Ini pemikiranku tentang ruang simulakrum. Definisinya?
“Simulakrum adalah ruang yang disarati oleh duplikasi dan daur ulang berbagai
fragmen yang berbeda2 di dalam satu ruang dan waktu yang sama (Baudillard).
Dalam konteks ini, bisa diartikan juga bahwa simulakrum adalah alam tempat meleburnya realitas dan ilusi,
diakibatkan oleh fantasi yang diduplikasi berulang2 dan berlipat2 ganda, hingga
akhirnya objek yang nyata pun tak jelas lagi.”
[1]
Kita suka bermain-main dalam ruang simulakrum diri
kita. Bercanda dan berdansa mesra dengan masa lalu, atau menari dan bernyanyi
bersama dentuman keinginan yang ingin digapai di masa depan. Bagi kaum Adam, biasanya tersihir dengan
momen ini, ketika bergelut dengan “perempuan yang membangkitkan kenangan.”[2]
Kaum Hawa juga sama, pria idola dengan rambut pendek rapi, berdompet tebal,
bermulut lemah lembut, dengan badan tegap-gagah dan berhati pelindung akan
membuat mereka mudah tersihir momen simulakrum ini. Kadang simulakrum hadir
dalam senja yang tak bersahabat. Sering ia bangkit dalam malam sunyi tanpa
keributan. Namun walau demikian, tidak ada waktu tepat yang menjadi wadah
kemenjadian ruang simulakrum. Apa
simulakrummu? Apa simulakrumku?
Simulakrum adalah dia yang ada dan pasti ada. Tidakkah
jutaan karya yang tercipta dari karsa manusia, entah itu yang mewujud dalam
cakrawala aksara, atau lukisan-lukisan, bahkan juga gemilang film, adalah janin
yang dihasilkan oleh rahim simulakrum? Rahim tempat bertemunya sperma realitas
dan sel telur imajinasi, sampai ia bertumbuh menjadi embrio seni dan ciptaan
indah?
Sayangnya, seperti sebuah pendulum yang terlalu sering
mengayun pada ekstrim yang lain. Ruang simulakrum kita, sering hanya tertumbuk
dan berhenti pada sisi imajinasi, sisi fiksi, sisi masa lalu, sisi keinginan.
Kita tak sanggup menaburkan sisi-sisi yang lain yang seharusnya ada: realitas,
fakta, masa kini, kenyataan. Soren
Kierkegaard, filsuf eksistensial itu pernah berkata “Live can only be understood backwards; but it must be lived forwards.”[3] Bagiku kalimat itu menekankan sebuah
keseimbangan antara masa lalu, masa kini. Antara kejadian yang harus dilupakan,
dengan pelajaran yang harus diambil. Antara kegagalan, dan pengharapan untuk
berhasil. Bagi ruang simulakrum kita: ia
harus berada dalam titik yang seimbang. Manusia yang hanya mampu “bergerak
dalam translasi dan rotasi”[4]
masa lalu, ia yang dirantai oleh keinginan yang tak tercapai, yang matanya
menjadi tunanetra harapan karena ia tertutup dalam tembok-tembok besar
kegagalan hidupnya, adalah manusia yang terjebak dalam ruang simulakrum tak
seimbang ini. Dan manusia jenis ini, tidak akan menghasilkan apa-apa. Dia hanya
akan menjadi eksistensi yang tidak bermakna; berada dalam sebuah ruang dan
waktu, tetapi tidak berdampak apa-apa bagi keberadaan yang lain. Bagaimana
ruang simulakrummu? Bagaimana ruang simulakrummku?
Kulanjutkan. Seperti sejarah manusia yang selalu
merupakan pergerakan sebuah pendulum, dari sisi yang lain ke sisi satunya lagi,
demikianlah juga ruang simulakrum kita. Ada individu-individu, yang tak punya
mimpi, tak punya imajinasi, tak punya fiksi, tak punya keinginan. Mereka adalah
golongan yang berkata “ya hidupnya segini
ini saya.” Mereka berhenti dan menyerah pada keadaan. Mereka terpenjara
dibelenggu sekat-sekat dan tempurung pikir, yang dihasilkan oleh komunitas atau
masyarakat dengan konsep-konsep dengkul -yang selalu berpihak pada mereka yang
kuat.- Secara lahiriah, mereka tidak punya “kaki yang akan melangkah lebih
jauh, tangan yang berbuat lebih banyak, mata yang melihat lebih lama, leher
yang akan lebih sering mendongak, tekad yang setebal baja, dan hati yang akan
bekerja lebih keras serta mulut yang selalu berdoa.”[5]
Ruang simulakrum manusia jenis ini tidak
punya mimpi dan fiksi. Biasanya, mereka hanya akan jadi pegawai, dan mesin
di tempat mereka bekerja. Mereka tidak akan menikmati hidup dan saripati hidup.
Sekali lagi, mereka terjebak dalam hidup yang di sini dan saat ini. Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang
simulakrumku?
Ruang simulakrum harus seimbang. Aku melupakan apa yang telah dibelakangku. Dan mengarahkan diri kepada
apa yang ada di depanku.[6] Bagiku,
wejangan seorang Yahudi abad pertama itu, menangkap maksudku tentang ruang
simulakrum yang seimbang. Yang di belakang tetap ada, tetapi ia dilupakan, artinya
tidak mengikat. Dan diri ini sebagai seorang manusia dalam sejarah, mengarahkan
kepada apa-apa yang ada di depan sana. Ruang simulakrum yang seimbang
mengizinkan fiksi dan mimpi, tetapi terus berlari dalam lintasan masa kini
menuju masa depan.
Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang
simulakrumku? Sudahkah ia menjadi sebuah ruang simulakrum yang seimbang, yang
membentuk kita menjadi manusia yang sanggup memiliki “arti”? Karena jikalau
benar gagasan there is nothing outside
the text.[7] Maka, hidup
kita yang adalah “teks” atau sebuah tulisan sebagai pusat dari segalanya. Sehingga,
tidak ada yang lain di luar diri kita. Kitalah yang menentukan arti atau
bagaimana mendedahkan sebuah kesunyataan tentang diri kita.[8]
The Truth is what you believe.[9] Kebermaknaan dan kebenaran diri kita, adalah
tentang bagaimana kita memercayai diri kita seperti apa, bagaimana potret yang
hendak kita bangun dalam diri kita. Dan, -perhatikan ini- dunia atau bahkan
konteks kita berada tidak berhak menentukan siapa
dan potret kita. Namun, aku mencoba
untuk sedikit religius (dan Kristen), kebermaknaan itu hendaknya teosentris,
bukan antroposentris.
Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang
simulakrumku? Jadikanlah itu sebuah ruang yang seimbang.
#Ditulis usai bangun kesiangan, minum kopi hitam
pekat, mendengarkan lagu-lagu rock baheula, baca Alkitab Kejadian 4-6 tentang
Nuh. Dan agaknya, dihantui oleh dia yang “dengan
‘Jancuk” pun tak sanggup aku menjumpainya, dengan air mata mana lagi dapat
kuketuk pintu hatinya.”[10]
Mungkin ini tulisan yang agak ribet dan
tak jelas jluntrungannnya.
Klayatan 3/43. Himawan T. P.
[1] (Dee, Ksatria, Putri & Bintang Jatuh 24).
Gampangnya, simulakrum adalah momen melamun.
[2]Lupa
kutipan darimana
[3]Entah,
tapi menurutku Kierkegaard sendiri hidupnya terjebak dalam ruang simulakrum
yang tak seimbang. Itu terjadi ketika ia meninggalkan Regina Olsen,
tunangannya, tanpa alasan yang jelas. Bukankah ini adalah contoh seseorang yang
terbelenggu imajinasinya?
[4]Baca:
berguling.
[5]Donny
Dirganthoro, 5Cm
[6]Filipi 3:13. Kalau kau orang Kristen, ayat ini
akan jadi ayat bagus ketika momen transisional dalam hidupmu sedang terjadi.
[7]il n’y
pas de hors-texte. Kalimat
Jacques Derrida, seorang filsuf postmodern Prancis yang dikenal dengan metode
hermeneutik dekonstruksinya. Kalimat ini dimaksudkan untuk pembaca berfokus
hanya pada teks, tidak pada dunia di luar teks. Juga tidak kepada penulis, atau author [yang, dalam bahasa Roland Barthes, sudah mati].
[8] Jawa ke·su·nya·ta·an
n kebenaran atau kenyataan
[9] Clara Ng, Dimsum Terakhir
[10]Sedikit diubah dari kalimat Mbah Sudjiwo Tedjo,
Presiden Republik Jancukers, yang seorang Jawa-Progresif. Mohon maaf jika kata ini agak terdengar kasar. Namun, aku berharap pembaca melihat apa yang dimaksud oleh Mbah Tedjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar