Kamis, 22 Januari 2015

Imitation Game: Homoseksualitas, Kekerasan dan Teologi Relasional


Akhirnya hari ini aku nonton juga Imitation Game, film yang paling kutunggu sejak akhir Desember. Dengan aktor utama Benedict Cumberbatch (sebagai Alan Turing) dan Keira Knightley, film yang ber-genre drama, thriller, dan berdasarkan kisah nyata ini sungguh bikin penasaran bagiku yang doyan teka-teki, atau kisah tentang seorang psikopat-genius. Rating imdb-nya 8.3 dan bagi mereka penggemar film yang bikin "mikir" dan film dengan "kritik sosial" nya tinggi, tentu dengan balutan estetika, sinematografi dan alur cerita yang dibungkus dengan ahli (nggak seperti Blackhat, yang sebenarnya ide dasarnya menggairahkan tetapi karena alur yang begitu lambat, dan sinematografi yang agak mengecewakan, jadi film yang buruk), Imitation Game menjanjikan hiburan yang akan membuat kita setelah keluar dari studio akan tersenyum puas. 

Aku nggak akan review dari sudut pandang ahli pembuat film, atau sineas, biarlah itu menjadi tugas mereka yang menekuni sinematografi dan kritikus film (silahkan liat di sini). Tapi aku lebih suka melihatnya dari perspektif hybrid theologian yang sedang hidup dalam konteks masyarakat perkotaan pascamodern.


1. Persoalan Homoseksualitas Serta Kecenderungan Kita untuk Menilai dan Menyeragamkan


Ternyata pahlawan perang sekutu vs Jerman itu adalah seorang homo! Gay! Gile bener, Inggris pada waktu itu adalah negara yang mencap homoseksualitas sebagai pelanggaran hukum. Akibat ketauan seorang homo, Alan Turing dihukum harus menjalani pengobatan yang bertujuan untuk "membetulkan" kecenderungan seksualitas-nya, supaya hormon yang ada di dalam tubuhnya membuatnya "sama" dengan pandangan sosial masyarakat waktu itu. Menyedihkan, Turing bunuh diri di usia 41 tahun: kesepian, hidup sendiri dalam sunyi tanpa penghargaan yang layak bagi pengorbanannya, dan terus bernostalgia dengan "kekasih" yang ia temukan di masa SMA: Christopher, yang kemudian mewujud dalam sebuah mesin pemecah sandi Enigma, yang membantu Sekutu mengalahkan Jerman.  Kamu tahu, katanya mesin pemecah sandi itu menginspirasi para ilmuwan untuk membuat "Mesin Turing" yang kemudian hari kita sebut sebagai komputer! 

Aku nggak mau ngomong panjang lebar tentang tinjauan teologis atau perspektif biblika atau sosiologis-psikologis tentang homoseksualitas, sudah banyak orang menulis riset tentang hal-hal itu. Namun ini pendapatku: sudah saatnya kita berhenti dari kebiasaan memberi cap buruk pada orang lain, apalagi dengan lensa kacamata kita yang begitu naif. Sudah waktunya, kita berhenti dari kebiasaan "menyeragamkan" orang lain, dan memaksa mereka keluar dari "keunikan", "keberbedaan" yang mereka miliki. Membuat orang lain sama dengan kita memang meminimalisir perasaan terancam dan kuatir yang acapkali menggejala di dalam batin setiap kita. Tapi itu sama dengan mencederai kemanusiaan (humanity). Guruku dari Nazaret, Seorang manusia sejati, selalu menerima mereka yang dianggap "berbeda" oleh konteks masyarakat. Ia menerima perempuan Samarian, pemungut cukai, orang berdosa dan kaum miskin-tertindas.  Penembakan teroris di Perancis, konflik antar agama, bullly yang sering dilakukan oleh anak-anak SMA adalah berasal dari kecenderungan kita untuk menyeragamkan orang dan menilai mereka dari perspektif kita.

Percakapan interogasi Turing dengan seorang polisi berakhir dengan kalimat jawaban dari detektif itu: "aku tak bisa menilaimu." Dan rasanya, kita juga begitu, kita tak bisa semena-mena menilai orang lain, menghakimi mereka dengan "balok di mata kita." Termasuk kepada kaum homoseksualitas. Saya sebagai seorang pembelajar teologi dengan peferensi teologi konservatif (dan seorang hetero tentu :p) sampai hari ini meyakini, homoseksualitas adalah sebuah "keanehan", untuk tidak mengatakannya sebagai sebuah "kesalahan." Tapi di sisi lain, salahlah jika kita menjadikan mereka sebagai outsider dari masyarakat, hanya gara-gara homoseksualitas. Kaum yang punya preferensi berbeda itu perlu diterima, dihargai sebagai seorang manusia yang sama dengan kita. Tentu tanpa perlu menyetujui preferensi mereka. Sayang gereja pun kadang-kadang sulit menerima orang yang berbeda dan terburu-buru menghakimi mereka sebagai orang berdosa, padahal semua kita adalah orang berdosa, bukan?


2. Kekerasan

Dalam film ini, Turing mengatakan hal yang menarik "kekerasan itu disukai oleh manusia karena menyenangkan." Maka tepatlah seorang antropolog Perancis bernama Rene Girard yang menyatakan bahwa sejarah dunia ini adalah sejarah dimana manusia mencari kambing hitam, dan itu penuh dengan kekerasan.   Turing pernah mengalami kekerasan ketika ia sekolah gara-gara ia murid yang terlalu pintar dalam hal matematika, namun punya kecerdasan berelasi dengan orang yang sangat buruk sekali. Kekurangan dalam berelasi dengan orang lain itu mengakibatkannya kesulitan memimpin timnya. Ia lebih suka bekerja sendiri, tidak sensitif pada perasaan, mengakibatkan ia pernah dibilang sebagai seorang "monster."  Saya rasa monster tidak lahir dalam ruang vakum. Monster tidak lahir dari sebuah ruang kosong, tapi dari sebuah medium narasi historis, yang manusia ciptakan. Monster itu muncul dari kekerasan.

Medan perang Bakumatsu melahirkan Sishio, yang kepengen jadi penerus Battosai si pembantai (nontonlah Rurouni Kenshin).  Kolonialisme dan Imperialisme negara Barat menampilkan sosok kejam Daendles (bacalah novel Pangeran Diponegoro, Remy Sylado) yang mengizinkan matinya banyak budak tanpa bayaran.  Orde Baru mengizinkan jutaan komunis (dan bukan komunis) mati setelah peristiwa 1965. Apa yang dilahirkan dari kekerasan? Dendam, kebencian, a monster.

Maka kita perlu makin meminimalisir kekerasan. Kebiasaan bully orang itu perlu pelan-pelan ditiadakan. Pemakaian kekuatan dalam berbagai bentuk (dalam bentuk intimidasi, apalagi kekuatan fisik) untuk memaksa orang mengikuti apa yang kita inginkan, perlu makin kita hindari. Kita perlu pendekatan yang lebih manusiawi, di sini dialog menjadi sesuatu yang musti. Keterbukaan untuk mendengarkan orang lain terlebih dahulu, menghargai perbedaan pandangan, adalah awal dimana perdamaian dimulai. Stop violence. Maka akan lahir sebuah generasi yang saling menghargai, relasi suami-istri yang lebih sehat dan hubungan antar pemeluk agama yang saling menumbuhkan.

“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles."

(Mahatma Gandi, Young India, 22 October 1925)” 


3. Teologi Relasional

Alan Turing adalah seorang introvert, manusia cerdas tapi rapuh, nggak punya temen untuk berbagi, (Narasi tentangnya membuatku teringat diriku sendiri beberapa tahun yang lalu, seorang introvert yang minim teman, dan terkagum-kagum pada ide gila Marxist-Leninis hahaha).  Akhir hidupnya menyedihkan ,walau pada 2013 Ratu Elizabeth memberikan kepadanya anugerah sebagai seorang pahlawan.  Bahkan cewek cantik sekelas Joan (Keira Knightley aduuuuh cakepnyaaa, sejak Pirates of Caribbean, gue demen sama orang ini), sangat sukar menjalin hubungan dengan Turing. Padahal Joan sudah nerima Turing apa adanya, sayang, karena ketidakterbukaan Turing, relasi itu tak bertumbuh menjadi relasi yang transformasional dan menghantarkannya pada kemanusiaan yang lebih manusiawi.

. . .ministry is about connection, one to another, about sharing in suffering and joy, about persons meeting persons with no pretense or secret motives. It is about shared life, confessing Christ not outside the relationship but within it. This, I learned, was living the gospel.
2 hari ini aku menyelesaikan Revisiting Relational Youth Ministry, buku Andrew  Root yang memikirkan ulang tentang teologi relasional berdasarkan karya Dietrich Bonhoeffer. Lalu aku menyimpulkan begini, kita semua seringkali memandang relasi berdasarkan perspektif material: menguntungkan atau tidak bagi kita. Bagi pelayanan Kristiani, apakah melalui relasi ini kita bisa memberikan pengaruh kepada orang tersebut?  Padahal relasi dalam perspektif teologi inkarnasi lebih dari itu. 

Relasi adalah sebuah konteks, tempat berbagi (place-sharing) bagi kita sebagai pribadi, dengan pribadi yang lain. Tempat berbagi itu akan menjadi sebuah tempat transformational ketika kita menjumpai Sang Transenden, dengan menyadari Yesus adalah person, pribadi yang ada di tengah-tengah relasi tersebut. Tempat dimana kita mengiyakan kerapuhan, kelemahan, keterlukaan kita sebagai manusia dan melangkah menjadi manusia yang seutuhnya, apa adanya.  Place-sharing itu menyadarkan kita akan kepalsuan yang seringkali ditawarkan oleh budaya dan konteks sosial dimana kita ada, dan menghantarkan kita kepada diri kita sendiri, manusia yang apa adanya dan oke dengan diri kita sendiri. Bukankah itu yang Yesus dari Nazaret itu lakukan?

Pengertian tentanag teologi relasional itu menurutku perlu, sebagai fondasi kita mengada di konteks masyarakat urban pascamodern ini, yang makin hari makin anonim, makin hari makin melihat orang berdasarkan seberapa tebal dompet, seberapa berkelas gaya hidup mereka, membedakan orang berdasarkan apa yang mereka miliki bukan apa yang membuat mereka menjadi (mengutip Erich Fromm di sini.)  Andai makin banyak orang menghidupi teologi relasional ini, aku rasa makin minim orang yang mengalami hidup yang menyedihkan seperti Alan Turing, Nietzsche, Marx, dan kawan-kawan lainnya. . . .


Epilog
Kalau kamu seorang mahasiswa, tinggal di perkotaan, nontonlah film ini. Akting Cumberbatch memuaskan sebagaimana ia di Sherlock TV Series, dan Star Wars. Apalagi konteks kita di perkotaan di mana homoseksualitas, transgender, kekerasan, adalah diskursus yang baru saja dimulai, mungkin film ini akan sedikit mencerahkan kita.

Akhir kata aku ingin mengutip konfesi GKI bagian kedua entah poin keberapa yang berbunyi demikian : "Kami percaya kepada Yesus Kristus. . . . yang mengasihi tanpa diskriminasi."


#Killiney Kopitiam, Grandcity Mall, Surabaya. 23 Januari 2015

Senin, 12 Januari 2015

12 Hal Bijak Orang Kristen Masa Kini

Well, saya tertarik nulis dengan judul ini untuk menanggapi tulisan seorang kawan di dunia maya, yaitu https://krisnanda.wordpress.com/2015/01/10/12-hal-bodoh-yang-gw-percaya-sebagai-orang-kristen/ (yang belum baca, baca dulu yak!).  Saya nemu tulisan ini di timeline Facebook saya, waktu saya share ke beberapa rekan pemuda saya menemui tanggapan yang beragam, sebagian besar bersikap tidak suka kepada kalimat-kalimat tulisan itu yang agak "kasar" dan mungkin, "arogan."  


Nah untuk itu, saya menulis 12 hal bijak orang Kristen masa kini dan masa depan. Say thank to Yonatan Tjakrakusuma yang memberi ide nulis dengan judul tersebut.




1. Lebih utuh dalam memandang kekayaan, kesehatan serta kebahagiaan dan sukses di Market Place.

Penulis blog itu (Yoel namanya) mengkritisi pandangan beberapa atau segelintir oknum/gereja kontemporer bahwa orang Kristen harus sukses, kaya dan sehat serta bahagia. 

Saya rasa kita perlu lebih utuh memandang soal-soal tersebut, apa saja? 

Pertama, Tuhan tidak pernah menjanjikan semua orang kaya, sehat dan bahagia dalam perspektif duniawi-materialistik.  Lha wong, Putra Tunggal Allah, mati dalam kondisi tidak punya apa-apa. 12 Murid juga rasanya sama sekali hidup tidak bahagia, bukan? Ayah saya meninggal waktu saya masih SMA, kakak saya yang menyerahkan diri jadi hamba Tuhan penuh waktu, meninggal dunia karena kanker, 2 tahun setelah menyelesaikan studi S-2nya di bidang Konseling. Apakah saya kaya? Nggak, motor aja dipinjemi gereja hehehehe. Dari perspektif dunia, saya nggak punya apa-apa. Tapi ini loh yang Tuhan janjikan: damai sejahtera di dalam Dia (Roma 15:13) dan keselamatan di dalam Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 4:12), dan penyertaan-Nya yang tiap saat (Matius 28:20). Saya rasa itu lebih dari cukup untuk menjalani kehidupan yang rapuh ini.  

Kedua, Alkitab tidak pernah melarang orang untuk kaya (Yesus punya murid orang kaya: Yusuf Arimatea), tapi Alkitab menentang kekayaan yang dipakai untuk menyenangkan diri sendiri atau egoistik.  Saya juga nggak musuhi orang yang kaya lho ya, tapi saya musuhi orang kaya tapi semena-mena dan tidak manusiawi. Pertanyaannya yang perlu kita ajukan adalah: kalau kita punya kekayaan, kesehatan serta kebahagiaan dan sukses di market place, itu untuk siapa? diri sendiri? Atau untuk "menegakkan kerajaan Allah di muka bumi"?



2. Lebih utuh mengerti tentang iman.

Yoel mengkritisi konsep iman yang hanya dipakai untuk mendorong orang untuk berpikir positif memandang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.  Saya rasa perspektif itu tepat, namun hati-hati, jangan terburu-buru melihat bahwa "iman" itu suatu konsep yang korup dan penuh kebohongan. Selama kita masih hidup di dunia yang rapuh dan penuh dosa, kita butuh iman. Apa itu iman? Memang definisinya sangat sulit sekali.  Ibrani 11:1 tidaklah mendefinisikan apa itu iman. Tapi disini saya melihat iman itu dari tiga hal: aspek kognisi, apa/siapa yang kita percayai, aspek hati, keputusan hati kepada siapa kita percaya, juga aspek psikomotorik, tindakan nyata untuk menunjukkan iman itu. Iman Kristen selalu ada dalam tiga aspek tersebut. 

Iman memang bukan sekedar kekuatan positif atau positif thinking yang diajarkan motivator semacam Mario Teguh atau Tung Desem Waringin gitu, tapi iman adalah sebuah relasi berjalan bersama-sama dengan Tuhan. Iman Kristen bukanlah sesuatu yang transaksional, gue doing something and gue dapet sesuatu yang gue pengen, maka Tuhan jadi tukang jual sayur di pasar. Iman, dalam perspektif Alkitab, adalah sesuatu yang relasional dengan Tuhan.  Iman adalah kita tahu bahwa Tuhan itu baik melalui firman-Nya, memutuskan hati kita percaya kepada Tuhan, dan membuktikan bahwa kita percaya kalau Tuhan itu baik dengan perbuatan kita.  Iman yang seperti ini yang akan membuat kita bertahan dalam situasi kehidupan yang paling tidak mengenakkan.



3. Segala sesuatu terjadi di bawah kedaulatan-Nya. Persoalannya kita perlu secara utuh dan sehat membedakan mana yang akibat dari dunia yang penuh dosa dan mana yang tidak.

Yoel mengkritisi kalimat "Everything happens for a reason"yang memang harus kita akui, sering salah pakai tempat dan waktu. Tapi saya percaya everything happens for a reason! Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini berada di bawah kedaulatan-Nya. Selalu ada sebab dari akibat bukan?  Tuhan menciptakan kita ada alasannya! Tuhan menempatkan saya di Indonesia, juga ada alasannya. Kalau tidak ada alasan di balik segala sesuatu yang terjadi, kita berkencenderungan jatuh dalam nihilisme ala Nietzsche, apatis seapatis-apatisnya. Persoalannya adalah kita perlu membedakan secara utuh dan sehat, mana akibat dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa dan mana yang tidak. Tuhan, tentu saja karena Dia baik, tidak pernah menciptakan dosa (Yakobus 1:13). Dosa dan segala sesuatu yang buruk karenanya bersumber dari diri kita sendiri.  Nah saya mau kutip disini kalimat Yoel:

Banyak hal buruk terjadi ya karena emank kita tinggal di fallen world. Bencana pesawat jatuh, Tsunami, sakit penyakit, dsb pasti bukan dirancang secara khusus oleh Tuhan untuk tujuan tertentu. Perkataan ini mungkin motivasinya bagus, tapi menurut gw super ngaco. Ketika gw sedang dapat bencana, I must deal with it. Mungkin emang gw harus berduka dan bersedih untuk beberapa saat, bukannya menyangkali atau mencari ketenangan palsu dengan berharap kalau ini terjadi karena Tuhan punya maksud tertentu buat hidup gw.

Yang membedakan dukacita orang percaya adalah dukacita orang percaya itu memiliki pengharapan, bahwa ada Kristus yang menguasai masa depan, dan dibalik dukacita itu, kita bisa makin mengenal Kristus dan Allah, yang adalah baik! 

Salahnya adalah ketika dalam konteks pastoral orang berduka kita terburu-buru memberikan penghiburan kepada orang yang berduka dengan mengatakan everything happens for a reason. Mungkin cara terbaik adalah memberikan pelukan atau hadir dengan orang-orang yang berduka itu, sama seperti yang dilakukan oleh Bu Risma ketika musibah Air Asia terjadi.



4. Kita butuh Kekristenan yang arif, menerima keberagaman, tapi tentu saja sangat perlu mengkritisi mereka yang "agak menyimpang"


Memang, di dalam Kekristenan ada theology yang mayor dan minor. Yang mayor: Trinitas, Alkitab sebagai otoritas, Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Yang lain-lain seperti baptisan, karunia roh kudus, gaya ibadah, doktrin akhir zaman adalah sesuatu yang minor, penafsirannya bisa saja beragam.  Kriteria untuk mengkritisi mereka yang "menyimpang" adalah ini: Alkitab, Bapa Greja, dan Pengakuan Iman Rasuli.  Saya rasa ini yang paling dibutuhkan generasi ini, kita butuh sikap yang lebih arif, tidak arogan, menerima satu dengan yang lain dan belajar satu dengan yang lain.  Yudas mengatakan "bencilah pakaiannya jangan benci orangnya", ajaran bisa kita tidak setujui tetapi orang harus terus kita kasihi. Tentu masih butuh proses yang panjang menuju kesana., Saya sebagai seseorang yang besar dalam gereja Pentakosta, dididik dalam seminari Reformed-Injili dengan latar belakang gereja mandarin, dan sekarang melayani di sebuah gereja mainline prostetanism dengan perspektif Injili-Konservatif, sering melihat banyak orang Kristen masih saling tuduh, menjelekkan satu dengan yang lain, dan berusaha menjatuhkan. Tubuh Kristus sudah banyak terpecah belah, apakah perlu kita membelah-belahnya lagi? :(

Diana Butler Bass, dalam Christianity After Religion menulis:
What the world needs is better religion, new forms of old faiths, religion reborn on the basis of deep spiritual connection—these things need to be explored instead of ditching religion completely. We need religion imbued with the spirit of shared humanity and hope, not religion that divide and further fracture the future.

5. Sesuatu yang supranatural harus diterangi dalam perspektif firman Allah

Yoel menceritakan aksi-aksi supranatural seperi Benny Hinn etc, dan saya mendapat kesan dia agak "kecewa" terhadap hal-hal tersebut. 

Buat saya, sesuatu yang supranatural masih bisa terjadi di era ini, tapi tentu kita harus terus mengawasinya apakah itu sesuai dengan firman Tuhan? Kalau sesuatu yang supranatural itu ternyata berlawanan dengan Injil (keselamatan dan transformasi di dalam Yesus) dan menawarkan sesuatu yang palsu dan fana: kesembuhan, kekayaan, kemakmuran etc, atau dipakai untuk kepentingan diri sendiri (kekayaan pendetanya misalnya), maka kita perlu memberikan tanda awas dan hati-hati terhadap hal-hal tersebut.



6. Hati nurani perlu ditaruh di bawah otoritas Roh Kudus

Yoel mengkritisi hati nurani yang biasanya jadi sumber dari seorang Kristen sebagai justifikasi  bahwa apa yang dilakukannya adalah kehendak Tuhan. Saya rasa Galatia 5-6 dengan jelas mengajar tentang bagaimana hidup di bawah pimpinan Roh Kudus.  Damai sejahtera yang sejati datangnya dari kehadiran Allah dalam hidup kita, nah ukurannya apa? Ketika kita taat pada perintah-Nya yang ditulis dalam Alkitab! Maka tugas orang Kristen adalah terus menerus baca kitab suci doa tiap hari, kata sebuah lagu Sekolah Minggu



7. Perlu kritis terhadap otoritas, tetapi perlu tetap hormat

Saya pernah punya banyak ketidaksetujuan kepada dosen-dosen saya di seminari, saya juga kadang-kadang berseberangan pendapat dengan pendeta saya. Saya rasa itu sikap yang wajar (dan  perlu ada) karena mereka juga manusia yang bisa jatuh dalam dosa dan kebutaan berpikir/bersikap. Tapi kita juga perlu hormat dong, mereka yang duluan menjalani hidup ini dan mengalami hal-hal yang sulit sebelum kita, harus dihormati, dengan segala keterbatasan atau kelemahan yang bisa saja mereka tampilkan. Paulus ngomong hal ini di 1 Timotius 5:17.



8. Perlu dewasa membedakan antara problem "dosa" atau "etika"

Yoel menulis:
Merokok apalagi minum alcohol secara bertanggung jawab juga biasa-biasa aja. Pertanyaan yang lebih esensial menurut gw adalah “Penting ga dilakuin? Bodoh ga dilakuin?  Berguna ga buat gw?” bukan “Dosa atau ga yah merokok?”
Persoalan dosa adalah sesuatu yang sangat jelas diatur dalam Alkitab: pembunuhan, perzinahan dan semua yang diatur di dalam Taurat. Dosa adalah tentang menyeleweng dari sasaran Allah. Nah, merokok dan minum alkohol, tatto adalah problem "etika." Pertanyaan yang perlu diajukan adalah kenapa itu kita lakukan? Paulus menulis Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun(1Korintus 6:12). Pornografi, masturbasi, rokok, alkohol, bisa membuat kita diperhamba oleh mereka, dan itulah bahayanya, ketika mereka jadi idol.



 9. Kita sering tidak mengerti apa yang terjadi di balik bencana dan masalah

Saya sampai sekarang tidak mengerti mengapa kakak saya harus meninggal di usia yang muda, kenapa ada bencana Air Asia yang begitu mengerikan.  Dan harus kita akui kita sering tidak mengerti maksud Tuhan, tidak mengerti rencana Tuhan di balik itu semua. Yang perlu kita lakukan saya rasa adalah belajar melihat dan menggali perspektif yang lebih teosentris: menghadapi penderitaan dengan kacamata kekekalan. 

Ohya, tentu adalah kurang tepat jika bencana/masalah itu terjadi kepada orang non percaya dan kemudian dengan angkuh kita bilang itu hukuman dari Tuhan (dan ini yang dikritisi oleh Yoel). Kita tidak berhak, sama sekali tidak, untuk berkata seperti itu. Bukankah kita sendiri adalah orang yang pantas dihukum?



10. Bukan jumlah, tapi soal jenis jemaat

Waktu saya remaja, saya percaya salah satu ukuran berkat Tuhan adalah jumlah jemaat yang besar. Tapi saya rasa itu tidak tepat (saya agaknya setuju dengan Yoel disini). Yang perlu kita tanyakan adalah apa jenis jemaat kita. Kalau jumlahnya ribuan ternyata sebagian besar adalah fan (penggemar) dan bukan follower (pengikut/murid), ya buat apa? Makanya ada banyak gereja besar di Indonesia dari sisi jemaat, tapi tidak berdampak bagi negeri ini, karena mereka cuma penggemar dari Yesus, mereka mencari sesuatu yang mereka butuhkan dari Yesus (materi, etc).  Tugas orang seperti saya, adalah mengajak orang untuk semakin mengikut Kristus, pikul Salib dan sangkal diri. Saya kira jika makin banyak pengikut Kristus maka Kekristenan bisa menjadi sebuah gerakan yang mengubah negeri ini, menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali.




11. Perspektif yang lebih tepat dalam melihat "rencana Tuhan"

God's plan atau rencana Tuhan, kalau melihat Alkitab, kita perlu bedakan menjadi dua: Ketetapan Allah dan Kehendak Allah. Ketetapan Allah adalah berkaitan dengan keputusan-Nya dalam penciptaan, penebusan, keselamatan dan penghakiman. Sedangkan kehendak Allah adalah apa yang Allah inginkan untuk kita lakukan dan bisa saja kita tidak lakukan. Bacalah tulisan John Piper, seorang teolog Reformed handal di dalam link ini untuk melihat perspektif lebih lengkap.

Nah, persoalan pasangan hidup, karier, menikah atau nggak, ada di bagian yang kedua.  Masalahnya adalah kita sering malas dan enggan untuk terus mencari kehendak Allah di dalam hidup kita secara detail. Sampai detik ini saya masih bergumul: apakah kehendak Allah adalah saya menjadi pelayan penuh waktu, hidup di Surabaya? Ketegangan itu akan terus terjadi, tugas kita adalah belajar Alkitab dan berdoa, dan ngobrol dengan sesama orang percaya untuk menemukan apa yang paling Tuhan inginkan dalam hidup kita. 

Ohya, saya rasa kita juga tidak perlu fatalistik seperti Hyper-Calvinism (ini yang dimusuhi sama si Yoel), yang mengatakan bahwa kita makan apa, pakai baju apa, itu diatur Tuhan. Nggak. Dalam hal-hal seperti itu Tuhan hanya mengatur prinsip-prinsip umum melalui Alkitab. 



12. Perspektif yang kritis/utuh terhadap keuangan gereja.

Ya, gereja harus transparan, dan pemegang keuangan gereja bukanlah rohaniwan tapi seseorang yang bertanggung jawab penuh dan tentu saja ada audit secara berkala. Dalam hal ini, tempat saya bergereja, sinode GKI sangat saya hormati karena mencegah kami, para pekerja penuh waktu, memanipulasi agama sebagai sarana mencari uang, karena itu bisa saja terjadi.




Nah, demikian 12 pandangan saya, saya rasa yang menentukan masa depan Kekristenan adalah bagaimana kita memiliki Kekristenan yang lebih arif, tidak arogan, tidak angkuh juga menghidari sikap penjajah yang triumfalistik.  Saya rindu sebuah Kekristenan yang lebih nrimo keberagaman. Kekristenan yang memerhatikan kaum miskin dan tertindas. Kekristenan yang lebih transformatif. Kekristenan yang bukan fokus pada kemasan tapi pada hal yang substance: jiwa manusia. Kekristenan yang lebih Yesus!  



Btw, Tulisan Yoel saya sangat apresiasi karena otentik dan bagi orang yang open minded, membuat berpikir dan merenung ulang. Tapi kita perlu utuh, kalau sebuah tulisan malah membuat kebencian, kata-kata yang tidak ramah malah marah, saya pikir itu adalah hal yang fatal dan tidak perlu diulangi lagi oleh teman-teman Kristen yang lainnya. Tolong, dunia ini sudah sangat menyedihkan untuk ditinggali dengan hal-hal seperti musibah Air Asia, terorisme di Prancis, dan fundamentalisme agama yang hanya melahirkan darah, darah dan darah, masihkah kita menambahi kesedihan lagi dengan tulisan atau perkataan kita yang bisa menjadi sesuatu yang destruktif?




@himawanpambudi
himawan2804@gmail.com
Himawan Teguh Pambudi




#Pregbund 23, Surabaya. Saya sendiri menyadari saya juga rapuh dalam menggunakan kata-kata :( pagi tadi seorang teman kecewa kepada saya karena tanggapan saya yang bodoh pada chat yang dikirimkannya.. Kita adalah manusia yang rapuh ya, sangat rapuh, have mercy on us, oh Lord.

___________________________  oo ________________________________




Pas gue ngomen dengan masukin dengan link blog gue, ternyata sudah ada tambahan di bagian bawah tulisannya :) Menarik juga sih yang komen banyak anak muda, itu berarti wajah Kekristenan di Indonesia ditentukan oleh sikap dan pola pikir anak muda. Saya berdoa dan berharap anak-anak muda di Indonesia, yang Kristen, setidaknya punya perspektif yang luas dan utuh, maka tolong, biasakan baca buku, tidak perlu takut berdialog dengan mereka yang berbeda, dan rendah hati untuk belajar. Kekristenan akan menjadi lebih baik kalau kita seperti itu.

Selasa, 06 Januari 2015

Rid me of myself



Berjalan menembus lorong kehidupan sembari bernafas dan mendengungkan "aku adalah apa yang aku lakukan" membuatku lelah dan letih. Apapun yang aku capai, tak pernah memuaskan diriku dan dunia di sekelilingku.  Lalu aku berganti ide dan menyanyikan senandung yang lain "aku adalah apa yang aku miliki", ternyata seberapapun tanganku mengenggam sesuatu, tiada satu pun yang benar-benar berarti, aku pun masih haus di sana-sini. Aku ganti kacamataku melihat dunia dari perspektif "aku adalah apa yang orang lain pikirkan," ah, ternyata, hasilnya sama! Popularitas sebesar apa pun yang kuterima, pujian sebanyak apa pun yang ada, batinku tetap sepi.

Lalu semua yang ada kutanggalkan, semua yang kugenggam kulepaskan, semua yang kulakukan kuhentikan. Di dalam kekosongan itu sang Tangan Kekal itu membimbing, berjalan perlahan-lahan, menuntunku ke Golgota. Air mataku mengucur tak henti. Justru dalam ketiadaan apapun aku mengerti, hidup bukanlah soal melakukan sesuatu, memiliki sesuatu, atau menerima sesuatu dari orang lain. Hidup adalah soal dimiliki oleh-Nya, melakukan sesuatu karena-Nya, menerima sesuatu dari-Nya. 



#Usai mendengarkan lagu ini dan PA Markus 2. Yesus memanggil Lewi pemungut cukai Follow me and be my disciple. Ya, Tuhan, jawabku. Aku mau ikut Engkau, meninggalkan diriku sendiri dan menuju salib-Mu. Amin.


"Lead Me To The Cross" 
(Hillsong United)
Savior I come
Quiet my soul remember
Redemption's hill
Where Your blood was spilled
For my ransom
Everything I once held dear
I count it all as lost

[Chorus:]
Lead me to the cross
Where Your love poured out
Bring me to my knees
Lord I lay me down
Rid me of myself
I belong to You
Lead me, lead me to the cross

You were as I
Tempted and trialed
Human
The word became flesh
Bore my sin and death
Now you're risen

Everything I once held dear
I count it all as lost

[Chorus]

To your heart
To your heart
Lead me to your heart
Lead me to your heart