Kamis, 03 April 2014

Catatan Mbak Krist (2) : Manusia Baru


Jadi siapa ada di dalam di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru.”

2 Korintus 5:17a

“Bu, saya suntik ya untuk pasang infus..sakit sedikit.” Kata perawat yang sudah memegang erat tanganku dengan bantuan temannya. Aku menjawab, “Silahkan..”. Tak lama kemudian si perawat dengan temannya entah bergumam apa dan berkata lagi kepadaku, “Bu, maaf saya cabut suntikannya.” Lalu ia juga berkata "sakit sedikit ya Bu." Aku menjawab “ya.” Kemudian mereka mencari cari lagi pembuluh darahku sambil berdiskusi di mana letaknya, seperti dua orang remaja yang sibuk mencari giwang kecilnya yang jatuh di kolong. Pikirku: "duh ini bikin pasien takut aja." Tak lama kemudian kembali dia memberi tahuku bahwa akan melakukan suntikan lagi. Sayangnya begitu jarum suntik menusuk dan rasa sakit itu terasa, tak lama kemudian mereka menyabutnya lagi tentu dikeluarnya jarum ini disertai kesakitan pula pada tubuhku. Dan sayangnya tusuk menusuk kemudian cabut mencabut ini terjadinya beberapa kali. Aku tak mengerti bagaimana ilmu menyuntik, apakah memang begitu rumit dan sulit? Yang pasti rasa sakit ini mereka tidak rasakan. Ingin rasanya menegor mereka supaya tidak melakukan kesalahan, ingin rasanya berteriak meneriakkan rasa sakit yang terasa, ingin pula rasanya menghentikan proses pemasangan infus dan tempat penyuntikan obat-obat ini. Namun, apakah yang akan terjadi jika hal itu kulakukan? Sekitarku tentu akan memprovokasiku untuk melakukannya lagi disertai dengan sedikit menakut-nakuti bagaimana jika penyakitnya tidak sembuh. Maka tak kuhiraukan celoteh para perawat yang masih memegang tanganku dan sibuk mencari pembuluh darah yang akan disuntik demi mengalirkan infus. Aku memilih memejamkan mata dan mengatur pikiranku.

Kupikirkan tentang dalam keadaan seperti ini apa peran sebagai manusia yang diciptakan baru? Manusia tanpa lahir baru ya pasti sakit dengan suntikan-suntikan seperti ini, yang sudah lahir baru sama sajalah rasa sakitnya tidak ada diskon untuk rasa sakit. Manusia tanpa kelahiran kembali pasti merasa lelah, enggan, bosan karena sudah berkali-kali seperti ini, manusia baru? Sami mawonlah. Lha mosok ndak ada bedanya sih manusia baru dan manusia lama?

Tiba-tiba terbersit dalam ingatan dan mataku yang terpejam tetang paku salib Kristus yang ditancamkan pada tangan dan kakiNya. Tentu paku itu beribu kali lebih besar dari jarum suntik yang ditusukkan pada tanganku, tentu tak ada kata permisi dari orang yang akan menancamkannya pada tubuh-Nya, dan tidak ada permintaan maaf tatkala sakit menghujam tubuh-Nya. Bukan hanya tak ada basa-basi sopan santun sebelum menancapkan paku itu, tetapi yang ada adalah makian dan cemoohan. Bisa saja yang didengar Tuhan Yesus saat itu kata-kata seperti ini, “Rasain luh...jangan teriak-teriak...teriak sono sampai mampus...dasar penjahat jahanam.”


Saat ini aku menderita sakit bisa jadi karena salahku dimasa lalu yang kurang menjaga pola makan, pola istirahat, atau pola olah raga. Namun Kristus menderita bukan karena kesalahannya tetapi karena karena aku, demi aku, untuk aku. Ternyata penderitaanku hanyalah secuil kecil bak kerikil bahkan debu dibanding derita Kristus waktu itu. Ah, tatkala memikirkan derita yang telah ditanggungnya, memikirkan deritaku tidaklah ada gunanya. Pikiran tentang Kristus membuat rasa takjub dan haru akan cinta-Nya mememenuhi hati, pikiran dan perasaanku. Dan kurasakan dengan jelas Dia bersamaku, merasakan semua yang kurasa, mengalami segala yang kualami. Oh perubahan perasaan dan pikiran ini menyatakan padaku bahwa inilah kerja Roh Kudus yang ada dalam hati seseorang yang telah mempersilahkan-Nya masuk di dalam hati dan melahirkan baru seseorang.


Sungguh beruntungnya diriku dengan anugrah hadirnya Roh Kudus di hatiku. Rasa sumpek itu segera lenyap. Perasaan mau marah, ingin menuntut, hasrat untuk mengelarkan makian reda bahkan lenyap. Jika manusia tanpa lahir baru tentunya hal ini sulit dimengerti. Aku teringat seorang teman dari Madura yang berbarengan menjalani kemo berkata kepadaku, “Saya ini rah marah terus bu, kalo kemo itu. Lha gimana gak rah marah ta iye...sakit semua badan nih. Badan rus kurus begini, kepala sing pusing, maunya tah muntah terus...mangkel hatiku Bu kenapa saya sakit begini. Saya bukan koruptor, bukan perambok, apalagi pembunuh kok dikasih sakit begini. Ibu kok tenang-tenang aja, saya kira tadi dokter, ternyata pasien sama kayak saya.” Kira-kira begitulah keadaan pribadi yang tanpa Roh Kudus dalam hatinya, karena ia tidak memiliki penghibur sejati yang tak akan meninggalkannya. Dialah, Roh Kudus, yang melahirkan kita kembali ketika kita mempercayakan jiwa kita kepada Putra Tunggal Allah Yesus Kristus, Juru Selamat dunia? Kawan-kawan sudahkan percaya pada-Nya? (jawablah dengan tulus, jujur tapi tegas dalam hatimu)

Kira-kira pada suntikan yang kelima atau enam, baru para perawat itu bersorak lirih, “berhasil..berhasil.” Kemudian mereka berpamitan, seiring rasa damai setelah menerungkan paku salib Kristus maka aku pun sanggub berkata, “Terimkasih untuk bantuan ibu-ibu.” Dalam hati aku berkata terimakasih Tuhan, tiada terkira rakmaat dan berkatMu. Rasa sakitMu karena paku salib yang tiada terkira itu tak menghalangiMu untuk dapat mengasihi dan kemudian menyertaiku. Kiranya rasa sakitku juga tak menghalangiku untuk terus memikirkan cintaMu padaku. Amin.




*Catatan ini adalah catatan Mbak Krist yang kutemukan di laptopnya. Catatan-catatan ini ditulisnya di masa-masa survival menghadapi cancer payudara kisaran Juni 2012 sampai kemarin 13 Maret ia dipanggil pulang ke pelukan Bapa di surga. Daripada teronggok tak berarti sebagai soft file, menurutku amat berharga sekali ku posting di blogku. Kiranya pembaca terberkati. Terpujilah Tuhan!

Catatan Mbak Krist (1) : Janganlah Kamu Kuatir Tentang Apa Pun Juga

Dulu waktu awal mendengar berita terkena kanker dan harus kemo, yang paling kutakutkan adalah menjadi gundul! Bagiku itu sangat mengerikan. Aku yang biasa tampil di depan umum, bagaimana jadinya kalau sampai gundul? Pikiranku jadi kusut dan masam setiap kali memikirkannya. Ketakutan lebih daripada takut pada kanker itu sendiri menerpa hari-hariku. Aku banyak terdiam dengan suram setiap kali memikirkan hal itu.
Ketika kemo akhirnya dilakukan, dan beberapa hari kemudian mulai rontok rambutku memang ketika pertama kali melihat rambut waktu dikeramas tidak berhenti-hentinya lepas, hatiku terasa hendak lepas dari tempatnya. Semula berpikir biar saja rontok semua dengan sendirinya. Tapi melihat rambut terus saja berjatuhan di mana pun dan kapan pun membuat tidak nyaman diri sendiri dan orang-orang sekitar. Maka aku putuskan untuk mencukur habis semua rambutku. Tidak mungkin aku ke salon untuk melakukan pencukuran itu, karena tentu akan menimbulkan teror bagi tukan cukur yang akan melakukan tugasnya, juga menarik perhatian orang-orang yang berada di salon. Kuputuskan untuk mencukurnya di rumah saja dengan bantuan dari orang-orang terdekatku.
Hari pencukuran tiba. Suasana yang terjadi ternyata bukan suasana yang mistis, tragis, apalagi sadistik. Sebelum mencukur aku ajak anakku menggunting rambutku yang masih sebahu, menjadi ukuran yang lebih pendek. Asal gunting saja. Dan anakku yang berusia 8 tahun melakukannya dengan riang. Setelah pendek, baru tugas suamiku mengeksekusi kepalaku. Dengan pisau cukur seadanya dia melakukan tugasnya. Semula dibentuknya rambut pendekku seperti tomhank, kemudian menyerupai avatar dan beberapa bentuk konyol lainnya. Kami tertawa terbahak-bahak selama proses pencukuran itu. Tidak ada air mata, yang ada hanya rasa damai yang melimpah. Dengan tentram dan rela hati aku melepas semua rambutku, sampai bersih.
Setelah itu masa memakai wig tiba. Sebelumnya aku sempat juga suntuk memikirkan bagaimana dengan memakai wig itu. Pasti merepotkan, pasti menyiksa, pasti tampak aneh, bisa jadi tampangku menakutkan. Namun ternyata tidak. Pakai wig itu mudah, praktis, dan langsung terlihat rambut yang sempurna. Beberapa orang mengatakan aku tampak lebih cantik. Ya jelas saja kan dengan wig seperti baru keluar dari salon! Selama pakai wig aku malah merasa "ah mending pakai wig dari pada rambut sendiri."
Apa yang kita khawatirkan belum tentu ternjadi, bahkan bisa jadi tidak terjadi. Maka mengapa mengkhawatirkannya? Bukankan dengan khawatir hanya membuat hati resah dan gelisah?
"Janganlah kamu khawatir tentang apa pun juga..."
 
 
 
I miss her smile :(
 
*Ini adalah catatan Mbak Krist yang aku temukan di micro SD laptopnya. Rasanya sayang kalau hanya teronggok dalam file. Maka aku memutuskan untuk mempostingnya di blogku. Aku percaya beberapa catatannya membawa berkat bagi pembaca.

Selasa, 01 April 2014

Namaku adalah Mall

Hai, kenalkan, namaku adalah Mall, demikian setidaknya bahasa manusia memberiku nama sehingga aku memiliki struktur-struktur bahasa yang mampat di dalam permainan bahasa mereka dan akhirnya struktur itu membuatku eksis sebagai sebuah eksistensi yang beresensi. Tunggu. Apa ya esensiku? Ah, mudah saja, aku adalah bangunan di tengah kota yang dibangun oleh para pemilik modal untuk menjadi pusat hiburan, perbelanjaan dan pusat kesenangan.

Dan itulah bahagiaku ketika aku menghidupi esensi dari eksistensiku. Hari ini saja sudah tak bisa kuhitung lagi aku membahagiakan betapa banyak, mungkin ribuan, manusia-manusia perkotaan.

Kulihat ada anak kecil yang menangis, tetapi kemudian berlari-lari senang ketika memasuki bangunanku. Tampaknya ia kurang hiburan di rumah, ia naik mobil-mobilan berputar-putar area permainan. Ia tertawa-tawa. Mamanya teronggok lega di sudut keramaian melihat anak itu. Mungkin ia sudah kelelahan karena harus menjaga anaknya. Bahagia bukan? Dan itu terjadi ketika aku membahagiakan mereka.

Kulihat ada anak-anak SMA. Mungkin mereka depresi dengan sekolah mereka yang aku dengar sangat tidak menyenangkan. Kau bertanya darimana aku tahu hal-hal begini? Tentu aku dengar! Di sepanjang tembok bangunanku ada telingaku! Maka hati-hatilah kalau kau datang padaku dan berkisah tentang rahasia-rahasia tersembunyi dari hidupmu. Anak-anak SMA itu duduk di foodcourt berselfie ria padahal hanya bisa membeli jenis minuman paling murah di tempat itu.  Eh, tapi ada juga mereka yang lain yang berasal dari keluarga yang lebih kaya akan masuk ke dalam bioskop dan menghabiskan waktu sekitar satu-dua jam melihat layar lebar yang mengalihkan mereka sejenak dari dunia kenyataan milik mereka yang membosankan bin memuakkan. Aku selalu tersenyum melihat anak-anak berbaju seragam ini, mereka selalu memiliki cara untuk menikmati hidup yang singkat dengan tertawa. Tak seperti orang dewasa yang selalu gaduh dan gelisah tentang ini dan itu.

Aku juga menyaksikan ada sepasang kekasih muda bercumbu mesra di tempat-tempat terpojok bangunanku. Melihat mereka saling berpadu dalam tubuh, [entah apakah juga dalam jiwa, karena aku tak tahu], amat mengenyangkan perutku.  Aku lapar melihat manusia berbahagia.  Karena tentu saja, sebagai sebuah Mall aku tak bisa mengalami bahagia mereka. Bahagiaku adalah ketika melihat mereka berbahagia. Kau lihat diferensiasinya bukan?

Tetapi sering pula aku bertanya-tanya tentang esensi dari eksistensiku.  Karena, aku sendiri melihat ada manusia-manusia tak berbahagia. Mungkin mereka tertawa-tawa, tetapi di dalam lekuk bibir senyum mereka nampak ada air mata dan sesak sukma.  Bukankah ketidakbahagiaan adalah antonim dari esensi eksistensiku? Aku tak pernah mau jadi eksistensi yang tak bermakna. Makna yang harus aku konstruksi dalam ruang permainan interpretasi hidupku, haruslah mengerucut pada satu simpulan: mereka bahagia, sehingga aku berbahagia.  Ruang-ruang penafsiranku menjadi penuh dengan tembok bernama penundaan makna ketika aku melihat orang-orang tak berbahagia.


Hari ini aku melihat beberapa dari mereka. Lagi. 


Ada satu lelaki datang sendirian, dan ia juga pulang sendirian. Ia menyeruput secangkir kopi di kedai kopi bermerek internasional terkenal, yang kita semua tahu itu. Tak lupa ia sulut batang rokok kreteknya.  Kuduga ia akan berjanjian untuk bertemu dengan kawan-kawannya. Namun, setengah jam ada disana ia hanya sendirian, melongo, agak terlihat nestapa. Telepon genggam pun tak dipakainya padahal setiap pengunjung pasti memanfaatkan fasilitas internet bebas pakai di tempat itu.  Rasanya ia kesepian. Bau sepinya begitu menyengat hidungku.  Barangkali pacarnya baru saja menanggalkannya bak baju tak layak pakai yang harus dilempar ke dalam keranjang sampah.

Ohya, kau mungkin tahu tentang aksi boikot terhadap kedai kopi ini. Katanya pemilik modal kedai kopi ini adalah koruptor kelas kakap di negeri ini. Ah betapa sedihnya, melihat manusia-manusia egois yang membesarkan perut dengan keserakahan mereka.  Sedangkan di tempat-tempat lain aku dengar (ya! Aku dengar!) ada manusia-manusia yang masih hidup di bawah ambang batas kemiskinan.

Aku turut menjadi saksi tentang ibu yang membelikan baju untuk putrinya. Entah kenapa, harusnya setelah membeli ia terpuaskan. Tapi raut muka ibu itu melukiskan kesusahan. Waktu aku berusaha peka mendengar, aku memahami mereka. Ternyata ibu itu harus menggadaikan surat sepeda motornya supaya bisa membeli baju untuk putri mereka yang menjejak remaja.  Katanya anak remaja putri itu malu tak punya gaun untuk datang ke upacara 17 tahun temannya. Kasihan. Haruskah pergaulan mereka ditentukan dengan apa yang mereka pakai?

Aku juga tahu, ada karyawan-karyawan yang tiap hari mengeluh karena harus berpusing ria dengan tunggakan kreditan mereka. Mengeluh karena harga bahan makanan yang tak pernah bertambah murah.  Mengeluh karena mereka diperas untuk bekerja terus menerus, dengan istirahat yang sekenanya, dan uang bulanan yang pas-pasan.  Lalu mereka menjadi sasaran hasutan beberapa orang idealis kiri yang mungkin punya kepahitan di masa kecil dalam hal ekonomi.  Mereka pun berunjuk rasa atau berdemokrasi turun ke jalanan meminta tuntunan upah minimum yang besarannya sekian lipat dari gaji mereka saat ini. Kejadian-kejadian yang membuatku sepi pengunjung waktu itu. Aku sedih melihat mereka. Mereka ada di dalam eksistensiku tapi rasanya mereka tak memiliki esensi dari eksistensi mereka.  Mereka menjadi robot dan bukan manusia.  Mereka hanya hidup tapi tak berjiwa.  Mereka menjalani keseharian tapi tak memakna.  Batinku gelisah mengetahui kisah-kisah tentang manusia yang seperti ini.  Aku jadi krisis jati diri dan kehilangan identitas sampai kadang-kadang tak sanggup memaknai diriku sendiri. Kadang-kadang aku merasa akan hampir gila sebagai sebuah Mall. Nah, salah satunya yang mencegah kau dari kegilaan adalah persahabatan.

Aku bersyukur hari ini aku menemukan seorang sahabat. Sesosok manusia yang bisa mendengarkan suara-suaraku yang terdiam dalam pendam. Manusia sederhana yang mencoba untuk terus menghidupi esensi dari eksistensinya walau ia kerap jatuh dalam banalitas dunia metropolitan yang tak sungguh-sungguh ia cintai.  :) Senang bukan, kalau kau punya sahabat yang mendengar?

Maka aku memasrahkan gelisah batinku padanya. Tentang pertanyaan demi pertanyaan yang mengemuka di tiap kecemasan keseharian yang aku alami. Senang sekali ia senang menulis dan aku yakin ia akan menyampaikannya suatu hari nanti kepada dunia.


Ya, demikian ceritaku, semoga kita bisa mengenal lebih lanjut kalau kau mengunjungiku. Namaku adalah Mall. Oh, kalau kau bertanya siapa nama temanku, yang manusia itu, supaya kau bisa berbicara dengannya nanti tentangku, hmmmm, aku sukar menceritakannya. Tetapi kusebutkan saja inisialnya ya? Inisialnya adalah H. Aku yakin kalau kalau kau berbincang-bincang dengannya kau dapat menemukan aku di dalam dirinya.  Bukankah persahabatan adalah pertukaran jiwa satu dengan yang lainnya? :)



Salam,

Namaku adalah Mall




Tunjungan Plaza. Sekarang lagi membangun area yang disebut TP 6.
Dan di sebelahnya ada kampung-kampung kumuh yang rasanya kehadirannya begitu kontradiktif

#siang ini agak stuck dengan editan buku camp. Maka kuputuskan nge-Mall, nonton film anyarnya aktris favoritku tahun 2013: Jennifer Lawrence. Sebuah film tentang psikopat sadis, The Home At the End of The Street.  Film serem tapi real, tentang betapa manusia bisa kejam dan tak menjadi manusia. Semoga aku tetap menjadi manusia di tengah hiruk pikuk robotisasi manusia di kota metropolitan ini.

1 April 2014. Pregolan 36. Kamar di ujung lorong yang sunyi di tengah kota. Hahaha.


Btw, seriusan lho ada boikot terhadap Star**** silahkan baca artikelnya di sini.  Bagi pembaca yang kebingungan istilah-istilah "eksistensi" "memakna" Pelajarilah filsafat Heidegger untuk mengerti lebih utuh tulisan ini. Karya F. Budi Hardiman, Mistik Keseharian adalah buku terbaik dalam bahasa Indonesia.