Jumat, 23 Oktober 2015

Hanya Tuhanku, Kepuasanku!

Waktu aku masih jomblo ngenes yang tak berpengharapan, diabaikan berulangkali oleh pujaan hati, hanya dianggap "teman," "kakak," atau bahkan "adek," oleh dia yang kutatap dengan nanar, kalimat "Asalkan ada Tuhan yang lain tak perlu" adalah sebuah mantra sakti antiseptik galau gaduh yang tak berujung. 

Bahkan pernah beberapa kesempatan ketika aku mencoba menawarkan kekuatan, dan dompet yang tak ada isinnya ini melindungi perempuan tapi ditikung rekan (sssst sakitnyaaa oh sakitnyaaa), kalimat itu menjadi sebuah wingardium leviooosa atau sejenis Patronus (nonton Hary Potter kaaan) yang mengusir Dementor bernama kesepian, kegalauan, keheningan, kerendahan diri, dan segudang perasaan sendu, pedih, kacau, remuk ah semua deh yang ada di KBBI.  Aku menempelkan kalimat ini pada laptopku (waktu masih di kampus yang penuh kepahitan itu wkwkkw), dan waktu praktek di gereja setahun, aku menempelkannya di dinding kamarku. 

Aslinya, kalimat tersebut berasal dari lagu Be Thou My Vision terjemahan Indonesia: Kaulah ya Tuhan Surya Hidupku, Asal Kau Ada yang lain tak perlu. he he he. Fondasi Biblika-nya jelas Mazmur 23! Tuhanku Gembalaku takkan kekurangan aku, dalam versi Inggris: The Lord is my shepherd, i shall not want. terjemahan versi ku: Tuhanku kepuasanku, aku tak menginginkan yang lain, artinya, Dialah sumber segala sesuatu, Keindahan yang melampaui segala sesuatu, Pribadi Paling Berharga yang melampaui segala sesuatu, ah pokoknya, asal ada Tuhan, hidupku cukup. . .. . . . 

Nah, itu waktu duluuuuu aku jomblo, bayangkan 25 tahun sejak procot jomblo, sungguh hanya kasih karunia-Nya yang menguatkanku menapak jalan yang sepi ituuuuu. wkwkkwkwkw sumpah kalimat barusan alay! Orang sering mengutuk dan mengkritikku: ah kalimat itu pelarian, cuma penghiburan bagi jones-jones yang sok kuat itu!

Well, ternyata kebenaran itu tidak berubah, hanya Tuhanku, kepuasanku berlaku bahkan sampai aku memiliki seorang kekasih (ciyeeeeeeeeeeeee wkwkkwk seriously kenyataan bahwa aku tak jomblo lagi adalah sebuah fakta yang aku sendiri pun tak mampu memahaminya). 

Kebenaran ini kutemukan ketika aku membaca ulang Henri Nouwen dalam bukunya Wounded Healer. Ia menulis bahwa setiap orang mempunyai personal loneliness (kesepian pribadi) dimana dunia menipu kita, bahwa kalau kita punya banyak teman, sahabat rekan, keberadaan di tengah keluarga, kita tidak akan kesepian.  Inilah mengapa orang berlomba-lomba, menjalin persahabatan, menemukan kekasih, berada dalam komunitas, adalah untuk menjawab isu terdalam mereka, untuk membebaskan diri mereka dari isolasi, serta menggenggam keintiman (intimacy) dan rasa dimiliki (belonging). Masalahnya ternyata, sejauh apa pun kita memiliki semua hal itu, kita akan tetap kesepian! 
"Many marriages are ruined because neither partner was able to fulfill the often hidden hope that the other would take his or her loneliness away. And many celibates live with the naive dream that in the intimacy of marriage their loneliness will be taken away" (Nouwen, page 85).

Jadi, ternyata, meskipun anda punya kekasih yang mengasihi anda dan menerima apa adanya (tentu pacar saya yang menulis dalam puisinya wajah saya begitu meragu termasuk kategori ini :P), kekasih anda bukanlah sumber kepuasan tertinggi dan terutama. 

Gini deh, Benarkah pacar/kekasih anda menginginkan anda tiap waktu? Bagi mereka yang menjalani masa pacaran, tentu jawabannya klise klo menjawab iya. Buat saya itu jawaban naif, jawaban yang biasa diberikan anak-anak SMA yang sok kasmaran.  Nah saya baru memahaminya belakangan ini, waktu saya kepengen ngobrol, curhat, cerita etc dengan kekasih, bisa-bisa aja dan sangat biasa dia berkata: gue main basket ya! (she loves basketball so much, guru [agama dan] basket lho!) atau jalan sama teman-temannya. Dulu dengan naif saya akan gelisah kecewa merasa tersisihkan, tapi belakangan saya menyadari, sebenarnya keinginan untuk didengar, diperhatikan itu datangnya dari rasa takut akan kesepian. Bagi pria yang dibesarkan dalam keluarga yang dingin dan miskin ekspresi kentiman seperti saya (Bapak-Ibu saya jarang mencium, memeluk, mengobrol dan berdiskusi dengan kami), relasi dengan lawan jenis bisa menjadi semacam pelarian dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masa kecil yang tak terpenuhi. Nah, disitulah saya menemukan, ternyata memang hanya Tuhanku, kepuasanku! (tidak berarti habis ini saya putusin pacar yaaa wkwkkw). 

Artinya begini, siapa sih pribadi yang 24 jam mau dengerin kita, mau peluk kita, dan mau bener-bener terima kita apa adanya? Tuhan. Siapa sih pribadi yang tak perlu bersungut-sungut terima permohonan maaf kita? Tuhan. Siapa sih yang benar-benar mencintai dengan kasih tak bersyarat? Tuhan.  Saya berani bilang, sehebat-hebatnya pasangan dan kekasih kita (dan saya rasa pacar saya sudah terbaik banget yang bisa saya temukan ciye), dia takkan bisa menggantikan posisi Tuhan! Sungguh, hanya Tuhanku, kepuasanku!

Maka, bagi mereka yang masih jomblo, jangan bersedih, di masa-masa penantian ini, jadikan Tuhan kecukupan hidupmu. Tuhan itu bener-bener cukup kok! Pantaskan diri, siapkan menjadi pasangan yang baik jika Mr/Mrs Right nanti datang. Saya tuh paling melas dan males kalau lihat anak-anak remaja galaunya setengah mati klo di PHP, di Friendzone atau ditikung, bahkan seolah-olah dunia kiamat lalu sayat-sayat tangan gegara di PHK. duh plis deh, Ada Tuhan yang mengasihimu, menerimamu, lebih jauuuuhh daripada orang yang kausukai dan kaukasihi.

Lalu, bagi mereka yang berpasangan atau dalam masa pacaran, siapakah sumber kepuasan tertinggi kita? Kalau kekasih, wah saya pikir kita sedang membangun kolam air yang bocor yang nantinya akan meremukkan kita sendiri. Saya mengakui saya sendiri sadar atau tidak sadar, juga mudah terjatuh pada kegagalan yang sama, gagal cukup dengan Allah. Maka kiranya kita selalu memeluk kasih karunia Allah dan selalu pulang pada Tempat Peristirahatan Abadi yaitu Allah.

Bagaimana dengan anda

"To fall in love with God is the greatest romance; to seek him the greatest adventure; to find him, the greatest human achievement.”

― Augustine of Hippo


Filipi 1:3 Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu

Gili Labak, Oktober.

Senin, 21 September 2015

Kupu-kupu

Kamu adalah kupu-kupu, yang dulu kepompong rapuh tanpa tujuan hidup tiada tentu. Kamu adalah kupu-kupu, yang dulu bertahan dari hantaman alam untuk menyeruakkan sejuta keindahan saat sayap-sayapmu berkembang. Kamu yang pernah hampir mati, meratap dalam kekalahan tragis akibat ganasnya manusia, menangis penuh sesak hati dan mengutuk keberadaan diri. Kamu yang terus mencoba ada, walau sering merasa tak punya alasan untuk terus ada.

Kamu adalah kupu-kupu, yang akhirnya menerobos keluar cangkang yang mengungkungmu penuh keterancaman. Kamu lalu belajar untuk terbang, mengembangkan sayap dan menyambangi tempat-tempat dimana keindahanmu diakui. Bunga-bunga dan kelopaknya menantimu, namun tak jarang kamu salah menyapa dan berhenti, bunga-bunga itu mengkhianatimu, menghempaskanmu dalam jerit keraguan yang melindasmu dalam kepekatan murka. Kamu mencoba terus ada, walau terus ragu, apakah ada alasan untuk kamu sebenarnya ada.

Sampai tiba dimana alam semesta mewahyukan takdirnya, kau menghinggap padaku, pada sebuah malam yang tak kelabu. Ketika cakrawala bersenandung hangat dalam serbuan mentari senja yang mendayu. Kita memang tak banyak berwicara, sering diam tanpa aksara. Namun toh wajahmu mengirimkan sejuta sinyal yang mengungkap tanda-tanda. Bahwa masa lalu telah berakhir, diganti masa kini dan masa mendatang, masa kamu dan aku.

Aku bersyukur, kamu adalah kupu-kupu, yang kini berhenti di hidupku. Kembangkanlah keindahanmu seluas samudera, karena aku akan melindungimu. Terbanglah dan menari, aku akan menantimu dan menguatkanmu setiap waktu. Bukankah kini kamu adalah kupu-kupuku?



-Starbucks, TP 4. 21 Sept 2015

Selasa, 01 September 2015

Catatan Bacaan "Walt Mueller, Youth Culture 101"

Walt Mueller, dalam Youth Culture 101 melaporkan tentang perubahan kultur dalam kehidupan remaja di Amerika era ini. Ia menyebutnya "perfect strorm." Salah satu perubahan kultur yaitu keluarga yang berubah, apa saja?
1. perubahan yang pertama adalah meningkatnya dan makin diterimanya perceraian.
"National studies show that kids from divorced and remarried families are more aggressive toward their parents."
2. Perubahan yang kedua adalah menjamurnya gaya hidup pasangan tinggal bersama tanpa pernikahan dan juga kelahiran anak tanpa pernikahan.
"50 percent of teenagers who regularly attend church approve of couples living together before marriage."
3. Perubahan yang ketiga adalah krisis "fatherlessness" atau ketiadaan ayah.
Konsekuensi ketiadaan ayah dalam kehidupan remaja begitu mengerikan, remaja yang hidup tanpa ayah menjadi lebih bermasalah dalam emosional, psikologi dan aspek-aspek lainnya.
4. Perubahan yang keempat adalah bertumbuhnya jumlah ibu yang bekerja di luar rumah.
Akhirnya waktu bersama remaja pun berkurang!
5. Perubahan yang kelima adalah sangat-sangat berkurangnya waktu orangtua bersama anak-anaknya.
6. Makin banyak remaja yang menjadi korban dari kekerasan dalam keluarga mereka, baik itu kekerasaan fisik, seksual atau verbal, rumah menjadi sebuah medan perang.
Kesimpulan yang diberikan Mueller: "today teenagers desire real relationships that are characterized by depth, vulnerability, openness,listening and love- connectedness in their disconnected, confused, and alieanated world.
Kyrie Eleison!

(Youth culture 101, page 39-48)
(menyambut September sebagai bulan keluarga GKI Pregbund)

Senin, 31 Agustus 2015

A Bitter Realist

I'm not idealitst anymore, I'm a bitter realist - Soe Hok Gie


Dulu, aku suka mengutip kalimat Soe yang berbunyi: saya memilih untuk menjadi idealis sejauh-jauhnya. Tapi aku makin kesini makin menyadari, kalimat itu oke ketika aku masih muda, waktu masih mahasiswa, ketika mimpi-mimpi tentang dunia yang ideal begitu meletup-letup. Mimpi soal perdamaian, kasih, penerimaan, keadilan dan segala rupa mimpi-mimpi indah lainnya. Namun kini, menjejak usiaku yang ke 26, aku makin menyadari ideal adalah kondisi yang tak mungkin ada dan tak mungkin dicapai, dalam hal apa pun itu. Tidak ada yang namanya kesempurnaan. Bahkan mungkin tidak perlu mengejar kesempurnaan. Soal hubungan antar manusia, beragama, politik, sosial, ekonomi, apapun itu, tidak ada yang ideal, kawan.

Lihatlah dunia: penuh dengan kebobrokan, penuh dengan kehancuran, rusak, korup, sampah, memuakkan sekali. Maka pilihan terbaik yang tidak melelahkan untuk hidup di dunia ini adalah belajar untuk nrimo, kata orang Jawa. Menerima bahwa segala sesuatu ada dalam tataran sebuah drama yang dirancang oleh Sang Sutradara. Kita cuma aktor dari drama itu, tak bisa kita lawan, tak bisa kita apa-apakan. Ini pun, termasuk menerima kenyataan-kenyataan yang memahitkan dan melukai batin kita sebagai manusia.

Inilah langkah awalku menjadi a bitter realist. Seorang yang berusaha untuk melihat dunia dengan kacamata realistis dan rasional, dan dengan hati yang pahit. Kupikir itu menyembuhkanku dari kekecewaan-kekecewaanku pada dunia ini, pada orang-orang, pada institusi-institusi, pada mereka-mereka para penjahat dan penjajah.  A Bitter Realist tentu tidak jadi orang yang diam dengan ketidakidealan yang ada, ia akan menjadi corong yang kuat laksana nabi-nabi era Perjanjian Lama.  A Bitter Realist akan menjadi seorang pejuang untuk melawan kemunafikan dalam berbagai bidang. A Bitter Realist tentu saja, akan menjadi pihak yang berusaha mengasihi musuh-musuh hingga terluka. A Bitter Realist, mungkin bergerak dalam lajur yang sama dengan seorang Wounded Healer, penyembuh yang terluka, dimana ketika ia terjerembap di dalam keterlukaan serta kekecewaan yang ada, ia menjadi penyembuh dan sarana pemulihan bagi orang lain. Bukankah ini jalan yang terbaik untuk menapaki hidup dalam sesak serta luka yang tak berujung? Dunia dimana lingkaran kebencian serta dendam terus menerus berulang dalam siklus yang kekal?

Rabu, 05 Agustus 2015

untuk perempuan yang sedang berada dalam pelukan



Aku malu pada rindu, karena aku selalu mengusirnya bertalu-talu

Aku takut pada rindu, karena menjumpainya adalah sakit yang menderu

Aku enggan berbalut rindu, karena selimutnya seumpama selubung kabut yang membatu.

Dan kalbu menjadi luruh karena rindu yang memekik seribu, menggaduh serbu, mengguncang penuh gemuruh!

Terimakasih pada cinta, meski tiga tahun ia perlu menunggu. Kadang sesal menjadi sendu, mengapa aku tak berani malam itu?

Betapa pengecutnya aku, menghindar dari tuduhan dan penghakiman sosial dan memaksakan perasaan terhanyut oleh waktu.

Kini aku disiksa rindu, kepada perempuan yang (tidak) sedang berada dalam pelukan. 

Andai jarak tiada berarti, kata seorang pesenandung lagu, tentu rindu tak perlu berproklamasi dengan angkuh.

Namun, aku mencoba menyadari, ini adalah konsekuensi situasi yang berpadu dengan hukuman sang waktu.

menjalaninya dengan syahdu serta penuh seru pada sang pencipta rindu, adalah gagasan terbaik yang bisa dijalani tanpa sungut-sungut yang tak perlu.


aku merindu padamu, kekasihku.


*judul puisi ini terambil dari lagu Payung Teduh 


Pregbund 23, untukmu yang bermata elok, berpipi binar dan bermuka riang yang sedang meriang ^^, cepatlah sembuh!

Surabaya-Jakarta 6 Agustus 2015

Sabtu, 18 Juli 2015

Contemplative Relationship



Akhir-akhir ini aku banyak berpikir dan merenungkan apa arti dari sebuah relasi. Secara khusus apa sih arti relasi antara dua insan: lelaki dan perempuan. Terutama dalam konteks anak muda: apa sih arti pacaran? 

[Ngomongin soal ini banyak buku yang ngebahas, eh dan aku jadi ingat waktu di seminari aku baca Joshua Harris, I Kissed Dating Goodbye (bener ngga judulnya? LOL), semua orang yang ngelewatin aku mereka akan teriak: Himawan bertobat! Bacanya bukan Barth sekarang tapi mau pacaran! Hahaha, setelah setengahnya membaca buku itu aku merasa sangat bosan, kulempar buku itu ke kursi dan kemudian berpaling lagi pada buku-buku filsafat wkwkwk teman yang meminjami buku itu heran dan berkata: cepet banget bacanya? waktu aku kembalikan bukunya] 

Nah back to topic. Apa sih arti sebuah relasi? Nah disini, dipengaruhi pendekatanku terhadap Youth Ministry, aku menawarkan arti sebuah relasi dengan istilah contemplative relationship!

Apa itu contemplative?

Aku ambil deskripsinya dari buku Yaconelly, Contemplative Youth Ministry:

Contemplation means "being" with God within the reality of the present moment. Contemplation is about presence. It's about attentiveness --opening our eyes to God, ourselves, and others. Contemplation is an attitude of the heart, an all-embracing hospitality to what is. Contemplation is a natural human disposition. It's the way in which we approached the world as children: vulnerable, open and awake to the newness of the present moment.
Singkatnya, kontemplatif adalah berada bersama-sama dengan Allah, setiap saat setiap waktu, setiap ruang, berjalan bersama-Nya. Maka, jika digandengkan dengan kata relasi, contemplative relationship dapat kita pahami sebagai relasi diantara dua manusia yang berjalan bersama-sama dengan Allah untuk menuju kebaruan yang terus menerus di dalam diri mereka. 

Nah, ciri khas penting dari contemplative relationship ini adalah ditandai dengan 

(1) refleksi-refleksi yang berkala diantara kedua belah pihak, lelaki dan perempuan. Apa yang kurang dariku, apa yang salah dengan omonganku, apa yang harus kulakukan untuk jadi orang yang lebih baik? Bagaimana Tuhan kita temui dalam relasi ini? Apakah engkau dan aku makin mengasihi Yesus daripada mengasihi pasangan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk diajukan, karena contemplative relationship berpusat pada pengenalan akan Kristus, akan diri sendiri dan kemudian pasangan.

(2) momen-momen istirahat yang khusus. Semua hal di dunia ini, pasti melelahkan! Bukankah satu-satunya istirahat yang sejati ada di dalam hadirat Allah kita? Kecukupan dan keberlimpahan yang penuh hanyalah di dalam kasih Sang Mahakasih itu sendiri, maka memiliki waktu rest dari komunikasi pasangan adalah kunci penting. Memenuhi kasih dengan kasih sejati adalah bensin terbaik untuk kendaraan berelasi kita.

(3) tidak berorientasi pada aktivitas namun pada keintiman dan pengenalan. Dewasa ini orang pacaran dan berelasi dengan ditandai: baju couple, foto Instagram berdua, makan berdua, nonton berdua, liburan berdua, dan aktivitas yang dijalani bersama-sama. Aktivitas, atau kuantitas pertemuan, tentu penting, namun itu bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah waktu kualitas dimana kita berbicara dan mendengarkan, memahami dan dipahami, berusaha mengerti dan diterima apa adanya. Jadi bisa saja begini, orang pacaran 2 tahun tapi nggak kenal apa-apa dari pacarnya, karena dia cuma berpusat pada aktivitas! Relasi yang kontemplatif begitu berbeda perspektif dengan activity based relationship. Bisa saja pasangan ini tidak pernah kemana-mana, tidak banyak orang yang tahu, kadang juga telpon dan chat begitu jarang karena masing-masing sibuk, tapi keduanya memusatkan pada diskusi, tukar pendapat, obrolan dan bahasa-bahasa kasih yang membuat fondasi relasinya makin pekat. Contemplative relationship dengan demikian, akan sangat baik dikembangkan bagi mereka yang sedang mengalami LDR alias hubungan jarak jauh. Aku sendiri pelaku nya! wkwkwkkwkwkw



Nah, di dalam refleksi-refleksiku tentang relasi ini, Roh Kudus mengingatkanku pada kalimat Rasul Paulus dalam Filipi 3:8: 
Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya.
Itu berarti, relasi/pacaran itu tak lebih penting daripada pengenalan akan Kristus Yesus. Relasi yang tak menghasilkan apa-apa dalam pengenalan akan Dia hanyalah sekedar relasi kosong yang didasari pada hawa nafsu, egoisme dan pencarian kepuasan hasrat manusiawi. Bukankah hanya Dia (bukan pacar kita) yang bisa memenuhi segala sesuat? Bukankah hanya Dia (bukan pacar kita!) Sang Gembala yang baik, air hidup yang abadi, kasih yang sejati, dimana kita merasa cukup?

Pertanyaan bagi pembaca, kalau engkau yang belum pacaran, mau membangun jenis relasi yang bagaimanakah engkau? Berpusat pada aktivitas dan sekedar keren-kerenan supaya tak dicemooh jomblo ngenes tak berpengharapan? Atau relasi yang berpusatkan pada keberadaan bersama Allah?

Lalu, kalau engkau sudah berpacaran, relasi apa yang kamu miliki?  







#Pregbund, 18 Juli 2015. rest day 

Sabtu, 11 Juli 2015

Cinta yang Sederhana

Akhirnya aku memiliki sang sederhana. Tanpa bualan-bualan sampah dan janji-janji penakluk aku menggenggammu. Tak perlu menjadi laki-laki tukang eksploitasi, hanya sekedar otentik dan menawarkan kekuatan yang tak banyak adalah cara terbaik untuk menyatakan keberadaan diriku. 

Dan segalanya kini jadi berbeda, bukan?


Pagi yang dulu penuh kemalasan dan hampir tanpa harapan hidup berubah jadi fajar penuh semangat dan canda. Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, sekedar sapa tawa di pagi hari olehmu adalah suntikan sederhana penyemangat sukma.


Siang yang sering dipenuhi rasa kesal juga lelah karena ini dan itu, bertransformasi menjadi siang yang dilingkupi rindu yang penuh serta utuh menyatu di dalam kalbu.  Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, sekedar sinyal bagus sehingga kita dapat melihat wajah satu dengan yang lain di layar telepon genggam kita adalah sebuah ritual penjaga relasi, sederhana namun berjuta makna.


Senja yang lalu adalah senja yang kelabu. Tanpa hasrat, tanpa rasa, belenggu rutinitas terbahak-bahak karena aku digenggam dalam penjara rasa bosan yang begitu gaduh. Tapi kini senja adalah latar belakang terbaik bagi lukisan-lukisan asmara yang kita gambar bersama. Kadang kita lukis pertengkaran, perdebatan, kadang kita lukis gombalan, penguatan dan penghiburan. Semua menjadi kumpulan-kumpulan cerita dalam sebuah lukisan relasi yang mengungkap tanda: kebahagiaan. Bukankah kebahagian tak identik dengan keadaan tenang semriwing-semriwing? Kebahagiaan adalah soal menjalani suka-duka, jurang-puncak, lembah-dataran, bersama-sama sang keindahan: kamu!  Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, cukup dengan suara jernih di telingaku, itu adalah obat terbaik bagi kanker rindu yang menguasai hemoglobin, neuron, bahkan jantung batinku.

Dan malam bukanlah akhir hari yang dipenuhi keputus asaan, kepicikan pikir atau kedangkalan mimpi. Malam adalah waktu kita bercengkerama dalam ruang yang memang begitu singkat dan terbatas, namun bahasamu begitu dalam, renyah, dan sekali lagi, sederhana. Lagi-lagi tak perlu bermewah-mewah, cukup dengan tangisan-tangisan pengakuan sebagai tanda pembaharuan hubungan, itu adalah alat terbaik untuk dasar dari sebuah revolusi.


Aku berdoa supaya kamu tetap sederhana. Kita tetap sederhana. Karena mencintaimu adalah caraku untuk melawan kapitalisme dengan cara yang paling sederhana. Di dunia dimana orang-orang menawarkan cinta dan romantika dengan bermewah-mewah, bahkan sering dengan kosmetik hipokrisi yang naif dan angkuh, aku ingin kita saling merindu dalam ruang yang sempit, dan kecil, yang tak banyak orang ingin menjalaninya: ruang hubungan jarak jauh, ruang yang sederhana meskipun ia memiliki kerumitannya sendiri-sendiri yang hanya kita berdua yang tahu. Yang pada suatu saat nanti, godaman-godaman rindu itu akan kita bayar tuntas, ketika aku dan kamu menjadi satu, sekali lagi, dalam bingkai kesederhanaan.  Aku jatuh cinta pada cinta yang sederhana. Cinta yang tak menuntut, tapi cinta yang kepadanya aku rela memberi segala-galanya.


Ah, Terimakasih, karena mencintaiku dengan sederhana. Terimakasih karena menjadi yang sederhana.

Senin, 29 Juni 2015

Aku merindu!

Karena Ranu Kumbolo adalah kamu!
Aku merindu!

Memandang secara langsung mata belok yang elok berbinar dengan sejuta pesona cahaya kemanjaan. Video call dan foto-foto itu antibiotik murahan, karena toh  mereka cuma mampu menunda aku dirudung sakit ini, tak pernah secara serius menyembuhkan virus kangen yang tak terpermaikan ini.  Obatku cuma satu: kehadiranmu!


Aku merindu!

Menggandeng tangan lemah lembut itu. Karena ketika itulah neuron-neuron otakku mengirimkan informasi tentang sebuah perasaaan bangga.  Bangga ketika merasakan bagaimana diriku diberikan kesempatan untuk melindungi dan menawarkan kekuatanku. Bukankah panggilan seorang pria untuk mengamankan keindahan? Dan, bukankah kaulah keindahan yang paling indah yang mampu kutemukan di dalam ciptaan-Nya?


Aku merindu!

Pada pelukan-pelukan mesra romantis yang menimbulkan badai serotonin, dopamin, oxytocin menyapu sekujur pembuluh darahku. Itulah dimensi waktu dimana aku tak memandang kamu sebagai objek atau benda yang bisa dijajah serta dieksploitasi seenaknya. Namun sebagai subjek yang utuh yang kuhormati dengan kasih, cinta, sayang dan kemanusiawiaan yang sesungguhnya. Bersamamu, aku menjadi Marxist dalam tataran paling personal!


Aku merindu!

Jalan berdua bersama-sama tak mempedulikan manusia-manusia di sekelilingku. Sesungguhnya, berjalan bersamamu adalah petualangan yang paling mendebarkan yang pernah ada. Mungkin, seven summit adalah ide-ide usang dan gagasan dari mereka yang kesepian karena terlalu lama asyik sendiri.  

Semua jadi hilang kalau kau ada! Sajak-sajak Shakespeare menjadi sastra murahan yang layak masuk tong sampah karena toh aku sudah memiliki puisi terbaik di dunia ini: dirimu. Lukisan-lukisan Michelangelo dan DaVinci adalah sejarah yang tak perlu digubris karena toh wajahmu adalah lukisan semesta; pembuat sejarah yang merevolusi arah duniaku. Bach, Mozart, Chopin, The Beatles, Metallica seumpama tukang nyanyi di WC yang pantas dibunuh karena suaranya mengganggu pendengaranku, bukankah hanya suara dan denting tawamu yang sanggup kudengar?  Bahkan kemegahan konstelasi galaksi Bimasakti dan Adromeda hanyalah siput kecil tak berguna, bagiku kaulah rangkuman dari segala kemegahan itu! Ah, segala yang hebat di dunia ini bahkan di semesta ini, tak cukup berarti untuk menggantikan keberadaanmu di sampingku. Mungkin (dan seharusnya, ah, meskipun sebuah pergumulan untuk mengakuinya!) hanya Sang MahaCinta yang bisa mengalahkanmu.

Kau adalah bagaskaraku, langit biru yang menggaduh meneduhkan jiwa yang sudah lama menderita kesenderian. Kau laksana hujan deras yang menyapa tanah tandus yang gersang karena bertahun-tahun dihantui ketakutan untuk membangun sebuah ikatan. Kau adalah revolusi. Penggerak dari turbulensi. Pemuas dari dehidrasi. Penawar dari ekstaksi. Jawaban dari sebuah eksistensi. Mesias penyelamat sepi.


Ah, aku begitu merindu!






#NP "Long Distance" Bruno Mars

Untukmu!

Kamis, 28 Mei 2015

Catatan Retret Pribadi: In The Valley


When You lead me to the valley of vision
I can see You in the heights
And though my humbling wouldn't be my decision
It's here Your glory shines so bright
So let me learn that the cross precedes the crown
To be low is to be high
That the valley's where You make me more like Christ
Let me find Your grace in the valley
Let me find Your life in my death
Let me find Your joy in my sorrow
Your wealth in my need
That You're near with every breath
In the valley
In the daytime there are stars in the heavens
But they only shine at night
And the deeper that I go into darkness
The more I see their radiant light
So let me learn that my losses are my gain
To be broken is to heal
That the valley's where Your power is revealed
You near to me. .. .

Akhir-akhir ini aku merasa nestapa. Bukan galau gelisah merana romantisme anak-anak remaja tentu, tetapi berkaitan dengan sesuatu yang lebih eksistensial. Pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hidup: mengapa saya mengalami begini dan tidak begitu, Mengapa bapakku meninggal saat aku baru seminggu SMA? Mengapa kakakku yang paling dekat harus meninggal karena kanker,sehingga bahkan tak sempat melihatku wisuda S-1 teologi? Mengapa aku pelayanan di tempatku saat ini dengan kesulitan ini dan itu? Dan segala macam pertanyaan mengapa lainnya. . .
2 hari ini aku menyepi, retret pribadi di sebuah rumah retret di daerah Jedong, Wagir, Kabupaten Malang. Membaca buku Richard Foster, Streams of Living Water, berdoa syafaat untuk pelayanan (sesuatu yang begitu terlupakan), membaca ulang Wahyu-Hosea-Galatia, menulis jurnal refleksi pribadi, jalan-jalan mengelilingi lokasi yang hijau dan alami, tidur lebih banyak daripada biasanya. . . . itulah serangkaian kegiatan yang kulakukan. Semua hanya untuk mencari pemulihan fisik, mental dan spiritual. Terpujilah Tuhan, yang memberkati retret pribadi ini. Dalam sunyi dan kesederhanaan, suara-Nya menggema, kehadiran-Nya membekas, dan energi Ilahi itu kutemukan.
Puncaknya malam ini, sembari mempersiapkan khotbah untuk hari Minggu ini, aku iseng-iseng memutar lagu-lagu di laptopku. Dan tanpa sengaja memutar lagu In The Valley di atas. . lagu yang menyerap kesadaranku begitu sangat, lalu aku merasakan sapaan-Nya, jawaban lembut-Nya atas pertanyaan-pertanyaan nestapa-eksistensial dalam diriku: karena Aku ingin kamu serupa dengan Aku? Aku menangis terisak dan merasakan kehadiran-Nya begitu dekat, amat dengat sangat dekat. . . Sungguh, tidak ada yang lebih berharga di tengah dunia ini, selain kehadiran Allah dalam Kristus yang begitu dekat dan mengubahkan hidup, memenuhi jiwa yang kosong, menghangatkan hati yang sendu, memulihkan batin yang terluka oleh dunia.
Kepada kawan-kawan seperjuangan yang memperjuangkan panggilan revolusioner untuk memberitakan Kabar Baik, memuridkan orang, mewujudnyatakan kerajaan Allah, seringkali mengerjakan panggilan ini begitu melelahkan, jika engkau lelah, pulanglah ke pelukan-Nya, pulanglah ke rumah batin paling nyaman dan aman yaitu kasih-Nya. Tanpa itu, kita akan mudah berbelok arah, dikacaukan bisingnya dunia, tertipu oleh diri sendiri, dihancurkan oleh nafsu dan kekuasaan, bahkan mungkin terperangkap dalam kebohongan harta, hidup dalam kemunafikan serta kosmetik rohani . . . Sungguh kawanku, pulanglah!

Oh Tuhan, aku mau jadi hamba yang murni,
Terbakar oleh hati yang dipenuhi kasih
Menghidupi ketaatan sebagai tanda pengudusan
Berjalan bersama Roh Kudus, yang bekerja dengan aktif-kreatif
Memperjuangkan keadilan sosial, rekonsiliasi rasial, pemberdayaan kaum miskin-tertindas
Membaca dan mengajarkan firman Tuhan serta memuridkan dengan setia
Hidup inkarnatif, menghadirkan realitas spiritual yang nyata dalam dunia material yang penuh dengan dosa
Amin.

*Rumah Khalwat Betlehem, ds. Jedong, Wagir, Kab. Malang. 28 Mei 2015. Doa ini kutulis setelah menyelesaikan Streams of Living Water, setiap kalimatnya adalah definisi dan ciri khas dari 6 tradisi spiritualitas Kristen yang ada dalam sejarah panjang Kekristenan.



Kamis, 19 Maret 2015

Pemuridan Sebagai Aksi Revolusi



Kagetkah anda mendengar judul tulisan ini? Pemuridan sebagai aksi revolusi? Apa maksudnya? Tidakkah di telinga kita, aksi revolusi menjurus dengan gerakan-gerakan anarkis mahasiswa, tindakan penggulingan terhadap pemerintahan otoriter sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan dunia Timur Tengah belakangan ini.  Dan, bagi orang-orang mapan yang asyik dengan kesenangannya sendiri, kata revolusi biasanya dianggap sebagai sesuatu yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kata revolusi pun dipandang picik dengan negatif, kematian aktivis mahasiswa Sondang Hutagalung dengan aksi bakar dirinya yang dipandang sebagai sebuah kenaifan adalah buktinya.

Tetapi, di sini saya tetap mengajukan bahwa pemuridan, dalam konteks ini, tentu saja pemuridan Kristiani, pada dasarnya adalah sebuah aksi revolusi.  Penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan bahwa revolusi adalah berkaitan dengan perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang tertentu, sedangkan kata revolusioner adalah kecenderungan untuk menghendaki perubahan dalam tataran mendasar secara cepat. Maka, aksi revolusi adalah sebuah tindakan atau kegiatan yang menghendaki perubahan yang mendasar dalam suatu bidang. Nah, bukankah dengan definisi tersebut, memasukkan pemuridan sebagai sebuah aksi revolusi adalah absah? Ya, jelas! Tentu saja!


Pemuridan adalah panggilan dan kewajiban bagi semua orang Kristen. Yesus dari Nazaret tidak menyuruh pengikut-Nya untuk membangun agama dan menjadikan semua orang Kristen, tetapi Ia menghendaki: jadikanlah semua bangsa murid-Ku! (Mat. 28:20). Seorang murid adalah seseorang yang selalu mengikuti kemana arah langkah gurunya pergi. Kemana tutur-ucap, laku-tindak, pikir-pandang gurunya tertuju, itulah yang murid tuju. Seorang murid Kristus adalah seorang yang mencoba belajar dari Kristus, dan menjadi sama serupa dengan Kristus. Kalau begitu, pemuridan adalah usaha untuk menjadikan seseorang menjadi sama dengan Kristus.


Melihat deskripsi secuil saya tentang pemuridan di atas, maka pungkaslah bahwa pemuridan itu adalah aksi revolusioner. Menjadi serupa dengan Kristus itu adalah menghendaki perubahan mendasar terjadi! Alasannya? Setidaknya ada dua: 1. Menjadi serupa dengan Kristus itu merubah diri. 2. Menjadi serupa dengan Kristus itu merubah dunia dan sekitarnya. Segala sesuatu yang ada di dalam diri kita diubah seperti Dia, kemudian, dengan internalisasi karakter Yesus itulah kita melangkah menuju transformasi dunia di sekitar kita. Benarlah kalimat seorang teolog Jerman bernama Juergen Moltmann: Christian life is a form of practice which consists in following the crucified Christ, and it changes both man himself and the circumstances in which he lives.

Saya hendak pungkas wacana di sini, pemuridan jelas adalah sebuah aksi revolusi yang perlu, harus, dan wajib dikerjakan oleh orang Kristen, lebih-lebih mahasiswa Kristen, yang selalu, selalu, dan selalu dituntut untuk menjadi agen perubahan. Gereja seringkali lupa dan tak acuh pada kepentingan pemuridan, gereja mengalihkan diri pada hal-hal yang sekunder namun dianggap primer (bangun gedung, KKR, dst). Harap saya, mahasiswa Kristen sadar akan hal yang fundamental untuk mereka kerjakan: pemuridan. Oleh karena itu, mulailah melangkah dengan membentuk komunitas-komunitas KTB di mana kita bisa hidup bersama, saling membangun di dalam kesatuan tubuh Kristus. Bagi mereka yang belum terlibat dalam kehidupan KTB, ambillah kesempatan untuk hidup ber-KTB, karena ketika anda mempunyai hidup bersama, maka sesungguhnya anda sedang terlibat dalam sebuah aksi revolusioner bagi Kerajaan Allah. Diri anda diubah, keluarga anda diubah, lingkungan anda diubah, bangsa dan negara anda diubah, sampai seluruh dunia anda diubah.

Pertanyaan akhirnya: bersediakah anda?


*tulisan ini ditulis untuk sebuah persekutuan kampus, kisaran aku tingkat akhir di SAAT

Berdialog dengan Soe Hok Gie (6) : Donna, Donna, Donna [repost dari FB]

Akhirnya ada waktu juga untuk menulis kelanjutan serial "Berdialog dengan Soe Hok Gie."  Kali ini, diskusiku dengan Soe hadir di Kota Bandung, yang disebut-sebut Paris Van Java.  Dan menariknya, buku Catatan Seorang Demonstran tak kubawa, buku Soe: Sekali Lagijuga tidak.  Tetapi ternyata di tengah-tengah dinginnya udara Bandung, aku terbawa dalam perenungan dan diskusi singkat bersama Soe melalui jalan lain. Jalan lain itu adalah sebuah lagu berjudul "Donna-Donna."  Mengejutkan.  Donna-donna adalah salah satu lagu yang dikutip oleh Soe dalam catatan hariannya.  Dalam film Gielagu ini dinyanyikan oleh Sita RSD.  Harus kucantumkan dulu liriknya:

On a waggon bound for market
there's a calf with a mournful eye.
High above him there's a swallow,
winging swiftly through the sky.

Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.

Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.

Stop complaining!??? said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don't you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?

Repeat Reff

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.


Mengapa lagu ini muncul dalam catatan harian seorang Soe, demonstran, aktivis, pemikir, seorang ateis-moralis, seorang sejarahwan, orang melankolik yang peduli pada bangsanya, seorang pendobrak yang tidak pandang bulu, seorang yang kesepian dalam perjuangannya? Mengapa? Pertanyaan ini muncul dalam diri saya.  Maka dari itu, tulisan ini adalah sebuah tindakan hermeneutis, sebuah tafsiran mengapa lagu itu muncul dalam catatan harian Soe.  Sayang sekali, CSD tidak ada di tangan.  Mungkin jika saya tahu tanggal tepatnya, tafsiran ini akan lebih akurat. Tapi mari kita coba!

Segera saja saya membuka Mbah Google, memohon pertolongan dari dukun informasi yang sangat keren itu.  Nah, kamus Wikipedia ternyata menguraikan dengan sangat panjang lebar tentang lagu ini.  Saya enggan menerjemahkannya, jadi beberapa bagian penting akan langsung saya kutip.

Pertama-tama, ternyata Donna-donna berasal dari bahasa Ibrani, dan memang bagian dari seni Yahudi. Tentu hal ini mengejutkan saya sebagai seorang sarjana Kitab Suci. 

"Donna Donna (דאַנאַ דאַנאַ "Dana Dana", also known as דאָס קעלבל "Dos Kelbl" — The Calf) is a Yiddish theater song about a calf being led to slaughter. The song's title is a variant on Adonai, a Jewish name for God."

Lalu, tentang sejarahnya,

"Dana Dana was written for the Aaron Zeitlin stage production Esterke (1940–41) with music composed by Sholom Secunda. The lyrics, score, parts, and associated material are available online in the Yiddish Theater Digital Archives.The lyric sheet is in typewritten Yiddish and handwritten Yiddish lyrics also appear in the piano score. The text underlay in the score and parts is otherwise romanized in a phonetic transcription oriented toward stage German."

Sayang sekali tidak jelas dalam latar belakang bagaimanakah lagu dengan komposisi musiknya ini dimainkan, saya tidak mendapatkannya lebih lanjut.  Tetapi ada satu fakta menarik bahwa lagu ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.

"Secunda translated Dana Dana into English (changing the vocalization of dana to dona), but this version failed to gain popularity. The lyrics were translated again in the mid-1950s by Arthur Kevess and Teddi Schwartz, and the song became well known with their text. It became especially popular after being recorded by Joan Baez in 1960, Donovan in 1965 and Patty Duke in 1968.

Dana Dana has been translated into and recorded in many other languages including German, French, Japanese, Hebrew, Russian and Vietnamese. It has been sung by performers including Nechama Hendel, André Zweig, Chava Alberstein, Esther Ofarim, Theodore Bikel, Karsten Troyke, Sumi Jo, Claude François, and Hélène Rollès together with Dorothée."

Selesai informasinya? Oh tunggu, baru saja saya membuka website Yahudi (http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/judaica/ejud_0002_0006_0_06094.html) yang mengisahkan tentang kisah Esterke (kisah yang menjadi tempat di mana lagu ini dimainkan dan dinyanyikan).  Pun, Esterke adalah judul pergelaran teaternya, barangkali seperti Sendratari Ramayana di Borobudur.  Ternyata Esterke mengisahkan perjalanan kehidupan seorang wanita Yahudi yang berasal dari sebuah desa di Polandia, yang menjadi istri dari Raja Polish, Casimir the Great (1310–1370).  Esterke adalah seorang wanita yang sangat cantik, dimana kecantikannya memikat Raja Casimir.  Ending cerita cinta ini tidak jelas, ada yang bilang Esterka mati bunuh diri setelah sang Raja mati. 

Tapi yang seharusnya kita tahu adalah makna dari kisah ini. Dalam literatur yang lain (http://www.yivoencyclopedia.org/article.aspx/Esterke), menyebutkan bahwa kisah ini menunjukkan bagaimana sebuah pernikahan yang bertujuan untuk menyelamatkan sebuah bangsa besar yaitu Yahudi. Hasil pernikahan dari Esterke dan Raja Casimir adalah dua orang anak laki-laki, yang menjadi Kristen dan dua orang anak perempuan, yang menjadi Yahudi.  Makna dari kisah ini adalah sebuah an act of self-sacrifice dimana pengorbanan diri seorang Esterke, essential for the survival of the entire Jewish community.  Sehingga, sebenarnya kisah Esterke bercerita tentang pengurbanan diri seorang wanita yang bertujuan menyelamatkan komunitas Yahudi! Mirip-mirip dengan kisah Ester dalam kisah Alkitab Perjanjian Lama!  Dalam konteks kisah inilah, saya akan menafsir lagu Donna-donna, yang dipakai oleh Soe.

Ingat kembali informasi yang saya cantumkan di atas, bahwa lagu ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa.  Barangkali, Soe mendengarkan versi Joan Baez, seorang American folk-singer, songwriter, dan activist, yang menyanyikan lagu ini kisaran tahun 1960, tahun dimana Soe masih sangat aktif.  Harus sadar pula, bahwa Soe adalah seorang pecinta folk-song.  Jadi Soe hampir pasti mendengarkan versi Joan Baez.

Oke. Selanjutnya kita lihat lirik Donna-donna ini! Saya akan menafsirnya dalam terang konteks kisah Esterke dan juga lansung mengaplikasikannya pada kehidupan Soe.


On a wagon, bound for market
There's a calf with mournful eye
High above him there's a swallow
Winging swiftly through the sky

Seekor anak sapi yang murung matanya, memandang burung layang-layang terbang di angkasa.  Bagi saya, bait pertama ini menyatakan kisah Esterke yang mungkin merasa murung dan sedih, ketika harus mengurbankan dirinya menikah dengan Raja Casimir.  Inginlah ia terbang ke angkasa, yang tak ada seorangpun yang bisa mengenggam, menguasai dan mengekploitasinya. Lalu Soe? Mungkin Soe menyanyikan bait ini, ketika ia merasa kesepian! Ia, yang merasa harus selalu berkorban demi bangsa dan negaranya, demi perjuangan yang adalah pacarnya, adalah a calf with mournful eye, seekor anak sapi yang bernama Donna-donna itu. Seekor korban, atau seorang yang berkorban!



Refrein:
How the winds are laughing
They laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summer's night

Nah, angin pun tertawa-tawa, menertawai seekor anak sapi yang hendak dibunuh untuk dikurbankan. Sepanjang hari angin itu tertawa, tertawa lebar! Barangkali Soe, merasa ditertawai oleh dunia, atau oleh musuh-musuhnya. Seolah-olah perjuangannya, (yang dikerjakan melalui tulisan, dsb) adalah sia-sia belaka! Soe pun merasakan apa yang namanya kesepian!


Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna-dai
Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna-dai


Oh Soe! Apa yang dikau rasakan. Ketika engkau menantang dunia, dan terhujam dalam kesepian.  Apakah sedih? Menangis? Atau justru membuatmu semakin ingin memukul dunia? Dunia yang kejam, tidak adil, dan jelas tidak sesuai dengan mimpi-mimpimu??

Stop complaining, said the farmer
Who told you a calf to be
Why don't you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free

Akhirnya, seekor anak sapi memang harus mati sebagai kurban. Seorang Esterke harus menikah demi keselamatan komunitasnya.  Seorang Soe, hidupnya tak merasakan kebahagiaan, karena ia telah berikrar mengurbankan diri, memberikan hidup bagi sesamanya.  Ia memang harus melakukannya. Itukah yang namanya panggilan hidup?


Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But however, treasure freedom
Like the swallow who learned to fly

Ya, Never knowing the reason why, Seekor anak sapi, seorang Esterke, seorang Soe, barangkali tidak akan mengerti mengapa mereka yang harus menderita, dan berkorban.  Tetapi nyanyikanlah, treasure freedom, Like the swallow who learned to fly.  Milikilah kebebasan itu! Bagi saya, menjadi seekor anak sapi, Esterke, dan seorang Soe, yang berkurban, menjadi korban, mengorbankan hidup demi sesuatu yang besar, justru itu menjadi bebas-sebebasnya. Manusia menjadi manusia yang sesungguhnya ketika hidupnya memakna dengan menjalaninya sebagai sebuah hidup yang dipersembahkan untuk manusia-manusia yang lain.  Dengan itulah manusia tak menjadi egois, dengan itulah manusia tak menjadi individualis dan materialis sebagaimana impian modernisme, dengan cara itulah, manusia menggapai an sich-nya!


Saya adalah seorang anak muda, yang berikrar untuk mengorbankan hidup saya demi sesama. Tak perlu lagi mencoba menggapai uang, harta, kemapanan hidup. Yang saya inginkan, adalah hidup saya berarti demi sesama. Itulah mengapa saya menapak jalan panggilan saya yang saat ini. Dan saya, sama seperti Soe, seringkali kesepian, seringkali mungkin merasa dunia sedang menertawai saya.  Keraguan menghinggapi saya untuk saya terus menapak jalan ini.  Mungkin, memang ada beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang anak muda berumur 21 tahun.  Karena si anak muda ini terlalu ingin dan memang harus, memikirkan persoalan dunia, gereja, masyakat, politik-sosiao-ekonomi dan banyak hal lainya. 

Tapi justru itulah, ketika saya menafsir lagu ini, berdialog dan berdiskusi dengan Soe dalam tulisan ini, saya merasakan treasure freedom, menjadi pihak, subjek yang bebas, sepenuhnya bebas! Dan malah diyakinkan untuk terus mengurbankan diri, waktu, dan energi untuk sesama. Di situlah saya merasa bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa, menari di tengah cakrawala langit yang terhampar di atas sana. Terbang bebas. Tanpa ada kabel-kabel lisrik, gedung-gedung pencakar langit dan senapan angin yang mengganggu saya.

Soe! Terimakasih sekali lagi. Engkau yang mati muda, tetapi mati sebagai pahlawan, karena telah memberikan dirimu sepenuh-penuhnya bagi sesama. Soe mengingatkan saya melalui lagu ini, untuk terus berjuang, tidak menyerah.  Memperjuangkan mimpi-mimpi, melawan dunia yang semakin kacau, banal dan gelap ini, dengan jalan yang saya tempuh.

Di penghujung tulisan ini, entah mengapa saya jadi ingat kalimat Guru dan Junjungan saya, Yesus dari Nazaret
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

Ya, seorang manusia, menjadi manusia seutuhnya ketika ia mengurbankan hidupnya sendiri demi sesamanya.  Bagi mereka yang sedang berjuang, jangan takut! Kita berada dalam jalan yang benar.





*Tulisan ini adalah serial tulisan yang saya tulis dalam rangka berdialog dengan Soe Hok Gie, intelektual muda Indonesia, yang hidup kisaran tahun 1960-an.  Ia meninggal dunia pada umur yang masih muda, 27 tahun, di puncak Semeru.  Saya rasa, sangat baik sebagai seorang Indonesia, dan anak muda yang lagi belajar, untuk berdialog dengan pemikiran dan kegundahan hati seorang Soe.  Saya tulis pula khusus bagi sahabat saya, Zadok Elia, anak muda yang juga sedang memimpikan akan Indonesia yang lebih baik. Sumber utamanya tentu saja catatan harian Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, terbitan LP3ES.