Selasa, 05 Februari 2013

Leiden (Penderitaan)


Jutaan detik menggelitik. Dalam kalbu, terpetik rintik-rintik butiran asmara. Butiran yang harus luruh. Bukan karena tak mampu bertahan, tapi karena tak perlu ditahan.

“Ni! Diem aja lu.” suara sahabatku menggelegar membuyarkan lamunanku.

“Hi Jos, dasar lu, ngerusak lamunan gue aje.” Sahabatku, Jose, orang timor yang berambut kriwil, berkulit hitam legam, berasal dari pelosok sana. Wajahnya boleh seram, tetapi di 
dataran Jawa ini, dia adalah orang dengan hati tulus yang pernah aku kenal. Sungguh, ia adalah sahabat terbaikku.

“Ni, entah kenapa, gue liat2, lu sering ngelamun sekarang ini. Apalagi sejak lu gak kontak2 lagi ama Maira.”

“Ah, nggak kok, gue lagi sibuk mikirin skripsi gue nih. Susah, kagak kelar-kelar! Hipotesis gue tentang Karl Jaspers, filsuf eksistensi itu, nggak ada datanya!” Aku mencoba meraih pelarian.

“Dasar lu, orang filsafat, bikin judul skripsi yang mbulet-mbulet, tapi nggak ada aplikasinya buat rakyat. Kayak gue dong, calon sarjana ekonomi, yang memikirkan sistem ekonomi makro yang akan mengubah wajah Indonesia. Hahahaha.”

Aku terdiam, terhentak dengan pernyataan sahabatku itu. Memang benar, studi filsafatku terasa lebih banyak berteori daripada memikirkan hal-hal praktis buat rakyat. Tetapi kenyataan itu bukanlah hal yang membuatku gundah belakangan ini. Maira. Nama itu lebih membuat gundah gelisah lebih daripada Jaspers, filsuf Jerman kesohor itu yang menjadi judul skripsiku di jurusan filsafat yang aku tempuh.


Ya. Maira Hadisaputra. Mahasiswa semester 4 jurusan psikologi di sebuah kampus tersohor. Aku bertemu dengannya di sebuah acara bakti sosial gereja. Pertama berkenalan dengannya aku tak memiliki perasaan apa-apa. Lagipula aku tahu dia sudah memiliki seorang kekasih yang selalu menemaninya. Selama beberapa bulan ini kami berteman dan menjadi sahabat. 


Tapi rupa-rupanya persahabatan itu hendak berujung pada terganggunya sebuah hubungan. Kedekatanku dengan Maira membuatku terpojok dan melahirkanku sebagai pihak yang tertuduh mengganggu hubungannya dengan pacarnya. Maira sendiri, kepada teman-temannya, selalu bilang bahwa Geni tidak ada hubungannya dengan keretakan relasinya dengan Bayu, pacarnya. Tetapi kenyataan berbicara lain, setiap ada dia, aku tahu ada percikan-percikan yang timbul di dalam ruang kalbuku.


Namaku Geni. Artinya, api. Terdakwa penganggu hubungan Maira-Bayu. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan filsafat di sebuah sekolah teologi-filsafat di Ibukota. Lantas, bukan aku mau mengelak, aku malah mau mengaku di sini. Jujur saja, siapa tak bakal jatuh cinta pada Maira. Anak gadis kelahiran sunda-chinese. Rambut hitam tergerai lurus, mata sipit namun dengan sorot mendamaikan, kulit putih kemerah-merahan halus, bulu mata lentik, gigi seri serasi. Neng geulis kelahiran Bandung, yang secara fisik lebih mewakili ibunya yang keturunan Tionghoa itu. Penerus trah Hadisaputra yang adalah salah satu pemilik restoran chinese terkenal di kota Bandung. Turunan keluarga kaya, mapan, dan tentu, kapitalis. Dari segala sisi, fisik, ekonomi, sosial, keturunan, kecerdasan, kedewasaan, kematangan diri, jelas dia adalah gadis idaman semua lelaki.


Dan kepada Maira, yang telah dipunya, aku jatuh cinta. Rasa itu datang di bulan kesembilan pertemanan kami. Selama ini kami hanya sekadar bertemu di acara-acara sosial gereja, kadang-kadang berbicara, tetapi tak jarang kami saling mengirim sms. Frekuensi komunikasi kami makin meningkat ketika hubungannya dengan Bayu mulai terganggu. Dia telepon aku tiap hari sabtu. Pengganti dating-nya. Katanya Maira, lebih baik berwicara dengan seorang sahabat dengan taraf kebijaksanaan luar biasa daripada sepi sendiri. Ah, bodoh. Saat itu aku pelan-pelan terperosok dalam candu. Padahal, tidakkah setiap candu memiliki kenikmatannya sendiri, namun detik demi detik ia akan menggerogoti hidup kita? Pada akhirnya, candu akan menghancurkan dan menghantarkan kita pada gerbang kematian. Pun, sama halnya dengan candu asmara yang salah. Sampai akhirnya kami sering keluar bersama, berjalan-jalan bersama, dan menghabiskan waktu bersama.


Dosakah aku mencintainya? Aku tak tahu.


“Ni, aku nggak tahu ya, kalau ada kamu, rasanya ada damai, nyaman.” Sepenggal kalimat Maira yang pernah meletupkan kembang api di dalam relungku. Saat itu kami duduk di pinggir taman, memandang langit malam tiada bintang. Ia pegang tanganku, dan, aku sambut pegangan itu. Hangat. Sekaligus dingin. Hangat karena lubuk ini begitu merindu untuk merekahnya bunga-bunga cinta. Dingin, karena akal gundah menatap sebuah kesalahan yang sedang terjadi.  Tanpa sadar, malam itu aku memulai pelanggaran. Pelanggaran sebuah batas dalam hubungan. Sesungguhnya, manusia harus berpikir rasional, setiap hubungan memiliki batasan-batasannya sendiri. Teman, orangtua, persahabatan, pacaran, suami-istri, keluarga, partner kerja. Semua kita, berhak punya batasan-batasan. Batasan adalah bagian kehidupan yang tidak boleh dimasuki, atau dilangkahi oleh orang lain. Ada tempat di mana hidup kita, tidak diganggu oleh keberadaan orang lain. Pertengkaran, perselisihan, pertikaian, cek-cok, pembunuhan, kesakitan hati, dendam, dimulai dari batasan-batasan dalam sebuah hubungan yang dilangkahi. Bila pagar batasan hubungan yang dilanggar atau dilompati akan membuat tuan rumah, marah, tak lagi ramah.


“Emang nggak papa ya gue pergi ama elu, bahkan sampe pegangan begini. Bayu gimana?”

“Gakpapa, kan kita jelas.”


Jelas? Darimananya? seruku lirih dalam hati.


“Kita kan sahabatan Genii. Plis deh. Semua orang juga tahu! Hehe. Bayu sekarang lagi sibuk ngurus kerjaan. Dia lebih mentingin gaweannya daripada pacarnya yang butuh dia. Sekarang, ada kamu...”


Jadi gue siapa? Sahabat?

Usai perjalanan di malam itu, aku membicarakan hal ini dengan Jose. Nuraniku gaduh. Ada yang tak benar disana.


“Lu gila apa!” damprat Jose.


“Lu, mau main jadi orang ketiga? Ngancurin hubungan orang? Biadab lu. Bajingan! Katanya orang yang berpikir, tapi lu nggak adil sama pikiran dan tindakan lu sendiri. Sadar Ni, sadar! Maira itu punya orang. Ingat, mereka bentar lagi juga tunangan, bakal kawin tahu nggak? Sarjana kere macam lu mana bisa diterima keluarganya?”


“Tapi gue sayang dia Jos? Si Bayu juga gak terlalu peduli ama Maira? Masa pacaran tapi nggak pernah kontak? Nggak pernah pergi berdua?”


“Justru itu! Lu masuk ke dalam lubang yang seharusnya diisi oleh Bayu. Kalau lu bener temen, harusnya lu kasih tahu Bayu n ngedukung mereka. Bukan tambah ngancurin. Secara ontologis, hubungan kalian salah!”


Secara ontologis? [Ontos: asal, hakikat. Logos: ilmu]. Jadi, secara hakikat asmaraku salah? Dasar Jose. Bahkan ia memojokkanku dengan istilah filsafat.


Kalimat itu benar-benar menohokku. Aku, sarjana filsafat, harusnya berpikir jernih dengan memakai logika dan berpikir rasional. Tetapi kepada Maira, aku terpojok dengan perasaanku. Benar memang, perasaan, bukan rasio, yang sering membawa masalah. Orang korupsi karena rasa bernama nafsu. Orang membunuh karena rasa bernama dendam. Orang berusaha meraih sukses karena rasa bernama ambisi. Orang menangis karena rasa bernama sedih. Ya, rasa. Berjuta kali, rasa menghancurkan umat manusia. Bukankah ia yang membuat hantu bernama Hitler itu lekat dengan rasa angkuh atas rasnya dan lantas, memprakarsai Holocaust? Tidakkah rasa haus akan kekuasaan yang membawa rezim otoriter semacam Soeharto, yang tega mengambil nyawa orang tidak berdosa begitu banyak? Rasa, seringkali ia meremukkan manusia dalam rintihan-rintihan memedihkan, ratapan-ratapan yang menyayat sukma.


“Mai, kita nggak bisa deket terus deh.” Aku pun ambil waktu berbicara dengan Maira di satu penghujung petang.

“Hah, kenapa? Kita kan sahabatan?”

“Orang lihat aku ini semacam racun buat kamu dan Bayu. Nggak boleh ada.”

“Kok kamu ndegerin suara orang sih? Whatever lah, temen-temenmu dan temen-temenku bilang apa. Kita sahabat ya sahabat. Nggak ada apa-apa kok di antara kita.”

“Lalu gimana dengan Bayu”

“Ya, dia…… marah sih. Kemarin bilang kalau aku ini susah dipercayai lagi.”

“Tuh kan. Kita harus atur jarak Mai. Malah kalau bisa mungkin aku harus memutuskan hubunganku denganmu.”

“Ah, bodo! Ngapain. Udah lah, selow aja deh.”

“Gak bisa Mai. Semakin kita deket. Semakin hubunganmu dengan Bayu aku hancurin.”

“Kenapa kamu berpikir kamu hancurin hubunganku?”

“Aku sayang kamu Mai! Aku jatuh cinta ama kamu! Nggak nyadar?”

Maira terdiam, membisu menatapku dengan lekat. “Ni, kamu serius?”

“Ya. Karena itu kita nggak bisa deket. Aku harus membunuh rasa itu. Menguburnya dalam-dalam. Meski aku tahu, akan sangat perih, sakit dan penuh derita.” Aku menghujam Maira dengan kalimatku itu, yang rasanya, sekeras batu kali dilempar ke dahi.

Malam itu, kami mengakhiri pertemuan kami tanpa menuntaskan keputusan. Maira terdiam, lalu menangis. “Maaf ya Ni. Aku memberikan perasaan itu padamu.”

“Jangan minta maaf. Aku yang salah.” Dan kami pun, dimulai malam itu, dengan tanpa kata, memutuskan untuk bersama-sama saling menjauh.

Tapi kenapa aku yang mengaku bahwa aku yang salah? Apakah karena konsepsi bahwa asmara selalu milik dua orang individu dan bukan tiga? Tidakkah Kitab Suci tak hanya mencatat kisah Yakub-Rahel? Tetapi juga Daud-Betsyeba, yang malah nanti melahirkan keturunan Yesus? Bodoh. Mengaku salah  tanpa alasan itu bodoh.

Sudah dua bulan ini aku dan Maira menjauh. Sakit tak tertahankan memekik di tengah dadaku. Kadang-kadang di malam hari aku duduk sendirian dan menangis. Rasa, bukan rasio, yang selalu membawa pedih. Kadang-kadang Mai sms atau menelpon, sungguh aku ingin membalas atau mengangkatnya, tetapi aku menahan diriku. Aku ganti nomorku dan pindah tempat kos. Agar bayangan Maira tak mengangguku lagi. Saat itulah aku tahu artinya kehilangan. Ketika sesuatu yang ingin kita dekap erat, genggam lekat, dipaksa untuk dilepaskan dari hidup kita. Aku, benar-benar, kehilangan.


Di saat-saat kehilangan seperti inilah, aku mengerti apa itu arti dari penderitaan. Bagi hatiku yang pahit dan remuk, kehilangan Maira adalah penderitaan terbesar yang pernah aku alami dalam hidup ini. Penderitaan, Leiden kata filsuf Karl Jaspers. Semua bentuk penderitaan, entah itu penyakit fisik, ketegangan, keputusasaan, perbudakan, kelaparan, kemiskinan, juga, kehilangan ia yang kita ingin miliki, memiliki sifat desktruktif, juga konstruktif bagi manusia (Dasein)-keberadaan di dalam dunia-. Penderitaan itu dekstruktif, menghancurkan, karena ia menggerogoti manusia sedikit demi sedikit. Tetapi ia bisa konstruktif bagi seorang manusia, kalau ia punya ketabahan hati untuk menerima, menanggung penderitaan dan bertumbuh melalui penderitaan tersebut.


Sekarang, di saat seperti inilah aku harus memilih, apakah aku hendak mati dalam penderitaan akan bayangan Maira? Atau aku memilih untuk bertumbuh, menerima akan keadaan ini, dan aku tanggung sakit tak tertahankan ini, sebagai jalan untuk sesuatu yang lebih baik di depan sana.


Sungguh, jembatan cinta ku telah roboh karena ia terlalu terlarang untuk dibangun. Leiden pun muncul dalam perjalanan hidup ini. Leiden yang menyayat luka.


Luka. Ia membuat merintih. Pedih yang memekik. Derita yang menari. Gores yang mengiris. Penderitaan yang terbuncah karena rasa. Rasa menerbitkan hujan problema. Rasa menitikkan tangis gulana. Rasa mengoyakkan benteng kalbu. Rasa meranggas tembok-tembok sejahtera. Dan yang terluka, hanya bisa menunggu dalam waktu. Tetapi manusia perlu sadar, tidakkah ada Sosok yang dekat dengan mereka yang terluka? Tidakkah ada Sosok yang siap membebat mereka yang hatinya kecewa? Sosok ultim, Tuhan Sang Empunya kehidupan ini? Sesungguhnya, justru dalam penderitaan ini, di tengah usaha melepaskan dan meninggalkan cinta terlarang terhadap Maira, barangkali aku akan menemukan hakikat hidup itu sendiri. Sang Pencipta?

*2 Juni 2012. Jl. Gedong 5. Mangga Besar 1. Jakarta Pusat. Sebuah usaha untuk membumikan sebuah gagasan teologis yang "dahsyat."