Selasa, 19 Maret 2013

Tentang dunia yang penuh kompetisi (bagian 2)



Well, tulisanku kali ini masih melanjutkan permasalahan yang kupikirkan di tulisanku terdahulu. Malam ini, ditemani dengan lagu “His Glory Appears” by Hillsong yang syahdu, dan juga kopi Nescafe (eh, nggak promosi lhooooo :p, biasanya aku minum kopi hitam-pahit, entah kenapa hari ini aku minum kopi sachet), aku mau menuliskan beberapa pokok pemikiran.




The Art of War, pemenang dan kecepatan



Kemarin aku melihat-lihat bahan-bahan tugas perkulihan seorang  mahasiswa IBM di sebuah kampus kota Pahlawan ini, yang mengajarkan filsafat “Art of War”nya Sun Tsu dan diaplikasikan bagi dunia bisnis dan usaha. Bagiku yang punya ketertarikan tersendiri dalam ilmu manajemen, marketing dan bisnis [makanya aku baca buku soal New Wave Marketing­nya Hermawan Kertajaya], melahap hal-hal seperti itu adalah kesenangan tersendiri, sejenis mengenyangkan khazanah pengetahuanku.  Lagipula, menjadi entrepreneur adalah mimpi masa SMAku.  Membaca dan mempelajari soal-soal itu seperti bernostalgia dengan diriku di masa dahulu.

Tapi seperti biasa, apa pun yang kupelajari, ogah aku tolak mentah-mentah, perlu melalui tahap kritis. Namun sayang, bukan pada tempatnya untuk mengkritisi semua filosofi Sun Tzu di sini.  Aku hanya ingin mengungkapkan salah satu kesimpulanku setelah menonton dan membaca-baca bahan tugas-tugas kawanku itu yakni: dunia meminta, berharap dan memaksa kita untuk menjadikan dan menujukan diri kita sebagai pemenang.

Aku sitir beberapa kutipan  Sun Tzu:
“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
Sun Tzu, The Art of War

Anda mau jadi apa? Jadi Victorius Warrior kan? Hehehe.

Lalu, kutipan yang menarik yang kedua:
“If quick, I survive. If not quick, I am lost. This is "death.”
Sun Tzu, The Art of War
 
Well, kutipan ini memperlihatkan gagasan bahwa mereka yang mau jadi pemenang, Victorius Warrior adalah mereka yang tercepat.   

Kecepatan memberikan kita kapasitas untuk menjadi pribadi yang sanggup survive.  Ingatlah kisah-kisah komik kungfu, jurus yang mematikan adalah jurus yang tercepat! Bacalah Bleach, ada Shunpo konsep melangkah cepat disana. Kalau baca Naruto, Hokage keempat yang adalah ayah Naruto terkenal dengan jurusnya yang sanggup berpindah tempat dengan kecepatan seperti petir. Sungguh! Cepat itu penting! Cepat itu adalah awal dari kesuksesan.




Persoalannya?


Menjadi pemenang dan menjadi yang tercepat kerapkali membawa jiwa kita ke dalam gurun kegersangan dan kekeringan makna



Oke-oke saja sih menjadi yang tercepat, oke-oke saja juga menjadi pemenang.  Namun ada persoalan yang menderu begitu gaduh dalam batin manusia-manusia modern yang berusaha untuk menjadi yang tercepat dan menang. Sendjaya mengungkapkan hal ini:


“Kalau ada tiga kata yang menjadi karakteristik dunia modern, tiga kata tersebut adalah noise, hurry, dan crowd. Ketiganya begitu kental mewarnai keseharian hidup kita. Efektivitas hidup seringkali diidentikan dengan keterlibatan kita dalam muchness dan manyness.  Selama kita sibuk di kampus, di kantor, di rumah dan belasan organisasi, semakin kita menjadi efektif. Sibuk, berarti efektif, namun mesti buru-buru agar semua dapat dikerjakan. Psikolog Carl Jung pernah berkata bahwa ‘hurry is not of the devil. It is the devil.”[1]


Dalam kata lain, menjadi pemenang membuat kita berusaha untuk cepat, cepat membawa kita untuk terburu-buru, padahal hurry is the devil. Kenapa?

Karena dalam ketergesahan-gesahan kita, manusia modern, kita berusaha menjadi yang tercepat dan menang, dan akhirnya terjerumus untuk melakukan segala rutinitas tanpa makna. Kita sibuk tanpa kedalaman makna.Inilah yang menyebabkan manusia sering menjadi kering. Manusia menjadi robot dan sama seperti mesin. Bekerja, bekerja dan terus bekerja. Sampai kehilangan arti sebagai manusia.  Dunia yang kompetisi pun akhirnya mendehumanisasi kita.

Menjadi pemenang sih oke, menjadi yang tercepat sih oke. Tetapi persoalannya adalah: jangan sampai kita kehilangan arti dan makna kehidupan kita.  

Yang aku maksud dengan kehilangan makna adalah “hidup yang penuh dengan banyak aktivitas tapi aktivitas-aktivitas itu bukan sesuai prioritas dan kehendak Allah untuk kita kerjakan dan malah menjauhkan kita dari Tuhan dan kasih-Nya.”

Oke. Lalu dengan demikian. Apa sikap yang tepat supaya hidup ini tetap bermakna meski kita menjadi cepat dan berusaha mengejar kemenangan?


Memiliki Momen Withdrawal

Jawabannya sederhana ternyata: memiliki momen withdrawal, yaitu “withdrawal atau berdiam diri di sini berarti mengalokasikan waktu bersama Tuhan agar kita memiliki hati yang dengar-dengaran dan taat kepada-Nya.”[2]  Dalam bahasa yang lebih biasa terdengar: punya momen teduh! Punya momen quiet time, atau lectio divina.[3]  Mempunyai waktu untuk kembali kepada Sang Pencipta hidup![4]



Menariknya, ada banyak keuntungan ketika kita memiliki momen withdrawal, yakni: [5]



1.       Mendengarkan Tuhan.
Tuhan berbicara dalam kesendirian kita, dan disitulah kita dibentuk untuk semakin serupa dengan Dia. Ingatlah satu kejadian historis pemuliaan Kristus, Allah Bapa berfirman: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. Dengarkanlah Dia! Jadi jelaslah, mendengarkan adalah perintah yang penting!

2.       Menyerahkan diri.
Dunia membentuk kita untuk cepat dan berusaha menjadi pemenang, sering konsep itu membuat kita lupa diri bahwa kesuksesan sesungguhnya berasal dari Tuhan. Berdiam diri adalah saat yang tepat untuk kita menyerahkan segala sesuatunya: keberhasilan pekerjaan, kesuksesan studi, kekuatan dalam menghadapi kehidupan ini.

3.       Mengalami perubahan yang real
Momen ini adalah momen dimana kita diubah, yaitu ketika hanya ada Tuhan dan diri kita, dan Tuhan mengubahkan kita menjadi orang yang sesuai dengan kehendakNya melalui pembacaan firman Tuhan.


Jadi jelaslah momen withdrawal ini membawa kita menuju kedalaman batiniah dan kekayaan makna sebagai seorang manusia, apalagi mereka yang di dalam Kristus!  Momen ini adalah momen di mana kita menggenggam kekuatan ekstra, dan rahmat Tuhan yang selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:23).



Epilog

Nah, sampai aku di penghujung tulisan ini.  Aku ingin mengutip lagi Charles Ringma mempertegas kepentingan momen withdrawal:

Kita terus mencoba berbuat lebih banyak sementara energi kita terus terkuras dan kita jadi seperti pohon yang tercabut denan akar menggapai-nggapai percuma ke angkasa. Jadi kita mengangkat tangan ke atas, berdoa memohon kasih karunia dan kemampuan khusus, padahal seharusnnya kita ditanam kembali di tanah yang subur. Tanah itu tidak dimaksudkan agar kita mengurangi kegiatan kita, tapi untuk mengubah prioritas sehingga kita meluangkan waktu untuk diam. Dan dalam ketenangan, kita menemukan kekuatan dan harapan baru.[6]

Jadi, di tengah dunia yang penuh dengan kompetisi yang membentuk kita bermental yang tercepat dan pemenang. Mari kita memiliki hidup yang bermakna dan tidak kehilangan tujuan Allah juga kehadiran Allah, dengan memiliki momen withdrawal.  Momen kita berdiam dan ditanam kembali di tanah yang subur.  Momen kita dipeluk hangat oleh Sang Gembala Agung, momen kita pulang ke Bapa yang berlari menyambut kita, momen kita minum aliran air yang hidup dan menyegarkan sunsum tulang kita.  Sebab “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, Ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”


Ditulis secara khusus mengingat beberapa orang: 
1. Giovanni Edison, yang beberapa waktu lalu nginep kamarku dan berkata: "Aku punya kerinduan Him, supaya bisa membawa anak2 melewati salah satu pergumulan paling berat masa kini: SIBUK!."
2. Maria Setiani, yg mengizinkan ku untuk mengecap bahan-bahan kuliahnya. Juga, Melviana Aurelia yang lagi sibuk skripsi.
3. Esther Stepfanie Hermawan, Kharis Adirahsetio, David Dwi Chrisna Damping, Dessy Surya Chandra, para sahabat rohaniku yang sangat ngangenin. Mereka adalah pribadi-pribadi yang Tuhan anugerahkan dan membuatku menghayati koinonia en ta pneuma (companion in spirit).


Follow account twitter-ku: @HimawanPambudi dan add Facebook di Himawan Teguh Pambudi


[1] Sendjaya, Jadilah Pemimpin demi Kristus (Jakarta: Literatur Perkantas, 2012) 194.
[2] Ibid. 198
[3] Soal Lectio Divina, bacalah buku Richard Foster, Sanctuary of the Soul (Surabaya: Perkantas Jatim, 2011) 64-70.
[4] Aku pernah menulis soal ini, perhatikan di https://www.facebook.com/notes/himawan-teguh-pambudi/refleksi-hidup-dengan-kopi-1-butek-isme-dan-teks-yesaya/10150333962982196
[5] Disarikan: Sendjaya, Jadilah Pemimpin 200.
[6]Charles Ringma, Dare To Journey with Henri Nouwen 11.

1 komentar: