Selasa, 14 Januari 2014

Tuhan sudah siapin semua

"Tuhan sudah siapin semua"

Kalau kalimat itu diucapkan oleh pendeta gendut berjas mahal dengan jam tangan rolex, ipad jenis terbaru dan iphone 5s dalam genggamannya, mungkin aku akan segera apatis, skeptis dan menolak segala ide teologis bahwa Allah Sang Pemelihara. Batinku jelas akan berontak: omong kosong! Anda bisa bilang begitu karena anda sudah punya.

"Tuhan sudah siapin semua"

Tetapi kalimat itu ditulis oleh seseorang yang sedang sakit cancer stadium akut. Seseorang yang baru saja menjalani kemoterapi yang ketigabelas selama periode kedua setelah 7 kemoterapi dan operasi pada periode pertama, bahkan masih akan menjalani kemoterapi periode ketiga tahun ini. Seseorang yang punya anak yang bersekolah di salah satu SD dengan biaya cukup lumayan dan bersuami yang juga belum punya kepastian masa depan pekerjaan. Maka batinku dengan remuk menerima kebenaran sederhana yang begitu ultim itu.

Ya, Tuhan sudah siapin semua..

Jangan pernah kuatir tentang apa pun juga. Apa yang sedang kau jumpai untuk kau kerjakan saat ini kerjakanlah.

Anehnya, saat aku menulis postingan ini, di GSG lt. 2 GKI Pregbund ada tim musik yang sedang latihan lagu: Apa yang tak pernah dilihat mata, yang tak pernah didengar telinga, yang tak ernah timbul di dalam hati, semua disediakan bagi yang mengasihi Dia. Allah sanggup melakukan segala perkara, dulu skarang dan slamanya, kuasa-Nya tidak berubah!


1 Petrus 5:7 "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya. Sebab Ia yang memelihara kamu

Aku suka banget gambar ini. Entah kenapa

Minggu, 12 Januari 2014

Untuk Para Lelaki

Aku tak mengerti, kenapa tanda lelaki adalah panah seperti ini?
Ada yang tahu sejarahnya?

Ada dua hal yang bisa jadi dimiliki seorang lelaki ketika ia menatap perempuan. Pertama, eksploitasi. Kedua, melindungi.

Yang pertama, kau hanya akan menjadikan perempuan sebagai objek untuk dikuasai dan dipermainkan.  Bisa jadi kau terobsesi pada tubuhnya. Bisa jadi kau hanya ingin memilikinya. Kadang-kadang kau permainkan perasaannya dan hatinya (kelemahan perempuan bukan?). Kau eksploitasi perempuan itu untuk memuaskan naturmu sebagai seorang lelaki: berpetualang dan menaklukkan. Bukankah kita diciptakan di luar taman Eden? Bukankah kita laki-laki, diciptakan di padang belantara di mana petarungan, kekerasan, penaklukkan adalah DNA diri kita. Maka, kita, seperti Daud ketika memandang Batsyeba, atau Amnon memandang Tamar, mengeksploitasi, menjajah, dan tentu saja, mendekstrusi natur seorang perempuan.  Dan, kebanyakan para lelaki di dunia yang sedang jatuh dalam dosa ini nampaknya demikian. Maka tak heran, 8 dari 10 perempuan mengalami pelecehan seksual. Sebagian besar sahabat-sahabatku perempuan pernah mengalami abuse dari pihak laki-laki.  Ada satu-dua orang yang begitu dalam terluka sampai mereka punya gambar diri yang hancur dan butuh pemulihan yang lama, sampai sekarang pun ada yang belum sembuh. So sad.

Yang kedua, kau akan jadikan perempuan itu sebagai subjek keindahan.  Keindahan itu tak kau hancurkan. Tetapi kau rawat, kau jaga baik-baik dari dunia yang jahanam dan dipenuhi angkara nafsu ini. Kau akan menghormati keberadaannya, melibatkannya di dalam kebutuhannya untuk terlibat dalam hidupmu, tidak berotorisasi absolut pada perasannya, kau memberinya ruang untuk menari dengan perasaan, tangisan dan kerapuhannya.  Ah, seharusnya kita demikian, jika kita demikian, maka kita seperti Yesus Sang Lelaki Sejati, melindungi hati seorang perempuan Samaria yang penuh malu dan luka.  

Lelaki jenis kedua bukanlah pengemis cinta, tetapi ia menawarkan kekuatan di dalam dirinya. Kekuatan untuk menjaga, melindungi subjek keindahan yang ia kasihi.

Setengah dekade ini setidaknya ada dua hati yang ingin kulindungi, tetapi, well, mereka memilih dilindungi yang lain. Tapi masalahnya, tentu dari perspektifku yang sering sok rasionalis padahal subjektif, mereka malah dieksploitasi. Dan, bukankah hati seorang penjaga akan remuk ketika apa yang ingin dijaganya dicolong oleh maling?

Ah, kok jadi rumit. Hahahaha.

Tetapi ingatlah ini sungguh-sungguh, camkan ini baik-baik: kepada para lelaki, hati-hati, kalau kau eksploitasi perempuan, maka engkau sungguh jahanam, bangsat, dan bajingan!! (tiba-tiba merefleksi, apakah aku juga lelaki yang demikian? Ah bisa jadi, Lord have mercy on me)

#Sambil ngopi Jepang di siang hari.  Tiba-tiba kepikiran kajian gender dan hal-hal diseputar ini.

Beberapa lama kemudian aku bercakap-cakap dengan seseorang, dan ia menyarankan ada klasifikasi ketiga: lelaki yang berada di titik netral. Lelaki dimana ia hanya mengagumi seorang perempuan tanpa berusaha melakukan apapun. Ia hanya berada di titik dimana ia memandang, melihat keindahan, dan bersyukur pada Sang Pencipta karena Tuhan menciptakan perempuan. Bukankah Ia sendiri adalah Sang Keindahan sekaligus pemilik keindahan?


Senin, 06 Januari 2014

Ringga




“Halo Ngga, lagi ngapain? Aku lagi ngantor nih. Kok bosen ya?”  Kubuka smartphone ku jam 10 pagi ini, dan melihat chat darimu, ah, chat yang sama, tiap hari seperti ini.

“Aku baru bangun, sebentar lagi pergi kok. Ada apa kok kamu bosen Rin?,”balasku sekenanya, sambil kakiku bergerak ke arah dapur. Aku hendak melakukan ritual bangun tidur ku, memasak air untuk menyeduh kopi hitam.  Ya. Beberapa waktu yang lalu seorang teman datang dan menghadiahiku kopi bubuk dari Sumatra. Sangat pekat! Dan aku sebagai penantang hidup ini selalu engga meminum kopi dengan gula. Bagiku hidup ini harusnya penuh tantangan. Tantangan itu perlu memahitkan. Kehidupan yang penuh tantangan adalah kehidupan yang memahitkan bukan? 

Airin adalah manifestasi tantangan yang memahitkan itu.

“Iya nih, kerjaan banyak, dan itu-itu terus. Mana si boss nggodain terus.” Tak lewat dari 5 menit kemudian gadis itu menjawab chat ku. Ah, Airin memang gadis manis. Tubuhnya semampai, rambutnya gemilang hitam lurus berderai indah, matanya belok bulat hitam berbinar.  Kalau ia berjalan di tengah taman ia akan menghadirkan hawa kehidupan yang segera menjalar di antara tetumbuhan dan kupu-kupu. Kalau ia berlari di bibir pantai ia menyambut ombak samudera datang padanya, karena seluruh lautan ingin menari bersama sukmanya yang suci. Kecantikannya khas Nusantara. Kulitnya sawo matang tetapi eksotis. Ah! Bagiku ia adalah Sinta. 

Tapi mungkin aku bukan Ramayana. Juga bukan Rahwana. Aku cuma jelata. Memandang dari jarak yang cukup aman untuk tak dibunuh pasukan kerajaan. Memandang dewi yang katanya kecantikannya tiada sanding dan tiada banding. [Ah,  bagiku mitologi-mitologi kuno punya keserupaan yang sama: memuja keindahan. Ada Aphrodite di Yunani, Venus di Romawi,  Rieke Dyah Pitaloka di sejarah Pasundan-Majapahit, dan banyak yang lainnya. Karakteristik ini menunjukkan manusia punya kerinduan yang satu untuk memuja keindahan. Perempuan adalah keindahan itu.]


“Kamu sih, terlalu menarik,” enggan menjawab banyak, maka ku jawab sekenanya. 

Usai menikmati trinitas pagi itu, antara aku, kopi, dan kesendirian, segera aku membersihkan diri. Bekerja sebagai pengajar musik privat memberikanku keleluasaan mengatur waktu. Dan aku masih sempat mendaki gunung di akhir pekan, yang bagiku, itulah sabat dan peristirahatanku. Gunung mengingatkanku dari mana aku berasal. Gunung menyadarkanku siapa ibuku: bumi. Gunung memberikanku kekuatan untuk menghadapi masyarakat urban yang keji dalam konsumerisme mereka.

Hari ini hari Rabu.  Tidak ada jadwal mengajar. Maka pilihan yang terbaik adalah nongkrong di kedai kopi milik temanku di salah satu mall besar kota ini. Di sana bukan hanya kedai kopi tempat persinggahan eksekutif muda yang otaknya cuma menumpuk uang dan berlibur itu. Atau anak-anak muda yang hanya bisa berbicara tentang jenis i-phone terbaru, tanpa sadar mereka sedang dibodohi oleh kapitalisme.  Atau, cowok-cowok cantik yang mengaku cowok tapi mereka tak pernah tahu arti penaklukan dan kemenangan yang hakiki. Atau, para janda metropolitan yang janjian dengan selingkuhan mereka. Kedai kopi ini, diberi nama temanku Kedai Kopi Jenggot. Temanku begitu tergila-gila pada jenggot Marx hingga di berbagai sudut ia memasang foto Marx. Ya, inilah kedai kopi tempat berkumpulnya peminat sastra dan filsafat, terlebih mereka yang “kiri,” tempat berkumpulnya pembaca Doestoevsky, Tolstoy, sampai Pramoedya Ananta Toer.  


Aku bukan seorang Marxist. Aku hanya penyuka kopi. Bagiku ide-ide Marx adalah ide yang gagal total. Kedai Kopi Jengggot itu adalah salah satu simbolnya: berbicara tentang sosialisme tetapi eksis di pusat borjuasi. Ah, naif. Tapi, everything has a price. Demikianlah hidup.

Lama juga aku berefleksi di dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi aku terngiang-ngiang satu kalimat yang kubaca tadi malam: Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat merasakan kesenangannya.

Kulihat handphoneku dan ada 5 missed cal dari nomer yang sama: Airin. Ada apa di siang bolong gadis ini, menelponku? Kangenkah?

Kucoba menelepon dia. 

“Ringga, tolong aku segera kamu kesini. Bosku. . . bosku. .”

“Kenapa Rin?”

“Bossku menggerayangiku. . .”

Sial! Terulang lagi kejadian itu.

“Kamu tak apa-apa?”

“Aku tadi untuk dapat lari menyelamatkan diri. Sekarang aku berada bersama-sama dengan teman-teman.”

“Aku segera kesana.”

Kututup telepon, dan segera berangkat. Tak perlu lama untuk sampai ke tempat Airin. 10 menit dengan motorku yang lincah. Sialan! Baru 2 bulan ini bekerja di tempat baru, dan Airin selalu mengalami kejadian yang sama. Kenapa para lelaki di dunia ini berhati busuk dan tak menghormati keindahan? Kenapa kesejatian selalu mereka pahami dengan penaklukan semu?

“Airin kamu tak apa-apa?”

“Ringga? Kamu ke sini?”

“Ya, kenapa ini terjadi lagi? Kamu diapakan lagi?”

“Kali ini sebelum ia membuka, aku sempat memukulnya dengan gelas dan berlari.”

“Bagus”

“Tapi, aku akan selesai di sini, tak ada saksi, aku akan dipecat.”

“Tak apa, lebih baik jadi pengangguran daripada hidup di bawah bayang-bayang kebejatan.”

“Trimakasih Ringga, kamu selalu ada, kamu sahabat terbaikku.”

“Ayo kita pergi. Daripada ada apa-apa di sini.” Bulan lalu aku hampir membunuh seseorang. Memukulkan gitar listrik yang kubawa kepada boss Airin yang, lagi-lagi mencoba memakainya sebagai objek dikuasai. Bagi seorang pendaki sepertiku, aku punya kekuatan yang cukup untuk memukul seseorang sampai terkapar. Lebih baik kejadian itu tak perlu berulang lagi.

Sesampai kami di Kedai Kopi Jenggot, segera Airin tertidur nyenyak di sofa. Di perjalanan tadi ia bercerita kalau semalam tidak tidur mengerjakan tugas kantornya. Huh, eksploitasi pekerja lagi.

Kenapa manusia tidak memahami apa arti keindahan? Kenapa manusia tidak menjaga keindahan?

Kupandang wajah Airin yang begitu teduh dalam tidurnya. Benar kata orang, perempuan menunjukkan keotentitakannya ketika ia tidur. Maka jika kau ingin tahu kecantikan seseorang pandanglah ia ketika ia tidur.  Itu adalah momen ketika perempuan, sang keindahan itu, tak dikotori oleh bayangan modernisme dan kepalsuan zaman ini. Bedak dan make up itu adalah kebohongan.

6 tahun aku mengenalmu Airin. Perasaan ini tak berubah. Aku akan selalu menjadi pelindung bagimu. Selalu ada untukmu. Meski aku tak pernah mengenggam dan memilikimu.

“Aku bersyukur selalu ada kamu Ringga, kamu sahabat terbaikku.”

Ya, kau menyebutku sahabat terbaik. Tak pernah lebih. Pernah kuutarakan ingin menggenggam hatinya, dan memenangkan dirinya. Tetapi ia menjawab, “Ringga, kamu sahabatku, entah kenapa itu tak akan berubah.” Jadi hatinya tak pernah memilihku. Lalu siapa?

Entahlah. Barangkali semesta menugaskanku hanya untuk peran ini: peran pelindung keindahan. Ya, di tengah kehidupan yang terus berputar ini, kita punya peran masing-masing. Tugas kita sebagai manusia adalah melakukan peran itu sebaik mungkin.  Kalau aku hanya ditugaskan untuk melindungi keindahan itu, maka aku akan mengabdikan diri bagi keindahan itu seumur hidupku.  Keindahan adalah milik langit dan bumi. Ia menerbitkan sejuta rasa kekaguman, juga ketakutan. 

Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat merasakan kesenangannya.

Hatiku begitu pedih, tetapi aku tersenyum memandang Airin. Orang lain tidak tahu akan kesenangan ini. Kesenangan bahwa aku tahu siapa peranku. Karena aku percaya kalimat Doestoevsky: Beauty will save the world!


To be continued. Ini adalah cerita pendek bersambung, semoga setiap minggu bisa memposting satu cerita secara rutin.

Bengawan Solo, Tunjungan Plaza. 18 September 2013

Jumat, 03 Januari 2014

Apa sih arti pulang?

Apa arti Pulang?

Tiba-tiba pertanyaan itu menggerung gelisah dalam ruang batin. Kemarin aku pulang ke Malang. Aku terheran-heran mengapa aku sangat ingin pulang. Padahal 2 minggu yang lalu, sebelum sibuk-sibuk Natal, aku juga pulang ke Malang. Seperti biasa kalau aku pulang ke Malang tujuanku jelas: rumah. Rumah emakku tinggal, dan rumah kakakku.  Aku punya rumah yang lain: rumah di taman wilis nomor sembilan[1] dan kampus di jalan bukit hermon nomor satu,[2] tetapi kalau masa liburanku hanya pendek aku sangat jarang mau kesana. Apa yang kulakukan selama di rumah? Tidur lebih banyak daripada biasanya, membaca, nonton film, ngobrol dengan orang-orang yang ada di rumah. Lalu malam ini, agak bosan mengerjakan riset yang mau aku tulis dalam bentuk paper akademik, kemudian glesat-glesot[3] nggak jelas seperti ulat yang baru diputus cinta, tiba-tiba ruang simulakrum merayap hadir dalam kecepatan cahaya dan bertanya: apa sih arti pulang?

(Playlist on: Home by Michael Bubble)

***

Aku pernah diberi kisah menarik. Waktu aku kecil keluarga kami tak punya rumah. Dan aku, lahir sebagai anak bungsu dari 10 orang bersaudara.  Hmm, sepanjang 23 tahun aku hidup di dunia setiap aku ceritakan hal ini ke semua orang, mereka pasti berkata: banyak banget! Emakku, harus aku akui, orang yang kuat hahaha. Aku dilahirkan dengan kondisi apa adanya, bahkan hampir tiada apa-apa. Rumah dengan bilik bambu dan beralaskan tanah tanpa semen. Bahkan diceritakan aku dilahirkan tanpa bantuan dukun beranak! Aku lahir mendekati tengah malam di hari Sabtu Legi, kata orang Jawa neptu (angka hari lahirku) itu dihitung besar: 15, maka kata Bapakku, dulu ketika beliau masih hidup, aku adalah anak dengan kemujuran yang paling tinggi.

Sebelum keluargaku punya rumah sendiri, maka kami harus kontrak. Kata kakak-kakakku, keluargaku waktu itu sangat sering nunggak uang kontrakan. Bapakku cuma security alias satpam dan Emakku tukang cuci di gereja.  Maka, dengan sekian anak yang harus dihidupi, memang menjadi sebuah perjuangan yang penuh tetes keringat dan banting tulang dalam arti yang paling literal.  Ada cerita bahwa genteng rumah kontrakan kami diambili karena kami nunggak uang kontrakan berbulan-bulan. Atau gosip-gosip tentang miskinnya keluarga kami dan utang yang juga banyak. Ah, situasi yang pasti sulit tentu pada waktu itu. Konon (dan kisah ini dibenarkan oleh kakakku kemarin), aku ini mau diberikan ke keluarga lain, gara-gara anaknya Bapak dan Emakku sudah terlalu banyak.


Bapakku dulu anak haji yang kecewa dengan bapaknya lalu lari dari rumahnya (itulah yang membuat aku jarang punya cerita tentang kakek-nenek, aku tak kenal!).  Beliau bertemu di jembatan merah Surabaya dengan Emakku yang berusia 16 tahun (beberapa waktu yang lalu aku menemukan akta nikah mereka yang sangat kuno bin ajaib). Emakku sendiri berasal dari keluarga yang biasa-biasa, cenderung miskin, yang tinggal di daerah kumuh Surabaya. Tak kutahu dimana mereka, bahkan saat ini aku sedang hidup di kota ini, aku tak ingat ada dimana mereka. Kami tak berhubungan sama sekali seumur aku hidup, kuduga kedua orangtuaku punya kepahitan yang amat besar kepada keluarga asal mereka.


Lalu pada usiaku yang keenam perbaikan ekonomi kami mulai terlihat. Kami pindah ke lokasi Klayatan ini. Daerah ini dulunya adalah daerah pinggiran di kota Malang yang masih sangat murah pada kisaran tahun 1996 (tahun itu mall termegah yang pernah ada di kota ini adalah Ramayana dan Sarinah).  Dengan bantuan kakak-kakakku yang sudah agak mapan, maka kami membangun rumah. Kalau nggak salah ukurannya lumayan 5x15 meter bisa jadi lebih.  Aku yang masih kecil (sampai sekarang sih tubuhku kecil dan kurus, mungkin kekurangan gizi pada awal pertumbuhanku) turut membantu membangun rumah itu dengan angkat batu-bata. Sembari rumah kami dibangun pelan-pelan, kami kontrak satu tahun di dekatnya.


Rumah yang beralamat di Klayatan II/60b itu jadi dan layak ditinggali sekitaran tahun 1997 atau 1998. Aku ingat karena waktu itu aku menyaksikan kejatuhan Soeharto dari TV cembung 14 inch yang kami punyai. Juga beberapa tahun sesudahnya ketika Megawati naik tahta. Waktu itu Bapakku senang sekali! Suatu ketika aku bermain permainan militer, lalu aku menyebut-nyebut G30s PKI, dan beliau memarahiku! Aku terdiam waktu itu, baru berpuluh tahun kemudian aku tahu kenapa beliau begitu marah.[4]


Rumah dengan tiga kamar itu menjadi saksi masa pertumbuhanku. Bagaimana aku berantem dengan kakakku nomer 9 karena rebutan memindah channel pesawat televisi. Atau soal menyalakan lampu atau tidak. Atau soal makanan, yang, selalu terbatas. Sekarang kami bisa dengan bangga mengajak keluarga kami makan di restoran yang agak mahal.

Rumah itu menjadi saksi bagaimana aku bertumbuh sebagai seorang introvert. Aku jarang keluar rumah. Paling banter hanya akan main bola di sore hari atau berlatih di SSB pada minggu pagi sebelum berangkat ke gereja. Dan karena keluargaku adalah satu-satunya yang pergi ke gereja, maka di hari minggu aku juga jarang bermain dengan teman di kampung. Aktif di Karang Taruna pun aku tak pernah. Aku asyik dengan mainanku.  Zaman masih SD-SMP, aku suka bermain robot-robotan, atau dengan kreatif menggunakan benda-benda disekelingku seperti payung yang sudah rusak sebagai pistol-pistolan (kami juga jarang dibelikan mainan, mainan yang kami punya biasanya hadiah natal pemberian guru sekolah minggu). Para pahlawan di Televisi seperti Power Ranger, Satria Baja Hitam, adalah teman-temanku.  Komik seperti Dragon Ball, lalu Seri Tokoh Dunia adalah sahabat terbaikku.  Ah ini dia, yang menyenangkan sebagai anak bungsu, adalah ketika engkau menerima raport dan hasilnya bagus, maka kakak-kakakmu akan bertanya: mau dikado apa? Biasanya mereka mengajakku ke toko buku Gramedia di alun-alun kota. Pada waktu itu, Gramedia adalah tempat yang kukunjungi hanya pada waktu awal tahun pelajaran atau liburan. Tempat yang menurutku sangat menyenangkan. Dulu Gramedia tidak membungkus plastik buku-bukunya sehingga kau bisa membaca buku sampai puas tanpa membeli. Masa-masa berkunjung ke Gramedia adalah pembentukan kosmologi eskatologisku yang pertamakali: bagiku Gramedia adalah surga.

Rumah itu sungguh menjadi saksiku ketika aku suatu ketika dimarahi keras oleh emakku karena mengecewakan mereka. Aku pisuhi[5] guru bahasa daerahku di SMP dan itu membuatku mendapat nilai moral yang sangat buruk.  Tetapi juga menjadi saksi masa-masa manis: ketika aku sukses menjadi jawara catur di Kota Malang lalu bertanding di kejuaran-kejuaran daerah.

Rumah itu juga menyaksikan aku ketika aku, pada suatu pertandingan penentuan final, melakukan tindakan bodoh: mengorbankan menteri cuma-cuma dan akhirnya kalah. Sebetulnya aku mau tipu lawanku, tapi aku malah yang melakukan langkah buta. Kata teman-temanku waktu itu satu langkah yang senilai 250 ribu. Itu harga juara kami, karena kami sebagai satu grup gagal jadi juara utama dan hanya sekedar jadi juara dua gara-gara langkahku yang salah itu. Rumah menjadi saksi betapa aku tidak bisa tidur tiga malam meratapi kekalahan itu, bahkan terbangun di tengah malam dan memukul-mukul bantal tidurku.  Kesedihan yang level kesedihannya hanya bisa disamai atau dilampaui momen ketika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Rumah itu menjadi saksi bisu juga, kisaran Juni 2005, Bapakku yang sudah sakit-sakitan selama setahun lebih, dipanggil oleh Gusti pulang ke haribaan.  Emakku melolong dengan tangis yang amat keras pada malam itu. Aku yang waktu itu di rumah sendirian (karena kakakku yang nomor sembilan sudah kuliah di Surabaya), kebingungan lalu memanggil kakakku yang pertama yang tinggal di RT agak jauh dari rumah kami. Mulai hari itu rumahku sekaligus menjadi saksi masa gelap dalam hidupku. Masa aku kehilangan iman, masa aku mencari identitas, masa aku tak punya harapan dan tujuan.



Waktu SMA aku harus bekerja di toko keluarga milik kakakku. Nilai-nilaiku jeblok. Karier caturku hancur. Bayangkan saja, jam 7 pagi sampai 2 siang aku disekolah, lalu aku harus melanjutkan berdagang di pasar Gadang sekitar jam 4 sore sampai 10 malam. Sampai rumah aku kelelahan. Pernah dalam satu semester, ada sembilan mata pelajaran, dan tujuh diantaranya aku remidi, hanya dalam pelajaran agama dan penjaskes aku tidak remidi, itu pun nilainya mepet. Menyedihkan.

Di hadapan teman se SMA-ku dulu aku hanyalah pria kurus tak berpengharapan, ngantuk ketika kelas, gugup ketika presentasi, nyontek ketika ulangan harian, cuma bisa berpuisi murahan kepada cewek yang aku sukai. Setelah aku kelas tiga, maka aku melepas pekerjaan paruh waktuku di toko, baru prestasiku agak membaik.

Rumah itu juga menjadi saksi perubahan hidupku. Kisaran tahun 2007 aku mengikut camp kerohanian di sekolahku. Dan disitu aku rekomitmen ulang percaya pada Kristus, aku tahu saat itu aku lahir baru. Yohanes 3:3 menggema dalam sukmaku yang kosong dan kesepian saat itu.  Lalu aku mengambil baptisan selam di gerejaku: GPdI Hebron. Mulai saat itu aku menggumuli  panggilan hidupku sebagai seorang pelayan Tuhan penuh waktu.

Singkat cerita, dengan bimbingan kakakku yang nomor 5 yang juga pelayan penuh waktu, maka aku kuliah di kampus putih di Jl. Bukit Hermon No 1. Karena aku harus menginap di asrama, maka rumah pun hanya emakku yang tinggal. Akhirnya atas kesepakatan keluarga, rumah beralamat Klayatan II/60 itu dikosongkan dan disewakan sebagai tempat kos-kosan. Emakku diminta tinggal di Klayatan III/43 bersama kakakku yang keempat. Ini adalah rumah kedua yang keluarga kami bangun di daerah ini. Kau bisa lihat pemeliharaan Tuhan dalam hidup keluarga kami bukan?

Sekarang, kalau aku berkata pulang, maka aku pulang ke rumah ini. Rumah yang tidak menjadi saksi atas hidupku karena aku tak pernah tinggal di dalamnya dalam jangka waktu tahunan. Paling hanya masa liburan kuliah atau ketika aku ambil jeda dari pelayanan seperti saat ini.

***

Lalu, kembali ke pertanyaan yang tadi, apa sih arti pulang?

Aku berpikir-pikir, apa yang membuatku, sehabis kebaktian buka tahun baru 2014 di hari Rabu kemarin, ingin pulang.

Ah, pada akhirnya rumah bukan soal dimana engkau tinggal, bukan tempat, bukan gedung. Tetapi pulang adalah soal memiliki dan menggenggam kenangan. Kenangan bersama orang-orang. Kenangan pada masa kau berusaha menjadi manusia dewasa. Kenangan, bahwa ketika dunia melukaimu, masih ada mereka yang menerimamu, yaitu keluarga, bahkan semengecewakannya keluarga itu.

Kau akan tahu artinya pulang kalau kau sudah mengalami seperti aku, hidup sendirian di perantauan (agak lebay karena tempatku melayani hanya berjarak 3-4jam dari rumah ini. Barangkali yang bikin melankolis adalah frasa “hidup sendirian” hahaha maklum masih single :p).

Oke deh. Lalu apa artinya pulang?
Pulang adalah mengingat kembali siapa engkau dulu, menyadari bagaimana besar karya-Nya dan betapa megahnya lukisan-Nya dalam hidupmu. Sulaman-Nya terdiri dari benang-benang berwarna: penderitaan, kebahagian, penolakan, penerimaan, kekecewaan, kesukaan, dendam, pengampunan. Betapa bejana yang retak dan rapuh ini dibentuk-Nya pelan-pelan. Kadang bejana ini memberontak, dungu dan ricuh. Tetapi bukankah Ia adalah Allah yang kasih-Nya terus mengejar dan tak peduli pada penolakan kita? Ia yang tak akan menyerah atas hidup kita yang berharga di mata-Nya bahkan terukir di telapak tangan-Nya.  Lalu, Ia dengan penyertaan-Nya yang sempurna bersama-sama denganmu dan membentukmu, sampai saat ini, sampai di titik ini.

Nah sekarang, menutup catatan malam ini, dimanakah engkau berada sekarang? Di rumahmu? Syukurilah! Tak banyak orang bisa pulang. Di perantauan? Syukurilah! Karena kau akan bisa pulang. . . . . . .setidaknya pulang pada kenangan.



***
 
Sebagian dari keluargaku, coba tebak aku yang mana?

Matius 9:6
Tetapi supaya kamu tahu bahwa di dunia ini Anak manusia berkuasa mengampuni dosa – lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu- : “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu.”

Menarik sekali, usai Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh itu, Ia tidak menyuruhnya pergi memberitakan Injil, tetapi menyuruhnya untuk pulang. Mungkin, supaya orang lumpuh itu mengingat-ingat kenangan, seperti aku malam ini, lalu menyadari betapa besarnya karya Allah dalam hidupnya.  Calvin pernah berkata hidup adalah theatrum Gloria Dei: panggung kemuliaan Allah. Aku percaya panggung itu kecil terlebih dahulu: rumah kita.


#Klayatan III/43B. 2 Januari 2014. Seharian ini merenung apa yang akan kulakukan dalam kehidupan pelayananku di 2014. Lalu aku juga memenuhi diri dengan membaca literatur psikologi remaja dari John W. Santrock dan naskah berat teolog pascamodern kesukaanku Kevin Vanhoozer, Drama of Doctrine. Tetapi, ternyata energi terbesar untuk melangkah ke dalam tahun yang akan melelahkan adalah menemukan Tuhan dan karya-Nya dalam hidupmu. Jelas, karena, pemberian terbaik yang Allah berikan dalam hidup kita adalah diri-Nya sendiri. Thank you, my sweet Jesus!








Diposting khusus untuk:
1. Zadok Elia, my brother hahaha yang hari ini waktu makan siang bersama dia membaca blog ini dan berkata: aku heran nggak ada cewek yang suka sama kamu. Pernyataan yang memberi semangat di awal tahun. :D
2. Esther Stephanie Hermawan,  my best sacred companion hahaha yang waktu kuceritakan kalimat Zadok dia menulis: idem. LOL




[1]Rumah Perkantas Malang
[2] Kampus Seminari Alkitab Asia Tenggara
[3] Tidur tapi nggak tidur, berbaring gelisah gitulah
[4] Aku tahu kisah kejamnya Orde Baru melalui novel Tapol yang diangkat jadi cerita bersambung di Koran Jawapos (lupa tahunnya), belakangan semakin tajam dengan studi pribadiku tentang filsafat Marxisme, dan pembacaan novel-novel seperti Pulang, Amba, dan biografi Anak-anak Revolusi.
[5] Kata-kata kotor, makian