan melalui
hukum. Betapa pun syariah agama ditegakkan, kejahatan moral semacam pemerkosaan
akan tetap akan terjadi. Pemerkosaan bisa menimpa siapa saja. Imam Katolik yang
menerapkan hidup selibatisme dengan ketat toh
juga terbukti melakukan pelecehan seksual. Semua agama pun sama saja, jika
penganutnya, dalam melihat atau memahami tubuh terseret oleh arus pandangan
dunia masa kini, maka mereka juga rentan melakukan kejahatan moral. Oleh karena
itu, semestinya, pandangan penulis tentang hakikat tubuh di atas serta makna
persetubuhan secara teologis dapat diterima lintas-agama sebagai kebenaran yang
universal, terlebih manusia Indonesia.
Bayangkan jika seluruh umat manusia
kembali memahami tubuh sebagai bagian dari natur Ilahi. Tentu manusia tidak
akan seenaknya saja menjadikan tubuh sebagai budak kepuasan nafsu. Manusia
tidak akan menjadikan tubuh sebagai objek materi. Manusia tidak akan menjadikan
seks sebagai sebuah mahkota yang hendak dituju. Karena sesungguhnya, ketika itu
dilakukan, manusia tidaklah menjadi manusia. Manusia turun derajatnya, sama
seperti binatang, yang memakai tubuhnya dengan alasan biologis belaka!
Pemahaman ini harus diupayakan agar
dapat dimiliki setiap manusia Indonesia. Jika setiap makhluk Indonesia,
menyadari bahwa sebenarnya diri mereka adalah ciptaan Ilahi, yang tidak sama dengan
ciptaan yang lain, reformasi moral yang besar tentu akan terjadi di bangsa ini.
Manusia Indonesia tidak akan dengan mudah terbekap dalam pemahaman yang palsu tentang
tubuh, yang mendegradasikan natur dan hakikat kemanusiaan sampai titik
terendah. Manusia Indonesia akan menunjukkan keberadaannya sebagai bangsa yang
luhur secara moral. Inilah titik pijak untuk kita dapat membangun Indonesia, yang
dimulai dari pembangunan karakter, serta kebijaksanaan moral. Kembalinya watak
adiluhung itulah yang membuat kita, manusia Indonesia, sepenuhnya menjadi Indonesia.
Pemahaman ini harus disebarkan
secara luas melalui facebook, twitter, dan
alat komunikasi massa lainnya. Peran lembaga pendidikan pun berpengaruh. Terlebih,
universitas sebagai sarang kaum intelektual. Universitas seharusnya
mengembangkan kesadaran mahasiswa tentang hakikat tubuh manusia. Bukankah
mahasiswa dengan segala tetek-bengek kehidupannya
toh juga seringkali dianggap ladang
subur kebiadaban moral? Fenomena ayam
kampus, persetubuhan di luar nikah yang dilakukan mahasiswa di kos,
pornografi yang merajalela dalam lingkungan intelektual adalah bukti bahwa
mahasiswa—yang selalu disebut, dengan soknya, agent of change itu-mengalami penyelewengan dalam pemahaman
terhadap tubuh manusia. Tidaklah mengejutkan jika kaum intelektual, yang adalah
pangkal perubahan bangsa terjerembap dalam problem akut, bangkrut dan korup
secara moral, maka bangsanya pun turut bangkrut dan korup! Soe Hok Gie,
intelektual muda legendaris Indonesia, pernah menulis, “mahasiswa
harus melepaskan diri dari masyarakat yang penuh kepalsuan.” Ya, terlebih kepalsuan-kepalsuan
dalam persoalan-persoalan moral.
Akhirnya, aku hendak menantang
pembaca. Apa pemahaman anda tentang tubuh anda, tubuh lawan jenis anda, dan
tubuh manusia secara utuh? Sebagai objek yang harus dinikmati, dikuasai, serta diekploitasi?
Ataukah sebagai sebuah subjek yang berkarakter ilahi dan bernilai istimewa? Transformasi
bangsa Indonesia terjadi ketika manusia Indonesia menggenggam kembali pemaknaan
tentang tubuh dengan hakikat yang sejati. Jika anda menolak pemahaman hakikat
tubuh yang sejati, barangkali absah saja bila penulis mengatakan: anda perlu
mempertanyakan jati diri anda sebagai manusia!
#Tulisan ini adalah
sebuah arsip lama, kalau tidak salah kuajukan untuk sebuah lomba yang diselenggarakan
Tempo. Tetapi rasanya, ide yang kuungkapkan tetap relevan bagi masa kini. Thanks kepada sahabatku Mb OP (Maria Oktaria Putri), yang dahulu kala mengeditnya.
[3]“Tiga
Pemerkosa RS Ditangkap” Kompas, 22
September 2011.
[4]Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks
Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta:
Kanisius, 2009) 11. Esai ini ditulis
dengan berhutang ide pada beliau yang mengenalkan penulis
pada teologi Tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar