Kamis, 07 Maret 2013

Tentang Dunia yang Penuh dengan Kompetisi




Sudah lama tidak posting di blog, kesibukan di ladang praktik pelayanan, dan usahaku untuk berkonsentrasi penuh pada job pelayananku membuatku sangat susah untuk memiliki waktu sakralku dimana itu adalah momenku untuk menjalani sebuah aktivitas, yang bagiku, adalah sebuah momen penting: menulis! Dan pada kesempatan kali ini, aku ingin sedikit berbicara tentang dunia yang penuh dengan kompetisi.


Beberapa hari lalu aku berkumpul dan bercakap-cakap bersama dengan kawan-kawan remaja-pemuda di tempat ini. Bercengkerama penuh tawa dan canda, curhat dari hal-hal kecil, sampai soal-soal besar. Tak diduga, tak tertebak, ada sebuah momen eksistensial datang menghampiriku, momen yang dalam buku Contemplative Youth Ministry-nya Mark Yaconelli, disebut momen “noticing” (verba: memperhatikan, secara sederhana ku pahami sebagai momen di mana Allah meminta seorang pelayan-Nya untuk melihat apa yang Dia inginkan untuk diperhatikan).[1]  Momen ini terjadi ketika seorang kawan remajaku kurang lebih berkata demikian:

Aku tuh capek dengan kuliahku. Tugasku buanyak. Dan kuliah di jurusan ini mengajarkanku untuk hidup dalam kompetisi. Kalau nggak berkompetisi maka nggak akan berhasil.”

Lalu kemudian seorang kawan lain menanggapi, kurang lebih demikian:

 “ya gitulah, kalau kuliah, bayangin ya, aku punya temen. Dueket banget. Eh, pas ngerjain sebuah tugas kelompok masa dia bilang begini: sorry ya, aku nggak bisa sama kamu sementara ini, soalnya aku mau berkelompok sama dia, supaya dapat nilai bagus. Menjengkelkan nggak sih!” 

Kemudian obrolan makin seru dengan segala ungkapan kesusahan hati tentang kampus, tentang perkuliahan, tentang dunia yang penuh dengan kompetisi.[2]  Akh! Kasihan nian mereka!

***

Tadi sore, aku mengambil jeda bagi hidupku, berhenti untuk memikirkan pelayanan, berhenti memikirkan tugas-tugasku, tetapi berhenti dan mencoba merasakan kehadiran Tuhan.  Setelah itu aku berpikir dan sadar bahwa hidupku belakangan sangat jarang untuk mempunyai waktu jeda berkualitas (dalam bahasa lain, waktu jeda ini disebut Saat Teduh, Quiet Time).  Ternyata, bukan hanya kawan-kawan yang hidup dalam dunia kampus dan kenyataan sehari-hari yang diburu serta terpengaruh dunia yang penuh dengan kompetisi! Aku juga mengalaminya, sebuah dunia yang penuh dengan kompetisi, sebuah dunia yang tak mengizinkan adanya jeda. Sebuah dunia yang meminta kita bekerja keras terus-menerus tanpa henti!


Dan inilah karakteristik dunia yang penuh dengan kompetisi.  Hidup ini seolah-olah adalah sebuah usaha untuk menggapai pencapaian demi pencapaian. Hidup ini adalah persaingan. Hidup ini adalah pertarungan. Hidup ini adalah oposisi biner [pertentangan satu kutub dengan kutub yang lain]: Kalah-menang, kaya-miskin, sukses-gagal, lulus-tidak lulus, ganteng-jelek, dan jutaan oposisi binerian lain sebagainya.  Kalau kawan punya waktu luang [ah, ini kan bahasa dunia yang kompetisi juga! Di dunia yang penuh dengan kompetisi ini, kata “sibuk” adalah kosakata yang wajar, bahkan harus selalu ada!], silahkan berjalan-jalan ke toko buku [yang tren bukunya kuanggap sebagai lambang dari perkembangan pola pikir manusia], dan engkau akan melihat berbagai jenis buku yang ditulis untuk menjadikan seorang manusia  berhasil tampil sebagai pemenang dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini.


Nah, dalam konteks inilah, penjelasan Henri Nouwen tentang krisis dunia pendidikan dalam bukunya, Creative Ministry sangat relevan! Aku kutip paragrafnya disini:

Competition has become one of the most pervasive and also destructive aspect of modern education. The way students look at their fellow students and their teachers, the way they expect their grades and degrees, the way they prepare their exams and take them, the way they apply to college and graduate school, and even in which they spend their free time; all this and much more is impregnated by an all embracing sense of rivalry. You only have to walk during the last week of a semester on a college campus to pick up the mysterious A-B-C-D-and F languange that seems to be on everyone’s lips. The sadness of all this becomes clear when you see that a student is only happy with a high grade when he sure that his fellow students have lower grades. It is obvious that in a system that encourages this ongoing competition, knowledge no longer is a gift that should e share, but a property that should be defended.”[3]


Jadi, jikalau kita merujuk argumen Henri Nouwen itu, maka awal dari dunia yang penuh dengan kompetisi ini berakar pada dunia pendidikan.  Sistem pendidikan di sekolah yang menuntut murid untuk bersaing dengan murid yang lain untuk mendapatkan peringkat yang terbaik, amat punya dampak besar bagi relasi dan kehidupan kita di dunia ini.  

Charles Ringma turut mempertegas, “zaman di mana kita hidup telah menjadikan persaingan dan kerja keras sebagai kebajikan. Hanya yang seperti inilah yang akan berhasil dan produktif.[4]


Permasalahannya ada di sini: aspek destruktif (aspek negatif yang berkecenderungan menghancurkan) dari dunia yang penuh dengan kompetisi ini amatlah jelas: relasi menjadi relasi yang penuh dengan persaingan. Mereka yang menjadi kawan dan sahabat adalah mereka yang menguntungkan karier dan hasil diri kita. Pada akhirnya, relasi dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini jelas menimbulkan kesakitan hati, kepahitan, kekecewaan, luka, dendam dan berbagai hal negatif lainnyaPun amat jelas, eperti yang kuungkapkan pada awal tulisan ini dunia yang kompetitif ini menghasilkan generasi atau anak-anak muda yang berkecenderungan kuat untuk depresi serta stress berlebihan.  Tidakkah ada banyak anak muda yang putus harap karena tidak mampu menggapai dan menggenggam apa yang ingin dicapainya? Bunuh diri karena putus cinta? Bunuh diri karena tidak bisa lulus dari sekolah atau kuliah? Minder karena tidak bisa tampil sejajar dengan anak-anak sebayannya?

Tepatlah kalimat Nouwen: "Dalam dunia yang penuh dengan persaingan ini, bahkan mereka yang sangat dekat, seperti teman sekelas, satu tim. . .rekan kerja di kantor, bisa dikuasai ketakutan dan menjadi tidak ramah satu dengan yang lainnya."


Problem lebih lanjut yang kuperhatikan, aspek dekstruktif ini turut mempengaruhi paradigma orang Kristen dalam masalah kerohanian.  Kerohanian juga menjadi sesuatu yang perlu dikompetisikan. Makanya, susunan kurikulum pemuridan biasanya berdasarkan grade yang harus dicapai, diselesaikan. Apabila seseorang telah melewati grade tertentu, maka ia kan menjadi the holy man dengan lingkaran putih di atas kepalanya. Padahal benarkah demikian? Nyata-nyatanya toh tidak. 

Pada akhirnya, dapat kusimpulkan, dunia yang penuh dengan kompetisi ini jelaslah dunia yang membahayakan. 

Meskipun demikian, emang, kita perlu berpikir secara seimbang, ada aspek-aspek konstruktif yang hadir dalam dunia kompetisi ini.  Bayangkan jika kita tidak menginginkan keberhasilan dan kesuksesan, maka tidak akan ada kemajuan dalam diri kita.  Bayangkan jika kita tidak berkompetisi, maka tidak akan ada perkembangan bagi kehidupan manusia. Lagipula di dalam beberapa bagian Alkitab juga ada rujukan-rujukan bahwa kompetisi itu memang absah adanya (misalnya Paulus dalam metafora pelari dalam perlombaan, dan juga beberapa kali ia menulis tentang bagaimana ia bekerja keras).

Tetapi memperhatikan aspek-aspek dekstrutif itu, anak-anak muda Kristen perlu melihat Alkitab, dan menghayati sebuah meta-narasi kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan dunia, sehingga mereka tahu bagaimana untuk hidup dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini.  Sehingga, relasi yang timbul dalam dunia yang penuh kompetisi ini tidaklah relasi yang melahirkan luka dan kekecewaan serta depresi, tetapi relasi atau hubungan antar manusia menjadi relasi yang menyembuhkan dan memulihkan.

***
 
Jadi bagaimana anak muda Kristen hidup dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini?[5]
Dalam Kolose 3:23 Paulus berkata:

Apa pun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Jelas. Lugas. Ringkas.

Dalam dunia yang penuh dengan kompetisi ini, mari kita melakukan segala apa yang kita perbuat untuk Tuhan. Itu berarti, motivasi  ketika menjalani kehidupan kompetitif ini adalah untuk kemuliaan nama Tuhan, bukan meraih kemuliaan diri kita sendiri. Tujuan akhir dari kompetisi yang kita jalani adalah Tuhan yang berkenan bagi kita, bukan kesukaan kita sendiri. Cara menjalani kehidupan pun, adalah cara Tuhan, bukan cara-cara dunia ini.  

Kurangkumkan di sini, motivasi, tujuan akhir, dan cara menjalani kehidupan kita adalah di mulai, diperuntukkan, dan dilakukan bersama Tuhan. Pemikiran Kristus, tindakan Kristus, dan nilai-nilai Kristus, itulah yang kita genggam!
 
Oleh karena itu, kalau dunia yang penuh dengan kompetisi ini bersifat menghancurkan, maka orang Kristen harus tampil berbeda.  Orang Kristen harus hidup mengasihi sesamanya manusia seperti diri mereka sendiri (Mat. 22:39). Itu berarti, mereka yang tidak sanggup untuk bertarung, mereka yang lemah, mereka yang kalah, harus di tolong oleh kita (Mat. 25:40). Jadi "sesama," tidaklah dipandang sebagai pesaing atau objek yang harus dihancurkan, melainkan dipandang sebagai kawan sekerja untuk menuju sesuatu yang lebih baik di depan sana.   


Oleh karena itu, bagi anak muda Kristen yang hidup di dunia yang penuh kompetisi ini, persaingan diubah menjadi kerja sama, individualisme diubah menjadi kebersama-samaan. Kompetisi bukan alat untuk mendehumanisasi manusia, lalu mendegradasikan moralitas dan nilai hidup, tetapi, kompetisi menjadi alat untuk manusia kembali kepada keutuhan dan nilai-nilai kebajikan. Anak-anak muda Kristen harus punya nilai-nilai kasih, membantu, dan mentransformasikan hidup orang lain.


Jikalau anak-anak muda Kristen memiliki dan menghayati paradigma hidup demikian, maka aku percaya, hidup secara pribadi akan jauh dari depresi. Dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali bersama.


Nah, bagaimana pendapatmu?  Apa tindakanmu?





*Ditulis khusus untuk: Giovanni Edison, Melviana Aurelia, Maria Setiani, kawan-kawan baru yang Tuhan izinkan untuk hinggap dalam kehidupanku di kota Pahlawan ini.

Follow me at: @HimawanPambudi dan Facebook: Himawan Teguh Pambudi

[1]Lih. Contemplative Youth Ministry: Practicing the Presence of Jesus (Youth Specialties: Grand Rapids, 2006) 177
[2] Kamus Mirriam-Webster memberikan arti competition demikian : the act or process of competing : rivalry: as
a : the effort of two or more parties acting independently to secure the business of a third party by offering the most favorable terms. b : active demand by two or more organisms or kinds of organisms for some environmental resource in short supply 2. : a contest between rivals; [diambil dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/competition; diakses 7 Maret 2013].

[3]Creative Ministry (Double Day: Image Books, 1971) 6.
[4]“Daya Saing” Dare to Journey with Henri Nouwen (Bandung: Pionir Jaya, 2010) 264.
[5]Aku kurang cukup waktu untuk menggali seluruh Alkitab, karena ada hal lain yang harus aku capai [ah! Hidupku juga berkompetisi! J], untuk lebih lengkap bisa melihat: Bob Luginbill, “Should Christian have competitive attitude?” dalam http://ichthys.com/mail-competition.htm; diakses 7 Maret 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar