Jumat, 07 Februari 2014

Hati Yang Rapuh


Aku mau menceritakan tentang apa yang aku temukan ketika bersama Ringga di sebuah siang. Saat itu, aku datang ke rumah kontrakannya, untuk minta bantuan tugas akhirku.  Sebagai sarjana psikologi, aku perlu melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang beberapa diantaranya dikenalkan oleh Ringga.

Rumah kontrakan itu ia tempati bersama dengan beberapa temannya. Rumah sederhana di tengah kota panas ini, tetapi begitu rindang dan hijau, bahkan lebih layak disebut hutan. Kau akan temukan kandang-kandang ayam, sangkar burung di sana, juga pot-pot berisi tanaman. Ringga pernah berkata: “hanya dekat dengan alam kau akan menjadi seorang manusia.”

Tapi percakapan ini yang membuatku terkejut.

***

To love at all is to be vulnerable. Love anything, and your heart will certainly be wrung and possilbly be broken. If you want to make sure of keeping it intact, you must give your heart to no one, not even to an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements; lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket – safe, darl,  motionless, airless – it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable. The alternative to tragedy,  or at least to the risk of tragedy, is damnation. The only place  outside of Heaven where you can perfectly safe from all the dangers and perturbations of love is Hell.” (C. S. Lewis, The Four Loves)

“Ringga, kenapa kamu masang quotes ini di ruang tamu mu?”

“Hmmm. Kenapa coba?”

“Lho, aku kan nanya, kok ditanya balik?”

“Hehehehe, ya kan kamu bisa nebak,”

“Gimana mau nebak?”

“Kan kamu orangnya punya intuisi yang sangat kuat. Ayo coba berpikir. Kenapa guru musik naruh quotes ini di ruang tamunya. Hehehehe”

“Lho, kok disuruh mikir.. Dasar orang thinking, mikir teruuus.. Kayak Reed Richards, Mr, Fantastic yang getol diem di laboratium, sampai pernikahannya sama Susan Storm diduain. Hehehehe“[1]

“Iya lah, dunia ini hancur karena orang kurang berpikir!”

“Yeh, dunia juga hancur karena orang terlalu banyak mikir dan kurang berperasaan.”

“Hahahaha. Tetapi rasa, bukan logika yang selalu membuat masalah,” jawabnya dengan gesit

“Eh, hmmm, kalau menurutku sih ya, luka itu sesuatu yang menyakiti. Jadi ada rasa sakit, entah itu fisik, entah itu emosional, sesuatu yang membuat kita nggak nyaman.”

“Wah, dipikirin juga jawabannya.”

“Leeeeh, kan kamu tanyaaaa.”

“Hehehehe, dunia kita ini dunia dimana orang itu saling melukai Rin. Sejarah kita adalah sejarah saling melukai. Sejak pra sejarah, sampai postmodern. Lihatlah sejarah, perang salib, perang dunia, perang antar agama. Kita saling melukai bukan? Sesama manusia saling melukai.  Di manapun juga: entah era sebelum kelahiran Kristus di Makedonia, suku-suku bangsa barbar saling bertempur di Normandia, dinasti Han di China, penaklukkan Aleksander Agung sampai India, bahkan Nusantara di bawah Majapahit. Ingat perang Bubat? Sejarah saling melukai di negeri ini, hanya demi Sumpah Palapa yang mustahil itu Gajahmada membuat sang putri Pasundan terbunuh. Kisah 1965 juga memperlihatkan kepada kita sejarah saling melukai. 1998 yang menghancurkan etnis Tionghoa dan melahirkan konflik berkepanjangan dan kecurigaan antar etnis juga hasil dari sejarah saling melukai. Betul nggak?”

“Hadeuh, pak guru sejarah lagi ngajar nih”

“Ya kan selain musik dan gunung, aku senang sejarah.”

“Iya deh. Trus apa hubunganya sama quotes C. S. Lewis, sastrawan sekaligus intelektual terkemuka itu?” 

Ringga ini benar-benar filosofis orangnya. Kadang-kadang aku nggak ngerti apa yang dipikirkan oleh sahabatku satu ini. Sungguh, dia ini orang yang rumit! Tetapi memang, persahabatan itu sesuatu yang selalu mengubahkan. Semakin kamu mengenal seseorang, ia akan mengubahmu. Pengenalan yang mendalam selalu memberi dampak bagi diri kita. Itulah mengapa persahabatan yang panjang dan dalam itu diperlukan di tengah dunia yang kosong dalam hubungan-hubungan tanpa makna. Gara-gara aku bersahabat dengan Ringga yang suka merenung, aku pun jadi suka merenung dan memikirkan ini dan itu dalam kehidupanku. Nanti akan kuceritakan bagaimana aku mendapati bahwa perenunganku terjadi biasanya ketika langit menangis menerjunkan air matanya ke bumi.

“Gak ada hubungan langsung sih. Hahahaha”

“Lhoo?”

“Cuma mau bilang kalau selama hidup kita di dunia kamu pasti akan terluka.”

“Trus?”

“Ya, mari menghadapi kemungkinan-kemungkinan bahwa kita ini akan selalu terluka. Dan ingat ini, kita hanya bisa menghadapinya dengan hati yang rapuh.”

“Hati yang rapuh?”

“Yeps. Hati yang siap terluka tetapi juga siap untuk ditambal, diobati, disembuhkan. Di situlah kamu akan mengalami bahwa di dalam hubungan-hubungan kita sebagai manusia, adalah hubungan-hubungan yang layak diperjuangkan. Karena setiap kali kita terluka, selalu ada kemungkinan kita mengalami perasaan disembuhkan.”

“Jadi, selalu ada dokter, selalu ada antibiotik, selalu ada insulin untuk hati kita?”

“Ya, akan selalu ada kasih dan cinta untuk hati yang rapuh.” Ringga mengatakannya dengan tersenyum. Senyum kharismatis dari seorang sahabat yang baik. Senyum yang memberikan janji bahwa kebaikan masih ada. Senyum seseorang yang memiliki cahaya kasih di dalam sanubarinya.

Kalimat serta senyuman itu menyembuhkanku. Di hari yang sama, hari dimana bertahun-tahun yang lalu Papaku menghilang dari pandanganku. Hari di mana dunia menimbulkan luka yang sangat mendalam di dalam diriku. Usiaku masih 8 tahun waktu itu. Papa tiba-tiba tak pulang usai kerja. Kecelakaan fatal merenggut nyawanya.

Beberapa bulan sebelum hari di mana aku berkunjung ku rumah Ringga, kutinggalkan pacarku sejak SMA, karena ia ingin menikmati tubuhku. Aku begitu terluka karena ia ternyata mencintai karena aku memiliki sesuatu. Sesuatu itu ialah tubuhku. Kejadian yang masih sering terulang sampai saat ini.
It’s okay to have tears in our eyes as long as we have hope in our hearts.[2]


Ringga memberikan pengharapan bahwa masih ada kasih dan cinta di dunia ini. Kita menghadapi dunia yang saling melukai.  Bahkan orang-orang terdekat pun akan melukai kita. Air mata akan selalu ada. Tetapi selalu ada pengharapan. Pengharapan itu ada di dalam kasih dari orang-orang seperti Ringga. Orang-orang yang hatinya bercahaya. 

***

Pertemuanku dengan Ringga di siang itu mengubah perspektifku, dan aku menemukan seorang sahabat baru. Sahabat yang baik dalam suka dan duka. Selalu ada ketika ku bertanya. Kisah ku dan Ringga sangat banyak. Nanti ku curahkan satu per satu.  Hellen Keller pernah berkata: “lebih baik berjalan dalam kegelapan bersama seorang sahabat daripada sendirian di tengah terang.” Sahabat itu begitu penting di dalam dunia ini. Ia adalah harta yang tak ternilai. Adakah engkau mempunyainya?

 

#Agak nggak jelas di sebuah sore.
30 September 2013. Please “Wake me up when September end

 







[1] Fantastic Four: The Rise of Silver Surfer
[2] Ben Witeringthon III

1 komentar:

  1. Nice.. aku selalu baca berulang2 pos ini..
    terimakasih utk tulisannya. sangat memberkati..

    BalasHapus