Kamis, 14 November 2013

Cinta Loe Buat Kristus






Tahukah kamu, ada tiga kata yang sebenarnya paling menakutkan untuk diucapkan di muka bumi ini, apa itu? Aku cinta kamu. Ya! Tiga kata yang mengungkapkan segudang perasaan dan risalah hati kepada ia yang katanya kamu cintai ini adalah menakutkan. Menakutkan karena ia menuntut keseriusan, menakutkan karena ia menuntut komitmen, menakutkan karena ia menuntut pembuktian. Ah, benar-benar tiga kata yang tidak bisa diketik seenaknya seperti kita berkicau 140 karakter di Twitter! Masalahnya, nggak banyak anak muda yang tahu dan sadar bahwa tiga kata itu begitu serius.  Seenaknya ngomong, gue cinta elo mau nggak jadi pacar gue, tapi tidak disertai dengan kesetian, komitmen, pemberian diri, waktu, pengorbanan, kekudusan dan nilai-nilai moral-rohani lainnya. Cinta jadi cuma jadi main-main belaka, maka tak heran banyak anak muda putus nyambung dalam kisah romansa mereka. Cinta juga kehilangan dimensi "sakral", kehilangan dimensi ilahinya sehingga banyak siswi SMA sudah hamil di luar nikah gara-gara membuktikan cintanya dengan hubungan seksual. 


Bukankah demikian pula ketika kita ngomongin hal yang sama: cintamu untuk Kristus? Kita dengan mudahnya berkaraoke rohani di gereja, menyanyi dengan syahdu: Kucinta Kau lebih dari segalanya. . . .Tapi mana buktinya? Kita sering, cuma datang kepada Yesus, ketika "diputus" entah itu oleh kekasih dunia kita, entah itu oleh hal-hal yang kita harapkan kita capai namun tak kita dapatkan.  Saat-saat seperti itulah, nama Yesus menjadi penghiburan, lalu kita berkata: oh Yesus kekasih hatiku, Engkau yang terbaik, sahabat sejati bla bla bla dan sejuta gombalan rohani omong kosong yang sebenarnya hanya untuk menghibur hati kita yang begitu dingin dan egois.  Kita nggak pernah jadi kekasih Tuhan yang serius, lebih sering jadi seperti bangsa Israel dalam Alkitab: mendua hati!

Bandingkan diri kita saat ini dengan Rasul Paulus yang pernah berkata: Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan mengganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus (Filipi 3:8). Buat saya ini pengakuan cinta paling romantis di dunia ini. Segala sesuatu jadi sampah!  Sampah di sini dalam bahasa aslinya merujuk pada kotoran manusia. Demi apa? Demi Kristus yang dicintai Paulus, yang ingin dikenalnya, diperolehnya, dialaminya makin dalam dan makin dalam.  Betapa besar cinta Paulus pada Kristus, sehingga rentetan kisah akbar dapat kita temukan: Paulus rela disesah, dipenjara, dimusuhi oleh bangsanya sendiri, dipatok ular, berulangkali dilempar batu, hidup miskin, berjalan jauh, demi cintanya bagi Kristus.  Paulus adalah seorang yang romantis, serius dalam perkataannnya.  Paulus berani berkata: aku cinta Kristus, dan inilah bukti cintaku.

So, bagaimana dengan cinta loe buat Kristus? 

Kalau kita ngaku cinta sama Tuhan Yesus, mari kita hidup di hadapan Tuhan dengan serius.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu semestinya memilih pergi ke gereja untuk mengucap syukur dan BBM (Bersekutu, Bersaksi, Melayani) daripada pergi ke tempat-tempat dunia ini lalu kemudian menghabiskan uang, waktu dan kesempatan dalam kesia-siaan.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu punya hidup berpusat dan bergantung pada Tuhan, bukan pada kekuatan akal budi dan kapasitas diri sendiri.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu punya waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, menjaga relasi pribadi dengan Tuhan melalui doa dan membaca firman Tuhan. Kalau kamu cinta Yesus, kamu akan bijaksana dalam pembagian waktu. Kalau kamu cinta Yesus, ada jutaan hal yang bisa dan harus kamu lakukan. . . .


Gimana? beranikah kita sekarang berkata aku cinta Yesus? Kalau kita hanya berkata aku cinta Yesus tapi tak menjalani segala apa yang seharusnya kita lakukan, maka kita hanya pecundang-pecundang asmara yang hanya bisa berkata-kata tapi tak mampu membuktikan. 

Ah betapa sedihnya hidup yang demikian! 






(Himawan Teguh Pambudi)

Ditulis untuk newsletter KPR GKI Krian, November 2013


Senin, 04 November 2013

Memiliki

Dunia ini adalah dunia dimana kita dinilai dari sebanyak apa kita bisa memiliki. Aku rasa kamu akan setuju dengan hal itu.  Waktu aku masih di kampus putih, tempatku belajar teologi dan pelayanan pastoral, gejala ini terlihat amat sangat.  Penghuni asrama pria dianggap “berhasil, sukses, dan hebat” bukanlah dari kedalaman berpikir, atau skill kepemimpinan, itu mungkin iya tetapi bukan yang terutama (setidaknya dari perspektifku).  Penghuni asrama pria dianggap hebat dari apakah mereka bisa memiliki.  Memiliki apa? Selain daftar yang aku ajukan yakni, khotbah bagus, sikap manis-taat kepada otoritas, baju necis-bersih,[1] syarat yang paling ultim adalah ini: memiliki salah satu dari penghuni asrama seberang, asrama wanita. 

Dan karena saat itu aku adalah pria yang gagal memiliki salah satu penghuni asrama seberang, maka terjustifikasilah diriku sebagai pria gagal total.  Failed dengan spidol merah.

Kalau kamu saat ini adalah orang sepertiku, maka kamu akan dianggap rendah, gagal, dan ini dia labeling yang tepat: pecundang. Ada seorang sahabat dekat[2] pernah berkata: elu si kurang effort, makanya gagal memiliki.


Hahahaha.  Ada yang berada dalam kondisi yang sama? Acungkan tangan dan mari bertobat :p


***

Aku tak mau bermelankolik dan berkartasis di sini, tiga paragraf di atas cuma sekadar sebuah contoh.  Tetapi hidup di realita pelayanan pastoral membuatku sadar, budaya “menilai dari apa yang dimiliki” ini mengakar rumput sampai ke jemaat. Manusia bingung untuk memiliki. Manusia sibuk mengejar sesuatu untuk dimiliki. Manusia gelisah kalau tak memiliki. Manusia merasa kurang bernilai, kurang terhormat, kurang seperti dunia kalau tidak memiliki. Entah itu uang, barang, jabatan, kesehatan dan segala-galanya.

Kenyataan ini juga ditangkap oleh musikus favoritku Young Iwan Fals[3] (), yang pernah bernyanyi “Mimpi yang terbeli” mengisahkan bagaimana orang harus melakukan tindakan kriminal untuk membeli barang-barang supaya mereka menjadi sama dengan orang-orang di sekeliling mereka.
Pandangan “menilai diri dari apa yang dimiliki” ini kadang-kadang, eh, bukan, seringkali membuat manusia berubah menjadi monster yang menakutkan dengan topeng-topeng hipokrisi yang mereka pakai. Otentisitas disisihkan dan tak dipedulikan. Kita takut kalau kita tak memiliki.

Lalu, apakah yang demikian salah?

Tidak salah juga sih. Karena kita perlu memiliki, tetapi kepemilikan itu perlulah dilandasi kepada panggilan dan bukan kebutuhan.[4]  Apakah yang kita usahakan untuk dimiliki adalah bagian dari panggilan kita di dunia ini? Atau sekadar pemenuhan kebutuhan yang berasal dari keinginan hawa nafsu memuaskan diri sendiri? 

Kalau kita punya perspektif kepemilikian berdasarkan panggilan, hidup akan lebih sehat.  Sehingga kalau kita nggak memiliki, maka kita tak gelisah, tak gundah, tak merasa kurang. Karena ketika nggak memiliki, saat itulah kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang saat ini kita miliki.

Masalahnya, ternyata secara ontologis kita nggak pernah punya apa-apa! Semua yang kita miliki berasal dari Sang Pemberi Yang Satu. Maka dari itu beranikah berbangga kita ini dengan diri kita dan apa yang saat ini seolah-olah kita miliki? Tidak bukan?

Pada galibnya, semesta mendedahkan kasunyatan ini kepada kita: belajar bersyukur pada apa yang saat ini kita miliki karena Ia-lah Sang Pemberi. Tak perlu galau menduka kalau tidak memiliki. Belajarlah untuk merasa  cukup. Karena orang yang cukup adalah orang yang memiliki. Orang miskin adalah orang yang tidak punya apa-apa, karena itu tidak pernah merasa cukup. Orang kaya adalah orang yang memiliki, maka itu ia akan selalu merasa cukup.

Dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami pelayan Allah, yaitu: . . .sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu (2Korintus 6: 4, 10)


Lagu dari grup Band Kutless enak nih:

"I'm Still Yours"


If You washed away my vanity 
If You took away my words 
If all my world was swept away 
Would You be enough for me? 
Would my beating heart still sing? 

If I lost it all 
Would my hands stay lifted 
To the God who gives and takes away 

If You take it all 
This life You've given 
Still my heart will sing to You 

When my life is not what I expected 
The plans I made have failed 
When there's nothing left to steal me away 
Will You be enough for me? 
Will my broken heart still sing? 

If I lost it all 
Would my hands stay lifted 
To the God who gives 
And takes away 

If You take it all 
This life You've given 
Still my heart 
Will sing to You 

Even if You take it all away 
Youll never let me go 
Take it all away 
But I still know 

That I'm Yours 
I'm still Yours 

Oh, I'm Yours 
I'm still Yours 
I'm still Yours


#Pregolan Bunder 36. Solitude Day yang menumbuhkembangkan jiwa kujalani hari ini. Untukmu.




[1] Anehnya aku agak kurang dalam memiliki itu semua. Apakah tulisan ini dimulai dari kebencian? Aku berdoa semoga tidak
[2] Karena ia sahabat, maka ia lebih mudah melukai.  Orang-orang yang paling membuat kita terluka adalah mereka yang paling dekat dengan kita, percayalah itu. Tetapi jangan sampai kamu takut untuk memiliki kedekatan. Karena dalam kedekatan ada pertumbuhan. Bacalah SoulCraft-nya Douglas Webster, atau Relasi-nya Paul David Tripp untuk memperkaya hal ini, relasi antar manusia ada di dalam bagian dari santifikasi.
[3] Mengapa kutaruh kata Young? Karena Old Iwan tak lebih dari penjaja kopi yang sedang berusaha memenuhi kebutuhan di masa tua, bukan lagi anak muda idealis penngkritik penguasa
[4] Thanks to Pdt. Sandi Nugroho yang memaparkan hal ini di Camp beberapa waktu yang lalu.