Senin, 29 Desember 2014

Solilokui Seorang Geni

Malam ini nganggur-nganggur seperti cacing yang enggan mau mati atau hidup, aku dan jemari-jemariku bermain-main dengan layar telepon pintarku.  Dan jam dinding di kamarku tiba-tiba serasa berhenti seperti otakku yang terhenyak melihat profile picture akun Blackberry Messengger-mu. Tsunami bernama keterkaguman itu pun naik menyembur masuk ke dalam syaraf-syaraf otakku, membuatku menyadari bahwa kamu tetap cantik, senyummu tetap sama, dan kamu pun masih sendiri.  Aku ingin mengklik tombol chat dan bertanya pertanyan-pertanyaan usil: Kapan kamu kawin? Kapan kamu gendong anak? Kapan? Tapi aku tahu aku tak mampu, tak akan pernah mampu melakukannya.  Seandainya kamu segera memutuskan siapa kekasih yang layak terhormat untuk mengawinimu, mungkin jalanku untuk melupakanmu dan menanggalkanmu akan lebih cepat tak selambat ini.  Aku masih sama seperti dulu, menunggu dan menunggu, tanpa tahu berapa lama lagi aku harus menunggu, karena bukankah tiada yang tahu tentang hal-hal itu?

"Geni, kamu harus move on, aku bukan untukmu, akan ada Mrs. Right yang pada saatnya datang kepadamu, dan disanalah kebahagiaanmu kamu temukan, lepaskan aku ya?"

Kalimatmu tergiang fatal dalam benakku malam ini, bak awan cumolonimbus yang menggetirkan jiwa, membadaikan rasa, dan meluluhlantakkan asa. 

"Mai, emang apa kurangku untukmu? Selera kita sama. Telos hidup kita sejajar. Mimpi-mimpi kita adalah sinonim kekal yang intim satu dengan yang lain. Memang kita nggak bisa jalan?"  Apologiaku waktu itu, dengan argumentasi menyerang angkuh dan arogan, merasa diri pasti benar laksana filsuf pencerahan yang mengobrak-abrik relativisme pascamodern., 


"Bisa jalan sih, tapi kan perjalanan sepasang kekasih bukan ide-ide Marxian yang kau puja itu Geni! Bukan sekedar syarat-syarat objektif yang harus ada disana. Tetapi ada dinamika intra subjektif yang tak pernah kau pahami: ini soal perasaan. Gue ga punya feeling sama elu!" Begitu bentakmu waktu itu, dengan mata melotot, mata yang cantik dan belok itu.

Kata orang, rasa yang selalu membawa masalah, bukan rasio. Tapi ada juga yang bilang emosi itu datangnya dari kognisi. "Pikiran tentang bahaya menciptakan kecemasan. Pikiran tentang kehilangan memicu kesedihan. Pikiran tentang perlakukan kurang adil menimbukan kemarahan. Pikiran tentang kemurahan hati karena dihargai menimbulkan kebahagiaan." (Sudarminta, 2014). Aku jadi bingung, kau dua-duanya, logika berpikirmu bak bom atom yang menghancurkan kekokohan argumentasi-argumentasi hebatku. Perasaan tentangmu adalah konstruksi gagal yang hancur tak berbekas bahkan sebelum aku menyelesaikan fondasinya. Memang, mungkin aku terlahir untuk kalah.  Cintaku padamu sebatas embun yang muncul di pagi hari: setitik, sedikit, lalu matahari terbit kemudian menguapkannya, habis lenyap sudah.  Jelas aku dan kamu bukanlah sepasang kupu-kupu hitam putih yang saling berkejaran di taman kota, ah, bahkan kisah cinta kupu-kupu pun jauh lebih beruntung daripadaku.

Aku tak bisa tidur malam ini, bolak-balik kulihat profile picture bbm-mu. Aku sadar aku keras kepala seperti Dwarf yang selalu angkuh dan bangga dengan sejarah spesiesnya, masih ingin aku mengupayakan diri membekapmu, memilikimu.  Tetapi dengan segenap keberanian yang kukumpulkan malam ini, kugodam tembok Berlin masa laluku! Ku-klik contact-mu lalu kulirik pojok kanan bawah layar bawah telepon pintarku. Kutahan nafas lamat-lamat. Dan jempolku dengan segenap tenaga, energi, cakra yang berhasil kukumpulkan, menekannya: delete contact.  Mataku terpejam, sesaat hening menyapa udara kamarku. Sejarah telah kubuat. Perasaan lega secepat kilat menyeruap di kepalaku. Tak ada lagi wajahmu di layar ponselku. Tak ada lagi senyum yang membuatku jatuh cinta berulang kali itu. Semua hilang, lenyap, tak berbekas. Ternyata memang benar, "Mencintai itu nggak gampang. Karena mencintai harus siap kehilangan." (Pamuntjak, 2014)



#Pregbund 36, cerpen dengan tokoh Geni dan Maira pernah kutulis dengan judul Leiden, kamu bisa baca di blog ini.

Jumat, 05 Desember 2014

Undeniable Cuteness

Kemarin (hari Kamis, 4 Desember) aku nonton Penguin of Madagascar, sebenarnya nggak terlalu minat sih, tapi karena dipaksa temen yang jomblo kesepian dan sok tegar untuk menjalani masa depan yang katanya lagi pengen ketawa sembari nonton film ringan, dan memang karena tidak ada film tontonan yang lain, setujulah aku nonton film ini (alternatifnya: Automata, Sci-Fi yang reviewnya nggak bagus). Entah kenapa ada seruan hati di dalam lubuk yang terdalam untuk nonton saja, padahal sehari sebelumnya aku baru nonton balalalalala Big Heroes 6!  Rasanya aku mencatat sejarah pertamakali nonton bioskop berturut-turut film animasi. Biasanya aku lebih suka sci-fi (Interstellar, Dawn of the Apes, The End of Tomorrow), thriller yang jenisnya psikopat-psikopat gitu (Nightcrawler, The Prisoner, The Call, House at the end of the street), drama yang menyentuh (Grand Budapest, The Judge, Fury), atau film yang diangkat dari novel yang bersentuhan dengan topik politik (Divergent, The Hunger Games). Film animasi (Big Heroes, Frozen, Madagascar, How to Train the Dragon) adalah nomor yang kesekian, letaknya sama dengan film romantic asmara (Winters Tale? The Fault in Our Stars? Gak pernah nonton nih gilak), atau film horror (Insedous, Conjuring, Annabelle, big NO!). Entah, mungkin menurut anda selera filmku buruk, karena disana bisa lihat karakter INTJ-ku, seneng yang mikir-mikir, seneng yang rumit-rumit, bahkan salah satu karuniaku adalah merumitkan yang sederhana. Hahahaha


Tapi okeh, to the point ceritanya, aku nggak pingin spoiler jadi kuceritakan 1 hal saja yang kudapet dari Pinguin Madagascar, yaitu frasa “Undeniable Cuteness” atau kalau diterjemahkan bebas kelucuan yang tak terutur. Frasa ini ditujukan kepada Private, penguin lucu, bukan lucu, tetapi lucuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, imut, menggemaskan, bikin orang senang, bisa me-reject senyawa kemarahan dengan begitu cepat. Private ini adalah senjata utama untuk memutarbalikkan efek jahat dari senyawa medusa buatan tokoh antagonis, Dave. Dave ini adalah gurita yang penuh kemarahan, penolakan, iri hati, dendam yang ingin menghancurkan kehidupan pinguin yang mencuri popularitasnya sebagai hewan kesayangan di kebun binatang.  Senyawa medusa itu mengubah penguin menjadi bentuk yang buruk rupa dan tidak disukai manusia. Jadi, Undeniable Cuteness itu adalah juruselamat, mesias yang menyelamatkan manusia dari kondisi dunia tanpa pinguin yang menyenangkan dan membuat hidup lebih berwarna.


Private

Well, sepanjang nonton film aku tak tertawa sekeras penonton lain di kiri-kananku. Tapi aku menyadari satu hal ini, aku kekurangan undeniable cuteness itu. Hahahaha tolong jangan terburu-buru mengartikan aku lagi galau kepingin punya pacar, tidak.   Aku jadi ingat waktu masih di kampus, menjalani psikotes disuruh menggambar manusia, aku menggambar sosok seorang anak dengan tanpa senyum. Dari sana psikolog mengatakan bahwa hidupku isinya kepedihan demi kepedihan (nangis dong please). Ya memang, dua kehilangan besar (kematian bapak dan Mbak Krist) dalam 24 tahun kehidupanku di dunia ini sangat tajam melukai batin ini. Aku adalah tipe orang yang gloomy, misterius, sukar tertawa dan bercanda, suka mikir serius apalagi tentang pembaharuan dunia, Marxisme, revolusi politik-sosial-ekonomi, teologi yang rumit-rumit. Aku sulit untuk bercengkerama dengan cewek-cewek yang suka aksi-aksi cute, or foto-foto cantik. Aku sungguh tak memahami bahasa mereka. Makanya, bikin khotbah itu yang paling sulit bagiku adalah bagian humornya!!! Aduh bahkan aku pernah berdoa kepada Tuhan, meminta sense of humour. Ya, aku kekurangan sesuatu yang lucu, sesuatu yang mbikin tertawa, sesuatu yang mengubah kopi pahit yang biasa kuminum jadi jus segala rasa yang membuat cahaya mata jadi berpendar (ciyeeee, emang Tuhan Yesus di Kana), sesuatu yang membuatku jadi ringan, mudah tertidur (malamnya aku tidur nyenyak!) dan tak sok bangga dengan istilah glorified insomniac. I need undeniable cuteness!


Ah, tapi malam ini aku merenung-renung. Kenapa aku selalu merasa kekurangan? Bukankah ada Allah, Sang Sutradara yang suka tertawa? Menurutku Tuhan punya selera humor loh. Bukankah Ia menyelamatkan dunia ini melalui sosok bayi kecil mungil lahir di kandang hina sederhana? Dan, bukankah dengan itu, sebagai bayi Yesus, Ia berinkarnasi, menjelma, mewujud sebagai the undeniable cuteness itu?



Sesungguhnya, kita sangat perlu seimbang, ada waktunya untuk berkerut pening, ada waktunya untuk tertawa, bukankah Alkitab berkata Hati yang gembira adalah obat yang manjur. ..


Terpujilah Kristus!



#Pregolan 36. Tuhan aku ingin makin mengasihi-Mu, bercanda dan tertawa karena kemenangan-kemenangan bersama-Mu. Amin.

Selasa, 25 November 2014

Karena Tak Bisa Lelap di Dini Hari


Ada kegelisahan yang utuh. Ketika manusia bertanya tentang tanda dan makna.

Saat neraca tak seimbang, saat malam dendam mengundang.

Adakah nafas yang terengah, juga jantung yang detaknya mulai enggan?

Marx menangisi pekerjaan, Derrida menertawakan bahasa.

Teolog menjual ketuhanan, kaum  ateis membeli rasionalitas yang tak rasional

Mereka hanyalah sekawanan tanda-tanda yang meringkas Sang Misteri dalam ruang-ruang sempit yang masih bisa dijangkau dan ditempati.

Bagiku manusia tidak lebih dari sebuah benda, jika kita tidak ragu, jika kita tidak mendendam, jika kita tidak iri hati, jika kita tidak percaya, jika kita tidak mengampuni, jika kita tidak welas asih.

Rasa-rasa itu adalah sebuah alasan yang menandai kita masih utuh, di dalam kegelisahan yang sama.



Akhir-akhir ini aku sangat susah tidur cepat, selalu di atas jam 12, kadang-kadang bekerja, kadang-kadang nggak jelas, seperti malam ini, sebenarnya jam 12 tadi aku sudah menutup lampu, mematikan segala sesuatu. Tapi entah kenapa tak bisa lelap sampai jam 2 pagi ini. Mau memikirkan strategi pelayanan rasanya tak mampu. Akhirnya posting tulisan lama ini, oke, inilah salah A GLORIFIED INSOMNIAC!!!

Pelayanan Pemuda-Remaja Masa Kini : Tentang YouthWorker (part 1)

Pendahuluan

Di penghujung tahun ini, saya ingin memulai menulis refleksi saya berkaitan dengan pelayanan kaum muda di masa kini.  Memang saya sendiri baru terjun ke lapangan sebagai pelayan penuh waktu setahun ini. Dua tahun jika dihitung sejak masa praktik setahun, jadi mungkin bagi banyak orang, saya belumlah berpengalaman, cupu, dan.. . .  ah apa istilahnya tuh dalam bahasa mandarin? 
Ah, Saya jelas bukan orang yang sempurna, tetapi saya ingin membagikan apa yang saya dapatkan, baik melalui pembacaan buku atau pengalaman saya selama waktu yang bisa disebut tahapan pemula ini. Semoga pembaca mendapat berkat ya...
 
 
Di bagian pertama ini, saya mau bilang yang pertama: YouthWorker (pengerja kaum muda) itu haruslah berdasarkan panggilan dan beban.
 
Astri Sinaga, dosen STT Amanat Agung,  mengatakan bahwa salah satu tantangan dalam pelayanan kaum muda adalah datang dari dalam diri pelayan kaum muda.[1] Saya kutip hasil penelitian Sinaga terhadap beberapa pelayan kaum muda gereja di Jakarta:
“Responden yang melihat bahwa tantangan terbesar adalah dirinya sendiri, ketika ditanyai lebih lanjut, mengungkapkan bahwa mereka sendiri sebenarnya tidak punya panggilan yang khusus di dalam pelayanan kaum muda. Mereka melayani kaum muda lebih karena gereja menempatkan gereja di sana, padahal sesungguhnya pelayanan kaum muda bukanlah minat mereka yang paling utama. Inilah alasan yang menyebabkan tidak ada perjuangan dan pengorbanan ketika melihat adanya keterbatasan waktu. Nampaknya gereja pun tidak terlalu memperhatikan apakah seseorang memiliki gairah dan minat dalam pelayanan kaum muda sehingga dia ditempatkan di pelayanan itu. Gereja mengangkat dan menempatkan seseorang untuk melayani di kaum muda, tapi sesungguhnya gereja sendiri tidak memiliki visi atau tujuan secara khusus tentang mengapa mereka perlu merekrut seorang hamba Tuhan untuk kaum muda.”[2]
 
Pelayanan kaum muda-remaja bukanlah pelayanan yang mudah (sama semua pelayanan yang lain, itu adalah padang kurusetra tempat palagan baterayuda antara pandawa-kurawa dilakukan, sulit!). Kita butuh banyak waktu untuk memahami, mendengarkan dan menemani mereka. Kita butuh waktu untuk nonton, pergi outing, makan bareng, lalu juga membaca literatur kekinian tentang apa yang anak muda sukai. Gak mungkin kita bisa nyambung dengan mereka kalau kita tidak melakukan itu. Suatu kali seorang teman yang melayani remaja berkata kepada saya: “Gila Wan, bĂȘte gue sama anak remaja, labilnya minta ampun.” Yah, itulah remaja, itulah kaum muda. Nah, apa yang membuat kita bisa bertahan di tengah kesulitan itu? Passion! Panggilan! Kejelasan bahwa Allah memanggil kita pergi ke area itu adalah fondasi paling ultim, tembok paling kuat, atap paling ketat yang menjaga rumah pelayanan kita dari burn out, sakit hati, dan segala racun kepemimpinan-pelayanan lainnya.
Jadi ini saran saya bagi mereka yang saat ini sedang melayani pemuda/remaja: segera keluar dari pelayanan itu kalau anda tidak punya panggilan khusus dan spesifik disana! Anda hanya akan menyusahkan diri anda sendiri, dan tentu saja, akan dengan mudah menelantarkan anak muda-remaja yang dipercayakan kepada anda.
 
 
Lalu saran saya kepada para pemimpin gereja: tolong, kalau merekrut hamba Tuhan khusus remaja-pemuda, Tanya dulu apa yang menjadi passion-nya! Jangan sampai passion orang itu di area yang lain (sekolah minggu, literature, etc) tapi anda masukkan ke pelayanan kaum muda-remaja. Itu sama dengan menaruh guru matematika di kelas agama: bunuh diri.
 
 
Sekarang saat ini saya melayani di KPR GKI Pregolan Bunder, secara khusus sebagai Pembina remaja. Bukan hal yang mudah, kadang-kadang (atau sering) saya juga lelah mendampingin anak2 remaja yang labil, punya sedikit sekali ketertarikan terhadap hal spiritual, instan, mudah emosian, wah banyak deh kesusahannya. Tetapi belakangan saya bertanya kepada diri saya: apa yang akan membuatku bertahan? Passion! Panggilan! Saya tahu beberapa tahun yang lalu waktu memutuskan masuk Seminari, area pelayanan saya Cuma satu: pemuda-remaja. Kalau pun ada literature, itu hanyalah tambahan keahlian yang Tuhan anugerahkan untuk mendukung panggilan utama saya.
 
Kalau ditanya apa visi hidup saya, saya jawab dengan jelas: memuridkan sebanyak mungkin anak muda Kristen supaya mereka berdampak bagi transformasi bangsa ini. Maka misinya adalah jelas: (1) menempati posisi/jabatan strategis dalam pelayanan yang berhubungan langsung dengan pemuda-remaja (2) menulis literature tentang pelayanan, spiritualitas, dan budaya kaum muda-remaja (3) mementor secara langsung kader2 pemuda-remaja terbaik (4) terlibat dalam diskusi social-politik-ekonomi-agama-budaya-militer-sejarah Indonesia sebagai bagian untuk transfer visi kepada anak muda.
 
Nah itu saya, bagaimana dengan anda? Dan apa yang akan anda lakukan? Obrolan dan diskusi terbuka dengan saya amat dinanti, silahkan kontak by Facebook : Himawan Teguh Pambudi.
 
Soli Deo Gloria!


[1]“Pelayan Kaum Muda dalam Tantangan dan Kesulitan,” Jurnal Youth Ministry Vol. 2. No. 1, Mei 2014, 10-11
[2] Ibid.

Kamis, 06 November 2014

Corat-coret Eksistensi

Human Existence - What, Why, Who?

Aku ingin menembus ruang dan waktu untuk menjumpaimu. Bahkan kalau mampu, aku mau memutarbalikkan semesta untuk sejumput kenikmatan yang aku rasakan saat memandang titik hitam di tengah-tengah bola matamu. Karena sebenarnya, aku butuh pengakuan yang bermertamorfosis menjadi keangkuhan ketika mendaku sebagai pelindung yang rupawan di hadapanmu. Oh sungguh, tanpa memelukmu, serta merta duniaku laksana bumi yang menua ini, sakit, sepi dan kalah.  Bukankah kau adalah pusaran lubang hitam yang menarik partikel-partikel materi disekitarmu, menghancurkannya, lalu menyemburkannya kembali dalam ruang hampa, sampai mereka membentuk kebendaan dan keberadaan yang baru.  Bukankah, kau adalah pusat dari tata surya, inti dari galaksi, fondasi dari kontelasi semesta yang tak dapat rengkuh oleh tangan insan yang rapuh ini.  Merasakan suaramu, mendengarkan detak syaraf yang menjalar ketika kau berwicara, lagi bertatakrama, adalah sebentuk pertautan antara imanensi dan transendisi, momentum itu layak dihargai dengan apapun, bahkan semilyar megasekon kerjakeras untuk membayar utang supaya kita bertemu di titik koordinat yang saat ini tak kuketahui. 
 
Galaksi
Sayangnya, di waktuku ini, dimensimu begitu berbeda. Kau mengada dalam ruang ketidakjumpaan yang hegemoninya melindas kemewaktuan.  Jauh, begitu jauh, sampai jutaan tahun cahaya yang sanggup kucerna dengan hitungan fisikaku, tak mampu mendefinisikan jarak diantara aku dan kamu.  Fakta ini dikalikan dengan ketakberhasratanmu untuk menyediakan diri dirampas oleh renjana yang abadi di dalam sukmaku, mewujudkan sebuah deduksi sempurna yang memahitkan dan tak dapat dianalogikan dengan melodi segetir apa pun.  Kalau pun bisa kuputar galaksi ini dan kuremukkan gravitasi yang menarikku untuk tak bergerak dari sisi ini menuju dimensimu, aku hanya akan menemukan eksistensi yang menolak masa depan yang aku tawarkan.  Lalu tawaranku itu hanya akan menjadi mimpi yang didekonstruksi terus menerus, dan tak pernah bisa dibangun menjadi ruang simulacrum yang nyata. Maka dari itu, aku hanya bisa bersenandung sedih di sini, di dimensiku ini, menulis luapan eksistensiil yang mewakili megaliter air mata dan sekian juta teriakan sesak dari relung dada paling dalam yang tak terjangkau oleh homo sapiens mana pun. Mengotak atik mimpi, menawarkan alternatif opini, sampai aku menyadarkan alam sadarku sendiri, bahwa hidup sebenarnya hanya soal maukah kau mencandra, mengais, menyusun, merangkum, mengargumentasikan makna di dalam batas-batas ruang, waktu, dimensi, galaksi, dan gravitasi.
#Corat-coret nggak jelas saja, mau mengucap makasih untuk manusia-manusia yang berada dalam dimensi yang lain, namun ada dalam batin saya belakangan ini, menorehkan vaksin bagi kegamangan eksistensi saya:
Dee Lestari, Gelombang, buku ini memberi inspirasi untuk memaknai mimpi lebih dari perkara sederhana, juga keinginan untuk pergi ke area lain di muka bumi ini.
 
 
Christoper Nolan, Interstellar, filmnya menyadarkan saya akan luas dan hebatnya semesta kita, dan sejuta kemungkinan eksistensial yang masih bisa kita raih di masa mendatang. Film paling bagus yang kutonton belakangan ini, lebih bagus dari Fury.
 
Robert Downey, The Judge, tokoh yang diperankannya dengan epic, Hank mengingatkan saya korelasi antara menjadi professional dan urusan domestik.
 
Tan Malaka, D. N. Aidit, risalah-risalah mereka memercikkan harapan tentang Negara sosialisme Indonesia di masa mendatang.
[paul.jpg]
 
Paulus, surat Korintus yang pertama di pasal pertama ayat keempat mengingatkan saya filsafat hidup yang sederhana: nrimo dan mengucap syukur.
 
Untuk pemilik sepasang mata bening di ujung dunia sebelah sana yang takkan pernah bisa aku jumpai dalam situasi ideal yang aku inginkan, mungkin sampai aku mati, selamat merayakan hari menjadi keberadaan yang terlempar di tengah dunia ini.
 
When everything made to be broken, I just want you, to know who I am.
_Iris, Go Goo Dolls_

Rabu, 29 Oktober 2014

Di Lorong Kelas

Usai jam makan malam itu kita berjalan bersama menyusuri lorong.  Menurutku, dunia selalu diam tak bergerak ketika kita berdua saling berbicara dan mendengar. Lalu kita duduk di atas kursi, menikmati canda dan kemesraan. Tak ada siapa-siapa, karena kita tak lagi peduli pada apa pun juga.  Barangkali hanya tiang-tiang pancang lorong di kampus putih yang selalu memerhatikan kita, dalam diam.

“Memang kamu nggak pernah punya perasaan sama seorang pria satu pun?”

“Pernah dulu, sama temennya koko-ku, tapi ya nggak jadi. .”

“Trus, nggak pernah lagi?”

“Pernah ditembaklah, tapi ya aku tolak lah kak.”

“Kenapa gitu? Punya perasaan terancam yo?” Aku tahu itu. Karena kau sering berkisah kepadaku tentang masa lalumu. Tentang keluargamu. Tentang relasimu. Tentangmu.  Ilmu Pastoral Konseling yang kupelajari selama beberapa semester di Seminari selalu bermanfaat ketika kita berusaha menjalin relasi dengan seseorang.

“Iya kayaknya. Aku susah percaya sama cowok. Nggak merasa aman. Kata konselorku aku selalu merasa ketakutan.”

“Wah, susah, tapi sekarang? Bukannya lagi deket sama seseorang?”

“Mana ada?”

alaaah, ga usah disembunyiin deh, aku tau matamu.”

“Mataku kenapa?”

“Matamu yang selalu terpesona ketika berbicara dengannya, dan rasa penasaranmu ketika mendengar namanya, kamu yang begitu berbeda ketika ia ada.”

“Hmmm. Ga tau deh.”

“Jatuh cinta nggak papa kok.”

“Gitu ya? Tapi aku takut.”

“Iya. Tanya Tuhan yang penting.” Aku tersenyum sembari berlagak gagah, padahal saat mengatakan ini hatiku gelisah gundah. Aku takut aku harus melepaskanmu supaya kamu bisa bersamanya. Aku takut aku tak bisa lagi melindungimu karena kau memilih dilindungi yang lain.

“Oke deh. Kakak doakan aku yah? Aku takut. Karena banyak orang bagus di luarnya, tetapi di dalamnya mengecewakan.”

“Yah, itulah, makanya hati-hati, kenallah seseorang sampai kamu benar-benar mengenalnya.”

“Bener. Ya sekarang lagi kenal-kenal aja sih Kak. Kalau Tuhan mau aku jadian ya jadian. Kalau enggak ya nanti deh liat.” Saat itu aku tahu. Kamu mencintainya.

“Oke. Nah sekarang, Selamat kuliah ya.” Lalu aku pergi meninggalkanmu melangkah menuju perpustakaan seberang kelas tempatmu kuliah, dengan langkah-langkah yang begitu berat.

Sampai di meja tempatku belajar, hatiku terasa berlobang, tiba-tiba aku mataku perih, jadi ini rasanya patah hati. Ketika seseorang yang ingin kau lindungi dengan segenap hidupmu, menautkan hatinya pada yang lain. Ketika kau harus menyerah pada perasaanmu ini dan memilih untuk berlogika. Kututup laptopku dengan kasar. Kuringkas semua barang. Kutinggalkan perpustakaan, dengan hati yang begitu berat. Aku masuk kamar lebih cepat untuk bisa segera menangis.  Malam itu aku tak bisa tidur sampai subuh, hatiku benar-benar hancur.

Cinta selalu punya dua sisi. Menyenangkan karena kita akan berdansa dengan perasaan-perasaan yang membuat dunia selalu penuh dengan bunga, matahari dan kesenangan-kesenangan. Menghancurkan ketika hati tak terpilih, dan kita akan menjerit pedih dalam kesendirian duka, tak ada siapapun di dalam lubang yang gelap ini. Hanya ada aku sendiri, bertahan untuk tidak mati.

 
 #Pregolan Bunder 36, 2013, sesekali nulis yang galau galau ah..

 

Dulu aku berpikir bahwa jatuh cinta itu

Dulu aku berpikir bahwa jatuh cinta itu harus glamour, gilang gemintang, membara, hebat, dahsyat, penuh dengan cahaya terbang di atas langit gelap, berpendar laksana gagahnya kembang api di malam tahun baru. Dulu aku berpikir bahwa jatuh cinta itu harus disertai dengan persaingan, sebuah dinamika kompetisi yang keras yang harus berujung pada penaklukan dan kemenangan atas sebuah hati. Dulu aku berpikir jatuh cinta itu hanya bisa diwarnai dengan mata berbinar, langkah sorak bersemangat, sanguinitas murni yang mampu membuat duniaku yang penuh dengan kekecewaan dan kegelapan berubah menjadi penuh warna dan kegembiraan. Kupikir, cahaya pesona batin yang memikat itu berbanding lurus dengan tampilan luar yang menjawab konteks, pun dengan baju menawan, dimana akhirnya aku bisa bersepakat dengan sastrawan besar Rusia, Doestoevsky, yang berkata beauty will save the world.
 
Namun, benarlah kata para pendahulu, makin tua dirimu sebagai manusia, makin engkau menggerakan pendulum hidup, dari pemikiran yang idealis menuju realistis konkrit.
 
Ternyata jatuh cinta itu bisa sederhana. Yang penting, ia adalah yang bisa membuatmu merasa cukup dengan dirimu sekarang, dan dengan apa yang kamu miliki. Ia bukan kompetisi atau konfrontasi, namun sebuah dialektika perdamaian dengan diri, keinginan, kemunafikan dan eksistensi hati.  Parasnya tak perlu glamour, tapi cukup untuk secara definit menyematkan kata ayu padanya.  Matanya tak perlu benderang pun menggairahkan, tetapi bisa bening dan mendamaikan.  Geraknya mungkin lambat, tapi itu mengingatkan bahwa hidup tidak melulu terburu-buru.  Cahaya batin itu tak benderang, tapi cukup untuk membuatmu berjalan dalam langkah-langkah perlahan melewati jalan panjang berkabut kekelaman.
 
 
Ah, aku ingin menikmati Sang Sederhana, yang tampil dalam rupa tanpa kosmetik. Otentik, apa adanya. Memegang tangan dalam kehangatan yang terurai bersama waktu. Mencipta narasi yang tak kan terpenggal oleh sekat-sekat keberbedaan, keberadaan, dan ketidakmungkinan.
 
 
 
 
Note: jatuh cinta disini bisa ditafsir literal, harafiah. Namun bisa juga diterjemahkan sebagai momen kita bertemu dengan Sang Misteri

Rabu, 08 Oktober 2014

Ruang Keraguan

Ada sebuah ruang di dalam diri saya, di mana saya selalu ragu. Ragu tentang apa? Ragu tentang apa artinya gereja. Apa artinya agama. Apa artinya menjadi seorang hamba Tuhan. Rasanya lebih relevan teori Marxist Revolusioner daripada segala sesuatu yang berbau agamawi, spiritual, dan rohani. Materialisme dialektis lebih terlihat menyentuh passionku terdalam daripada Injil yang belakangan ini, kuamati makin kabur keberadaannya di Kekristenan masa kini.
 
Masalahnya, apakah diperbolehkan ruang seperti itu ada dalam hidupku? Bukankah mereka yang berprofesi sama seperti saya, selalu dituntut untuk hebat, beriman kuat, pekat dalam pembacaan ayat-ayat suci, tak kalah sedikit pun dalam menjalani deru kehidupan dan banalitas masyarakat postmodern dewasa ini.  Tampilkanlah kelemahan maka engkau akan dibuang ke keranjang sampah. Menjadi sesuatu yang tak berarti.
 
 
Menurut saya ruang keraguan itu perlu adanya. Disanalah spiritualitas kritis mendampatkan habitat untuk bersemi, besar, bertumbuh dan mempengaruhi kehidupan. Tanpa ruang keraguan, kita akan mapan dengan kenyamanan. Tanpa ruang keraguan, kehidupan rohani kita akan dibelai dengan kenikmatan personal yang tak pernah berempati dengan ketidakmungkinan serta ketidakpastian. Jadi ruang keraguan itu adalah titik binerian yang perlu ada, karena kalau tidak, perlawananannya, yaitu iman, tidak akan pernah ada juga. Jika salah satu diantara dua ujung pendulum ini dihapus dalam ruang hidup kita, maka kita tak utuh. Hidup hanyalah sekedar ritual involutif: ritual tidak bermakna yang tidak bercengkerama dan berwicara dengan luasnya masa depan yang sanggup menghampiri kita.  Saya rasa titik ritual involutif itu banyak menjangkiti teman-teman seprofesi saya yang akhirnya seluruh hidupnya adalah pelarian dari idealism masa muda, tetapi masuk ke dalam jurang nista rutinitas, kebutuhan, dan zona nyaman.  Suatu hal yang paling ditakuti (dan tidak diinginkan) oleh pendaki gunung seperti saya.
 
 
Di titik dimana quarter life crisis ini begitu hebat merasuk jiwa saya yang terdalam, pada akhirnya aku terjatuh dalam ruang tunggu tanpa akhir. Ruang tunggu tanpa akhir di mana keraguan dan iman sedang bertatapan satu dengan yang lain, mencoba bersahabat dan bahkan berkelindan, mungkin mereka akan bercinta. Dan di sanalah akan lahir janin yang baru... yang tak saya tahu apa itu.
 

Senin, 06 Oktober 2014

Tentang Komitmen

Akhir pekan yang lalu, aku mewarnai hariku dengan banyak kekecewaan. Yaitu tentang komitmen. Kecewa dengan komitmen teman-teman pemuda-remaja yang rasanya sulit sekali untuk memberi prioritas bagi pertemuan pemimpin kelompok pemerhatian. Kecewa pada komitmen teman-teman yang lain untuk meluangkan waktu pertama-tama bagi komunitas gerejawi dan segala sesuatu yang berbau "spiritual.. "
 
Tapi setelah merenung-renung, aku berusaha menyadari, memang berkomitmen adalah hal yang sulit dan tak mudah. Aku sendiri payah dalam hal berkomitmen. Sejak usai naik gunung Semeru, aku berkomitmen punya waktu lari minimal 30 menit tiap hari. Tak terealisasi. Bangun pagi setiap hari untuk olahraga, kacau. Pendalaman Alkitab pribadi minimal sebulan sekali, juga tak jelas jluntrungannya, aku jatuh bangun melakukannya. Setelah mengikuti IDMC bulan lalu di Singapore aku berkomitmen untuk hari Jumat menjadi hari menjalin relasi dengan mereka yang unchurch atau unchristian, sampai minggu kemarin gagal dilakukan karena ada pelayanan. Yah memang, kesibukan pelayanan kadang menjadi alasan, padahal menurutku, alasannya jelas karena kegagalanku untuk menjernihkan apa yang menjadi fokus hidupku, kegagalanku untuk memimpin diriku sendiri dan mendisiplin tubuh dan kedaginganku yang lemah ini. Oh Tuhan, ampunilah aku, orang berdosa ini.  Kalau aku kecewa, Tuhan pasti juga lebih dan bahkan berulangkali kecewa padaku.
 
Lalu aku teringat hari Jumat yang lalu aku membawakan renungan di sebuah persekutuan kantor, terambil dari Daniel 1. Yang menjadi sorotanku pada saat itu adalah ayat 8:
Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapa raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja. . . .
Kata "berketetapan" itu bisa kita terjemahkan sebagai "Daniel berkomitmen", "Daniel berjanji", atau "Daniel berikrar".  Menarik sekali, kalau kamu sudah sering tahu cerita Daniel, Daniel berkomitmen sesuatu yang berbeda, radikal, dan revolusioner di tengah keadaannya sebagai pendatang asing di tengah penjajahan Babilonia (ay. 1-2_.  Ia dan kawan-kawannya dituntut untuk makan dari makanan raja (ay.5). Saya membayangkan waktu Daniel dan trio Hananya, Misael, Azarya memutuskan itu, beberapa oknum pemuda Israel (yang tidak dicatat di pasal 1, hasil interpretasi-imajinatif saya) menuding-nuding Daniel: Goblok lu, lu bakal dibunuh sama pribumi! Tapi aku rasa sosok Daniel tak jauh beda dengan wagub DKI Jakarta Ahok yang keras kepala itu: tak gamang dan tak geming ketika menghadapi resiko yang harus ditanggung demi komitmen yang diambilnya.
 
 
Kembali pada pergumulanku di awal tadi, lalu aku bertanya apa yang membuat Daniel begitu berani mengambil komitmen?
 
1. Komitmen itu timbul karena kecintaannya kepada Tuhan. Kalau kita baca bagian kitab Daniel selanjutnya, tantangan terhadap Daniel tak berkurang, dan ia dikisahkan mempunyai waktu 3 kali sehari untuk beribadah kepada Tuhan. Jadi, iman Daniel kepada Tuhan bukanlah iman yang ritualis, yang diturunkan turun-temurun dari orangtua dan kakek buyutnya. Ini adalah model iman yang kebanyakan dipunyai oleh anak muda gereja sekarang ini. Iman yang tidak berani mati.  Iman Daniel adalah iman yang didapatkan dari perjumpaan yang otentik dengan Tuhan, Iman Abraham, Ishak dan Yakub. Iman yang menghasilkan relasi mendalam antara satu pihak dengan yang lain, sehingga Daniel tak mau sedikit pun menyakiti hati Sang Kekasihnya, yaitu Allah dengan hidup seperti bangsa-bangsa lain.
 
2. Komitmen itu tetap berlanjut dan menjadi fakta-kenyataan, karena adanya kedisiplinan. Aku rasa 10 hari tidak makan daging dan anggur, dan hanya minum air dan makan sayur (ay. 12) bukanlah perkara yang mudah. Kebayang kan, Daniel diintimidasi oleh rekan dan lawannya: kok lu nggak makan? Sok suci lu! Apalagi dengan pekerjaan, paper, makalah, hafalan bahasa, presentasi yang harus ia kerjakan di kuliahnya di Fakultas Ilmu Kebangsaan Babilonia Universitas Sinear. (eh, dugaanku usia Daniel waktu itu adalah usia mahasiswa sekarang ini loh, tak lebih dari 22 tahun). Lalu bagaimana mereka berempat bisa survive? Jelas mereka disiplin. Aku yakin mereka beristirahat cukup, berolahraga rutin, belajar dengan giat dan tidak bermalas-malas. Sehingga firman Tuhan mencatat "perawakan mereka lebih baik dan lebih gemuk dari pada semua orang yang telah makan dari santapan raja.(ay. 15)" Bahkan, didapati oleh raja 10 kali lebih cerdas daripada orang sebayannya! (ay. 20) Aku gak bisa mengira seberapa cerdas Daniel saat itu. Mungkin ia sekaliber dengan anak-anak binaan Prof. Yohanes Surya. Semua karena disiplin. Komitmen tanpa disiplin tidak akan menjadi apa-apa. Ia hanya akan menjadi impian di siang bolong. Ia tak akan jadi visi konkrit yang mengubahkan diri dan dunia di sekilingnya.
 
 
 
Tadi malam aku menuntaskan buku Presenced-Centered of Youth Ministry, tulisan Mike King. di bagian akhir bukunya, Mike menegaskan bahwa seorang Youth Pastor harus punya rule of life, aturan-aturan hidup, yang mendisiplin diri, dan menghasilkan regula fidei. Aku menulis di jurnal pribadiku: studi Alkitab dan teologi rutin tiap Senin malam, investasi waktu dengan para pemimpin, ada waktu untuk bergaul dengan mereka yang unchristian. Bulan ini aku berkomitmen untuk puasa nonton, menggantinya dengan lebih banyak membaca buku dan Alkitab, juga menulis renungan-renungan di blog ini.
 
Oh Tuhan, tolong aku untuk tidak menghakimi orang lain, memandang orang lain terlebih dahulu, tapi memperbaiki diriku lebih dulu.
 
Tolong kami untuk mengasihi engkau dengan lebih sungguh-sungguh, memandangMu sebagai pribadi paling berharga yang kami miliki di kehidupan kami. Engkaulah raja kami yang hidup, kami mau efektifkan hidup kami, prioritaskan waktu kami supaya Kerajaan Allah makin hadir di muka bumi. Amin.
 

Senin, 22 September 2014

Masihkah tetap sama

Tadi siang aku membawakan pembinaan di tim paduan suara Soli Deo, aku mengambil Yosua 14:6-13 sebagai bahan refleksiku siang itu. Kisah perikop ini adalah kisah tentang Kaleb yang menghadap Yosua, lalu "menagih" janji yang pernah disampaikan Musa padanya (Bil. 14). Lebih baik aku copy lengkap perikopnya di bawah ini, bacalah baik-baik secara perlahan, perhatikan yang aku beri warna berbeda.
 
 
 
Kaleb mendapat Hebron
14:6 Bani Yehuda datang menghadap Yosua di Gilgal. s  Pada waktu itu berkatalah Kaleb bin Yefune, t  orang Kenas itu, kepadanya: "Engkau tahu firman yang diucapkan TUHAN kepada Musa, abdi Allah u  itu, tentang aku v  dan tentang engkau di Kadesh-Barnea. w  14:7 Aku berumur empat puluh tahun, ketika aku disuruh Musa, hamba TUHAN itu, dari Kadesh-Barnea x  untuk mengintai negeri y  ini; dan aku pulang membawa kabar kepadanya yang sejujur-jujurnya. z  14:8 Sedang saudara-saudaraku, yang bersama-sama pergi ke sana dengan aku, membuat tawar hati a  bangsa itu, aku tetap mengikuti TUHAN, Allahku, dengan sepenuh hati. b  14:9 Pada waktu itu Musa bersumpah, katanya: Sesungguhnya tanah yang diinjak oleh kakimu itu akan menjadi milik pusakamu c  dan anak-anakmu sampai d  selama-lamanya, sebab engkau tetap mengikuti TUHAN, Allahku, dengan sepenuh hati. 14:10 Jadi sekarang, sesungguhnya TUHAN telah memelihara hidupku, seperti yang dijanjikan-Nya. e  Kini sudah empat puluh lima tahun lamanya, sejak diucapkan TUHAN firman itu kepada Musa, dan selama itu orang Israel mengembara f  di padang gurun. Jadi sekarang, telah berumur g  delapan puluh lima tahun aku hari ini; 14:11 pada waktu ini aku masih sama kuat seperti pada waktu aku disuruh Musa; seperti kekuatanku h  pada waktu itu demikianlah kekuatanku i  sekarang untuk berperang dan untuk keluar masuk. 14:12 Oleh sebab itu, berikanlah kepadaku pegunungan, yang dijanjikan TUHAN pada waktu itu, j  sebab engkau sendiri mendengar pada waktu itu, bahwa di sana ada orang Enak k  dengan kota-kota yang besar dan berkubu. l  Mungkin TUHAN menyertai aku, sehingga aku menghalau mereka, seperti yang difirmankan TUHAN." 14:13 Lalu Yosua memberkati m  Kaleb bin Yefune, n  dan diberikannyalah Hebron o  kepadanya menjadi milik pusakanya. p  14:14 Itulah sebabnya Hebron menjadi milik pusaka Kaleb bin Yefune, orang Kenas itu, sampai sekarang ini, karena ia tetap mengikuti TUHAN, Allah Israel, dengan sepenuh hati 1 . q  14:15 Nama Hebron dahulu ialah Kiryat-Arba; r  Arba s  ialah orang yang paling besar di antara orang Enak. Dan amanlah t  negeri itu, berhenti berperang.
 
 
Ayat yang menjadi perhatianku adalah ayat 11, dengan jelas kita lihat bahwa Kaleb masih tetap sama, sama dengan Kaleb yang ada di Bilangan 13. Sama kuat secara fisik, dan aku yakin, masih sama kuat dalam soal iman, karena Kaleb mengikut Tuhan dengan sepenuh hati (ay. 8).  Kaleb masih sama kualitas imannya dan totalitasnya dalam mempercayai rancangan karya Allah. Aku membayangkan 45 tahun yang ia alami (ay. 10) bukanlah 45 tahun yang mudah. Ia melihat bagaimana bangsa Israel yang gampang bersungut-sungut dan tegar tengkuk. Mungkin ketika Musa mati, ia melihat bagaimana tidakmungkinnya Israel menguasai Tanah Kanaan, Kaleb juga menjadi saksi hidup pemberontakan-pemberontakan terhadap kepemimpinan yang Allah kerjakan melalui hamba-Nya Musa dan Yosua, 45 tahun perjalanan iman personal yang penuh dengan lembah kekelaman pikirku. Tetapi anehnya, Kaleb masih tetap sama! Sama kuat dalam hal jasmani, sama kuat dalam hal kebersandaran kepada Allah, sama kuat dalam hal melayani Dia. Aku yakin Kaleb masih tetap sama bukan karena kekuatan Kaleb sendiri, tetapi jelas Allah Sang Pemelihara-lah (ay. 10) yang menuntun Kaleb di dalam kasih karunia-Nya sehingga Kaleb masih tetap sama.
 
Lalu aku merenung-renung, 45 tahun Kaleb masih tetap sama. Bagaimana denganku? Sekarang usiaku 24 tahun, masih kuat naik gunung, khotbah 3-4 kali di hari Minggu masih sanggup, rapat sampai mendekati tengah malam juga masih tahan. Apakah aku masih sama, waktu nanti usiaku 40 tahun, 50 tahun, 60 tahun? Pertanyaan refleksi ini menggiringku ke dalam kewaspadaan yang kudus. Aku harus menjaga kualitas hidup jasmaniahku untuk lebih memperpanjang pelayananku.
 
Lebih lanjut, aku merenung-renung tentang kehidupan spiritualitas dan pelayanan di dalam diriku sendiri, masihkah diriku tetap sama, seperti dulu waktu pertamakali mengikrarkan diri sepenuh waktu melayani Yesus. Ah, ternyata kudapati diriku ter-erosi dalam banyak hal.  Kalau dulu menggebu-nggebu untuk memberitakan Yesus pada mereka yang belum kenal Dia, sekarang aku amat jarang mengerjakannya. Kalau dulu, waktu masih pertama-tama belajar khotbah, persiapannya setengah mati seriusnya, doanya juga gila-gilaan, bangun lebih pagi di hari minggu untuk berlutut dan bersandar kepada Tuhan, nulis teks lengkap bahkan sampai dihafal, sekarang, karena khotbah sudah jadi rutinitas, seringkali persiapannya ngepres, tak jarang tidak disertai doa dan pergumulan terhadap teks firman Tuhan. Ternyata, akibat kesibukan, rutinitas, dan dosa-dosa, passion mengikut Tuhan dan melayani-Nya perlahan-lahan mulai kabur, perlahan-lahan mulai berubah, perlahan-lahan mulai tak sama. . . . .
 
 
Entah apakah teman-teman alumni SAAT di tempat lain mengalami yang seperti aku alami. Entah apakah mereka yang melayani Tuhan penuh waktu merasakan yang seperti aku rasakan. Kalau iya, aku mau berdoa untuk mereka: Tuhan kasihanilah kami, orang berdosa ini. Tolong kami untuk masih tetap sama, esok, lusa dan seterusnya. Sama dalam kasih kepada-Mu, sama dalam kualitas pelayanan untuk-Mu, sama dalam motivasi bekerja bagi-Mu. Sampai Tuhan panggil kami kembali. Amin.

Selasa, 16 September 2014

Kentang goreng, Ice Cokelat, dan Setenggak Rindu

Ketidakmampuan dicampur gelisah saling silang membentuk kuadran perasaan yang disebut kecemasan. Kecemasan dikali dengan kehampaan menghasilkan rumusan yang dipanggil manusia kegundahan. Hasil dari rententan situasi-situasi itu melahirkan seorang manusia yang kebingungan tentang keberadaannya di tengah dunia. Aku lah orangnya. 
 
Aku yang sedang berjalan dalam kelana yang tak dikenal. Kelana dengan pilihan-pilihan kemungkinan yang begitu luas dan takjub, sehingga titik bifurkasi yang ada begitu lebar, dalam dan tak terjangkau oleh tanganku yang kecil ini. Kebingungan yang menjadi-jadi memenuhi hati sepanjang jutaan megasekon belakangan ini.
 
Apa yang biasa, dan bisa kamu lakukan ketika menghadapi perasaan-perasaan ini? Ketika kau butuh mood booster sebagai penyemangat kerjamu? In what way you can ignite your passion?
 
Maka aku memilih tiga hal ini: kentang goreng, es cokelat, dan setenggak rindu. Kalau kau tahu, kentang punya banyak manfaat jika kita memakannya.  Salah satunya adalah meredakan stress.  What? Ya, aku sendiri baru tahu. Mengandung vitamin B6, kentang sangat bermanfaat untuk menghilangkan stres yang berasal dari pikiran. Kentang membuat hormon adrenalin yang dapat merespon stres, hingga pada akhirnya membuat tubuh menjadi rileks dan memberikan perasaan yang menenangkan (info ini diambil dari sini).  Nah, belakangan ini aku agak tertekan dengan banyaknya hal di dalam pelayanan yang harus kukerjakan dan kupikirkan, maka memperbanyak vitamin B6 di dalam diriku mungkin bakal lebih membuat rileks. Apalagi jika ia dipadu dengan cokelat! Cokelat, "mengandung alkaloid-alkaloid seperti teobromin, fenetilamina, dan anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan-kandungan ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak." (diambil dari Wikipedia). Hormon Serotonin adalah hormone yang  diproduksi di saluran pencernaan. Hormon ini berfungsi mengontrol mood atau suasana hati, nafsu makan dan tidur. Maka mengkonsumsi cokelat secara rutin akan membantu kita untuk menjaga stabilitas jumlah serotonin di dalam otak kita. Jadi jelas, kentang (goreng) ditambah (es) cokelat, adalah kombinasi aku yakin ahli fisika kuantum atau biomokuler akan menyetujuinya sebagai mood booster yang tepat untuk menyuntikkan kreatifitas, ketenangan, dan perspektif yang positif. Tak heran, Harry Potter selalu makan cokelat ketika Dementor datang :) (lih. cerita Potter, Prisoner of Azkaban).
 
Tunggu, lalu apa itu setenggak rindu? Apakah ia jenis minuman terbaru yang bisa kita dapatkan di kios Starbucks terdekat? Bukan. Kalau kau lihat KBBI, rindu didefinisikan "sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu." Aku mendefinisikan setenggak rindu sebagai kumpulan perasaan yang dapat kau minum dan masuk ke dalam jiwamu yang terdalam, menggerakkanmu untuk menggubah komposisi, menantangmu untuk mendaki gunung tertinggi, menantimu untuk melakukan sebuah revolusi.  Kumpulan perasaan itu bisa berasal dari pengalaman masa lalu, pembacaan buku yang menginspirasi, atau perjumpaan dengan Sang Hidup yang membawa ke dalam pencerahan.  Dan kini aku mau menenggak setenggak rindu! Setenggak rindu akan dunia yang lebih baik. Setenggak rindu akan kisah dimana orang-orang miskin dan tertindasi ditransformasi dan dimanusiakan. Setenggak rindu akan kedamaian dan harmoni antara pemeluk agama. Setenggak rindu. . . . .
 
 
 
 
Apakah engkau mengalami hal yang sama denganku? Bingung dengan hidupmu, bosan dengan ini dan itu? Kelelahan dengan rutinitas yang ada? Pesanlah ketang goreng, ice cokelat, dan nikmatilah setengggak rindu!
 
 
 
 
@Library Café, Gramedia Book Store, memesan kentang goreng dan ice cokelat seperti biasa.