Kamis, 12 Desember 2013

Refleksi dari lukisan Rembrandt “Jacob Wrestling with The Angel”: Mencari Arti Lelaki Sebagai Seorang Pemenang


Kalau anda perhatikan seksama, sampul buku ini memakai lukisan dari pelukis terkenal Belanda, Rembrandt Van Ryn, yang berjudul “Jacob Wrestling with The Angel.[1]  Lukisan itu memotret puncak atau klimaks dari perjalanan hidup seorang Yakub, tokoh Alkitab, yang dalam Camp Men’s Breakthrough kali ini menjadi cerminan setiap kita.  Refleksi ini memusat pada dua aktor yang dilukis Rembrandt: Yakub dan malaikat.

Pertama, sosok Yakub.  Saya rasa kita semua akan setuju jika dikatakan: kisah Yakub adalah kisah kita semua, kisah para lelaki.  Ia lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara di tengah keluarga yang mengakarkan iklim favoritisme, dan melegalkan suasana kompetisi yang saling menjegal di antara saudara sedarah. Kondisi keluarga ini membesarkan Yakub menuju sosok lelaki yang manipulatif, sifat yang bergaris lurus dengan arti namanya “penipu.”  Lihatlah Yakub, dengan tipu muslihatnya ia mengambil hak kesulungan dari Esau dengan semangkok kacang merah. Ia menipu ayahnya juga untuk mendapatkan berkat, sebuah hal yang dipelopori ibunya, tetapi saya yakin ia menyetujui dan menikmatinya, demi dirinya sendiri. 

Yakub lari ke tempat Laban karena takut atas ancaman Esau, di sini ia menjadi peternak yang berhasil. Lelaki yang juga pecinta itu pun berhasil mendapatkan gadis idamannya. Ah, bukankah ini status yang sangat umum harus dan ingin dicapai oleh para lelaki? Lelaki yang menjadi pemenang adalah seorang penakluk, penguasa, pejuang dan pemilik keindahan. Ya, Yakub mendapatkan itu semua.  Tetapi benarkah ia lelaki yang menjadi pemenang?

Aksi tipu menipu Yakub tak berhenti di situ, ia kelabuhi mertuanya sehingga hartanya semakin banyak.  Strategi manipulatifnya tak berhenti, menjelang bertemu dengan Esau, ia membujuk rayu kakaknya dengan harta benda.  Namun, semua berubah ketika si lelaki yang mencoba untuk terus-menerus menjadi pemenang itu, datang ke sungai Yabok, tempat di mana ia menjadi lelaki yang kalah.

Rembrandt melukis Yakub sebagai seseorang pria yang gagah, cambang lebat dan kekar adalah tanda seorang lelaki bagi era Rembrandt.  Pakaian yang dipakai Yakub dalam lukisan Rembrandt adalah pakaian seorang gembala. Jangan membayangkan gembala sebagai pekerjaan yang mudah, santai dan menyenangkan! Gembala adalah pekerjaan yang keras: melindungi dari hewan-hewan buas, mengatur domba-domba dungu, bertarung dengan sengat mentari dan dinginnya tusukan malam.  Tentu pekerjaan seorang gembala adalah awal menjadi seorang pemimpin yang handal.  Yakub telah teruji dalam itu semua. 

Maka pertarungan Yakub dengan sosok Ilahi, seorang malaikat (yang adalah representasi dari Allah sendiri, melek, yang artinya “utusan” identik dengan sang pengutus, sehingga pergelutan dengan malaikat ini adalah pergelutan dengan Allah sendiri), adalah ujian terhadap kekuatan Yakub sebagai seorang lelaki.

Kekuatan Yakub sebagai seorang lelaki amatlah kuat, perhatikan Rembrandt melukisnya dengat akurat: kedua tangannya tak terlihat, mungkin sibuk menyerang untuk mengalahkan lawan.  Penulis Alkitab melaporkan, “Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia [Yakub] sampai fajar menyingsing.  Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya. . .” Sangat kuat, sangat ambisius, sangat lelaki?

Kedua, sosok malaikat. Lelaki lawan dari Yakub ini juga tak kalah kuat.  Menariknya Rembrandt melukis wajah malaikat sebagai seorang lelaki yang lemah lembut.  Perhatikan matanya yang memandang kepada Yakub. Itu adalah sebuah tatapan anugerah dan kasih karunia.  Tangannya kanannya memberikan pelukan, tangannya yang lain dan lututnya menyerang bagian utama pertahanan Yakub: sendi pangkal paha.  Kejadian 32:30 menjelaskan bahwa lelaki itu adalah Allah sendiri. Pihak superior itu memandang dengan mata menyorotkan kasih karunia, yang seolah-olah berkata kepada Yakub: kapan kamu berhenti untuk mencari kemenangan dengan caramu sendiri?  Kapan kamu ingat padaku Allah penguasa hidupmu? Tidakkah kamu sadar bahwa kamu hanyalah sesosok lelaki dengan berbagai kelemahan? Kapan kamu menyerah kalah?

Kemenangan Seseorang Yang Kalah
Jika kita perhatikan dengan seksama kisah di Kejadian 32, orang itu berkata kepada Yakub, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.”  Menurut saya, kalimat ini mengundang banyak pertanyaan.  Jelas-jelas Yakub-lah yang terpukul. Yakub-lah pihak yang kalah.  Lagipula, inferioritas Yakub di depan Sang Malaikat itu begitu ketara.  Malaikat itu memberi nama baru kepada Yakub.  Pada masa itu, pemberian nama oleh seseorang kepada pihak yang lain, menunjukkan kekuasaan dan kebesaran pihak pemberi nama di atas pihak yang namanya dibaharui.  Oleh karena itu  jelas, malaikat-lah pemenangnya dan bukan Yakub.

Pada akhirnya, Yakub tampil sebagai lelaki yang kalah, tetapi ia disebut menang.  Inilah kemenangan seseorang yang kalah.

Tanpa Yakub menjadi kalah, ia takkan dapat menjadi seorang pemenang.  Tanpa Yakub mengosongkan dirinya, ia takkan bisa menerima pemberian Allah.  Tanpa Yakub menyerah (surrender) dan mengakui kelemahannya (vulnerable), ia tidak bisa menikmati anugerah dan kekuatan Allah. Tanpa Yakub melepaskan genggamannya, ia takkan punya tangan yang terbuka menerima berkat-Nya. Tanpa Yakub berhenti berusaha dengan caranya sendiri, ia takkan mencapai tujuan dan rencana-Nya.

Inilah inti menjadi seorang pemenang dari perspektif firman Tuhan: kalah di hadapan Allah, supaya kita menang di dalam kemenangan-Nya.

Epilog: Lelaki yang menjadi pemenang adalah lelaki yang spiritual

Coba anda searching di mesin pencari Mbah Google dengan kata kunci “lelaki” dan “menjadi seorang pemenang.”  Anda akan menemukan bahwa budaya dunia kita masa kini, memberikan arti lelaki yang menjadi pemenang dengan gambaran pria-pria kekar, kaya, penuh dengan kekuasaan, dan dikelilingi wanita cantik.  Dari refleksi kita pada lukisan Rembrandt dan kisah Yakub di Sungai Yabok di atas, benarkah ini artinya?  Sungguh, kita perlu menggugatnya dan mencari arti yang sejati.

Pada akhirnya, usaha menemukan dan mengerti arti yang tepat tentang “lelaki yang menjadi pemenang,” menuntut kita untuk kembali kepada kisah penciptaan lelaki pada Kejadian 1-2.  Di situ kita melihat, lelaki diciptakan dengan hembusan nafas Allah.  Itu berarti identitas lelaki yang sejati, hanya bisa kita temukan di dalam relasi kepada Allah.  Romo Deshi Rahmadani, SJ menulis:
kepada kita para lelaki, sebenarnya dipercayakan sebuah misi besar misi besar untuk menyadarkan para sesama lelaki tentang hal ini.  Untuk itu, kita sendiri perlu terlebih dahulu memeluk erat-erat identitas kita sebagai lelaki spiritual.  Menjadi lelaki sejati tidak bisa dilakukan dengan sekadar memilih musik keras, kopi kental atau rokok cerutu. Tidak pula dengan mengolah otot atau mengumbar kemarahan pada setiap orang yang memotong jalur kendaraan kita.  Jika kita mau menjadi lelaki sejati, kita harus menjadi sangat spiritual.[2]
Yakub meraih identitas lelaki sebagai pemenang, ketika ia menemukan damai (rest) di dalam Allah. Saat itulah ia meraih hakikatnya sebagai lelaki spiritual.  Jadi, lelaki sebagai seorang pemenang adalah berkenaan dengan kehidupan rohani kita.

Sampailah kita pada titik, di mana kita perlu memandang Yesus Kristus. 

Misteri inkarnasi, Allah menjadi manusia, adalah kisah tentang Allah yang turun dalam rupa seorang lelaki! Dan tahap-tahap kehidupan Yesus membuktikan bahwa Ia adalah seorang lelaki sejati. 
Ia adalah Putra yang secara istimewa dikasihi oleh Bapa-Nya (boy); Ia adalah lelaki yang siap bertualang menjelajah wilayah dan tantangan baru (cowboy); Ia adalah lelaki yang melihat jelas sebuah visi baru dan membiarkan tangan-Nya ikut terkotori, terluka, berlumuran darah, dalam pertempuran sebagai seorang pejuang yang berani (warrior); Ia adalah lelaki yang memiliki hati yang mengagumi keindahan manusia yang dari dalamnya terpancar daya ilahi (lover); Ia adalah lelaki yang memiliki kuasa begitu besar dan sungguh tahu bagaimana menggunakan kuasa-Nya agar semua orang yang ada di bawah kekuasaan-Nya dan yang terbuka pada-Nya mengalami peningkatan kualitas kemanusiaan (king); Ia adalah seorang lelaki yang kehadiran-Nya selalu dibutuhkan karna dari-Nya terpancar nasihat, peneguhan, peringatan, dan pelajaran berharga tentang hidup (sage).  Benar, lelaki itu adalah Yesus! Terpisah dari Yesus, kita sebagai lelaki sungguh akan dibingungkan, tak tahu lagi arah tujuan kita karena Sang Anak Domba Allah adalah juga Sang Singa dari Yehuda![3]

Saat ini di Camp Men’s Breakthrough, Lelaki Sejati yaitu Yesus Kristus itu memandang kita dengan wajah-Nya yang penuh kasih karunia, dan kasih setia Ilahi.  Ia menanti kita untuk tunduk, mengakui kekalahan kita, sehingga kita menemukan kemenangan di dalam-Nya.  Ajakannya begitu lemah lembut, namun juga begitu dahsyat: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Maukah anda?


#Tulisan ini ditulis dalam rangka Camp Men's Breakthrough, kisaran bulan Oktober 2013




[1]Lih.  www.gutenberg.org/files/19602/19602-h/19602-h.htm#l
[2]Adam Harus Bicara (Jakarta: Kanisius, 2010) 278. Saya menyarankan untuk para lelaki dapat membaca buku ini.  Meskipun ditulis oleh seorang Romo Gereja Katolik Roma, kita dapat menyetujui pendapat-pendapatnya tentang lelaki di dalam buku ini.
[3]Ibid. 281

Rabu, 11 Desember 2013

Ketika Aku Dicintai

 


Aku terpana membaca Maleakhi 1:2 “Aku mengasihi kamufirman Tuhan. Menurutku itu adalah pernyataan kasih paling romantis, serius, dan ultimate yang pernah ada di dunia ini.  

Di dalam bahasa Ibrani, ahab bukanlah perasaan emosional anak remaja yang bergetar gelisah ketika melihat lawan jenis. Ahab lebih berarti to choose, pemilihan. Berarti ketika Tuhan berkata aku mengasihi kamu, maka Allah memilih Yakub. Akibat ketika kita dicintai adalah jelas: dipilih. Yakub atau Israel, diterima dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dipilih oleh Allah dengan segala kebodohan, kepalsuan, ketidaktaatan yang ada. 

Benarlah kata Pastor Jose Carol: Love is not about chemistry, is about decision.  Amos 3:2 bahkan berkata: Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi.  Padahal ada bangsa-bangsa lain, yang jauh lebih baik, tampan, rendah hati daripada Israel, tetapi hanya Israel yang dikenal.

Ketika Allah mencintai kita, maka Allah memilih berelasi dengan kita. Bahkan menerima kita apa adanya dengan segala kerapuhan, kelemahan, kehancuran, keterlukaan, ketakutan, kekuatiran, dan keberdosaan. Bukankah ketika kita menikah, kita akan menerima pasangan kita dengan segala kelemahan dan kelebihannya?

Lebih mengejutkan lagi Allah berkata “tetapi aku membenci Esau” (Maleakhi 1:3), kata membenci di sini menunjukkan bahwa Allah tidak menganggap Esau. Ada ungkapan bilang cinta itu tak berlogika. Memang benar demikian! Allah memilih Yakub dan tak menghiraukan Esau!

Pernah nggak kamu pe-de-ka-te dengan dua orang? Kalau kamu cinta si A maka kamu pasti melepaskan si B. Tak mungkin bukan kau menggenggam keduanya? Demikianlah apa yang Allah kerjakan. Demi Yakub! Allah menyingkirkan Esau.

Ketika Allah mencintai kita, maka Allah tidak mengganggap yang lain. Ada jutaan orang berdosa di luar sana yang begitu kehilangan pengharapan. Hidup yang cuma sekali ini dibiarkan tersia-sia. Aku percaya Allah mengasihi dunia ini, Yesus mati sebagai juruselamat seluruh dunia. Tetapi relasi dengan Allah sungguh hanya untuk sebagian kecil orang, dan aku begitu bersyukur aku ada di dalamnya.



Dikasihi Tuhan itu berarti masuk dalam relasi dengan Tuhan.
Memercayakan diri kita pada-Nya, itulah keintiman.


Makasih Tuhan karena mencintaiku. Memilihku dengan segala kekuranganku. Memilih berelasi denganku meskipun aku sering tidak setia dan mendua.

Aku mau makin mengasihi-Mu. Aku mau jadi pacar-Mu yang makin hari makin tahu isi hati-Mu. Menggandeng tangan-Mu dengan erat. Meluangkan waktu untuk berbicara dan mendengarkan suara-Mu. Menyenangkan-Mu dengan pemberianku, karyaku, ucapanku, dan laku tandukku. Amin.

\
Salib Kristus adalah tanda paling ultim kasih Allah yang memilih kita


*Dalam masa persiapan khotbah 22 Desember, Kebaktian gabungan KPR GKI Pregbund: ucapan syukur atas terlaksananya Youth Festival, dengan tema Ketika Aku Dicintai

Memiliki Kehilangan


Wolstertoff pernah menulis bahwa hidup adalah rangkaian kehilangan. Dan memang demikianlah adanya. Kehilangan adalah masa ketika sesuatu yang pernah ada, diambil, direbut, direngkuh, dicuri, dari gengggaman tangan kita.  Kau boleh lulus sarjana psikologi atau pastoral konseling, tetapi menghadapi seseorang yang sedang mengalami masa kehilangan akan menerbitkan kesulitan-kesulitan tersendiri.


Suatu ketika komunitasku kehilangan seorang gadis muda berumur 19 tahun. Cantik. Rupawan. Masa depannya cemerlang dan gemilang. Tetapi ia direnggut oleh Sang Embuh. Pergilah ia. Kisah kasih berkemelut di sekeliling kematiannya. Kami menangis jutaan detik. Orang-orang berubah jadi zombie, mayat hidup yang berjalan dalam kepedihan dan duka. Merasa tak mengerti dan bertanya-tanya tentang keadilan pun ketidakdilan. Itulah kehilangan. Menghancurkan.


Aku pernah mengenal seseorang yang begitu mencinta sang kekasih. Lelaki gagah perkasa dewasa dan satria. Rela mengorbankan segala sesuatu demi panggilan hidup. Tetapi gara-gara itu, ia kehilangan kekasih yang telah berjalan dengannya selama 7 tahun. Sang perempuan meninggalkannya pergi ke benua biru dengan kalimat menyakitkan: kau hanya memikirkan dirimu sendiri!  Puluhan bulan kemudian mereka bernostalgia kembali, dan lelaki ini menerima pukulan2 menyakitkan tetapi penuh rindu di dadanya. Sang perempuan masih mencintainya dengan begitu dalam. Namun lelaki itu mencoba untuk berdiri walau rapuh: ia telah kehilangan wanita itu. Hubungan mereka telah berakhir. Lelaki itu kehilangan. Dan kehilangan itu merobek sukmanya begitu dalam. Butuh waktu sekian juta megasekon untuk memulihkan keramahtamahan hatinya untuk menerima perempuan yang lain. Itulah kehilangan. Melukai.


Pernah kuberkunjung dalam sebuah upacara duka. Bayi yang masih kecil dan belum beranjak untuk berjalan sudah dicuri oleh sang kehidupan. Ibunya yang tentu mengandung dengan susah derita menangis penuh ronta. Tak henti-henti air mata berderai mendedahkan pahit yang tak tersembuhkan. Itulah kehilangan. Air mata lah sahabatnya.


Kau bisa jadi sarjana matematika atau teknik kimia. Kau bisa jadi ahli geometri atau biotek. Kau boleh jadi sarjana terbaik ilmu komunikasi juga manajemen bisnis. Kau juga bisa saja ambil master dalam dua jenis ilmu yang berbeda. Kau boleh jadi filsuf handal, segala teori kau hapal. Tetapi menghadapi kehilangan, kau hanya akan jadi semut kecil yang terlindas kaki gajah. Itulah kehilangan. Kita jadi kalah karenanya.

Adakah cara untuk melawannya?

Hmmm. . perlukah melawannya?

Kehilangan adalah ketika kita merasa bahwa kita pernah memiliki sesuatu. Ah bagaimana, kalau, kehilanganlah yang kita miliki. Jadi jangan lawan kehilangan tapi milikilah kehilangan. Jadikan ia sahabat baik yang rela ada setiap waktu dalam hidupmu bermain-main denganmu. Jadikan ia kekasih yang membuatmu bertumbuh makin murni. Jadikan ia orangtua yang menegurmu untuk menjadi dewasa. Jadikan ia guru yang mengajarmu tentang arti dan makna. Jadikan ia bunga-bunga kapas dan engkaulah dandelion yang sedang tegar bertahan menjalani siklus kehidupan. Maka ia boleh terus ada, tetapi kau memilikinya, dengan cara yang berbeda.

Jika kau memilikinya. Maka kau akan berdansa bersamanya dengan gerak gelisah. Jika kau memilikinya maka kau akan menari dengan gemulai rancak keterkejutan. Jika kau memilikinya maka kau akan bernyanyi dalam suara nyaring walau serak memahitkan.  Jika kau memilikinya doa kau panjatkan walau iman seolah kabur ditelan kabut nestapa.

Aku pernah kehilangan.

Seorang ayah. Ada beberapa teman baik yang pergi karena harus menjalani hidup mereka. Pernah –orang-orang yang aku rasa sebagai sahabat tapi berkhianat. Pun eros yang harus dilepaskan karena hidup yang tak berpihak pada situasi hati. Ya. Aku juga sering kehilangan.

Kini pun aku terancam kehilangan. Seorang yang sedarah dan pribadi paling penting dalam hidupku sedang bertarung dengan virus ganas. Yang kapanpun dapat membunuh dan mengakhiri nyawanya. Ratusan juta dan obat telah diinfeksikan, entah sampai kapan sanggup menahan untukku tak kehilangan.

Tapi aku mau belajar untuk memiliki kehilangan. Karena hanya di dalam kehilangan aku akan mendapatkan. Karena hanya dengan tangan kehilangan kita bisa bebas mendekap. Karena dengan memiliki kehilanganlah aku akan belajar banyak hal.



Ad Majorem Dei Gloriam.

12 Oktober 2013. Sebuah subuh. Pregolan Bunder 36. Tak bisa tidur sepanjang malam.


Untukmu, untuknya, untuk dia, untuk mereka yang mengajariku arti kehilangan

Minggu, 08 Desember 2013

Wanita Berbaju Biru

 

Pernahkah engkau mencoba untuk mendekat pada sebuah hati? Pernahkah engkau menetapkan langkah untuk memiliki sebongkah cinta? Aku yakin kita semua pernah merasakan pengalaman itu.

Pengalaman itu pernah menghampiri hidupku, bersama dengan langkah gemericik nan merdu namun bersemangat dari seorang gadis berbaju biru.  Si empunya wajah sempurna bening mendamaikan laksana mata air yang masih suci. Mata belok bersinar dihiasi bulu mata lentik yang selalu menerbitkan ribuan kegembiraan ketika menatapnya. Senyum dari bibir manis yang menobatkan hati yang muram. Dan sejuta pesona-pesona kerupawanan lainnya. Ah. Pengalaman itu benarlah, indah.

Aksara seluruh bumi boleh digabungkan untuk merangkai untaian kata-kata sehingga lukisan alinea dapat menggambarkan pengalaman itu. Tapi mungkin tak bisa. Kau boleh kumpulkan sejuta warna yang dapat memberi matamu apa arti keindahan. Tapi mungkin jutaan warna itu juga tak sanggup mengungkap pengalaman itu. Sungguh, siapa yang pernah bisa mengungkapnya? Victor Hugo? Les Miserables sesungguhnya hanya menangkap satu dimensi dari pengalaman itu. Shakespeare? Ah, Romeo Juliet menurutku terlalu utopis, sehingga tak menggapai realitas dari pengalaman itu.  Siapa lagi sastrawan yang mampu kau sebut? Siapapun engkau: Platonis atau Derridean. Ateis atau fundamentalis. Sufi atau orang awam. Fisikawan atau biolog. Aku yakin, tak kan pernah kau mampu mendeduksi apa sebenarnya pengalaman ini. Einstein sendiri berkata kalau gravitasi bisa diukur, tapi soal pengalaman ini, siapa yang tahu?


Orang rasional seperti Sherlock Holmes dalam kisah fiksi Sir Arthur Conan Doyle sering digambarkan tak sanggup menghadapi pengalaman ini. Tentu saja. Orang yang sanggup menyelami fisika kuantum atau biologi molekuler tak mungkin memecahkan teka-teki pengalaman ini. Kau yang hafal geometri dan logaritma juga tak akan dapat menghitungnya dalam rumus-rumus matematis. Sosiolog hanya bisa menangkap gejala-gejala sosial dari pengalaman ini.  Psikolog juga hanya mampu berteori. Filsuf? Ah, mereka hanya mampu berabstraksi.

Tetapi semua orang mengalaminya. Ini adalah fakta, bukan opini. Tak perlu argumentasi panjang, atau apologet handal untuk membuktikannya. Penggagas pacaran konservatif Kristen Joshua Harris mengalaminya. Ateis-humanis macam John Lennon juga menghayatinya. Soal pengalaman ini, Christina Perri bahkan melantunkan lagu yang begitu merdu: I will die everyday waiting for you. . . .For a thousand years.  Ribuan tahun akan dijalani, karena pengalaman ini. Cincin di jari manis biasanya menjadi pertanda puncak dari pengalaman ini. Tetapi kadang-kadang (atau sering?) pengalaman itu cukup berakhir pada pergelutan di atas ranjang. Yang pasti, semua orang mengalaminya. Tak perlu menjadi milyarder sekelas Bill Gates untuk mampu membuat software yang membawamu ke dalam pengalaman ini. Tak perlu setampan David Beckham untuk membelenggumu dalam pengalaman ini. Tak perlu. Cukup bukalah ruang dalam batinmu. Pandanglah sekelilingmu. Lekat-lekat tatap seseorang.  Tunggu waktumu.  Maka engkau akan mengalaminya.


Ah, aku kok sok memberitahu. Aku sendiri sudah lama tak mengalaminya. Aku sudah menuntaskan pendidikanku dalam ranah kajian ilmu sosiologi sampai gelar master. Kenyataannya, ketika pergi nonton bioskop beberapa hari yang lalu, aku merasa malu. Karena ada dua sejoli berkemeja putih dan bawahan biru sudah saling berpegangan tangan, dan pipi mereka tersipu-sipu merah. Aku? Tergulung dalam ombak besar yang menggelombang bernama kesepian dan kepedihan. Kadang-kadang aku berpikir liar, mungkin lebih baik mati sebagai pengkhianat asmara daripada hidup tanpa romansa.


Dan, ketika hening perasaan begitu mencekam, maka yang kulakukan adalah sederhana: mengingatmu, hai wanita berbaju biru. Disitulah ruang simulakrum yang paling ultim dan sakral bagi diriku. Sayang sejuta sayang, senyummu yang selalu mendamaikan itu terenggut oleh leukosit-leukosit di dalam aliran darahmu, yang tidak matang dan berkembang biak secara ganas di sumsung tulangmu, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhmu. Mereka menghancurkan metabolisme tubuhmu. Menggusur segala mimpi-mimpimu. Menyapu janji-janji yang pernah kita buat. Membuatku kehilanganmu. Kehilangan pengalaman itu.


Ingatan akanmu masih begitu kuat. Menghalangi batas pandangku kepada makhluk lainnya. Karena sungguh, hanya engkau, hai wanita berbaju biru, yang sanggup merontokkan diriku, lalu menumbuhkan tunas-tunas hasrat yang begitu rimbun.


Kawan, apakah engkau mengalaminya saat ini? Sungguh, syukuri dan genggamlah erat-erat. Kehilangan pengalaman itu hanya akan membuatmu menyesal.



*Pregolan Bunder 36. 16 April 2013. “Aku” di dalam tulisan ini adalah tokoh tanpa nama. :) 


Kamis, 14 November 2013

Cinta Loe Buat Kristus






Tahukah kamu, ada tiga kata yang sebenarnya paling menakutkan untuk diucapkan di muka bumi ini, apa itu? Aku cinta kamu. Ya! Tiga kata yang mengungkapkan segudang perasaan dan risalah hati kepada ia yang katanya kamu cintai ini adalah menakutkan. Menakutkan karena ia menuntut keseriusan, menakutkan karena ia menuntut komitmen, menakutkan karena ia menuntut pembuktian. Ah, benar-benar tiga kata yang tidak bisa diketik seenaknya seperti kita berkicau 140 karakter di Twitter! Masalahnya, nggak banyak anak muda yang tahu dan sadar bahwa tiga kata itu begitu serius.  Seenaknya ngomong, gue cinta elo mau nggak jadi pacar gue, tapi tidak disertai dengan kesetian, komitmen, pemberian diri, waktu, pengorbanan, kekudusan dan nilai-nilai moral-rohani lainnya. Cinta jadi cuma jadi main-main belaka, maka tak heran banyak anak muda putus nyambung dalam kisah romansa mereka. Cinta juga kehilangan dimensi "sakral", kehilangan dimensi ilahinya sehingga banyak siswi SMA sudah hamil di luar nikah gara-gara membuktikan cintanya dengan hubungan seksual. 


Bukankah demikian pula ketika kita ngomongin hal yang sama: cintamu untuk Kristus? Kita dengan mudahnya berkaraoke rohani di gereja, menyanyi dengan syahdu: Kucinta Kau lebih dari segalanya. . . .Tapi mana buktinya? Kita sering, cuma datang kepada Yesus, ketika "diputus" entah itu oleh kekasih dunia kita, entah itu oleh hal-hal yang kita harapkan kita capai namun tak kita dapatkan.  Saat-saat seperti itulah, nama Yesus menjadi penghiburan, lalu kita berkata: oh Yesus kekasih hatiku, Engkau yang terbaik, sahabat sejati bla bla bla dan sejuta gombalan rohani omong kosong yang sebenarnya hanya untuk menghibur hati kita yang begitu dingin dan egois.  Kita nggak pernah jadi kekasih Tuhan yang serius, lebih sering jadi seperti bangsa Israel dalam Alkitab: mendua hati!

Bandingkan diri kita saat ini dengan Rasul Paulus yang pernah berkata: Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan mengganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus (Filipi 3:8). Buat saya ini pengakuan cinta paling romantis di dunia ini. Segala sesuatu jadi sampah!  Sampah di sini dalam bahasa aslinya merujuk pada kotoran manusia. Demi apa? Demi Kristus yang dicintai Paulus, yang ingin dikenalnya, diperolehnya, dialaminya makin dalam dan makin dalam.  Betapa besar cinta Paulus pada Kristus, sehingga rentetan kisah akbar dapat kita temukan: Paulus rela disesah, dipenjara, dimusuhi oleh bangsanya sendiri, dipatok ular, berulangkali dilempar batu, hidup miskin, berjalan jauh, demi cintanya bagi Kristus.  Paulus adalah seorang yang romantis, serius dalam perkataannnya.  Paulus berani berkata: aku cinta Kristus, dan inilah bukti cintaku.

So, bagaimana dengan cinta loe buat Kristus? 

Kalau kita ngaku cinta sama Tuhan Yesus, mari kita hidup di hadapan Tuhan dengan serius.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu semestinya memilih pergi ke gereja untuk mengucap syukur dan BBM (Bersekutu, Bersaksi, Melayani) daripada pergi ke tempat-tempat dunia ini lalu kemudian menghabiskan uang, waktu dan kesempatan dalam kesia-siaan.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu punya hidup berpusat dan bergantung pada Tuhan, bukan pada kekuatan akal budi dan kapasitas diri sendiri.  Kalau kamu cinta Yesus, maka kamu punya waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, menjaga relasi pribadi dengan Tuhan melalui doa dan membaca firman Tuhan. Kalau kamu cinta Yesus, kamu akan bijaksana dalam pembagian waktu. Kalau kamu cinta Yesus, ada jutaan hal yang bisa dan harus kamu lakukan. . . .


Gimana? beranikah kita sekarang berkata aku cinta Yesus? Kalau kita hanya berkata aku cinta Yesus tapi tak menjalani segala apa yang seharusnya kita lakukan, maka kita hanya pecundang-pecundang asmara yang hanya bisa berkata-kata tapi tak mampu membuktikan. 

Ah betapa sedihnya hidup yang demikian! 






(Himawan Teguh Pambudi)

Ditulis untuk newsletter KPR GKI Krian, November 2013


Senin, 04 November 2013

Memiliki

Dunia ini adalah dunia dimana kita dinilai dari sebanyak apa kita bisa memiliki. Aku rasa kamu akan setuju dengan hal itu.  Waktu aku masih di kampus putih, tempatku belajar teologi dan pelayanan pastoral, gejala ini terlihat amat sangat.  Penghuni asrama pria dianggap “berhasil, sukses, dan hebat” bukanlah dari kedalaman berpikir, atau skill kepemimpinan, itu mungkin iya tetapi bukan yang terutama (setidaknya dari perspektifku).  Penghuni asrama pria dianggap hebat dari apakah mereka bisa memiliki.  Memiliki apa? Selain daftar yang aku ajukan yakni, khotbah bagus, sikap manis-taat kepada otoritas, baju necis-bersih,[1] syarat yang paling ultim adalah ini: memiliki salah satu dari penghuni asrama seberang, asrama wanita. 

Dan karena saat itu aku adalah pria yang gagal memiliki salah satu penghuni asrama seberang, maka terjustifikasilah diriku sebagai pria gagal total.  Failed dengan spidol merah.

Kalau kamu saat ini adalah orang sepertiku, maka kamu akan dianggap rendah, gagal, dan ini dia labeling yang tepat: pecundang. Ada seorang sahabat dekat[2] pernah berkata: elu si kurang effort, makanya gagal memiliki.


Hahahaha.  Ada yang berada dalam kondisi yang sama? Acungkan tangan dan mari bertobat :p


***

Aku tak mau bermelankolik dan berkartasis di sini, tiga paragraf di atas cuma sekadar sebuah contoh.  Tetapi hidup di realita pelayanan pastoral membuatku sadar, budaya “menilai dari apa yang dimiliki” ini mengakar rumput sampai ke jemaat. Manusia bingung untuk memiliki. Manusia sibuk mengejar sesuatu untuk dimiliki. Manusia gelisah kalau tak memiliki. Manusia merasa kurang bernilai, kurang terhormat, kurang seperti dunia kalau tidak memiliki. Entah itu uang, barang, jabatan, kesehatan dan segala-galanya.

Kenyataan ini juga ditangkap oleh musikus favoritku Young Iwan Fals[3] (), yang pernah bernyanyi “Mimpi yang terbeli” mengisahkan bagaimana orang harus melakukan tindakan kriminal untuk membeli barang-barang supaya mereka menjadi sama dengan orang-orang di sekeliling mereka.
Pandangan “menilai diri dari apa yang dimiliki” ini kadang-kadang, eh, bukan, seringkali membuat manusia berubah menjadi monster yang menakutkan dengan topeng-topeng hipokrisi yang mereka pakai. Otentisitas disisihkan dan tak dipedulikan. Kita takut kalau kita tak memiliki.

Lalu, apakah yang demikian salah?

Tidak salah juga sih. Karena kita perlu memiliki, tetapi kepemilikan itu perlulah dilandasi kepada panggilan dan bukan kebutuhan.[4]  Apakah yang kita usahakan untuk dimiliki adalah bagian dari panggilan kita di dunia ini? Atau sekadar pemenuhan kebutuhan yang berasal dari keinginan hawa nafsu memuaskan diri sendiri? 

Kalau kita punya perspektif kepemilikian berdasarkan panggilan, hidup akan lebih sehat.  Sehingga kalau kita nggak memiliki, maka kita tak gelisah, tak gundah, tak merasa kurang. Karena ketika nggak memiliki, saat itulah kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang saat ini kita miliki.

Masalahnya, ternyata secara ontologis kita nggak pernah punya apa-apa! Semua yang kita miliki berasal dari Sang Pemberi Yang Satu. Maka dari itu beranikah berbangga kita ini dengan diri kita dan apa yang saat ini seolah-olah kita miliki? Tidak bukan?

Pada galibnya, semesta mendedahkan kasunyatan ini kepada kita: belajar bersyukur pada apa yang saat ini kita miliki karena Ia-lah Sang Pemberi. Tak perlu galau menduka kalau tidak memiliki. Belajarlah untuk merasa  cukup. Karena orang yang cukup adalah orang yang memiliki. Orang miskin adalah orang yang tidak punya apa-apa, karena itu tidak pernah merasa cukup. Orang kaya adalah orang yang memiliki, maka itu ia akan selalu merasa cukup.

Dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami pelayan Allah, yaitu: . . .sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu (2Korintus 6: 4, 10)


Lagu dari grup Band Kutless enak nih:

"I'm Still Yours"


If You washed away my vanity 
If You took away my words 
If all my world was swept away 
Would You be enough for me? 
Would my beating heart still sing? 

If I lost it all 
Would my hands stay lifted 
To the God who gives and takes away 

If You take it all 
This life You've given 
Still my heart will sing to You 

When my life is not what I expected 
The plans I made have failed 
When there's nothing left to steal me away 
Will You be enough for me? 
Will my broken heart still sing? 

If I lost it all 
Would my hands stay lifted 
To the God who gives 
And takes away 

If You take it all 
This life You've given 
Still my heart 
Will sing to You 

Even if You take it all away 
Youll never let me go 
Take it all away 
But I still know 

That I'm Yours 
I'm still Yours 

Oh, I'm Yours 
I'm still Yours 
I'm still Yours


#Pregolan Bunder 36. Solitude Day yang menumbuhkembangkan jiwa kujalani hari ini. Untukmu.




[1] Anehnya aku agak kurang dalam memiliki itu semua. Apakah tulisan ini dimulai dari kebencian? Aku berdoa semoga tidak
[2] Karena ia sahabat, maka ia lebih mudah melukai.  Orang-orang yang paling membuat kita terluka adalah mereka yang paling dekat dengan kita, percayalah itu. Tetapi jangan sampai kamu takut untuk memiliki kedekatan. Karena dalam kedekatan ada pertumbuhan. Bacalah SoulCraft-nya Douglas Webster, atau Relasi-nya Paul David Tripp untuk memperkaya hal ini, relasi antar manusia ada di dalam bagian dari santifikasi.
[3] Mengapa kutaruh kata Young? Karena Old Iwan tak lebih dari penjaja kopi yang sedang berusaha memenuhi kebutuhan di masa tua, bukan lagi anak muda idealis penngkritik penguasa
[4] Thanks to Pdt. Sandi Nugroho yang memaparkan hal ini di Camp beberapa waktu yang lalu.

Kamis, 24 Oktober 2013

Hal-Hal yang bikin sumpek

“Brak,”

Handphone-ku kemarin tiba-tiba terjatuh ketika dalam kondisi di charge. Hasilnya: baterai lepas dengan kondisi charger masih menempel.  Lalu dengan sigap, meski agak sedikit kaget, segera aku pasang kembali baterai handphone-ku dan casing-nya. Kulihat ia menyala seperti biasa dan tidak terjadi apa-apa, ia menunjukkan tanda-tanda eksistensinya. 

Beberapa lama kemudian, baterai mulai habis kembali, lalu aku sambungkan handphone aku dengan charger. Eh! Tidak berfungsi. Kepalaku mulai bingung.  Aku coba colok berulangkali dan tetap tidak berhasil.  Aku coba ke Note-ku, karena charger yang ini memang aslinya bawaan Note-ku. Tidak berhasil juga! Lalu aku mencoba meminjam charger teman dan memasangkannya ke handphone aku. Bisa! Sempurnalah deduksi aku: charger itu rusak. 

Berapa lama kemudian datanglah teman-teman mampir ke chamber of secrets-ku (baca: kamar pastori).  Ada seorang teman yang charger-nya compatible dengan gadget-ku. Ku tuker kabelnya dengan kabel charger-ku, dan aku temukan masalahnya ada pada kabel. Lalu aku lihat-lihat kepala konektor dari kabel itu, dan menemukan ada 1 elemen yang hilang, itulah sebabnya listrik tak tersalurkan. Nila setitik rusaklah susu sebelanga.

Tiba-tiba hati jadi bete. Maklum, charger handphone yang asli hilang waktu camp remaja beberapa bulan lalu. Kabel pinjeman seorang teman juga hilang di camp beberapa waktu yang lalu. Charger yang berfungsi ya bawaannya Note itu. Eh, sekarang juga ikutan rusak.

Ternyata hal-hal kecil dalam hidup ini bisa membuat suasana hati jadi bete, sumpek. Kalau aku sih jadi kepikiran gini: beli charger baru, repotnya harus pergi keluar untuk membeli, uang yang harus dianggarkan. Kecil sih tapi ribet dan bete.  

Aku pun berucap kepada teman-teman, “Ternyata di dunia ini ada hal-hal kecil yang buat kita bete.”

Seorang teman menanggapi, “Iya, bbm gak bertanda centang aja, bisa bikin sumpek.” Betul. Ban bocor di tengah jalan? Sumpek. Sinyal ilang? Sumpek. Apa lagi? Banyaklah. Anda bisa tambahin sendiri.

***

Malamnya aku ngikut kelas pembinaan di gereja tentang bersaksi dan memberitakan Injil. Tiba-tiba tercetus pemikiran selewat kalau hal kecil macam charger rusak bikin bete, gimana ya hati Tuhan kalau melihat manusia berdosa? Rasanya dosa bukan hal-hal kecil, tetapi itu hal-hal besar. Makanya, Allah turun ke dalam dunia ini untuk menebus kita dari belenggu dosa.

Rasanya logis kalau aku simpulkan bahwa Tuhan sumpek banget lihat ciptaan-Nya, yang Ia ciptakan dengan kerinduan memuliakan-Nya dan bersekutu dengan-Nya, menyasar dalam jalan yang salah.

Well, kalau kita tahu hati-Nya begitu sumpek melihat kita rusak dan jatuh dalam dosa, beranikah kita membuat hati Sesosok Agung yang kita kasihi sumpek dan terluka lagi?

Kejadian 6:5-6  Ketika dilihat Tuhan, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.

Masih adakah dosa saat ini yang kita genggam dengan penuh nikmat? Walah dalah, kita lagi bikin hati Tuhan sumpek!


#Dini hari. Pregolan Bunder 36. Sambil Ngopi kopi Papua.



Kepala konektor yang rusak dan membuat charger tak lagi bereksistensi.
Bukankah sebuah keberadaan menjadi ada ketika ia berfungsi?
:p

Kabel charger yang telah kehilangan nyawanya.
Ah, hidup memang rangkaian kehilangan demi kehilangan!