Senin, 25 Maret 2013

Bible Study: Lukas 9:62 “Tak perlu menoleh ke belakang”




Tadi pagi, di tengah insomnia yang parah dan akut banget, tiba-tiba ada chat masuk via whatsapp dari seorang sahabat dan bertanya “Wan, maksudnya Lukas 9:62 apa?” Dan aku terdiam, heran, sembari berpikir kenapa sering sekali anak-anak muda ini galau sampai dini hari, baca Alkitab dan kemudian bertanya hal-hal yang “mengejutkan dan tidak pernah terpikirkan seorang sarjana Alkitab.”   [Hal yang sama juga sering dilakukan oleh seorang teman yang sekarang sedang studi S-3 di Singapore, juga beberapa teman yang lain di luar kota. Well, guys, jangan berhenti untuk bertanya! :p]

Tapi aku selalu bersukacita ketika ada mereka yang menanyakan sesuatu tentang firman Tuhan dan aku belum bisa menjawabnya seketika itu juga, itu berarti aku harus mencari jawaban, dimana itu berarti juga aku harus bersiap untuk mendapatkan harta berharga yang begitu banyak terpendam dalam kata-kata firman Tuhan! Hehehehe


Nah, sekarang, tulisan ini bukan sebuah risalah teologis atau tafsiran teknis seorang sarjana teologi, tapi sekadar catatan studi singkat yang bermaksud menjawab pertanyaan di atas.  Aku akan membaginya dalam bagian-bagian kecil,

Konteks Perikop

Nats 9:62 ini terletak dalam kisah Yesus yang sudah mengarahkan diri ke Yerusalem, tempat penderitaan-Nya dan penganiayaan-Nya (9:51).  Lalu, percakapan yang terjadi adalah Yesus dengan murid-muridNya (ay. 57).  Kemungkinan besar, “murid-murid” di sini merujuk pada sekumpulan orang banyak yang mengikut Yesus kemanapun Ia pergi.  Topik utama yang dengan gamblang menjadi perhatian perikop 9:57-62 jelas adalah tema “Mengikut Yesus.”  Kata “ikut” diulangi tiga kali dalam setiap percakapan antara Yesus dan seseorang yang mau mengikut Dia memperlihatkan topik ini adalah topik utama! Oke, well. Apa yang dimaksud Lukas 9:62?


Dan seorang lagi berkata: “Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku” (ay. 61)


Rasanya kita perlu tahu terlebih dahulu soal orang ketiga yang berbicara ini. Kalau diperhatikan, formulasi dari kalimat orang ketiga ini sebenarnya sama dengan formulasi kalimat dari orang kedua yaitu: (1) Pernyataan/Ajakan untuk ikut Yesus  (2) Izin untuk melakukan sesuatu terlebih dahulu.  Lalu jawaban Yesus juga sama (3) Penolakan terhadap permintaan orang tersebut dengan mencantumkan referensi tentang “Kerajaan Allah.”

Menarik bahwa sebenarnya, “pamitan terlebih dahulu dengan keluarga” adalah sebuah hal yang wajar dalam pemikiran orang Yahudi. “Menghormati orangtua” adalah soal penting yang perlu diperhatikan oleh tiap orang Yahudi.  Bahkan, kalau kita ingat kisah Elisa yang merespons panggilan Elia dalam 1 Raja-raja 19:19-21, Elisa juga mengungkapkan ingin pulang dulu ke rumah orangtuanya sebelum pergi mengikut Elia. Tetapi, rupa-rupanya, Yesus berbeda! Panggilan memberitakan kerajaan Allah dan mengikut Dia adalah panggilan yang tidak bisa ditunda-tunda, memperlihatkan kepentingan yang sangat besar dalam situasi yang ada!




“Tetapi Yesus berkata: Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah.”

Kata “tetapi” jelas adalah sebuah pengontrasan sekaligus konfrontasi terhadap permintaan orang ketiga tersebut.  Jawaban Yesus ini adalah sebuah peringatan yang keras.  Darell Bock berkomentar: “Jesus’ reply is really a warning, since he sees a danger in the request. One may follow him initially, only to long for the old life later. Such looking back does not promote spiritual health. If one is going to follow Jesus, one needs to keep following him and not look back. Jesus’ reply here is not so much a refusal as it is a warning.” 

Mungkin kita lebih paham kalau kita juga mengingat bahwa bangsa Israel pernah menoleh ke belakang setelah mereka mengalami keluaran dari Mesir (Keluaran 16:3).  Istri Lot juga melihat ke belakang setelah keluar dari Sodom (Kejadian 19:26).  Dan “melihat ke belakang” dalam kisah-kisah itu menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Allah sebagai pribadi yang berkuasa dan memelihara hidup mereka. “Melihat ke belakang” dalam kisah-kisah itu berarti melihat hidup lama, comfort zone, pencapaian yang telah mereka miliki!


Jadi, permintaan “pamitan dahulu” untuk farewell party dengan keluarga bisa dipahami sebagai “keinginan yang masih ada di dalam diri kita untuk tetap berada dalam kehidupan yang lama  yang kita miliki sebelum kita mengikut Yesus.” 

Padahal, jelaslah bahwa “to follow Jesus means to not look back to the way life was before one came to follow him.”  



Metafora “membajak” adalah metafora yang sangat familiar bagi orang Yahudi di Palestina, karena negeri itu adalah negeri agraris. Uniknya, tanah Palestina bukanlah tanah yang datar dan mudah untuk dibajak, tetapi tanah di sana tidaklah rata. Maka, apabila seorang pembajak menoleh ke belakang, maka ia tidak akan bisa fokus mengikuti petani yang sedang menyebar benih tanaman sesuai dengan alur atau lajur  tanah yang disediakan. 

Dapat disimpulkan: “Discipleship demands attention to the rough road before us. To look back risks being knocked off course.”   Menoleh ke belakang hanya akan membuat kita kehilangan fokus terhadap pekerjaan yang Tuhan ingin kita lakukan.



So, apa maksud dari Lukas 9:62?

1. Jangan menoleh ke belakang: jangan memberikan fokus kepada hal-hal yang dulu menjadi perhatian utama kita. Uang, karier, prestasi akademis, popularitas, segala sesuatu yang adalah comfort zone kita, karena sungguh, hal-hal itu dapat membuat kita mencoba untuk in control bagi kehidupan kita sendiri.  Soal “menoleh ke belakang” menurutku juga termasuk pola hidup dan gaya hidup lama sebelum kita mengikrarkan diri menjadi pengikut Kristus: dosa-dosa kita dan kecanduan-kecanduan kita.


2. Fokuslah pada bajakan “untuk kerajaan Allah.”: Fokuslah pada apa yang Allah inginkan dan kehendaki untuk Ia genapi melaluimu.  Setiap kita punya panggilan masing-masing dan peran masing-masing untuk kerajaan Allah. Ada karya Allah yang begitu besar yang sedang Ia kerjakan sejak kematian dan kebangkitan Yesus yang pernah terjadi dalam sejarah ribuan tahun yang lalu, yaitu transformasi dunia ini. Setiap kita yang “mengikut Dia” berarti dipanggil dalam kasih karunia-Nya untuk terlibat dalam transformasi itu! So, mari fokus membajak dalam kerajaan Allah, apa yang kita temui untuk kita kerjakan, mari kita laksanakan dengan setia, karena kita adalah “hamba-hamba yang tidak berguna, hanya melakukan apa yang harus kita lakukan” (dialihbahasakan dari Lukas 17:10).


Dietrich Boenhoeffer pernah berkata: 

“Terlalu melekat kepada keinginan-keinginan kita dapat mencegah kita untuk menjadi apa yang seharusnya dan dapat kita capai.” 

Ditegaskan pula oleh Charles Ringma:

Kita harus belajar melepaskan, sekalipun itu berarti kita harus menderita sedikit. Melepaskan yang salah dan tidak berguna akan membuat kita bebas untuk meraih peluang-peluang baru, karena tindakan itu menciptakan kekosongan yang dapat diisi dengan hal-hal yang lebih baik.” 


Sungguh, dua kalimat yang menghentakku berulang-ulang kali itu, adalah sebuah kebenaran.  Mengikut Kristus adalah soal menggenggam apa yang Tuhan Yesus ingin kita genggam, dan melepaskan apa yang Tuhan minta untuk kita lepaskan. Ya, meskipun itu sungguh-sungguh amat menyakitkan. Tapi apa yang lebih indah, daripada mengikut Yesus dan taat pada suara-Nya? 






Prayer of Confession & Commitment

(based on Matthew 16: 21-28)



Merciful God,
You call us to follow;
to turn away from our own selfish interests,
and to take up our cross and follow after You,
even if the path is difficult to see,
or is heading in a direction we would never have chosen for ourselves.
Forgive us for being so quick to question
and so hesitant to follow.
Help us to see with the eyes of faith,
rather than from our own human point of view.
Teach us to follow without fear,
knowing that You are always with us,
leading the way.
Amen.






*Pada sebuah pagi yang begitu sepi. Pregolan Bunder 36. 
Ditulis khusus untuk (1) Melviana Aurelia, sahabat pemuda di GKI Pregbun. (2) Juga mengingat kepada KTB Pniel: Hendra Fongaja, Anthony Chandra, dan Daniel Simanjutak. Kini kami tersebar di penjuru bangsa ini: Surabaya, Jakarta, Papua, Makassar, kiranya kita fokus membajak bagi kerajaan Allah, dan tak menoleh ke belakang.


Bacaan "Find the Source of Your Loneliness"

 



Aku beberapa kali menulis soal loneliness. Lihatlah di


https://www.facebook.com/notes/himawan-teguh-pambudi/permenungan-eksistensial-2-kesepian-perspektif-nabi-elia/242216202195

dan

https://m.facebook.com/note.php?note_id=482880822195&p=10&refid=22


Jujur saja bagiku masalah ini adalah salah satu perhatian pentingku. Kali ini, sekali lagi, aku ingin mengutip lengkap tanpa perlu berkomentar apa pun, karena tulisan ini menghentakku beberapa malam yang lalu. Seorang sahabat yang mengalami problema ini pun menanti postingan ini, well, semoga membantu.



Find the Source of Your Loneliness


Whenever you feel lonely, you must try to find the source of this feeling. You are inclined either to run away from your loneliness or to dwell in it. When you run away from it, your loneliness does not really diminish; you simply force it out of your mind temporarily. When you start dwelling in it, your feelings only become stronger; and you slip into depression.


The spiritual task is not escape your loneliness, not to let yourself drown in it, but to find the source.  This is not so easy to do, but when you can somehow identify the place from which these feelings emerge, they will lose some of their power over you. This identification is not an intellectual task; it is a task of the heart. With your heart you must search for that place without fear. 


This is an important search because it leads you to discern something good about yourself. The pain of your loneliness may be rooted in your deepest vocation. You might find that your loneliness is linked to your call to live completely for God. Thus your loneliness may be revealed to you as the other side of your unique gift. Once you can experience in your innermost being the truth of this, you may find your loneliness not only tolerable but even fruitful. What seemed primarily painful may then become a feeling that, though painful, opens for you the way to an even deeper knowledge of God's love.

Henri Nouwen, The Inner Voice of Love 50.


Sabtu, 23 Maret 2013

Bacaan: "Stay With Your Pain"











Bacaan dari Henri Nouwen hari ini begitu menghentak! Ku kutip lengkap di sini, tanpa perlu ku komentari apa pun:


Stay With Your Pain

When you experience the deep pain of loneliness, it is understandable that your thoughts go out to the person who was able to take that loneliness away, even if only for a moment. When, underneath all the praise and acclaim, you feel a huge absence that makes everything look useless, your heart wants only one thing --- to be with the person who once was able to dispel these frightful emotions. But it is the absence itself, the emptiness within you, that you have to be willing to experience, not the one who could temporarily take it away.

It is not easy to stay with your loneliness.  The temptation is not to nurse your pain or to escape into fantasies about people who will take it away. But when you can acknowledge your loneliness in a safe, contained place, you make your pain available for God's  healing.

God does not want your loneliness; God wants to touch you in a way that permanently fulfills your deepest need. It is important that you dare to stay with your pain and allow it to be there. You have to own your loneliness and thrust that it will not always be there. The pain you suffer now is meant to put you in touch with the place where you most need healing, your very heart. The person who was able to touch that place has revealed to you your pearl of great price.

It is understandable that everything you did, are doing, or plan to do seems completely meaningless compared with that pearl. That pearl is experience of being fully loved. When your experience deep loneliness, you are willing to give up everything in exchange for healing. But no human being can heal that pain. Still, people will be sent to you to mediate God's healing, and they will be able to offer you deep sense of belonging that you desire and that gives meaning to all you do.
Dare to stay with your pain, and trust in God's promise to you.
Henri Nouwen, dalam The Inner Voice of Love: A Journey Through Anguish and Freedom (Mumbai: St. Paul Press, 1996) 62-63 



Selasa, 19 Maret 2013

Tentang dunia yang penuh kompetisi (bagian 2)



Well, tulisanku kali ini masih melanjutkan permasalahan yang kupikirkan di tulisanku terdahulu. Malam ini, ditemani dengan lagu “His Glory Appears” by Hillsong yang syahdu, dan juga kopi Nescafe (eh, nggak promosi lhooooo :p, biasanya aku minum kopi hitam-pahit, entah kenapa hari ini aku minum kopi sachet), aku mau menuliskan beberapa pokok pemikiran.




The Art of War, pemenang dan kecepatan



Kemarin aku melihat-lihat bahan-bahan tugas perkulihan seorang  mahasiswa IBM di sebuah kampus kota Pahlawan ini, yang mengajarkan filsafat “Art of War”nya Sun Tsu dan diaplikasikan bagi dunia bisnis dan usaha. Bagiku yang punya ketertarikan tersendiri dalam ilmu manajemen, marketing dan bisnis [makanya aku baca buku soal New Wave Marketing­nya Hermawan Kertajaya], melahap hal-hal seperti itu adalah kesenangan tersendiri, sejenis mengenyangkan khazanah pengetahuanku.  Lagipula, menjadi entrepreneur adalah mimpi masa SMAku.  Membaca dan mempelajari soal-soal itu seperti bernostalgia dengan diriku di masa dahulu.

Tapi seperti biasa, apa pun yang kupelajari, ogah aku tolak mentah-mentah, perlu melalui tahap kritis. Namun sayang, bukan pada tempatnya untuk mengkritisi semua filosofi Sun Tzu di sini.  Aku hanya ingin mengungkapkan salah satu kesimpulanku setelah menonton dan membaca-baca bahan tugas-tugas kawanku itu yakni: dunia meminta, berharap dan memaksa kita untuk menjadikan dan menujukan diri kita sebagai pemenang.

Aku sitir beberapa kutipan  Sun Tzu:
“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
Sun Tzu, The Art of War

Anda mau jadi apa? Jadi Victorius Warrior kan? Hehehe.

Lalu, kutipan yang menarik yang kedua:
“If quick, I survive. If not quick, I am lost. This is "death.”
Sun Tzu, The Art of War
 
Well, kutipan ini memperlihatkan gagasan bahwa mereka yang mau jadi pemenang, Victorius Warrior adalah mereka yang tercepat.   

Kecepatan memberikan kita kapasitas untuk menjadi pribadi yang sanggup survive.  Ingatlah kisah-kisah komik kungfu, jurus yang mematikan adalah jurus yang tercepat! Bacalah Bleach, ada Shunpo konsep melangkah cepat disana. Kalau baca Naruto, Hokage keempat yang adalah ayah Naruto terkenal dengan jurusnya yang sanggup berpindah tempat dengan kecepatan seperti petir. Sungguh! Cepat itu penting! Cepat itu adalah awal dari kesuksesan.




Persoalannya?


Menjadi pemenang dan menjadi yang tercepat kerapkali membawa jiwa kita ke dalam gurun kegersangan dan kekeringan makna



Oke-oke saja sih menjadi yang tercepat, oke-oke saja juga menjadi pemenang.  Namun ada persoalan yang menderu begitu gaduh dalam batin manusia-manusia modern yang berusaha untuk menjadi yang tercepat dan menang. Sendjaya mengungkapkan hal ini:


“Kalau ada tiga kata yang menjadi karakteristik dunia modern, tiga kata tersebut adalah noise, hurry, dan crowd. Ketiganya begitu kental mewarnai keseharian hidup kita. Efektivitas hidup seringkali diidentikan dengan keterlibatan kita dalam muchness dan manyness.  Selama kita sibuk di kampus, di kantor, di rumah dan belasan organisasi, semakin kita menjadi efektif. Sibuk, berarti efektif, namun mesti buru-buru agar semua dapat dikerjakan. Psikolog Carl Jung pernah berkata bahwa ‘hurry is not of the devil. It is the devil.”[1]


Dalam kata lain, menjadi pemenang membuat kita berusaha untuk cepat, cepat membawa kita untuk terburu-buru, padahal hurry is the devil. Kenapa?

Karena dalam ketergesahan-gesahan kita, manusia modern, kita berusaha menjadi yang tercepat dan menang, dan akhirnya terjerumus untuk melakukan segala rutinitas tanpa makna. Kita sibuk tanpa kedalaman makna.Inilah yang menyebabkan manusia sering menjadi kering. Manusia menjadi robot dan sama seperti mesin. Bekerja, bekerja dan terus bekerja. Sampai kehilangan arti sebagai manusia.  Dunia yang kompetisi pun akhirnya mendehumanisasi kita.

Menjadi pemenang sih oke, menjadi yang tercepat sih oke. Tetapi persoalannya adalah: jangan sampai kita kehilangan arti dan makna kehidupan kita.  

Yang aku maksud dengan kehilangan makna adalah “hidup yang penuh dengan banyak aktivitas tapi aktivitas-aktivitas itu bukan sesuai prioritas dan kehendak Allah untuk kita kerjakan dan malah menjauhkan kita dari Tuhan dan kasih-Nya.”

Oke. Lalu dengan demikian. Apa sikap yang tepat supaya hidup ini tetap bermakna meski kita menjadi cepat dan berusaha mengejar kemenangan?


Memiliki Momen Withdrawal

Jawabannya sederhana ternyata: memiliki momen withdrawal, yaitu “withdrawal atau berdiam diri di sini berarti mengalokasikan waktu bersama Tuhan agar kita memiliki hati yang dengar-dengaran dan taat kepada-Nya.”[2]  Dalam bahasa yang lebih biasa terdengar: punya momen teduh! Punya momen quiet time, atau lectio divina.[3]  Mempunyai waktu untuk kembali kepada Sang Pencipta hidup![4]



Menariknya, ada banyak keuntungan ketika kita memiliki momen withdrawal, yakni: [5]



1.       Mendengarkan Tuhan.
Tuhan berbicara dalam kesendirian kita, dan disitulah kita dibentuk untuk semakin serupa dengan Dia. Ingatlah satu kejadian historis pemuliaan Kristus, Allah Bapa berfirman: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. Dengarkanlah Dia! Jadi jelaslah, mendengarkan adalah perintah yang penting!

2.       Menyerahkan diri.
Dunia membentuk kita untuk cepat dan berusaha menjadi pemenang, sering konsep itu membuat kita lupa diri bahwa kesuksesan sesungguhnya berasal dari Tuhan. Berdiam diri adalah saat yang tepat untuk kita menyerahkan segala sesuatunya: keberhasilan pekerjaan, kesuksesan studi, kekuatan dalam menghadapi kehidupan ini.

3.       Mengalami perubahan yang real
Momen ini adalah momen dimana kita diubah, yaitu ketika hanya ada Tuhan dan diri kita, dan Tuhan mengubahkan kita menjadi orang yang sesuai dengan kehendakNya melalui pembacaan firman Tuhan.


Jadi jelaslah momen withdrawal ini membawa kita menuju kedalaman batiniah dan kekayaan makna sebagai seorang manusia, apalagi mereka yang di dalam Kristus!  Momen ini adalah momen di mana kita menggenggam kekuatan ekstra, dan rahmat Tuhan yang selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:23).



Epilog

Nah, sampai aku di penghujung tulisan ini.  Aku ingin mengutip lagi Charles Ringma mempertegas kepentingan momen withdrawal:

Kita terus mencoba berbuat lebih banyak sementara energi kita terus terkuras dan kita jadi seperti pohon yang tercabut denan akar menggapai-nggapai percuma ke angkasa. Jadi kita mengangkat tangan ke atas, berdoa memohon kasih karunia dan kemampuan khusus, padahal seharusnnya kita ditanam kembali di tanah yang subur. Tanah itu tidak dimaksudkan agar kita mengurangi kegiatan kita, tapi untuk mengubah prioritas sehingga kita meluangkan waktu untuk diam. Dan dalam ketenangan, kita menemukan kekuatan dan harapan baru.[6]

Jadi, di tengah dunia yang penuh dengan kompetisi yang membentuk kita bermental yang tercepat dan pemenang. Mari kita memiliki hidup yang bermakna dan tidak kehilangan tujuan Allah juga kehadiran Allah, dengan memiliki momen withdrawal.  Momen kita berdiam dan ditanam kembali di tanah yang subur.  Momen kita dipeluk hangat oleh Sang Gembala Agung, momen kita pulang ke Bapa yang berlari menyambut kita, momen kita minum aliran air yang hidup dan menyegarkan sunsum tulang kita.  Sebab “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, Ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”


Ditulis secara khusus mengingat beberapa orang: 
1. Giovanni Edison, yang beberapa waktu lalu nginep kamarku dan berkata: "Aku punya kerinduan Him, supaya bisa membawa anak2 melewati salah satu pergumulan paling berat masa kini: SIBUK!."
2. Maria Setiani, yg mengizinkan ku untuk mengecap bahan-bahan kuliahnya. Juga, Melviana Aurelia yang lagi sibuk skripsi.
3. Esther Stepfanie Hermawan, Kharis Adirahsetio, David Dwi Chrisna Damping, Dessy Surya Chandra, para sahabat rohaniku yang sangat ngangenin. Mereka adalah pribadi-pribadi yang Tuhan anugerahkan dan membuatku menghayati koinonia en ta pneuma (companion in spirit).


Follow account twitter-ku: @HimawanPambudi dan add Facebook di Himawan Teguh Pambudi


[1] Sendjaya, Jadilah Pemimpin demi Kristus (Jakarta: Literatur Perkantas, 2012) 194.
[2] Ibid. 198
[3] Soal Lectio Divina, bacalah buku Richard Foster, Sanctuary of the Soul (Surabaya: Perkantas Jatim, 2011) 64-70.
[4] Aku pernah menulis soal ini, perhatikan di https://www.facebook.com/notes/himawan-teguh-pambudi/refleksi-hidup-dengan-kopi-1-butek-isme-dan-teks-yesaya/10150333962982196
[5] Disarikan: Sendjaya, Jadilah Pemimpin 200.
[6]Charles Ringma, Dare To Journey with Henri Nouwen 11.

Kamis, 07 Maret 2013

Tentang Dunia yang Penuh dengan Kompetisi




Sudah lama tidak posting di blog, kesibukan di ladang praktik pelayanan, dan usahaku untuk berkonsentrasi penuh pada job pelayananku membuatku sangat susah untuk memiliki waktu sakralku dimana itu adalah momenku untuk menjalani sebuah aktivitas, yang bagiku, adalah sebuah momen penting: menulis! Dan pada kesempatan kali ini, aku ingin sedikit berbicara tentang dunia yang penuh dengan kompetisi.


Beberapa hari lalu aku berkumpul dan bercakap-cakap bersama dengan kawan-kawan remaja-pemuda di tempat ini. Bercengkerama penuh tawa dan canda, curhat dari hal-hal kecil, sampai soal-soal besar. Tak diduga, tak tertebak, ada sebuah momen eksistensial datang menghampiriku, momen yang dalam buku Contemplative Youth Ministry-nya Mark Yaconelli, disebut momen “noticing” (verba: memperhatikan, secara sederhana ku pahami sebagai momen di mana Allah meminta seorang pelayan-Nya untuk melihat apa yang Dia inginkan untuk diperhatikan).[1]  Momen ini terjadi ketika seorang kawan remajaku kurang lebih berkata demikian:

Aku tuh capek dengan kuliahku. Tugasku buanyak. Dan kuliah di jurusan ini mengajarkanku untuk hidup dalam kompetisi. Kalau nggak berkompetisi maka nggak akan berhasil.”

Lalu kemudian seorang kawan lain menanggapi, kurang lebih demikian:

 “ya gitulah, kalau kuliah, bayangin ya, aku punya temen. Dueket banget. Eh, pas ngerjain sebuah tugas kelompok masa dia bilang begini: sorry ya, aku nggak bisa sama kamu sementara ini, soalnya aku mau berkelompok sama dia, supaya dapat nilai bagus. Menjengkelkan nggak sih!” 

Kemudian obrolan makin seru dengan segala ungkapan kesusahan hati tentang kampus, tentang perkuliahan, tentang dunia yang penuh dengan kompetisi.[2]  Akh! Kasihan nian mereka!

***

Tadi sore, aku mengambil jeda bagi hidupku, berhenti untuk memikirkan pelayanan, berhenti memikirkan tugas-tugasku, tetapi berhenti dan mencoba merasakan kehadiran Tuhan.  Setelah itu aku berpikir dan sadar bahwa hidupku belakangan sangat jarang untuk mempunyai waktu jeda berkualitas (dalam bahasa lain, waktu jeda ini disebut Saat Teduh, Quiet Time).  Ternyata, bukan hanya kawan-kawan yang hidup dalam dunia kampus dan kenyataan sehari-hari yang diburu serta terpengaruh dunia yang penuh dengan kompetisi! Aku juga mengalaminya, sebuah dunia yang penuh dengan kompetisi, sebuah dunia yang tak mengizinkan adanya jeda. Sebuah dunia yang meminta kita bekerja keras terus-menerus tanpa henti!


Dan inilah karakteristik dunia yang penuh dengan kompetisi.  Hidup ini seolah-olah adalah sebuah usaha untuk menggapai pencapaian demi pencapaian. Hidup ini adalah persaingan. Hidup ini adalah pertarungan. Hidup ini adalah oposisi biner [pertentangan satu kutub dengan kutub yang lain]: Kalah-menang, kaya-miskin, sukses-gagal, lulus-tidak lulus, ganteng-jelek, dan jutaan oposisi binerian lain sebagainya.  Kalau kawan punya waktu luang [ah, ini kan bahasa dunia yang kompetisi juga! Di dunia yang penuh dengan kompetisi ini, kata “sibuk” adalah kosakata yang wajar, bahkan harus selalu ada!], silahkan berjalan-jalan ke toko buku [yang tren bukunya kuanggap sebagai lambang dari perkembangan pola pikir manusia], dan engkau akan melihat berbagai jenis buku yang ditulis untuk menjadikan seorang manusia  berhasil tampil sebagai pemenang dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini.


Nah, dalam konteks inilah, penjelasan Henri Nouwen tentang krisis dunia pendidikan dalam bukunya, Creative Ministry sangat relevan! Aku kutip paragrafnya disini:

Competition has become one of the most pervasive and also destructive aspect of modern education. The way students look at their fellow students and their teachers, the way they expect their grades and degrees, the way they prepare their exams and take them, the way they apply to college and graduate school, and even in which they spend their free time; all this and much more is impregnated by an all embracing sense of rivalry. You only have to walk during the last week of a semester on a college campus to pick up the mysterious A-B-C-D-and F languange that seems to be on everyone’s lips. The sadness of all this becomes clear when you see that a student is only happy with a high grade when he sure that his fellow students have lower grades. It is obvious that in a system that encourages this ongoing competition, knowledge no longer is a gift that should e share, but a property that should be defended.”[3]


Jadi, jikalau kita merujuk argumen Henri Nouwen itu, maka awal dari dunia yang penuh dengan kompetisi ini berakar pada dunia pendidikan.  Sistem pendidikan di sekolah yang menuntut murid untuk bersaing dengan murid yang lain untuk mendapatkan peringkat yang terbaik, amat punya dampak besar bagi relasi dan kehidupan kita di dunia ini.  

Charles Ringma turut mempertegas, “zaman di mana kita hidup telah menjadikan persaingan dan kerja keras sebagai kebajikan. Hanya yang seperti inilah yang akan berhasil dan produktif.[4]


Permasalahannya ada di sini: aspek destruktif (aspek negatif yang berkecenderungan menghancurkan) dari dunia yang penuh dengan kompetisi ini amatlah jelas: relasi menjadi relasi yang penuh dengan persaingan. Mereka yang menjadi kawan dan sahabat adalah mereka yang menguntungkan karier dan hasil diri kita. Pada akhirnya, relasi dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini jelas menimbulkan kesakitan hati, kepahitan, kekecewaan, luka, dendam dan berbagai hal negatif lainnyaPun amat jelas, eperti yang kuungkapkan pada awal tulisan ini dunia yang kompetitif ini menghasilkan generasi atau anak-anak muda yang berkecenderungan kuat untuk depresi serta stress berlebihan.  Tidakkah ada banyak anak muda yang putus harap karena tidak mampu menggapai dan menggenggam apa yang ingin dicapainya? Bunuh diri karena putus cinta? Bunuh diri karena tidak bisa lulus dari sekolah atau kuliah? Minder karena tidak bisa tampil sejajar dengan anak-anak sebayannya?

Tepatlah kalimat Nouwen: "Dalam dunia yang penuh dengan persaingan ini, bahkan mereka yang sangat dekat, seperti teman sekelas, satu tim. . .rekan kerja di kantor, bisa dikuasai ketakutan dan menjadi tidak ramah satu dengan yang lainnya."


Problem lebih lanjut yang kuperhatikan, aspek dekstruktif ini turut mempengaruhi paradigma orang Kristen dalam masalah kerohanian.  Kerohanian juga menjadi sesuatu yang perlu dikompetisikan. Makanya, susunan kurikulum pemuridan biasanya berdasarkan grade yang harus dicapai, diselesaikan. Apabila seseorang telah melewati grade tertentu, maka ia kan menjadi the holy man dengan lingkaran putih di atas kepalanya. Padahal benarkah demikian? Nyata-nyatanya toh tidak. 

Pada akhirnya, dapat kusimpulkan, dunia yang penuh dengan kompetisi ini jelaslah dunia yang membahayakan. 

Meskipun demikian, emang, kita perlu berpikir secara seimbang, ada aspek-aspek konstruktif yang hadir dalam dunia kompetisi ini.  Bayangkan jika kita tidak menginginkan keberhasilan dan kesuksesan, maka tidak akan ada kemajuan dalam diri kita.  Bayangkan jika kita tidak berkompetisi, maka tidak akan ada perkembangan bagi kehidupan manusia. Lagipula di dalam beberapa bagian Alkitab juga ada rujukan-rujukan bahwa kompetisi itu memang absah adanya (misalnya Paulus dalam metafora pelari dalam perlombaan, dan juga beberapa kali ia menulis tentang bagaimana ia bekerja keras).

Tetapi memperhatikan aspek-aspek dekstrutif itu, anak-anak muda Kristen perlu melihat Alkitab, dan menghayati sebuah meta-narasi kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan dunia, sehingga mereka tahu bagaimana untuk hidup dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini.  Sehingga, relasi yang timbul dalam dunia yang penuh kompetisi ini tidaklah relasi yang melahirkan luka dan kekecewaan serta depresi, tetapi relasi atau hubungan antar manusia menjadi relasi yang menyembuhkan dan memulihkan.

***
 
Jadi bagaimana anak muda Kristen hidup dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini?[5]
Dalam Kolose 3:23 Paulus berkata:

Apa pun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Jelas. Lugas. Ringkas.

Dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini, mari kita melakukan segala apa yang kita perbuat untuk Tuhan. Itu berarti, motivasi  ketika menjalani kehidupan kompetitif ini adalah untuk kemuliaan nama Tuhan, bukan meraih kemuliaan diri kita sendiri. Tujuan akhir dari kompetisi yang kita jalani adalah Tuhan yang berkenan bagi kita, bukan kesukaan kita sendiri. Cara menjalani kehidupan pun, adalah cara Tuhan, bukan cara-cara dunia ini.  

Kurangkumkan di sini, motivasi, tujuan akhir, dan cara menjalani kehidupan kita adalah di mulai, diperuntukkan, dan dilakukan bersama Tuhan. Pemikiran Kristus, tindakan Kristus, dan nilai-nilai Kristus, itulah yang kita genggam!
 
Oleh karena itu, kalau dunia yang penuh dengan kompetisi ini bersifat menghancurkan, maka orang Kristen harus tampil berbeda.  Orang Kristen harus hidup mengasihi sesamanya manusia seperti diri mereka sendiri (Mat. 22:39). Itu berarti, mereka yang tidak sanggup untuk bertarung, mereka yang lemah, mereka yang kalah, harus di tolong oleh kita (Mat. 25:40). Jadi "sesama," tidaklah dipandang sebagai pesaing atau objek yang harus dihancurkan, melainkan dipandang sebagai kawan sekerja untuk menuju sesuatu yang lebih baik di depan sana.   


Oleh karena itu, bagi anak muda Kristen yang hidup di dunia yang penuh kompetisi ini, persaingan diubah menjadi kerja sama, individualisme diubah menjadi kebersama-samaan. Kompetisi bukan alat untuk mendehumanisasi manusia, lalu mendegradasikan moralitas dan nilai hidup, tetapi, kompetisi menjadi alat untuk manusia kembali kepada keutuhan dan nilai-nilai kebajikan. Anak-anak muda Kristen harus punya nilai-nilai kasih, membantu, dan mentransformasikan hidup orang lain.


Jikalau anak-anak muda Kristen memiliki dan menghayati paradigma hidup demikian, maka aku percaya, hidup secara pribadi akan jauh dari depresi. Dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali bersama.


Nah, bagaimana pendapatmu?  Apa tindakanmu?





*Ditulis khusus untuk: Giovanni Edison, Melviana Aurelia, Maria Setiani, kawan-kawan baru yang Tuhan izinkan untuk hinggap dalam kehidupanku di kota Pahlawan ini.

Follow me at: @HimawanPambudi dan Facebook: Himawan Teguh Pambudi

[1]Lih. Contemplative Youth Ministry: Practicing the Presence of Jesus (Youth Specialties: Grand Rapids, 2006) 177
[2] Kamus Mirriam-Webster memberikan arti competition demikian : the act or process of competing : rivalry: as
a : the effort of two or more parties acting independently to secure the business of a third party by offering the most favorable terms. b : active demand by two or more organisms or kinds of organisms for some environmental resource in short supply 2. : a contest between rivals; [diambil dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/competition; diakses 7 Maret 2013].

[3]Creative Ministry (Double Day: Image Books, 1971) 6.
[4]“Daya Saing” Dare to Journey with Henri Nouwen (Bandung: Pionir Jaya, 2010) 264.
[5]Aku kurang cukup waktu untuk menggali seluruh Alkitab, karena ada hal lain yang harus aku capai [ah! Hidupku juga berkompetisi! J], untuk lebih lengkap bisa melihat: Bob Luginbill, “Should Christian have competitive attitude?” dalam http://ichthys.com/mail-competition.htm; diakses 7 Maret 2013].