Senin, 29 Desember 2014

Solilokui Seorang Geni

Malam ini nganggur-nganggur seperti cacing yang enggan mau mati atau hidup, aku dan jemari-jemariku bermain-main dengan layar telepon pintarku.  Dan jam dinding di kamarku tiba-tiba serasa berhenti seperti otakku yang terhenyak melihat profile picture akun Blackberry Messengger-mu. Tsunami bernama keterkaguman itu pun naik menyembur masuk ke dalam syaraf-syaraf otakku, membuatku menyadari bahwa kamu tetap cantik, senyummu tetap sama, dan kamu pun masih sendiri.  Aku ingin mengklik tombol chat dan bertanya pertanyan-pertanyaan usil: Kapan kamu kawin? Kapan kamu gendong anak? Kapan? Tapi aku tahu aku tak mampu, tak akan pernah mampu melakukannya.  Seandainya kamu segera memutuskan siapa kekasih yang layak terhormat untuk mengawinimu, mungkin jalanku untuk melupakanmu dan menanggalkanmu akan lebih cepat tak selambat ini.  Aku masih sama seperti dulu, menunggu dan menunggu, tanpa tahu berapa lama lagi aku harus menunggu, karena bukankah tiada yang tahu tentang hal-hal itu?

"Geni, kamu harus move on, aku bukan untukmu, akan ada Mrs. Right yang pada saatnya datang kepadamu, dan disanalah kebahagiaanmu kamu temukan, lepaskan aku ya?"

Kalimatmu tergiang fatal dalam benakku malam ini, bak awan cumolonimbus yang menggetirkan jiwa, membadaikan rasa, dan meluluhlantakkan asa. 

"Mai, emang apa kurangku untukmu? Selera kita sama. Telos hidup kita sejajar. Mimpi-mimpi kita adalah sinonim kekal yang intim satu dengan yang lain. Memang kita nggak bisa jalan?"  Apologiaku waktu itu, dengan argumentasi menyerang angkuh dan arogan, merasa diri pasti benar laksana filsuf pencerahan yang mengobrak-abrik relativisme pascamodern., 


"Bisa jalan sih, tapi kan perjalanan sepasang kekasih bukan ide-ide Marxian yang kau puja itu Geni! Bukan sekedar syarat-syarat objektif yang harus ada disana. Tetapi ada dinamika intra subjektif yang tak pernah kau pahami: ini soal perasaan. Gue ga punya feeling sama elu!" Begitu bentakmu waktu itu, dengan mata melotot, mata yang cantik dan belok itu.

Kata orang, rasa yang selalu membawa masalah, bukan rasio. Tapi ada juga yang bilang emosi itu datangnya dari kognisi. "Pikiran tentang bahaya menciptakan kecemasan. Pikiran tentang kehilangan memicu kesedihan. Pikiran tentang perlakukan kurang adil menimbukan kemarahan. Pikiran tentang kemurahan hati karena dihargai menimbulkan kebahagiaan." (Sudarminta, 2014). Aku jadi bingung, kau dua-duanya, logika berpikirmu bak bom atom yang menghancurkan kekokohan argumentasi-argumentasi hebatku. Perasaan tentangmu adalah konstruksi gagal yang hancur tak berbekas bahkan sebelum aku menyelesaikan fondasinya. Memang, mungkin aku terlahir untuk kalah.  Cintaku padamu sebatas embun yang muncul di pagi hari: setitik, sedikit, lalu matahari terbit kemudian menguapkannya, habis lenyap sudah.  Jelas aku dan kamu bukanlah sepasang kupu-kupu hitam putih yang saling berkejaran di taman kota, ah, bahkan kisah cinta kupu-kupu pun jauh lebih beruntung daripadaku.

Aku tak bisa tidur malam ini, bolak-balik kulihat profile picture bbm-mu. Aku sadar aku keras kepala seperti Dwarf yang selalu angkuh dan bangga dengan sejarah spesiesnya, masih ingin aku mengupayakan diri membekapmu, memilikimu.  Tetapi dengan segenap keberanian yang kukumpulkan malam ini, kugodam tembok Berlin masa laluku! Ku-klik contact-mu lalu kulirik pojok kanan bawah layar bawah telepon pintarku. Kutahan nafas lamat-lamat. Dan jempolku dengan segenap tenaga, energi, cakra yang berhasil kukumpulkan, menekannya: delete contact.  Mataku terpejam, sesaat hening menyapa udara kamarku. Sejarah telah kubuat. Perasaan lega secepat kilat menyeruap di kepalaku. Tak ada lagi wajahmu di layar ponselku. Tak ada lagi senyum yang membuatku jatuh cinta berulang kali itu. Semua hilang, lenyap, tak berbekas. Ternyata memang benar, "Mencintai itu nggak gampang. Karena mencintai harus siap kehilangan." (Pamuntjak, 2014)



#Pregbund 36, cerpen dengan tokoh Geni dan Maira pernah kutulis dengan judul Leiden, kamu bisa baca di blog ini.

Jumat, 05 Desember 2014

Undeniable Cuteness

Kemarin (hari Kamis, 4 Desember) aku nonton Penguin of Madagascar, sebenarnya nggak terlalu minat sih, tapi karena dipaksa temen yang jomblo kesepian dan sok tegar untuk menjalani masa depan yang katanya lagi pengen ketawa sembari nonton film ringan, dan memang karena tidak ada film tontonan yang lain, setujulah aku nonton film ini (alternatifnya: Automata, Sci-Fi yang reviewnya nggak bagus). Entah kenapa ada seruan hati di dalam lubuk yang terdalam untuk nonton saja, padahal sehari sebelumnya aku baru nonton balalalalala Big Heroes 6!  Rasanya aku mencatat sejarah pertamakali nonton bioskop berturut-turut film animasi. Biasanya aku lebih suka sci-fi (Interstellar, Dawn of the Apes, The End of Tomorrow), thriller yang jenisnya psikopat-psikopat gitu (Nightcrawler, The Prisoner, The Call, House at the end of the street), drama yang menyentuh (Grand Budapest, The Judge, Fury), atau film yang diangkat dari novel yang bersentuhan dengan topik politik (Divergent, The Hunger Games). Film animasi (Big Heroes, Frozen, Madagascar, How to Train the Dragon) adalah nomor yang kesekian, letaknya sama dengan film romantic asmara (Winters Tale? The Fault in Our Stars? Gak pernah nonton nih gilak), atau film horror (Insedous, Conjuring, Annabelle, big NO!). Entah, mungkin menurut anda selera filmku buruk, karena disana bisa lihat karakter INTJ-ku, seneng yang mikir-mikir, seneng yang rumit-rumit, bahkan salah satu karuniaku adalah merumitkan yang sederhana. Hahahaha


Tapi okeh, to the point ceritanya, aku nggak pingin spoiler jadi kuceritakan 1 hal saja yang kudapet dari Pinguin Madagascar, yaitu frasa “Undeniable Cuteness” atau kalau diterjemahkan bebas kelucuan yang tak terutur. Frasa ini ditujukan kepada Private, penguin lucu, bukan lucu, tetapi lucuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, imut, menggemaskan, bikin orang senang, bisa me-reject senyawa kemarahan dengan begitu cepat. Private ini adalah senjata utama untuk memutarbalikkan efek jahat dari senyawa medusa buatan tokoh antagonis, Dave. Dave ini adalah gurita yang penuh kemarahan, penolakan, iri hati, dendam yang ingin menghancurkan kehidupan pinguin yang mencuri popularitasnya sebagai hewan kesayangan di kebun binatang.  Senyawa medusa itu mengubah penguin menjadi bentuk yang buruk rupa dan tidak disukai manusia. Jadi, Undeniable Cuteness itu adalah juruselamat, mesias yang menyelamatkan manusia dari kondisi dunia tanpa pinguin yang menyenangkan dan membuat hidup lebih berwarna.


Private

Well, sepanjang nonton film aku tak tertawa sekeras penonton lain di kiri-kananku. Tapi aku menyadari satu hal ini, aku kekurangan undeniable cuteness itu. Hahahaha tolong jangan terburu-buru mengartikan aku lagi galau kepingin punya pacar, tidak.   Aku jadi ingat waktu masih di kampus, menjalani psikotes disuruh menggambar manusia, aku menggambar sosok seorang anak dengan tanpa senyum. Dari sana psikolog mengatakan bahwa hidupku isinya kepedihan demi kepedihan (nangis dong please). Ya memang, dua kehilangan besar (kematian bapak dan Mbak Krist) dalam 24 tahun kehidupanku di dunia ini sangat tajam melukai batin ini. Aku adalah tipe orang yang gloomy, misterius, sukar tertawa dan bercanda, suka mikir serius apalagi tentang pembaharuan dunia, Marxisme, revolusi politik-sosial-ekonomi, teologi yang rumit-rumit. Aku sulit untuk bercengkerama dengan cewek-cewek yang suka aksi-aksi cute, or foto-foto cantik. Aku sungguh tak memahami bahasa mereka. Makanya, bikin khotbah itu yang paling sulit bagiku adalah bagian humornya!!! Aduh bahkan aku pernah berdoa kepada Tuhan, meminta sense of humour. Ya, aku kekurangan sesuatu yang lucu, sesuatu yang mbikin tertawa, sesuatu yang mengubah kopi pahit yang biasa kuminum jadi jus segala rasa yang membuat cahaya mata jadi berpendar (ciyeeee, emang Tuhan Yesus di Kana), sesuatu yang membuatku jadi ringan, mudah tertidur (malamnya aku tidur nyenyak!) dan tak sok bangga dengan istilah glorified insomniac. I need undeniable cuteness!


Ah, tapi malam ini aku merenung-renung. Kenapa aku selalu merasa kekurangan? Bukankah ada Allah, Sang Sutradara yang suka tertawa? Menurutku Tuhan punya selera humor loh. Bukankah Ia menyelamatkan dunia ini melalui sosok bayi kecil mungil lahir di kandang hina sederhana? Dan, bukankah dengan itu, sebagai bayi Yesus, Ia berinkarnasi, menjelma, mewujud sebagai the undeniable cuteness itu?



Sesungguhnya, kita sangat perlu seimbang, ada waktunya untuk berkerut pening, ada waktunya untuk tertawa, bukankah Alkitab berkata Hati yang gembira adalah obat yang manjur. ..


Terpujilah Kristus!



#Pregolan 36. Tuhan aku ingin makin mengasihi-Mu, bercanda dan tertawa karena kemenangan-kemenangan bersama-Mu. Amin.