Pendahuluan
Saya
yakin kita semua tahu Fauzi Bowo. Dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu ia mengajukan
diri lagi sebagai gubernur, namun gagal. Yang menarik, ada sekelompok
masyarakat melalui Facebook mendirikan
Gerakan Anti Foke. Slogan mereka: “siapa pun gubernurnya boleh, asalkan bukan
Foke.” Ternyata, mereka adalah kalangan yang kecewa pada Foke yang dianggap
gagal sebagai pemimpin yang menepati janji. Pada tahun 2007 ketika ia
menggantikan Sutiyoso, ia punya slogan “serahkan Jakarta pada ahlinya.” Tapi, kenyataan
di lapangan mempertanyakan keahlian si Pak Kumis itu, buktinya kemacetan dan
kemiskinan toh masih menjadi masalah.
Foke Pak Kumis, dinilai gagal menepati janji.
Dapat kita lihat bahwa salah
satu penilaian terhadap seorang pemimpin adalah kesanggupan menepati janji. Padahal, bukankah pada hakikatnya hidup kita adalah
rangkaian janji dan komitmen? Coba pikirkan, ketika menikah, ada tanda janji setia yang melingkar
di jari manis. Pun demikian, dalam relasi kita dengan Tuhan, kita turut penuh
dengan janji-janji dan komitmen-komitmen.
Problemnya, sebagai
manusia yang rapuh, seringkali kita lupa tentang janji yang pernah kita ucapkan
di hadapan Tuhan. Kita sering melantunkan nyanyian yang isinya adalah
janji-janji kita bukan? Misalnya, janji hidup kudus, melayani setia dan lain
sebagainya. Namun, sesering kita bernyanyi, sesering pula nyanyian itu berakhir
menjadi karaoke rohani yang kosong, nyanyian tanpa arti karena janji yang lupa
ditepati. Ketika, janji diingkari efeknya selalu negatif,
hubungan dengan Tuhan memburuk dan seringkali berjalan di tempat. Oleh karena
itu, sejatinya dalam kehidupan berelasi dengan Tuhan, adanya pembaharuan janji
adalah perlu, supaya kita bisa melangkah dalam level yang baru hubungan kita
dengan Tuhan.
Firman Tuhan dalam Yosua 24 ini mengajak kita untuk memperbaharui janji-janji kita sehingga hubungan kita dengan Tuhan pun
diperbaharui. Pertanyaannya, janji apa saja yang perlu kita
perbaharui?
Pertama,
Janji hidup takut akan Tuhan
Penjelasan
Pasal 24, adalah puncak atau
klimaks kitab Yosua, bahasa kerennya, final sequence menunjukkan pentingnya
kisah ini. Latar belakang pasal 24 yaitu Sikhem adalah satu tempat istimewa
bagi bangsa Israel. Setiap bangsa setidaknya selalu punya satu tempat istimewa
yang bersejarah. Misalnya, Prancis dengan Arc
de Triomphe yang adalah monumen kemenangan pada era Napoleon Bonaparte,
atau Amerika Serikat dengan Patung Liberty-nya yang adalah monumen peringatan
100 tahun kemerdekaan Amerika. Israel punya Sikhem. Di situ Yosua meminta
seluruh bangsa Israel berkumpul di hadapan Allah. Sikhem adalah tempat yang
istimewa karena di sana banyak terjadi peristiwa penting. Ia adalah tempat di
mana Tuhan pertama kali menampakkan diri pada Abraham, juga tempat Yakub
mendirikan mezbah bagi Tuhan. Jadi, dikumpulkannya
Israel di Sikhem bertujuan mengingatkan bangsa ini akan sejarah perjumpaan dan
karya Allah dengan para leluhur Israel.
Sebagaimana ayat 2-13
paparkan, dimulai frasa “beginilah firman Tuhan” Allah pun
berfirman secara direct-speech, dengan
percakapan langsung kepada Israel
melalui Yosua. Yang menarik isi
percakapan ini adalah daftar perbuatan-perbuatan Tuhan dalam sejarah Israel: panggilan
Abraham, janji keturunan yang digenapi dalam Ishak, pemeliharaan Allah pada
keluarga Yakub, keluaran Israel dari Mesir, aksi spektakuler Tuhan dengan
membelah laut Teberau, sampai perang dan kemenangan melawan bangsa-bangsa Kanaan. Kalau di kampus saya,
ada mata kuliah SGD, Sejarah Gereja Dunia, hari itu di Sikhem Israel mendapat
mata kuliah SKT, Sejarah Karya Tuhan. Oleh karena itu, bukankah belajar sejarah
itu sangat penting dan biblically?
Pertanyannya, untuk
apa Tuhan mengajarkan ulang tentang sejarah karyaNya? Kalau kita perhatikan, usai percakapan
langsung Allah-Israel, dalam ayat 14 fokus bergeser pada Yosua yang berkata “oleh
sebab itu.” Ini adalah sebuah frasa
yang merupakan frasa penghubung sebab-akibat antara bagian sebelumnya dan
sesudahnya. Artinya, sejarah karya Tuhan
itu menjadi dasar kelanjutan relasi umat Israel dan Tuhan sebagai umat perjanjian.
Allister McGrath, seorang sejarahwan teologi menguraikan bahwa studi sejarah
itu berguna untuk memikirkan keputusan teologis di masa kini. Di hari itu, Israel belajar sejarah karya
Tuhan sebagai landasan keputusan pembaharuan janji dalam pembaharuan relasi
mereka dengan Tuhan.
Hari ini coba kita mengingat-ingat
sejarah karya Tuhan dalam hidup kita masing-masing sebagai dasar pembaharuan
relasi kita dengan Tuhan. Yang paling mudah, ingatlah momen pertama kali kita
bertemu dengan Tuhan dan kemudian berkomitmen menjadi hamba Tuhan. Atau ada sejuta
sejarah karya Tuhan yang engkau ingat? Silahkan. Saya yakin ada banyak hal yang
bisa kita ingat, saya membayangkan, kalau mahasiswa dibebastugaskan dari
penulisan skripsi tetapi malah menulis tiap detail Sejarah Karya Tuhan dalam
hidup mereka dalam buku, barangkali perpus Prothumia tidak akan cukup
menampungnya bahkan tidak akan selesai-selesai. Hari ini kita mengingat sejarah
karya Tuhan itu sebagai fondasi bagi pembaharuan relasi kita dengan Tuhan.
Mari kembali ke perikop
kita. Dalam ayat 14, yang adalah ayat kunci perikop ini, Yosua berkata: “Oleh
sebab itu, takutlah akan Tuhan dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas
dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah.”
Ayat ini adalah gagasan utama perikop
ini. Ayat ini menyodorkan pada kita, janji-janji
apa yang perlu dibaharui agar kita menggapai level yang baru dalam relasi kita
dengan Tuhan. Dan gagasan itu tertuang dalam tiga kalimat imperatif yang ada. Kita fokus pada kalimat imperatif yang pertama
“takutlah akan Tuhan.”
Kalau kita lihat
sepanjang PL dari Pentateukh, Kitab Sejarah, Mazmur, Amsal dan Nabi-nabi, takut
akan Tuhan adalah karakter utama yang harus ada dalam kerohanian umat percaya. Kitab Pengkhotbah merangkum pengajaran PL
dengan penutup kitabnya, “Akhir kata dari
segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada
perintahNya. Karena ini adalah kewajiban setiap orang.” Menimbang hal itu, maka sangat jelas bahwa takut
akan Tuhan adalah IPK—indeks prestasi kerohanian—seorang anak Tuhan.
Takut akan Tuhan itu jenis ketakutan seperti apa? saya kemarin browsing
dan menemukan setidaknya ada 130 jenis ketakutan yang bisa dianggap berlebihan
atau fobia. Misalnya Altophobia: takut
akan ketinggian, Nycotophobia: takut akan kegelapan, Enetophobia - takut jarum atau suntikan. Itu yang umum kita dengar,
tetapi ada yang buat saya aneh, misalnya Ablutophobia - takut mandi, mencuci,
atau membersihkan, Gynophobia -
takut perempuan, Philophobia
- takut cinta.
Apakah konsep takut akan
Tuhan ini sama dengan perasaan-perasaan takut jenis demikian? Tidak! Dalam teologi PL-PB, takut akan
Tuhan itu adalah sebuah sikap takjub, sikap hormat anak-anak Allah kepada
pencipta dan penebus-Nya. Ia adalah rasa takut yang muncul dari kesadaran bahwa
manusia adalah sosok yang kerdil, yang telah diampuni oleh sosok yang Agung,
Raja yang Mahakuasa. Di mana seharusnya, rasa takut akan Tuhan akan membuat
manusia mendaraskan ketaatan kepada hukum Tuhan dan kerinduan untuk hidup kudus.
Sebagai umat yang sering
tampak tidak takut akan Tuhan, melanggar kekudusanNya, tidak taat pada
perintahNya, di Sikhem, Israel mengadakan perjanjian ulang, re-kovenan,
pembaharuan hubungan antara mereka dan Allah. Dan janji yang pertama yang perlu
dibaharui Israel adalah menjadi umat yang takut akan Tuhan. Oleh karena itu, pagi hari ini, dengan mengingat sejarah karya
Allah dalam hidup kita, mari kita juga memperbaharui hubungan dengan Tuhan, dengan
berkomitmen menjadi orang yang takut akan Tuhan.
Ilustrasi
Sebuah lembaga survei di
Amerika Serikat, yaitu Francis Schaeffer
Institute of Church Leadership Development pernah melakukan penelitian terhadap
kondisi pendeta-pendeta di ladang pelayanan. Mereka menemukan 72% dari para
pendeta hanya membaca Alkitab ketika mereka mempersiapkan khotbah. Itu berarti
hanya tersisa 38% yang membaca Alkitab untuk saat teduh pribadi. Kemudian, 30% menyatakan bahwa mereka sedang
memiliki perselingkuhan, dan hubungan seksualitas dengan jemaat mereka. Jumlah
yang tidak sedikit dan tentu mengusik hati nurani kita. Mereka mengatakan
bahwa statistik itu bisa saja lebih besar.
Bahkan, kesimpulan mereka, para pendeta itu sangat terdidik untuk
memiliki kemampuan melakukan dosa di hari Sabtu dan berkhotbah di hari Minggu
tanpa berpikir ada yang salah dan ada masalah dalam diri mereka.
Penelitian ini mengagetkan
dan mengerikan. Penelitian itu menunjukkan kepada kita,
betapa banyaknya mereka yang mengaku hamba Tuhan, tetapi tidak hidup takut akan
Tuhan.
Aplikasi
Seharusnya, makin kita
dewasa secara teologis dan rohani, maka kita akan semakin takut akan Tuhan.
Sikap takut akan Tuhan itu direfleksikan dengan kesadaran yang makin kuat akan
kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita. Hamba yang takut akan Tuhan adalah ia
yang memegang teguh integritas diri. Ia memperkatakan fakta bukan kebohongan.
Ia memakai uang dengan bertanggung jawab bukan untuk kesenangan semata. Ia
mengerjakan pelayanan dengan rasa hormat kepada Tuhan sehingga memberi yang
terbaik, bukan yang asal-asalan. Ia hidup otentik bukan munafik. Ia melatih
diri untuk terus berlari dalam lintasan hidup kudus, bukan tenggelam dalam
kolam keberdosaan. kalau sejauh ini kita
melangkah dan mendapati diri kita tidak takut akan Tuhan, mari hari ini kita
bertobat dan memperbaharui relasi dengan Tuhan dengan berkomitmen kembali menjadi
seorang yang takut akan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar