Ibrani 11:8
Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil
untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu
ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. [Ibrani 11:8]
Selubung
halimun masih membekap, sang bagaskara pun masih sayup-sayup enggan menampilkan
diri. Gunung gemunung dihayuti mega-mendung, alam ciptaan bersenandung megatruh. Melodi tak bersahabat menari dan berdansa
bergemuruh mengusik menderu. Barangkali, kisah hidupku laksana Hanoman yang
diutus Rahmayana ke Alengka menyelidik Dewi Sinta: tak mengerti arah, tak tahu
tempat yang tertuju, tak mengerti apa yang harus dilaku, tak mendapat petunjuk
kemana hendak berlabuh. Padahal kita sebagai manusia seringkali ingin membekap
masa depan, artinya memiliki dengan aman hal-hal ini: waktu, keadaan, kejadian,
pengharapan, bahkan, segala-galanya.
Tetapi hidup
dengan kepastian dan pengertian penuh tentang segala sesuatu yang akan terjadi
menurutku bukan hidup yang berseni. Tidak ada keterkejutan. Tidak ada dentuman-dentuman.
Semua akan menjadi begitu datar, kering, hampa. Justru hidup yang penuh
ombang-ambing gelombang dan letupan kebingungan itu adalah hidup itu sendiri. Dan
itu adalah sebuah seni. Justru dalam kondisi itulah kita mampu merenungi diktum
seorang filsuf Yunani: Hidup yang tak dikaji adalah hidup yang tak layak
dihidupi. Karena penuh ketidakpastian itulah hidup perlu dikaji. Terus-menerus.
Ah, sungguh karena itu aku begitu bangga atas hidupku.
Kuceritakan
nanti lain kali, mengapa aku mendengungkan kalimat-kalimat itu. Yang aku hendak
tuliskan adalah derai hidup seorang Abraham. Bapa leluhur bangsa Israil. Penulis
surat Ibrani, yang anonim dan misterius itu mencatatnya dalam pena: Karena iman Abraham taat, ketika ia
dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik
pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
Menurutku
Abraham adalah orang yang punya seni. “Ia
dipanggil untuk berangkat” kemana? “berangkat
dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.” Ia tahu seni menjalani hidup
dengan menikmati ketidakpastian, kegelapan masa depan, dan pekat kabut. Bayangkan,
pikirkan, renungkan. Bukan dengan tergesa-gesa, tetapi dengan pelan-pelan.
Ingatlah kisah yang detail ditulis oleh Kitab Kejadian. Ia dipinta –oleh Allah,
pihak yang sebelumnya tidak dikenalnya- meninggalkan Haran, tempat tinggalnya
yang nyaman, megah, dan stabil menuju sebuah tempat: Kanaan. Tempat yang
terjanji, tetapi yang tak pasti. Dan bahkan dalam perjalanan, Abraham bertemu
dengan segala kesusahan dan peliknya hidup. Bisakah kita sebut ia orang yang
bodoh? Yang menenggelamkan diri dalam deru ketidakpastian hidup? Buatku, tidak.
Ia orang yang penuh seni!
“Karena iman Abraham taat.” Catatan ini
memberi kita sebab-musabab mengapa Abraham begitu berseni. Imannya, yang
membuatnya berani berdansa dalam kabut pekat hidup. Imannya, yang membuatnya
menyanyi dalam dengung melodi ketidakpastian. Imannya, yang memampukannya
berenang dalam lautan ketidaktahuan tujuan.
Tetapi sampai
saat ini aku sendiri sedikit bingung tentang definisi iman. Ayat 1 catatan
penulis Ibrani buatku tidaklah memberikan sebuah definisi. Hanya sebuah
karakteristik. Bahwa iman memampukan orang untuk hidup dalam ketidakpastian.
Bahwa iman menyanggupkan seseorang untuk tetap memegang harapan dan apa yang
tak dilihat di masa depan. Apa itu iman taklah didefinisikan dalam bagian ini.
Kali ini aku
enggan menyelidik buku-buku teologis, historis, lebih-lebih filosofis tentang
definisi iman. Pemahaman linguistika bahasa ibuku hanya menjabarkan bahwa iman
adalah sebuah kepercayaan, ketetapan batin. Abraham mempunyai kepercayaan dan
ketetapan batin. Itulah yang mendasari langkah-langkah hidupnya yang tak pasti.
Ketetapan batin terhadap satu pihak: Allah yang memanggilnya. Tuhan yang [baru]
dikenalnya dan [berusaha] dikenalnya terus-menerus selama hidupnya. Iman yang
membuat hidupnya begitu berseni.
Merenung
hidup Abraham air mataku begitu luruh. Bukankah hidup kita sebagai seorang
manusia, selalu, selalu, selalu diselubungi ketidakpastian? Senandung melodi
kegelapan adalah hal yang wajar! Maka dari itu mari menjalani hidup dengan
berseni. Selangkah demi selangkah, berdiri di atas sebuah ketetapan batin:
iman.
Kawan, entah
mengapa catatanku kali ini begitu melankolis. Tapi itulah pergelutanku beberapa
waktu ini. Aku begitu tak tahu masa depan. Tetapi narasi Abraham membantuku
untuk menantang, melawan, berdiri tegak terhadap kehidupan. Catatannya
mengajarkan untuk memiliki sebuah ketetapan batin.
Bagaimana
dengan hidupmu kawan?
*Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 13 April 2012.
Ditulis untuk
para sahabat yang turut berjuang tentang masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar