Selasa, 20 Agustus 2013

Buku-buku yang berteriak

Aku terbangun dari tidur siangku yang berlangsung hanya sekitar tiga puluh menit. Langsung aku menuju kamar mandi, memandikan diri untuk menyegarkan jasmani.  Usai mandi aku menyeduh kopi, hendak menghangatkan hati, pun mencari inspirasi. Kopi hitam Aroma Arabica dua sendok makan, dipadu dengan gula takaran yang sama, adalah pilihanku kini. Kuleburkan mereka dalam botol Star Bucks kesayanganku. Tetapi tiba-tiba, aku mendengar suara-suara aneh!


Hei, kurus! Ayo baca kami.


Hah, siapa? Apaan?



Hei, kurus! Ayo baca kami, kerjakan risetmu disamping kami. Segera!


Walah! Ternyata buku-buku berteriak dari perpustakaan Prothumia tersayang.


Ayo segera baca kami.  Kami hadir untuk dibaca, bukan sekadar dipajang. Seluruh aspek kehidupan kami dirancang untuk satu tujuan: dibaca. Ditulis oleh penulis, dicetak oleh percetakan, diterbitkan oleh pihak penerbit, didistribusikan oleh distributor, dan dibeli kemudian masuk ke dalam rak-rak buku ini, agar kami dibaca. Ayo baca kami! Kami tidak hendak terus-menerus dengan angkuh berdiri dalam rak-rak berdebu ini. Sampul kami ingin dibelai, halaman per halaman kami ingin dibuka dalam kelembutan, tiap kalimat per kalimat kami perlu dibaca dengan mata yang memasukkan informasi pada otak manusia!



Lho-lho, tetapi siapa aku ini. Aku ini cuma pria bodoh dengan IQ jongkok. Memang saat kecil aku senang membaca buku. Tetapi pada masa remaja, aku tak sanggup mengakses buku. Bangsaku juga tak cinta membaca.  Keluargaku tak punya daya untuk membuatku membaca. Siapa aku ini sehingga kalian teriak-teriak dengan nada protes itu?


Kami tak peduli. Kami perlu dibaca. Ini petisi kami. Atau kau mau mati dalam belenggu ketidaktahuan? Atau kau mau mati dalam belenggu kesempitan pikiran? Atau kau mau mati dalam impotensi kebudayaan?


Kejam. Masa aku diancam seperti itu? Tapi, rasanya itu wajar. Buku-buku memang hadir untuk dibaca. Rasanya, tiba-tiba, buku-buku seperti manusia? Mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar ingin dihargai, dianggap penting, dilibatkan, dan dikasihi.  Mereka rendah hati, mau berfungsi bagi kehidupan manusia degil sepertiku.


Ayo baca kami. Jangan mau ditipu oleh Android-mu. Teknologi menipu. Kami membantu.


Hei-hei. Kok begitu? Hem, tetapi mungkin mereka benar. Aku, dan kita, bisa tertipu oleh teknologi. Teknologi yang membuat kita senang dengan yang serba instan. Membuat kita enggan bersusah-susah membaca. Menyapu waktu-waktu yang seharusnya dipakai untuk berkarya bagi revolusi Kerajaan Allah.  Baiklah. Aku minta maaf. Aku akan membaca. Tetapi tidak mungkin aku menghabiskan kalian semua. Tidak mungkin aku membaca. Energiku amat sedikit, tubuhku gampang letih, waktuku pun tipis, lagipula aku tak pandai, kemampuan berbahasaku juga amat terbatas. Aku hanya pria kurus dengan sebotol kopi hitam.


Dasar pria melankolis yang selalu berusaha menjunjung semua permasalahan dunia sendirian. Kau kan punya teman.


Ah, ya, teman. Aku lupa.  Manusia kan banyak. Ya, tolong pembaca dengarkan buku-buku berteriak itu. Mereka perlu dibaca. Please, tolong mereka.



*Ditulis setelah membaca artikel terbaru dari Tempo, dari penulis Umberto Eco yang berargumentasi bahwa buku cetak tetap punya masa depan. Dipersembahkan bagi mereka yang mencintai buku, juga bagi penyuka sastra, filsafat, dan teologi. 




Beberapa tahun yang lalu aku menulis tulisan sederhana ini waktu masih di kampus SAAT, tepatnya di perpustakaan Prothumia (yang sangat sering aku rindukan! Ternyata setelah keluar dari Bukit Hermon No. 1, ku sadari betapa miskinnya aku tanpa Christianity Today, Tempo, Diskursus dkk yang sebelumnya aku dapat membaca secara gratis). 

Tadi sore, aku membaca artikel dari Haddon Robinson, dalam buku Art and Craft Biblical Preaching, dan ia berkata sebuah kalimat yang menghentak: "If you have a book in your hand, you are never alone, and reading enables you to have continued education without having to pay tuition."

Belakangan ini aku sangat jarang membaca, game Candy Crush Saga, dan berbagai aplikasi di tabletku begitu bising dan membuatku terjebak dalam hiruk pikuk teknologi. Tetapi bersyukur, hari ini 1 bab dari buku John Piper, tulisan Haddon Robinson dan buku tentang Levinas kuselesaikan (akan ku posting nanti tentang hal ini). 

Aku pun berdoa: Tuhan aku ingin membaca lagi! 


Karena manusia yang hidup tanpa pernah bercanda dengan aksara hanya akan menangis dalam kemiskinan pengetahuan semata.





Pregolan Bunder 36