Senin, 13 Mei 2013

Otentik




Kisaran bulan April 2012, di tengah sebuah pergumulan, aku nge­tweet begini: “rasanya lebih baik jadi penjahat namun otentik, daripada jadi rohaniwan yang nampak baik namun munafik.”
Kalimat di atas mungkin akan mengejutkan bagi beberapa pihak, karena ditulis oleh diriku, yang adalah mahasiswa teologi. Namun, mohon cermati sesungguhnya, ide mendasar yang ingin aku sampaikan adalah soal “menjadi pribadi yang otentik.” Dan sungguh, ide tentang menjadi pribadi yang otentik ini adalah ide yang relevan, kontekstual sekaligus revolusioner di tengah zaman ini.

Kenapa demikian?

Lihatlah, kawan, kita ini hidup dalam sebuah dunia yang penuh dengan sapuan kosmetik. Puspa ragam iklan yang mendengung bak nyamuk ingin menyerap darah manusia, menawarkan berbagai macam produk yang membawa kita, manusia, untuk menjadi pribadi yang “tampil menawan, rupawan, memikat, dan sempurna.” Inilah sebuah dunia yang menghantar kita hidup di dalam relung kemunafikan.

Ya. Dunia yang meminta kita untuk menjadi sempurna. Cermati iklan yang ada: pria dengan perut six-pack, gagah sempurna dengan mobil mewah atau sepeda motor mahal; atau perempuan cantik dengan kulit putih mulus dan tubuh ramping, akan menjadi ukuran sebuah “kesempurnaan” tubuh manusia.[1] Bukankah kita larut pada tuntutan untuk menggapai hal-hal itu? Coba kau tanya apa yang diinginkan seorang anak remaja pria, pasti jawabnya: ingin sukses, punya materi dan berpacar cantik. Jawaban yang umum dan wajar bukan? Barangkali setiap kita juga akan menjawab hal yang sama bila ditanya.

Dan pada saat yang sama, dunia yang meminta kita menjadi sempurna itu adalah dunia menipu kita dalam sebuah kehidupan yang ilusif.  Dunia yang ilusif itu membuat kita berada dalam “bisnis hipokrisi.”[2] Kita ingin menjadi hebat, kita ingin menjadi kuat dan powerfull, saat itu pula kita tidak ingin terlihat lemah, rapuh dan kalah. Bagi dunia ilusif ini, orang-orang lemah dan rapuh adalah orang-orang yang gagal. Mereka yang miskin hanyalah pihak yang perlu disingkirkan. Mereka yang marginal hanya akan disisihkan. Inilah sebuah dunia yang penuh kemunafikan. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Orang harus menjadi apa yang dunia ini katakan dan inginkan.


Lalu mengapa kita perlu menjadi otentik?

Karena Alkitab sendiri yang menggagas ide anti kemunafikan itu!

Orang Farisi yang tampil sebagai rohaniwan yang perkasa, gagah dengan semua dogma, lekat dengan Taurat di jiwa dan lahiriah. Memakai ukuran dunia ilusif yang kujelaskan di bagian terhadulu, tentu mereka adalah orang-orang yang berhasil. Namun perhatikan, orang Farisi ini malah dikecam Tuhan Yesus sebagai “munafik” (bdk. Mat. 15:7, dalam pasal 23 kata ini dipakai sebanyak 6 kali). Hypocrite: hidup dalam topeng, kepalsuan, bermain sandiwara.  Mereka digambarkan “suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam lingkungan ibadat dan pada tikungan jalan raya, supaya dilihat orang.(Mat. 6:5) Jadi, inilah ciri-ciri orang munafik, yaitu mereka yang melakukan sesuatu untuk dilihat, dipandang orang lain. Tindakan itu tentu berpijak pada sebuah kacamata terhadap realitas bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh orang lain. Orang seperti orang Farisi hidup dalam fashion show, penuh topeng sandiwara, superfisial!


Firman Tuhan menegaskan bahwa menjadi otentik adalah sebuah perintah “Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah” (1Petrus 2:1). Ini berarti menaruh kemunafikan di keranjang sampah! Jelaslah bahwa kemunafikan bukanlah ide Alkitabiah, menjadi pribadi yang  otentik-lah jawabannya!


Lalu apa itu otentik?

KBBI memberi arti: dapat dipercaya, asli, tulen, sah. Sedangkan kamus Oxford Dictionary menjelaskan authentic sebagai    of undisputed origin or veracity; genuine. Jadi otentik adalah apa yang sesuai fakta. Apa yang ada di dalam diri kita. Bahasa sederhananya, menjadi diri sendiri, pribadi yang apa adanya sehingga tidak perlu menuntun menjadi orang yang “ada apanya.” Otentik adalah soal menerima diri kita apa adanya.


Munafik, Otentik dan Kepemimpinan Kristen

Soal kepemimpinan pun turut dipengaruhi oleh ilusi yang ditawarkan oleh dunia ini. Kalau kawan belajar tentang science of leadership,[3] ada satu periode dalam sejarah ilmu kepemimpinan, dimana seorang pemimpin itu ditentukan dari tampilan luarnya, good looking atau tidak, bersuara berat atau tidak. [memang ini penting, tapi tidak yang terutama!].  Jadi seseorang ditentukan oleh tampilan yang dipandang oleh orang lain.


Sama saja dengan kepemimpinan Kristiani, para hamba Tuhan biasanya dianggap sebagai hero, superman, messiah, malaikat dengan lingkaran bulat di atas kepala. Jemaat selalu merindukan seorang pemimpin yang hebat dan menawan. Padahal, bukankah kami ini hanyalah “only a man in the funny red sheet”? (cek lagu Superman by Five For Fighting, relevan!]


Dan akhirnya, ini membuat para pemimpin terjatuh kedalam kemunafikan: berusaha tampil hebat padahal lemah; berusaha tampil kuat, padahal rapuh; berusaha tampil suci, padahal berdosa; berusaha terlihat sehat padahal sakit.  Dunia ilusif ini membawa banyak orang –termasuk rohaniwan- terjerat dalam dosa kemunafikan.



Kepemimpinan Kristen dan kelemahannya

Yesus, menurutku adalah pribadi yang otentik. Ia tampil sesuai panggilan-Nya sebagai manusia yang lemah, di hadapan Allah, di taman Getsemani Ia sungguh rapuh. Namun pria yang lemah dan kalah ini, menjadi seseorang yang disebutkan “Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama atas segala nama” (Filipi 2:9)


Joseph Ratzinger, Paus Benediktus yang awal tahun ini melengserkan diri dari jabatan Paus, menurutku juga adalah pemimpin yang otentik. Di  usia yang sudah uzur, ia berani mengakui bahwa fisiknya sudah lemah, sehingga bisa mempengaruhi efektifitas pelayanan gereja. Sangat bertolak belakang dengan beberapa pendeta, yang sampai pada masa kepemimpinannya seharusnya berakhir, namun merasa masih kuat dan sanggup memegang tampuk kekuasaan.

Inilah yang membedakan kepemimpinan Kristiani dengan kepemimpinan non-Kristiani. Sendjaya meringkasnya dengan lugas “Karakteristik eksklusif pemimpin yang membedakannya dari pemimpin non-Kristen adalah kelemahan. . . . Dalam kelemahan pemimpin, kuasa Allah yang tidak terbatas itu dinyatakan. Karena,”only the weak shall be strong, only the humble exalted, only the empty filled; only nothing shall be something” demikianlah kalimat Marthin Luther.[4] 


Kita adalah orang-orang yang lemah dan rapuh. Mengakui kelemahan dan kerapuhan, menerima diri apa adanya tanpa berupaya menjadi terlihat sempurna di pandangan orang lain adalah langkah menjadi pribadi yang otentik. Marilah hidup di dalam kelemahan dan kerapuhan itu, namun tentu saja kita harus tetap terus menerus berupaya untuk disempurnakan dan menjadi lebih baik karena itulah panggilan kita  sebagai murid Kristus.


Inilah sebuah seruan dan sebuah ajakan, mari makin menjadi otentik dan bukan munafik. Berani mengakui segala kelemahan dan kerapuhan kita, pertama-tama di hadapan Allah, dan kemudian di antara sesama kita. Berhentilah untuk mencapai pencapaian demi pencapaian, mencoba mereguk kesempurnaan, permintaan dari dunia ilusif yang akhirnya menenggelamkan kita dalam lumpur hipokrisi. 


Aku masih ingat pesan kakakku tercinta sebelum aku masuk seminari: Cuma satu Wan, jangan jadi munafik! Bertahun-tahun kemudian, ide yang sama terungkap kembali ketika aku masuk ladang praktik setahun, mentorku berkata: yang penting kamu otentik Wan! Makin hari lepas hari, gagasan otentik ini makin terlihat kebenarannya. Bagaimana dengan anda? 



#ditulis khusus untuk:
1.  1.  Moury Setiawan yang hari ini “ditahbiskan” menjadi ketua senat kampus putih. Idenya soal menjadi diri sendiri, atau menjadi otentik, menurutku adalah gagasan revolusioner di tengah segala kondisi yang ada. Selamat berjuang bro! Doaku menyertaimu.
2.  2.  Para sahabat yang bergelut untuk menjadi orang-orang otentik di tengah kondisi-kondisi hipokrisi yang begitu gaduh memenjara kita dalam hari-hari yang ilusif.



[1] Baca tulisan di blog ini dengan judul “Membangun Bangsa dengan Menjawab Problem Kejahatan Moral”
[2] Mengambil kalimat Tere Liye, Negeri Para Bedebah lupa halaman berapa.
[3] Misalnya baca Leaderhsip 3.0
[4] Kepemimpinan Kristen 61

Senin, 06 Mei 2013

Sebuah bukit kecil di Trawas


Gunung gemunung berbaris hijau, gagah perkasa dan begitu satria. Ia begitu besar, mungkin karena itulah manusia Jawa menyamakan gunung sebagai tanda Sang Mahakuasa. Tapi kali ini Sang Gagah Perkasa tertutup kabut. Halimun membekap rapat sehingga hanya gelap yang tertangkap retina mata ini. Lamat-lamat, kediaman mencekat dan aku tersudut dalam kesendirian yang aman.


"Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung, darimanakah  akan datang pertolonganku?
  Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi" 

Mazmur 121:1-2



Ada jalan terjal di depan sana, kabut pekat yang menutup gunung di dalam kehidupan ini. Namun, dengan mata iman aku memandang menembus segala kesulitan, persoalan dan pergumulan. Diam dan aman di hadirat Sang Gagah Perkasa, Penjaga Israel yang tak pernah tertidur. Dialah naunganku dan keselamatanku, di dalam Dia hatiku teduh!







4 Mei 2013, Blessing Hills, Trawas, saat personal solitude @ Men's Breaktrough Camp GKI Pregbund

Minggu, 05 Mei 2013

Opium Kemapanan



Manusia suka dengan kemapanan. Tentu kita bisa sepakat mengenai hal ini. Kemapanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan bahkan dalam soal religius, adalah nilai-nilai yang seringkali menjadi dambaan manusia [tak terkecuali mahasiswa teologi]. Kita senang dengan relasi-relasi antar-manusia yang di dalamnya hampir tidak ada dentuman konflik, kita senang jika dompet kita berisi sehingga bisa makan lebih banyak, membuat perut menggendut, dan lemak bertambah-tambah, kita senang kalau punya gelar sarjana, orang memandang “wah” dengan status kita sebagai seorang “mahasiswa”, meskipun terlalu sering kita tak menunjukkan watak sarjana di hari-hari kita. Secara religius, tentu saja yang paling jelas, kita paling senang berbicara tentang surga, kekekalan, dunia lain di mana kita dapat melarikan diri dari realita. Ya, kemapanan itu menyenangkan.


Tetapi ada dimensi lain dari kemapanan, yang, sayangnya seringkali tak terperhatikan. Kemapanan, bagi saya, adalah pharmakon, obat, sekaligus racun. Kenapa bisa racun? Karena kemapanan bisa menjadi candu, opium! Kalau Karl Marx, filsuf Jerman, ateis, itu pernah mengatakan diktum “agama adalah candu bagi rakyat” maka saya mengatakan kemapanan adalah candu bagi kita semua.


Kemapanan menjadi sebuah opium yang meninabobokan diri kita, ketika kita begitu terpaku olehnya, begitu terpikat olehnya dan bergantung di dalamnya. Kemapanan bisa membuat kita lupa akan dunia di mana kita berada. Dunia yang bobrok, yang penuh dengan tikus-tikus kantor merajalela merampok uang rakyat, yang penuh dengan kaum the have yang membanjiri jalanan dengan mobil-mobil mewah tanpa peduli kehidupan the poor. Dunia yang penuh dengan bangunan gedongan, yang dibangun, seringkali dengan amnesia terhadap sekolah dasar negeri yang bakal ambruk.


Dan bukankah hidup kita lekat dalam dada kita? Gadget di saku kiri, depan, belakang. Makan kenyang tiga kali sehari tak cukup, sering kita tambah dengan menikmati makanan di luar sana.  Atap yang tak bocor, AC yang dinyalakan di kala panas, pakaian berlemari kalau kedinginan, para sahabat dan handai taulan kalau air mata hendak tertumpah keluar. Ah, sungguh hidup kita amat mapan.


Kemapanan itu bisa menjadi opium, membuat kita terlena, dan lupa bahwa di sana ada kaum tertindas, kaum liyan, kaum yang tak dipedulikan oleh negara. Anak-anak jalanan yang sebenarnya adalah korban dari sistem yang lebih besar. Pengangguran dan kriminal yang sebenarnya korban dari sistem yang tak berpihak kepada kaum lemah. Yang kita tahu, yang sering kita trenyuh, tapi sering pula kepada mereka kita tak melakukan apa-apa. Tangan kita yang “kudus” itu enggan kudisan kalau menyentuh anak-anak jalanan yang tak pernah tertawa.


Karena itu, mawas dirilah, hati-hati dengan opium kemapanan. 


*Kutulis setahun lalu waktu aku masih berada di kampus, dan aku mempostingnya sebagai usaha untuk refleksi kritis terhadap diriku sendiri yang mulai menikmati tinggal di kota metropolitan ini.