Kamis, 19 Maret 2015

Pemuridan Sebagai Aksi Revolusi



Kagetkah anda mendengar judul tulisan ini? Pemuridan sebagai aksi revolusi? Apa maksudnya? Tidakkah di telinga kita, aksi revolusi menjurus dengan gerakan-gerakan anarkis mahasiswa, tindakan penggulingan terhadap pemerintahan otoriter sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan dunia Timur Tengah belakangan ini.  Dan, bagi orang-orang mapan yang asyik dengan kesenangannya sendiri, kata revolusi biasanya dianggap sebagai sesuatu yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kata revolusi pun dipandang picik dengan negatif, kematian aktivis mahasiswa Sondang Hutagalung dengan aksi bakar dirinya yang dipandang sebagai sebuah kenaifan adalah buktinya.

Tetapi, di sini saya tetap mengajukan bahwa pemuridan, dalam konteks ini, tentu saja pemuridan Kristiani, pada dasarnya adalah sebuah aksi revolusi.  Penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan bahwa revolusi adalah berkaitan dengan perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang tertentu, sedangkan kata revolusioner adalah kecenderungan untuk menghendaki perubahan dalam tataran mendasar secara cepat. Maka, aksi revolusi adalah sebuah tindakan atau kegiatan yang menghendaki perubahan yang mendasar dalam suatu bidang. Nah, bukankah dengan definisi tersebut, memasukkan pemuridan sebagai sebuah aksi revolusi adalah absah? Ya, jelas! Tentu saja!


Pemuridan adalah panggilan dan kewajiban bagi semua orang Kristen. Yesus dari Nazaret tidak menyuruh pengikut-Nya untuk membangun agama dan menjadikan semua orang Kristen, tetapi Ia menghendaki: jadikanlah semua bangsa murid-Ku! (Mat. 28:20). Seorang murid adalah seseorang yang selalu mengikuti kemana arah langkah gurunya pergi. Kemana tutur-ucap, laku-tindak, pikir-pandang gurunya tertuju, itulah yang murid tuju. Seorang murid Kristus adalah seorang yang mencoba belajar dari Kristus, dan menjadi sama serupa dengan Kristus. Kalau begitu, pemuridan adalah usaha untuk menjadikan seseorang menjadi sama dengan Kristus.


Melihat deskripsi secuil saya tentang pemuridan di atas, maka pungkaslah bahwa pemuridan itu adalah aksi revolusioner. Menjadi serupa dengan Kristus itu adalah menghendaki perubahan mendasar terjadi! Alasannya? Setidaknya ada dua: 1. Menjadi serupa dengan Kristus itu merubah diri. 2. Menjadi serupa dengan Kristus itu merubah dunia dan sekitarnya. Segala sesuatu yang ada di dalam diri kita diubah seperti Dia, kemudian, dengan internalisasi karakter Yesus itulah kita melangkah menuju transformasi dunia di sekitar kita. Benarlah kalimat seorang teolog Jerman bernama Juergen Moltmann: Christian life is a form of practice which consists in following the crucified Christ, and it changes both man himself and the circumstances in which he lives.

Saya hendak pungkas wacana di sini, pemuridan jelas adalah sebuah aksi revolusi yang perlu, harus, dan wajib dikerjakan oleh orang Kristen, lebih-lebih mahasiswa Kristen, yang selalu, selalu, dan selalu dituntut untuk menjadi agen perubahan. Gereja seringkali lupa dan tak acuh pada kepentingan pemuridan, gereja mengalihkan diri pada hal-hal yang sekunder namun dianggap primer (bangun gedung, KKR, dst). Harap saya, mahasiswa Kristen sadar akan hal yang fundamental untuk mereka kerjakan: pemuridan. Oleh karena itu, mulailah melangkah dengan membentuk komunitas-komunitas KTB di mana kita bisa hidup bersama, saling membangun di dalam kesatuan tubuh Kristus. Bagi mereka yang belum terlibat dalam kehidupan KTB, ambillah kesempatan untuk hidup ber-KTB, karena ketika anda mempunyai hidup bersama, maka sesungguhnya anda sedang terlibat dalam sebuah aksi revolusioner bagi Kerajaan Allah. Diri anda diubah, keluarga anda diubah, lingkungan anda diubah, bangsa dan negara anda diubah, sampai seluruh dunia anda diubah.

Pertanyaan akhirnya: bersediakah anda?


*tulisan ini ditulis untuk sebuah persekutuan kampus, kisaran aku tingkat akhir di SAAT

Berdialog dengan Soe Hok Gie (6) : Donna, Donna, Donna [repost dari FB]

Akhirnya ada waktu juga untuk menulis kelanjutan serial "Berdialog dengan Soe Hok Gie."  Kali ini, diskusiku dengan Soe hadir di Kota Bandung, yang disebut-sebut Paris Van Java.  Dan menariknya, buku Catatan Seorang Demonstran tak kubawa, buku Soe: Sekali Lagijuga tidak.  Tetapi ternyata di tengah-tengah dinginnya udara Bandung, aku terbawa dalam perenungan dan diskusi singkat bersama Soe melalui jalan lain. Jalan lain itu adalah sebuah lagu berjudul "Donna-Donna."  Mengejutkan.  Donna-donna adalah salah satu lagu yang dikutip oleh Soe dalam catatan hariannya.  Dalam film Gielagu ini dinyanyikan oleh Sita RSD.  Harus kucantumkan dulu liriknya:

On a waggon bound for market
there's a calf with a mournful eye.
High above him there's a swallow,
winging swiftly through the sky.

Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.

Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.

Stop complaining!??? said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don't you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?

Repeat Reff

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.


Mengapa lagu ini muncul dalam catatan harian seorang Soe, demonstran, aktivis, pemikir, seorang ateis-moralis, seorang sejarahwan, orang melankolik yang peduli pada bangsanya, seorang pendobrak yang tidak pandang bulu, seorang yang kesepian dalam perjuangannya? Mengapa? Pertanyaan ini muncul dalam diri saya.  Maka dari itu, tulisan ini adalah sebuah tindakan hermeneutis, sebuah tafsiran mengapa lagu itu muncul dalam catatan harian Soe.  Sayang sekali, CSD tidak ada di tangan.  Mungkin jika saya tahu tanggal tepatnya, tafsiran ini akan lebih akurat. Tapi mari kita coba!

Segera saja saya membuka Mbah Google, memohon pertolongan dari dukun informasi yang sangat keren itu.  Nah, kamus Wikipedia ternyata menguraikan dengan sangat panjang lebar tentang lagu ini.  Saya enggan menerjemahkannya, jadi beberapa bagian penting akan langsung saya kutip.

Pertama-tama, ternyata Donna-donna berasal dari bahasa Ibrani, dan memang bagian dari seni Yahudi. Tentu hal ini mengejutkan saya sebagai seorang sarjana Kitab Suci. 

"Donna Donna (דאַנאַ דאַנאַ "Dana Dana", also known as דאָס קעלבל "Dos Kelbl" — The Calf) is a Yiddish theater song about a calf being led to slaughter. The song's title is a variant on Adonai, a Jewish name for God."

Lalu, tentang sejarahnya,

"Dana Dana was written for the Aaron Zeitlin stage production Esterke (1940–41) with music composed by Sholom Secunda. The lyrics, score, parts, and associated material are available online in the Yiddish Theater Digital Archives.The lyric sheet is in typewritten Yiddish and handwritten Yiddish lyrics also appear in the piano score. The text underlay in the score and parts is otherwise romanized in a phonetic transcription oriented toward stage German."

Sayang sekali tidak jelas dalam latar belakang bagaimanakah lagu dengan komposisi musiknya ini dimainkan, saya tidak mendapatkannya lebih lanjut.  Tetapi ada satu fakta menarik bahwa lagu ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.

"Secunda translated Dana Dana into English (changing the vocalization of dana to dona), but this version failed to gain popularity. The lyrics were translated again in the mid-1950s by Arthur Kevess and Teddi Schwartz, and the song became well known with their text. It became especially popular after being recorded by Joan Baez in 1960, Donovan in 1965 and Patty Duke in 1968.

Dana Dana has been translated into and recorded in many other languages including German, French, Japanese, Hebrew, Russian and Vietnamese. It has been sung by performers including Nechama Hendel, André Zweig, Chava Alberstein, Esther Ofarim, Theodore Bikel, Karsten Troyke, Sumi Jo, Claude François, and Hélène Rollès together with Dorothée."

Selesai informasinya? Oh tunggu, baru saja saya membuka website Yahudi (http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/judaica/ejud_0002_0006_0_06094.html) yang mengisahkan tentang kisah Esterke (kisah yang menjadi tempat di mana lagu ini dimainkan dan dinyanyikan).  Pun, Esterke adalah judul pergelaran teaternya, barangkali seperti Sendratari Ramayana di Borobudur.  Ternyata Esterke mengisahkan perjalanan kehidupan seorang wanita Yahudi yang berasal dari sebuah desa di Polandia, yang menjadi istri dari Raja Polish, Casimir the Great (1310–1370).  Esterke adalah seorang wanita yang sangat cantik, dimana kecantikannya memikat Raja Casimir.  Ending cerita cinta ini tidak jelas, ada yang bilang Esterka mati bunuh diri setelah sang Raja mati. 

Tapi yang seharusnya kita tahu adalah makna dari kisah ini. Dalam literatur yang lain (http://www.yivoencyclopedia.org/article.aspx/Esterke), menyebutkan bahwa kisah ini menunjukkan bagaimana sebuah pernikahan yang bertujuan untuk menyelamatkan sebuah bangsa besar yaitu Yahudi. Hasil pernikahan dari Esterke dan Raja Casimir adalah dua orang anak laki-laki, yang menjadi Kristen dan dua orang anak perempuan, yang menjadi Yahudi.  Makna dari kisah ini adalah sebuah an act of self-sacrifice dimana pengorbanan diri seorang Esterke, essential for the survival of the entire Jewish community.  Sehingga, sebenarnya kisah Esterke bercerita tentang pengurbanan diri seorang wanita yang bertujuan menyelamatkan komunitas Yahudi! Mirip-mirip dengan kisah Ester dalam kisah Alkitab Perjanjian Lama!  Dalam konteks kisah inilah, saya akan menafsir lagu Donna-donna, yang dipakai oleh Soe.

Ingat kembali informasi yang saya cantumkan di atas, bahwa lagu ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa.  Barangkali, Soe mendengarkan versi Joan Baez, seorang American folk-singer, songwriter, dan activist, yang menyanyikan lagu ini kisaran tahun 1960, tahun dimana Soe masih sangat aktif.  Harus sadar pula, bahwa Soe adalah seorang pecinta folk-song.  Jadi Soe hampir pasti mendengarkan versi Joan Baez.

Oke. Selanjutnya kita lihat lirik Donna-donna ini! Saya akan menafsirnya dalam terang konteks kisah Esterke dan juga lansung mengaplikasikannya pada kehidupan Soe.


On a wagon, bound for market
There's a calf with mournful eye
High above him there's a swallow
Winging swiftly through the sky

Seekor anak sapi yang murung matanya, memandang burung layang-layang terbang di angkasa.  Bagi saya, bait pertama ini menyatakan kisah Esterke yang mungkin merasa murung dan sedih, ketika harus mengurbankan dirinya menikah dengan Raja Casimir.  Inginlah ia terbang ke angkasa, yang tak ada seorangpun yang bisa mengenggam, menguasai dan mengekploitasinya. Lalu Soe? Mungkin Soe menyanyikan bait ini, ketika ia merasa kesepian! Ia, yang merasa harus selalu berkorban demi bangsa dan negaranya, demi perjuangan yang adalah pacarnya, adalah a calf with mournful eye, seekor anak sapi yang bernama Donna-donna itu. Seekor korban, atau seorang yang berkorban!



Refrein:
How the winds are laughing
They laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summer's night

Nah, angin pun tertawa-tawa, menertawai seekor anak sapi yang hendak dibunuh untuk dikurbankan. Sepanjang hari angin itu tertawa, tertawa lebar! Barangkali Soe, merasa ditertawai oleh dunia, atau oleh musuh-musuhnya. Seolah-olah perjuangannya, (yang dikerjakan melalui tulisan, dsb) adalah sia-sia belaka! Soe pun merasakan apa yang namanya kesepian!


Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna-dai
Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna-dai


Oh Soe! Apa yang dikau rasakan. Ketika engkau menantang dunia, dan terhujam dalam kesepian.  Apakah sedih? Menangis? Atau justru membuatmu semakin ingin memukul dunia? Dunia yang kejam, tidak adil, dan jelas tidak sesuai dengan mimpi-mimpimu??

Stop complaining, said the farmer
Who told you a calf to be
Why don't you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free

Akhirnya, seekor anak sapi memang harus mati sebagai kurban. Seorang Esterke harus menikah demi keselamatan komunitasnya.  Seorang Soe, hidupnya tak merasakan kebahagiaan, karena ia telah berikrar mengurbankan diri, memberikan hidup bagi sesamanya.  Ia memang harus melakukannya. Itukah yang namanya panggilan hidup?


Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But however, treasure freedom
Like the swallow who learned to fly

Ya, Never knowing the reason why, Seekor anak sapi, seorang Esterke, seorang Soe, barangkali tidak akan mengerti mengapa mereka yang harus menderita, dan berkorban.  Tetapi nyanyikanlah, treasure freedom, Like the swallow who learned to fly.  Milikilah kebebasan itu! Bagi saya, menjadi seekor anak sapi, Esterke, dan seorang Soe, yang berkurban, menjadi korban, mengorbankan hidup demi sesuatu yang besar, justru itu menjadi bebas-sebebasnya. Manusia menjadi manusia yang sesungguhnya ketika hidupnya memakna dengan menjalaninya sebagai sebuah hidup yang dipersembahkan untuk manusia-manusia yang lain.  Dengan itulah manusia tak menjadi egois, dengan itulah manusia tak menjadi individualis dan materialis sebagaimana impian modernisme, dengan cara itulah, manusia menggapai an sich-nya!


Saya adalah seorang anak muda, yang berikrar untuk mengorbankan hidup saya demi sesama. Tak perlu lagi mencoba menggapai uang, harta, kemapanan hidup. Yang saya inginkan, adalah hidup saya berarti demi sesama. Itulah mengapa saya menapak jalan panggilan saya yang saat ini. Dan saya, sama seperti Soe, seringkali kesepian, seringkali mungkin merasa dunia sedang menertawai saya.  Keraguan menghinggapi saya untuk saya terus menapak jalan ini.  Mungkin, memang ada beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang anak muda berumur 21 tahun.  Karena si anak muda ini terlalu ingin dan memang harus, memikirkan persoalan dunia, gereja, masyakat, politik-sosiao-ekonomi dan banyak hal lainya. 

Tapi justru itulah, ketika saya menafsir lagu ini, berdialog dan berdiskusi dengan Soe dalam tulisan ini, saya merasakan treasure freedom, menjadi pihak, subjek yang bebas, sepenuhnya bebas! Dan malah diyakinkan untuk terus mengurbankan diri, waktu, dan energi untuk sesama. Di situlah saya merasa bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa, menari di tengah cakrawala langit yang terhampar di atas sana. Terbang bebas. Tanpa ada kabel-kabel lisrik, gedung-gedung pencakar langit dan senapan angin yang mengganggu saya.

Soe! Terimakasih sekali lagi. Engkau yang mati muda, tetapi mati sebagai pahlawan, karena telah memberikan dirimu sepenuh-penuhnya bagi sesama. Soe mengingatkan saya melalui lagu ini, untuk terus berjuang, tidak menyerah.  Memperjuangkan mimpi-mimpi, melawan dunia yang semakin kacau, banal dan gelap ini, dengan jalan yang saya tempuh.

Di penghujung tulisan ini, entah mengapa saya jadi ingat kalimat Guru dan Junjungan saya, Yesus dari Nazaret
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

Ya, seorang manusia, menjadi manusia seutuhnya ketika ia mengurbankan hidupnya sendiri demi sesamanya.  Bagi mereka yang sedang berjuang, jangan takut! Kita berada dalam jalan yang benar.





*Tulisan ini adalah serial tulisan yang saya tulis dalam rangka berdialog dengan Soe Hok Gie, intelektual muda Indonesia, yang hidup kisaran tahun 1960-an.  Ia meninggal dunia pada umur yang masih muda, 27 tahun, di puncak Semeru.  Saya rasa, sangat baik sebagai seorang Indonesia, dan anak muda yang lagi belajar, untuk berdialog dengan pemikiran dan kegundahan hati seorang Soe.  Saya tulis pula khusus bagi sahabat saya, Zadok Elia, anak muda yang juga sedang memimpikan akan Indonesia yang lebih baik. Sumber utamanya tentu saja catatan harian Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, terbitan LP3ES.