Senin, 31 Agustus 2015

A Bitter Realist

I'm not idealitst anymore, I'm a bitter realist - Soe Hok Gie


Dulu, aku suka mengutip kalimat Soe yang berbunyi: saya memilih untuk menjadi idealis sejauh-jauhnya. Tapi aku makin kesini makin menyadari, kalimat itu oke ketika aku masih muda, waktu masih mahasiswa, ketika mimpi-mimpi tentang dunia yang ideal begitu meletup-letup. Mimpi soal perdamaian, kasih, penerimaan, keadilan dan segala rupa mimpi-mimpi indah lainnya. Namun kini, menjejak usiaku yang ke 26, aku makin menyadari ideal adalah kondisi yang tak mungkin ada dan tak mungkin dicapai, dalam hal apa pun itu. Tidak ada yang namanya kesempurnaan. Bahkan mungkin tidak perlu mengejar kesempurnaan. Soal hubungan antar manusia, beragama, politik, sosial, ekonomi, apapun itu, tidak ada yang ideal, kawan.

Lihatlah dunia: penuh dengan kebobrokan, penuh dengan kehancuran, rusak, korup, sampah, memuakkan sekali. Maka pilihan terbaik yang tidak melelahkan untuk hidup di dunia ini adalah belajar untuk nrimo, kata orang Jawa. Menerima bahwa segala sesuatu ada dalam tataran sebuah drama yang dirancang oleh Sang Sutradara. Kita cuma aktor dari drama itu, tak bisa kita lawan, tak bisa kita apa-apakan. Ini pun, termasuk menerima kenyataan-kenyataan yang memahitkan dan melukai batin kita sebagai manusia.

Inilah langkah awalku menjadi a bitter realist. Seorang yang berusaha untuk melihat dunia dengan kacamata realistis dan rasional, dan dengan hati yang pahit. Kupikir itu menyembuhkanku dari kekecewaan-kekecewaanku pada dunia ini, pada orang-orang, pada institusi-institusi, pada mereka-mereka para penjahat dan penjajah.  A Bitter Realist tentu tidak jadi orang yang diam dengan ketidakidealan yang ada, ia akan menjadi corong yang kuat laksana nabi-nabi era Perjanjian Lama.  A Bitter Realist akan menjadi seorang pejuang untuk melawan kemunafikan dalam berbagai bidang. A Bitter Realist tentu saja, akan menjadi pihak yang berusaha mengasihi musuh-musuh hingga terluka. A Bitter Realist, mungkin bergerak dalam lajur yang sama dengan seorang Wounded Healer, penyembuh yang terluka, dimana ketika ia terjerembap di dalam keterlukaan serta kekecewaan yang ada, ia menjadi penyembuh dan sarana pemulihan bagi orang lain. Bukankah ini jalan yang terbaik untuk menapaki hidup dalam sesak serta luka yang tak berujung? Dunia dimana lingkaran kebencian serta dendam terus menerus berulang dalam siklus yang kekal?

Rabu, 05 Agustus 2015

untuk perempuan yang sedang berada dalam pelukan



Aku malu pada rindu, karena aku selalu mengusirnya bertalu-talu

Aku takut pada rindu, karena menjumpainya adalah sakit yang menderu

Aku enggan berbalut rindu, karena selimutnya seumpama selubung kabut yang membatu.

Dan kalbu menjadi luruh karena rindu yang memekik seribu, menggaduh serbu, mengguncang penuh gemuruh!

Terimakasih pada cinta, meski tiga tahun ia perlu menunggu. Kadang sesal menjadi sendu, mengapa aku tak berani malam itu?

Betapa pengecutnya aku, menghindar dari tuduhan dan penghakiman sosial dan memaksakan perasaan terhanyut oleh waktu.

Kini aku disiksa rindu, kepada perempuan yang (tidak) sedang berada dalam pelukan. 

Andai jarak tiada berarti, kata seorang pesenandung lagu, tentu rindu tak perlu berproklamasi dengan angkuh.

Namun, aku mencoba menyadari, ini adalah konsekuensi situasi yang berpadu dengan hukuman sang waktu.

menjalaninya dengan syahdu serta penuh seru pada sang pencipta rindu, adalah gagasan terbaik yang bisa dijalani tanpa sungut-sungut yang tak perlu.


aku merindu padamu, kekasihku.


*judul puisi ini terambil dari lagu Payung Teduh 


Pregbund 23, untukmu yang bermata elok, berpipi binar dan bermuka riang yang sedang meriang ^^, cepatlah sembuh!

Surabaya-Jakarta 6 Agustus 2015