Senin, 31 Maret 2014

Masih Tentang Kehilangan

Aku menyelesaikan Grief Observed-nya C. S. Lewis kemarin lusa, kudapati seorang besar bernama C. S. Lewis begitu dihancurkan oleh kehilangan. Ia menggambarkan betapa dalamnya kehilangan yang ia alami, rasa kekecewaan, kenangan-kenangan yang sering bangkit pada istrinya, kerinduan yang mendalam untuk bertemu kembali, skeptis dan apatisme yang ia alami pada iman Kristen.  Kehilangan, ternyata, lebih rumit dari konstelasi galaksi bima sakti. 

Lagi-lagi Douglas Webster, "sebaliknya, saya cenderung percaya bahwa orang-orang Kristen mengalami penderitaan lebih besar karena ikatan antara orang-orang yang dikasihi jauh lebih besar di dalam Kristus. Dukacita sangat besar jika kita kehilangan orang yang kita kasihi yang hidupnya sejalan dengan irama kasih karunia Allah, yang harga dirinya berakar di dalam Kristus, dan pengorbanan diri dan sukacitanya nyata. Lubang yang ditinggalkan oleh kepergian orang semacam itu, baik sahabat dekat atau pasangan kita, orang tua atau anak membuat hati kita sesak, pedih dan bertanya-tanya apakah kita dapat melewatinya. Air mata turun dengan tiba-tiba, tanpa tanda-tanda, dada terasa berat seakan-akan ditindih oeh timbunan batu bata dan pikiran berubah-ubah antara sakit yang menusuk dan kesedihan yang akut." (Merupa Jiwa 267)

Tetapi aku sendiri dikuatkan oleh doa ini. . . .

Di tengah-tengah cucuran air mata, kesedihan,

Keremukan hati karena kehilangan-kehilangan yang kami alami.

Engkau menuntun kami kepada kebenaran yang menyakitkan,

Bahwa hidup itu sebenarnya rapuh, tidak ada yang mapan di situ, segala sesuatu bergeser dan berubah.

Sehingga melalui pengalaman kehilangan-kehilangan yang kami alami itu, telah merobohkan keyakinan bahwa kami dapat bergantung pada pemberian-pemberianMu untuk hidup aman dan sentosa.

Melalui kehilangan-kehilangan itu pula Kau mengajar kami bahwa pemberian-pemberianMu tidak selayaknya mengambil kasih kami.

Ya, Tuhan karenanya, biarlah kehilangan-kehilangan itu membawa kami pada kerinduan bahwa berapa pun pemberian-Mu pada kami, tautkanlah selalu hati kami dengan kuat hanya kepada-Mu saja.

Dalam nama Tuhan Yesus doa ini kami naikkan kepada-Mu. 
Amin



Yohan Candawasa, Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku 67


Minggu, 23 Maret 2014

Kematian itu Mengubahkan



How strange it is, to know that she is at peace and all is well, and yet to be so sorrowful
-Marthin Luther, saat kematian putrinya berumur 14 tahun.

It’s okay to have tears in our eyes as long as we have hope in our hearts
-Ben Witheringthon, setelah anak perempuannya, Christy, meninggal.


Aku pernah berpendapat di dalam kehidupan ini ada dua kejadian yang sanggup mengubahkan kehidupan itu sendiri. Apa itu? Pertama, Cinta. Kedua, Kematian. Maka, ketika orang yang kita cintai dipeluk oleh kematian, niscaya kehidupan kita akan diubahkan. Kita akan menjalani segala sesuatu sebagai satu hal yang pertamakali, misalnya:  paskah pertamakali tanpa orang yang kita kasihi, perayaan ulang tahun, jamuan pernikahan, penerimaan raport anak, natal, dan berbagai momentum kehidupan lainnya yang dijalani pertamakalinya tanpa orang yang telah terlebih dahulu berpulang.


Kehidupanmu, ku, kita pasti akan mengalami transformasi (bisa destruktif atau konstruktif) ketika kita berjumpa dengan cinta yang menggandeng (atau digandeng?) mesra oleh kematian.  Cinta dan kematian adalah dekonstruktor (mengambil istilah Jacques Derrida, kita terjemahkan saja: menghancurkan lalu membangun kembali) paling ultim bagi mozaik kehidupan kita sebagai manusia, Dasein yang sedang mengada di dunia ini.  Pasangan itu adalah leiden (istilah Karl Jaspers, artinya penderitaan) tertinggi yang menyengat ganas, mengoyak jiwa, membasahi hidup dengan derai air mata.

Aku tahu, dan memahami konsep ini sejak beberapa bulan yang lalu. Namun baru tanggal 13 Maret yang lalu, sejak Mbakku meninggal, aku belajar menghidupi paragraf di atas. Mudah menuliskannya di dalam aksara, tetapi menghayati kebenarannya begitu susah, pahit, dan menyesakkan.

Baiklah. Ini adalah sebuah catatan. Catatan tentang kenangan. Bukankah salah satu cara terbaik untuk memaknai kedukaan, penderitaan, dan kehilangan, adalah membuat catatan? Sehingga generasi di depan sana nanti, dapat melihat kasih, kebaikan Tuhan, dan kesetiaan-Nya? Aku rindu berkisah apa-apa yang pernah aku alami dan pelajari dari seorang Mbak Krist.  Sampai hari ini aku masih tidak percaya bahwa Mbakku sudah tiada. Menulis catatan seperti ini barangkali adalah usaha untuk meraih kesadaran. . . . . . bahwa ia telah pulang ke pelukan Bapa yang lebih mengasihinya daripada aku mengasihinya.



***

Aku digendong. Mbak Krist yang memakai baju biru. 23 tahun yang lalu?


Dulu, ketika keluarga kami belum berkecukupan (dalam arti punya rumah dan kendaraan bermotor sendiri), buku adalah semacam barang mahal yang tak bisa kami miliki. Tapi bersyukurnya aku punya Mbak Krist. Saat itu aku masih SD (seumuran Gantha sekarang), dan salah satu hal yang paling menyenangkan adalah, setiap kali Mbak-ku pulang ke Malang, seringkali ia akan membawaku ke Gramedia (salah satu surga bagi kosmologi masa kecilku di Kota Malang pada era 1995-2000an).  Kami akan berbelanja 1 atau 2 buku komik. Harta intelektual pertamaku adalah komik-komik seri tokoh dunia, aku bisa mengenal Newton, Galileo, Napoleon, Lincoln, Gandhi, Edison, Luther dan serangkaian tokoh-tokoh dunia akbar lainnya. Wah, cakrawala atau horizon pengetahuanku seperti melebar melampaui anak-anak seumuranku pada waktu itu. Mbak Krist punya andil menaruh titik-titik cita-cita menjadi ilmuwan pada masa yang disebut psikolog Jean Piageat periode operasional konkrit: masa-masa dimana aku berupaya menggunakan logika dalam hidupku.


[Btw, sebenarnya waktu kecil aku lebih sering memanggil Mbakku sebagai Mbak Nik. Merujuk nama aslinya sebelum baptis: Tunikyah. Baru beranjak remaja aku memangilnya Mbak Krist.]


Suatu ketika ia mengirim surat dan bertanya: kepingin dibeliin apa? (setelah aku berusia sekarang ini, aku mengira-ngira surat ini dikirimnya waktu ia praktik setahun di sebuah gereja di Garut, mungkin itu sekitar 1997-1998). Maka aku (dan kakakku yang nomor 8 adik dari Mbak Krist juga) menjawab dengan panjang lebar, benda yang aku ingat aku minta waktu itu ada dua: sepatu, dan, buku serial tokoh dunia! Tak lama kemudian datanglah sekardus penuh barang-barang kiriman Mbak Krist. Wah sangat menyenangkan! Ada dodol Garut yang sebulan kami makan tak habis-habis.  Dan, tentu saja ada sepatu disana! Aku ingat waktu itu sepatu merk Precise dengan garis biru yang aku pakai dengan masa aktif cukup lama. Aku begitu bangga dan senang pada sepatu itu.  Bagi anak kecil yang tak punya banyak benda, bersepatu precise membuat diriku merasa seperti jagoan di film-film superhero. Ia adalah sepatu dengan memori menyenangkan yang aku miliki dalam hidup ini.  Juga buku-buku komik serial tokoh dunia! Ah begitu senangnya aku waktu buku-buku favoritku datang.


Lupa tahun berapa. Aku masih SD
Mbak Krist juga menambahi buku-buku lainnya, yaitu cerita-cerita tentang tokoh Kristen dan lagu-lagu sekolah Minggu! Pertama-tama aku tak berminat membaca buku-buku ini, tetapi kemudian aku menikmatinya juga.  Kalau tidak salah ada cerita tentang George Muller, C. H Spurgeon waktu itu. Aku sangat terinspirasi oleh orang-orang ini.  Dalam teori perkembangan iman James Fowler, maka aku sedang membangun kepercayaan mitis harafiah dalam fase ini. Aku mulai mencoba mencerna betapa kerennya orang-orang yang hidup beriman Kristen.  Kadang-kadang aku menyanyi dari buku-buku lagu sekolah minggu (terbitan BPK?). Senang! Aku teringat Mbak Krist pernah menanyaiku pribadi waktu aku masih kecil: “Tuhan Yesus itu siapa Wan buatmu?” Baru belakangan ini aku sadar Mbak Krist waktu itu sedang melakukan penginjilan pribadi untukku. Aku ingat waktu itu percakapan diakhiri dengan aku agak berkaca-kaca kemudian pergi ke belakang untuk melakukan sesuatu.

Ohya, Mbak Krist juga orang yang pertamakali mengajakku nonton bioskop. Aku ingat kami nonton di Surabaya waktu itu. Filmnya adalah “The Mummy Return.”  Di perjalanan di bus aku juga habiskan buku Harry Potter The Sorcerer Stone punya Mbak Krist.  Senang sekali waktu itu, aku menikmati dua seni yang aku cintai sampai saat ini: film dan buku cerita. Semoga nanti aku bisa punya kesempatan menulis fiksi dan membuat film.


Berpotret dengan Mas Amon dipernikahan Cak Min. Sekitar 2000an?
Waktu SMP, Mbak Krist pindah ke Malang, aku sering main-main kerumahnya (Mbakku sudah menikah dengan Mas Amon pada tahun itu). Seperti biasa, salah satu yang ingin kulakukan pasti adalah ini: membaca. Tapi waktu itu SMP tidak ada buku-buku yang menarik bagiku di lemari perpustakaan Mbak Krist untuk aku baca. Ia menawarkanku untuk membaca buku berjudul Obor Allah di Asia, yaitu kisah tentang John Sung. Juga kemudian, buku biografi Hudson Taylor, Bentara Kristus yang ditulis oleh Roger Steer. Ah, aku menikmati buku-buku itu, bagaimana kisah misionaris-misionaris yang dipakai Tuhan untuk mengubahkan orang-orang. Tetapi tak ada pemikiran sedetik pun waktu itu aku mau menjadi seperti mereka. Waktu SMP kegiatan yang aku ikuti adalah pencak silat dan kemudian main catur. Aku ingin menjadi pemain catur juara dunia waktu itu. Jelas, tidak ada pemikiran “menyerahkan sepenuh waktu bagi pelayanan” saat itu.

Saat-saat SMA lah Mbakku punya peran yang sangat penting dan menjadikannya perempuan paling berpengaruh bagiku selain Emak. Sebagai pembina remaja ia pasti tahu aku sedang berada dalam krisis waktu itu.  Pada kisaran tahun 2004/2005 Bapakku meninggal karena serangan jantung. Dan aku mengalami krisis yang hebat pada masa itu. Pencarian jati diri. Depresi. Dan tentu saja, jauh dari Tuhan.  Salah satu kejadian yang aku ingat, aku menempel semacam stiker kata-kata kotor dan makian di helmku. Aku bergaya seperti anak-anak underground yang menempel helm NSX-nya dengan stiker-stiker band metal, punk etc. Ketika melihatnya, Mbakku hanya berkata: “Wah Wawan wis gede ya? sudah nggak butuh Tuhan lagi.” (Wah, Wawan sudah besar ya? Sudah nggak butuh Tuhan lagi). Aku terdiam waktu itu. Lalu menyadari betapa kacaunya hidupku saat itu. Aku saat itu jarang terlibat pelayanan. Menjadi WL-Singer hanya karena terpaksa jadwal. Tapi kalimat itu melenting dan membuatku berpikir.  Kecemasan eksistensial pun melanda.

Singkat cerita, aku mengalami pengalaman pertobatan atau lahir baru pada masa-masa itu. Salah satu tonggak pentingnya adalah camp siswa di SMA 4. Lalu mulai masa kelas tiga SMA, aku mulai menggumulkan untuk melayani penuh waktu. Aku pun menyampaikan keinginan itu kepada Mbakku.

“Mbak, kalau mau sekolah Alkitab dimana enaknya?”

“Lho, kamu mau sekolah Alkitab?” tanyanya, kalau tak salah waktu itu kami naik mobil sedang jalan-jalan.

“Iya. Tapi dimana? Bandung?”

“Wah, ya SAAT aja”

“SAAT?” [Jujur, waktu itu aku tak tahu sama sekali tentang SAAT. Sampai remaja aku berjemaat di GPdI]

“Iya, SAAT, sekarang lagi mbangun kampus baru kok. Ayo kesana.”

Waktu itu mampirlah kami berkunjung ke kampus baru SAAT di Jalan Bukit Hermon No. 1 yang masih dalam pembangunan. Di masa pendidikan sekolah dasar bahkan juga sekolah menengahku, aku setiap hari selalu melewati kampus SAAT lama di Jalan Arief Margono untuk pergi ke sekolah.  Tak pernah kusangka tempat yang dulunya aku anggap seperti benteng atau gudang putih aneh itu ternyata menjadi kampus tempatku belajar melayani dan berteologi.  Waktu SMP, Aku pernah diajak Mbak Krist mengikuti kebaktian natal civitas entah pada tahun berapa. Aku sangat lupa waktu itu siapa yang berkhotbah. Tapi aku ingat waktu itu aku sempat mampir ke rumah Bapak-Ibu Asrama (Ibu Tuti waktu itu yang menemui). Betapa rancangan Tuhan tak terselami dan jalan-jalan-Nya bukan jalan-jalan kita bukan?

Beberapa waktu kemudian aku baru tahu kalau Mbakku juga mengambil Magister Konseling di kampus ini ketika ia berkata: “Ayo kalau kamu serius, nanti kalau keterima kita bisa masuk barengan.” Waktu itu ia sudah diterima dan tinggal menunggu waktu kuliah saja.  Ia berikan padaku formulir pendaftaran untuk aku isi sembari berkata: “Masalah pembiayaan, aku carikan donatur untuk kuliahmu nanti.”  Selama kurang lebih satu tahun aku bergumul untuk mengisi formulir itu. Akhirnya aku selesaikan pengisiannya dan tetek mbengek birokrasi yang aku perlukan (rekomendasi dari teman, guru agama, dan pendeta). Lalu aku, diantar Mbak Krist, pergi ke SAAT untuk mendaftar. Sejak saat itu, ketika ada kolom “wali” yang harus diisi, maka yang aku tulis adalah nama Mbak Krist (berhubung Emak agak tidak terlalu tahu tentang birokrasi ini dan itu). 


Pada waktu wisuda SMA, Mbak Krist-lah yang menghadiri wisudaku, saat itu ia bercerita, “Kamu kalau ketrima di SAAT, sudah siap ada donatur yang support.” Hatiku berseri-seri waktu itu. Asal tahu saja, sejak mengalami pembaharuan hidup di dalam Kristus waktu itu, aku menjadi gemar membaca buku. Pengantar Teologi Kristen 1 karya Pdt. Daniel Lucas (yang baru aku ketahui kemudian rektor SAAT), Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja karya Jan Sihar Aritonang, buku-buku John Stott, lalu buku Rick Warren yang ada di lemari buku pribadi Mbak Krist pun aku lahap. Termasuk bacaanku waktu itu adalah buku Teologi Sistematika karya Louis Berkhof terjemahan penerbit Momentum. Ah, betapa kagum aku terahadap luasnya dan menariknya ilmu teologi.  Maka, masuk sekolah teologi bisa jadi, sebuah “pemenuhan hasrat eksistensial teologi” bagi diriku yang masih anak remaja naif saat itu. Namun, Mbak Kristku berpesan sangat sederhana waktu aku mau masuk asrama kampus, “Yang penting jangan munafik aja kalau sudah ada di dalam sana. Tetap apa adanya, Wan.”


Mbak Krist pernah beberapa kali memarahi aku waktu di SAAT, waktu itu masih masa-masa intensif. Ketika ia dan teman-teman serius belajar bahasa Inggris untuk mengikuti kelas intesif bahasa Inggris oleh Tante Sonya, aku tidak terlalu serius belajar. Apa yang aku lakukan? Membaca buku-buku filsafat! Sebelum masuk SAAT aku mulai suka membaca filsafat. Buku-buku karya Frans Magnis, semacam Pengantar pada Pemikiran Karl Marx aku lahap. Nietzsche karya St. Sunardi juga aku baca. Maka, alih-alih belajar atau menghafal grammar seperti mahasiswa baru lainnya (biasanya memang di kampusku mahasiswa baru lagi getol-getolnya belajar untuk meraih nilai yang baik. Hasil indoktrinasi kakak tingkat sih ini. Agak kurang membebaskan mereka untuk belajar dan menghargai ilmu). Ketika orang lain menghafal vocabulary, maka aku asik membaca Thus Spoken Zarahthrustra. Hahaha. Waktu itu di perpustakaan Mbak Krist bertanya: “Lho wan, kamu nggak belajar tah?” Jawabku: “Sek bosen, lagi asik baca.” Dia pun terdiam. Setelah itu kami ujian. Esoknya kami terima nilai ujian. Kalau tak salah nilaiku 80an. Mbak Krist mendapat nilai sempurna. Ia berkomentar: “Kamu itu ya, nggak belajar aja dapet segitu. Coba kalau belajar. Ayo yang niat kalau kuliah.” 


Pada akhir semester satu, waktu ia melihat nilai Bahasa Yunaniku tak mendapat A ia juga berkomentar: “Kamu ini, masih single, gak punya pacar, baru lulus SMA, kok nggak bisa dapet A.”  [Susunan kalimatnya kalau aku ceritakan ke orang lain selalu membuatku tertawa].  Lalu dia ceritakan waktu ia di STTB ia berhasil mendapat nilai sempurna untuk mata kuliah itu. Aku bilang dengan cuek: “Ah, santai aja mbak, nilai teman-teman yang A itu lho tidak membuktikan apa-apa. Aku cuma males menghafal.”  Aku baru sadar hari-hari ini sebenarnya, Mbakku memotivasiku untuk berusaha sebaik mungkin karena pendidikan adalah barang mahal bagi keluarga kami.


Sempat waktu itu uang untuk konsumsi aku tak dapat bayar, meminta pada Mbakku aku sungkan. Maka aku hanya bisa berdoa minta Tuhan nyatakan pemeliharaan-Nya.  Esoknya, tiba-tiba pada ujian Teologi Sistematika (diampu Pdt. Daniel Lucas) dia ngeloyor masuk dan memberi amplop berisi uang untuk membayar dana konsumsi. Saat itu, melalui Mbakku aku belajar akan apa arti bersandar pada Tuhan. Ia bercerita, “Donaturmu kayaknya lupa-lupa, Tuhan tegur aku sih, kayaknya aku bersandar pada manusia untuk uang kuliahmu. Nanti coba apply  ke SAAT aja Wan. Kamu juga berdoa supaya Tuhan sendiri yang cukupkan segala kebutuhan kuliahmu.”


Pernah juga ada masa-masa pameran buku di kampus. Mbakku bertanya: “Kamu kok ndak beli Wan?” Jawabku: “Lha ndak punya duit. Hehehe.” Lalu ia membeli buku sambil berkata: “Nih aku beli, tapi kamu aja yang baca.” Lalu kita berdua tertawa. Aku memang tidak terlalu banyak membeli buku saat itu. Buku-buku yang menjadi wajib baca sebagian besar aku pinjam dari Mbak Krist, perpustakaan atau kakak tingkat. Uang saku begitu terbatas, maka menghemat dan berhikmat dalam membeli kebutuhan serta buku adalah kewajiban. Melihat banyaknya tumpukan buku di kamarku sekarang, dan ada beberapa dus berukuran besar yang masih tersimpan di Malang, aku merasakan pemeliharaan Tuhan yang luar biasa.

Kisaran ulang tahun pertamaku di SAAT ada yang agak istimewa. Aku terkaget-kaget karena ada bungkusan kue ultah yang cukup besar di lobby gedung rektorat. Di dalamnya ada kartu, dan ternyata dari Mbak Krist. Aku kirim sms terimakasih dan ia menjawab: “Hehehe, sama-sama Wan. Nggak pernah ada yang kasi kue ultah kan?” Aku menangis berkaca-kaca waktu itu. Di dalam keluarga kami tak ada tradisi perayaan ulang tahun selama ini [salah satu alasan di balik betapa anehnya diriku, pada tahun-tahun awal, melihat dan mengalami perayaan ultah di kampus putih]. Aku saja baru tahu kalau ulang tahun Mbak Krist 22 Maret setelah di SAAT. 2 tahun lalu aku membelikannya syal dari tabunganku sendiri untuk pertamakalinya dan ia berkomentar: “Wah sekarang kita kado-kadoan ya, gaya kamu Wan. Hehehe.”  Ah, Tuhan baik bagi kami.  Komentar yang sama ia berikan ketika Januari lalu, aku mentraktirnya makan: “Wah gaya kamu sekarang bisa traktir-traktir.” Dengan senyumnya yang khas. Sekali lagi, Tuhan baik bagi kami.

Aku sempat mengalami masa-masa genting di kampus. Waktu masa-masa stress praktik dua bulan yang pertamakalinya aku berkontak dengan Mbak Krist. Komentarnya sangat sederhana tapi menguatkan: “Yang penting tulus melayani dan memberi, Wan.”  Lalu di semester 5, saat itu aku sangat bergumul dengan praktik akhir pekan yang melelahkan rohani, fisik, dan mental. Juga aku mulai bertanya-tanya: apakah aku cocok menjadi hamba Tuhan? Aku tak pandai berkhotbah, tak pandai berelasi dengan orang, tak pandai mengajar sekolah minggu, juga sama sekali tak sanggup bermain musik! Ah begitu payah diriku. Waktu itu di perjalanan menuju Kesamben aku berkirim pesan dengan Mbakku dan menceritakan apa yang aku alami. Mbakku, dengan gayanya yang biasa, berkomentar dengan sangat sederhana, “Cari Tuhan Wan, yang penting relasimu sama Tuhan terjaga.” Aku menangis di bus waktu itu. Aku teringat firman Tuhan di Amos 5 “Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup!”

Semester 8, aku agak sumpek dengan proposal skripsi dan juga masalah relasi. Aku mengalami insomnia yang sangat akut sehingga sukar tidur selama beberapa hari.  Lalu aku sms mbakku dan berkata: “Mbak lagi sumpek nih.” Lalu ia menjawab, “Ayo besok tak jemput kita makan di luar biar nggak stress.”  Akhirnya kami makan pada hari Kamis. Ia hanya memberi wejangan, “Santai aja kamu Wan hidupnya, masih muda, konsentrasi selesaikan studi aja.”  Ini adalah semester dimana aku mengalami Tuhan dengan sangat. Konseling aku kerjakan, dan aku mengalami tangisan-tangisan yang membebaskan. Aku tahu sisi-sisi gelap di dalam diriku. Aku mengalami terobosan-Nya dan kepenuhan hidup di dalam-Nya pada saat itu.

Pada tahun 2012 Mbak Krist berhasil selesaikan Magister Konselingnya, begitu bangga aku saat itu. Di dalam hatiku, ah 2 tahun lagi kami akan foto bersama lagi dengan aku di sisi wisudawan meraih gelar S. Th.  Betapa kagetnya ketika praktik dua bulan di Jakarta, Mbakku memberitahu kalau sedang menjalani operasi pengangkatan. Ia menderita kanker payudara. Ah! Kami tak pernah menduga. Saat itulah kami mulai berjalan bersama-sama melewati lembah kekelaman. Aku ingat, di buku-buku yang aku pinjam dari Mbakku, selalu ada ayat dari Mazmur 23:1, “Tuhan adalah gembalaku takkan kekurangan aku.” Itulah kenapa aku membacakannya di kebaktian pemberangkatan jenazah saat itu. 

Pada masa-masa sulit dan perjuangannya, bukannya aku yang menguatkan tetapi Mbakku lah yang menguatkan. Ia bercerita tentang keajaiban-keajaiban Tuhan. Biaya kemoterapi yang ratusan juta, bisa Tuhan penuhi.  Ia masih khotbah dan pelayanan dengan aktif meskipun kakinya melepuh dan harus memakai kursi roda.  Ia tak pernah bercerita stadium berapa kankernya. Tapi aku tahu dari informasi teman-teman dokterku yang ia derita pasti cukup ganas karena kisaran awal-pertengahan 2013 ia beritahu aku kalau kankernya bermestastasis. Gentar hatiku waktu itu. Aku bersyukur Januari lalu aku sempat pulang beberapa hari ke Malang. Selama 2 hari berturut-turut kami jalan-jalan di Mall. Ia memilihkan beberapa baju untukku. Aku juga memilihkan sepatu untuknya bisa jalan-jalan dengan lebih enak. Ah, Tuhan baik bagi kami.

Pada tanggal 9 Maret, malam Senin, Emakku menelpon: “Wan, kalau sempat pulang ya, Mbakmu perutnya membesar.” Aku menjawab: “Iya, Minggu aku pasti pulang.” Senin tanggal 17 aku ada jadwal mengisi sebuah pelayanan di kampus putih, tentu aku berkesempatan pulang ke rumah saat itu.

Malam Rabu, 11 Maret, Emakku menelpon lagi: “Wan segera pulang, Mbakmu, opname.” Diiringi dengan sms dari kakakku. Aku masih tak terlalu gelisah. Aku putuskan untuk pulang pada siang harinya. Rabu 12 Maret, aku sampai sekitar jam 4 sore di rumah sakit, aku hanya sempat berbicara sejenak dengan Mbak Krist dan ia berkata : “Siapa yang nyangka Wan, aku sakit begini.” Aku temani, berikan dia minum, sempat juga menelpon Mas Amon di waktu itu. Jam 9 aku pulang ke rumah karena ada kakak ipar yang bisa ganti jaga. Jam 1 pagi aku ditelpon Mbak Krist masuk ICU. Ah hatiku mulai gementar! Aku tahu kondisi medis fisik Mbakku sudah sangat drop dan buruk. Tetapi rasioku masih mengira Mbak Krist akan bertahan. Jam 4 pagi air di paru-parunya diambil tapi tak membantu. Mulai saat itu aku menemani di sisi mbakku, doaku cuma sederhana: “Tuhan minta mukjizat. Engkau adalah gembala kami takkan kekurangan kami.” Jam 9 pagi Mbakku dipindah ke ruang isolasi. Aku tinggal sebentar untuk mengisi perut karena aku sangat lapar. Aku masih berdoa minta mukjizat saat itu. Jam 10 tepat dokter memanggilku dan berkata “Mas, jantungnya berhenti, tapi kami berusaha pacu. Berdoa ya Mas.” Aku mulai berkaca-kaca. Benarkah aku harus mengalami kehilangan lagi? Salah satu kehilangan terbesar dalam tahun-tahun hidupku? 10.10 dokter memanggilku ke dalam ruangan. Ada banyak teman-teman dokter juga di ruangan itu. Mereka memberitahuku bahwa Mbakku sudah meninggal. Sontak aku menangis waktu itu. Aku jarang menangis. Namun saat itu, rasioku tak kuasa menahan pahitnya kenyataan yang harus aku hadapi. Aku mengalami kehilangan seseorang paling berpengaruh dalam hidupku. [Saat itu aku tahu, benar-benar tahu, bagaimana pelik dan laranya memiliki kehilangan. Lihat postingan di blog ini dengan judul "Memikili kehilangan."]



No one ever told me that grief felt so like fear
-C. S. Lewis, A Grief Observed





Makan-makan di bulan Desember 2013
***


Kalau ditanya apa yang aku pelajari dari kehidupan Mbakku. Kebenaran sederhana ini adalah jawaban pertamanya: mengenal Allah di dalam Kristus adalah hal yang paling berharga di muka bumi ini.  Ada seorang teman yang berkisah ketemu Mbak Krist dan Mbakku bersaksi “Aku, usia 37. Punya suami dan 1 anak. Sudah punya S-2. Dan sedang menderita kanker. Tapi hal yang paling aku syukuri adalah aku punya Tuhan yang kukenal.”  Desember yang lalu ia sempat ke Surabaya, lalu kami ngobrol-ngobrol, “Bersyukur Wan, kita ini jadi anak Tuhan, kalau nggak, nggak kebayang kamu sekarang hidup kita kayak apa.”  Bagi Mbakku, mengenal Allah adalah segala-galanya. Ia mengenggam, menghayati kebenaran Rasul Paulus dalam Filipi 3:10 “Yang kukehendaki adalah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” Ya, Mbakku mengenal Dia, Mbakku juga sudah mengalami persekutuan dalam penderitaan-Nya. Sekarang saatnya menanti kebangkitan, ketika Yesus datang kembali untuk kedua kali.

Kawan, hidup adalah rangkaian kehilangan demi kehilangan. Kita punya kesehatan kita pasti kehilangan. Kita punya kepandaian kita pasti kehilangan. Kita punya kecantikan-ketampanan kita pasti kehilangan. Kita punya keluarga kita pasti kehilangan. Kita punya kehidupan pasti juga akan kehilangan. Maka, tak ada satu pun hal di muka bumi ini yang bisa kita genggam erat-erat. Hanya pengenalan akan Allah sajalah yang paling berharga dan kekal adanya.  Milikilah kehilangan. Jadikanlah kehilangan sebagai teman untukmu belajar tentang kehidupan.

Kedua, Hidup Untuk Orang Lain. Usai mendapati kenyataan Mbak Krist meninggal, aku duduk terdiam cukup lama di kursi tunggu ruang isolasi.  Lalu dokter memanggilku. Aku bertanya-tanya ada apa lagi? Ternyata ada dokter dari bank mata dan ia bercerita bagaimana Mbakku telah menulis perjanjian untuk mendonorkan kornea matanya. Sayang, kornea tak bisa diambil karena berhubungan dengan penyakitknya. Aku begitu terkejut karena seingatku Mbak Krist tak pernah bercerita tentang hal ini. Sampai matinya, ia hidup untuk orang lain. Yang dipikirkan adalah orang lain. Ia tak mau opname karena tak mau merepotkan orang lain. Bukankah hidup yang satu kali ini saja akan bermakna ketika kita tak hidup bagi diri sendiri tetapi hidup untuk orang lain?

Ketiga, ini yang aku coba selalu hidupi : tak perlu hidup munafik.  Aku sudah bercerita di atas apa yang menjadi pesannya ketika sebelum aku masuk SAAT hanya dua kata : jangan munafik. Ya, Mbakku sangat otentik dan apa adanya. Sebelum aku masuk ladang pelayanan dia juga berkata: “aku doakan kamu terus supaya kamu tetap tulus dan apa adanya ya Wan.” Maka, jangan heran kalau aku begitu membenci kemunafikan dan selalu memperjuangkan kehidupan otentik. Apalagi dengan jabatan atau profesi atau peranku saat ini yang sangat memungkinkanku untuk memakai topeng-topeng rohani untuk menyembunyikan kebobrokan diriku.

Keempat, pemeliharaan Tuhan itu sempurna.  Beberapa waktu yang lalu aku agak galau tentang ini dan itu. Tentang masa depan. Tentang pelayanan. Tentang diriku. Seperti biasa, Mbak Krist menjadi tempatku mengadu ketika aku berada di dalam titik amat stress.  Ia hanya menjawab sangat sederhana. “Santai aja Wan, Tuhan sudah siapkan semua. Liaten aku tah.” Aku menangis berkaca-kaca saat itu. Tuhan berbicara melalui Mbakku saat itu. Ya, pemeliharaan Tuhan itu sempurna. Mbakku melewati masa-masa kemoterapi dengan biaya yang amat besar. Tetapi dana Tuhan cukupkan. Aku melihat sendiri, ada orang-orang yang tidak kami kenal, tetapi turut berpartisipasi dalam biaya. Tuhan itu baik bagi kami. [lihat salah satu postingan di blog ini dengan judul "Tuhan sudah siapin semua."]


Kelima, menjadi pelayan yang tegar, setia, dan berintegritas.  Mbakku pernah bercerita tentang konflik yang ia alami di masa pelayanan. Tak bisa kuceritakan di sini. Tetapi yang pasti ia begitu tegar membela iman konservatif-injili yang ia pegang pada saat itu.  Pada masa kemoterapi, ia masih berkhotbah satu bulan sekali di kebaktian umum. Ketika kondisinya memburuk ia berkonsentrasi di kebaktian remaja. Ia tetap berkhotbah meski dari kursi roda. Pernah ia bercerita ketika khotbah wig-nya terkena angin dan terlempar, sontak terlihat kepalanya yang membotak efek samping kanker. Ia tetap bersukacita ketika hal-hal itu terjadi karena ia menceritakan padaku dengan tertawa-tawa.

Tak cukup untuk menulis banyak hal yang lainnya. Tetapi lima poin di atas adalah pelajaran-pelajaran mendasar dan paling ultim untukku.  Mbak Krist bagiku adalah role model seorang hamba yang radikal, tegar, setia pada pengajarannya dan berintegritas. Aku yang masih sangat muda ini, suka bermalas-malas, kurang setia, kurang banyak memberi waktu bagi orang lain, egois dan arogan. Aku seringkali tertegur oleh teladan mbakku. Ya, ia adalah guru dan mentorku sebagai seorang hamba yang rendah hati, setia dan berkemurahan.



***

Wisuda MK tahun 2012
Salah satu hal yang aku doakan di masa-masa survival Mbakku adalah ia bisa bertahan setidaknya bisa datang ke wisudaku pada bulan Mei ini. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku berusaha menerimanya. Yang pasti aku mengalami kebaikan Tuhan selama masa-masa melewati lembah kekelaman ini. 

Waktu aku sangat gelisah tentang kesehatan Mbakku, suatu sore di bulan Desember datanglah seorang pemuda dan sharing tentang sebuah lagu. Lagu ini berjudul Blessings, karya Laura Story [silahkan cek di https://www.youtube.com/watch?v=eOOFAaUGfRE]. Lagu ini menjadi salah satu teman terbaikku di masa-masa sulit itu.  

Entah bagaimana ceritanya, beberapa hari sebelum Mbakku di panggil pulang. ada teman yang pasang status bbm “lebih baik kematian daripada kelahiran, Pengkhobtah 7:1b” aku langsung copas. Tuhan rupanya sudah siapkan diriku untuk mengahadapi kenyataan kematian yang aku cintai.


Refleksi-refleksi tentang kehilangan juga menguatkanku untuk memaknai kedukaan tidak dari perspektif fana, tetapi perspektif kekekalan. Douglas Webster pernah berkata, “Merupa jiwa menegaskan bahwa hidup tidak dibentuk oleh kehilangan, demikian pula dukacita tidak membingkai hakikat kehidupan. Kenyataan tertinggi yang membungkus semua kesakitan dan penderitaan adalah kasihkarunia dan kebaikan Allah.” (Merupa Jiwa, 276). Dalam pembentukan Sang Pejunan, kedukaan dan penderitaan bukanlah bingkainya, kasih karunia dan kebaikan Allah-lah bingkainya!


Di minggu-minggu ini, dalam upaya pemulihan, aku juga membaca buku Henri Nouwen, Letter of Consolation. Buku ini membantuku melihat kematian yang kukasihi dengan memandang kematian Kristus. Apa yang terjadi sesudah kematian (dan kebangkitan Kristus?) yaitu murid-muridnya mengerjakan panggilan mereka. Maka sesungguhnya, setelah kematian yang kita kasihi, mengerjakan panggilan kita sebaik mungkin adalah cara terbaik untuk menghormati ia yang meninggalkan kita terlebih dahulu.


***


Ohya, namaku, Himawan Teguh Pambudi. Himawan artinya gunung. Maksud dari namaku adalah aku menjadi orang yang berbudi teguh seperti gunung. Mbak Kristlah yang memberiku nama ini. Betapa ia sangat berperan penting dalam diriku bukan?




Ah, Selamat jalan Mbakku yang terkasih!



Terimakasih buat teman-teman yang begitu mendukung di masa-masa sulit ini, baik dalam doa, ucapan, kedatangan, dan bantuan lainnya. Tuhan gembala kita, takkan kekurangan kita!


The darker the night, the brighter the stars,
The deeper the grief, the closer of God!

-Fyodor Doestoevsky, Crime and Punishment