Selasa, 01 April 2014

Namaku adalah Mall

Hai, kenalkan, namaku adalah Mall, demikian setidaknya bahasa manusia memberiku nama sehingga aku memiliki struktur-struktur bahasa yang mampat di dalam permainan bahasa mereka dan akhirnya struktur itu membuatku eksis sebagai sebuah eksistensi yang beresensi. Tunggu. Apa ya esensiku? Ah, mudah saja, aku adalah bangunan di tengah kota yang dibangun oleh para pemilik modal untuk menjadi pusat hiburan, perbelanjaan dan pusat kesenangan.

Dan itulah bahagiaku ketika aku menghidupi esensi dari eksistensiku. Hari ini saja sudah tak bisa kuhitung lagi aku membahagiakan betapa banyak, mungkin ribuan, manusia-manusia perkotaan.

Kulihat ada anak kecil yang menangis, tetapi kemudian berlari-lari senang ketika memasuki bangunanku. Tampaknya ia kurang hiburan di rumah, ia naik mobil-mobilan berputar-putar area permainan. Ia tertawa-tawa. Mamanya teronggok lega di sudut keramaian melihat anak itu. Mungkin ia sudah kelelahan karena harus menjaga anaknya. Bahagia bukan? Dan itu terjadi ketika aku membahagiakan mereka.

Kulihat ada anak-anak SMA. Mungkin mereka depresi dengan sekolah mereka yang aku dengar sangat tidak menyenangkan. Kau bertanya darimana aku tahu hal-hal begini? Tentu aku dengar! Di sepanjang tembok bangunanku ada telingaku! Maka hati-hatilah kalau kau datang padaku dan berkisah tentang rahasia-rahasia tersembunyi dari hidupmu. Anak-anak SMA itu duduk di foodcourt berselfie ria padahal hanya bisa membeli jenis minuman paling murah di tempat itu.  Eh, tapi ada juga mereka yang lain yang berasal dari keluarga yang lebih kaya akan masuk ke dalam bioskop dan menghabiskan waktu sekitar satu-dua jam melihat layar lebar yang mengalihkan mereka sejenak dari dunia kenyataan milik mereka yang membosankan bin memuakkan. Aku selalu tersenyum melihat anak-anak berbaju seragam ini, mereka selalu memiliki cara untuk menikmati hidup yang singkat dengan tertawa. Tak seperti orang dewasa yang selalu gaduh dan gelisah tentang ini dan itu.

Aku juga menyaksikan ada sepasang kekasih muda bercumbu mesra di tempat-tempat terpojok bangunanku. Melihat mereka saling berpadu dalam tubuh, [entah apakah juga dalam jiwa, karena aku tak tahu], amat mengenyangkan perutku.  Aku lapar melihat manusia berbahagia.  Karena tentu saja, sebagai sebuah Mall aku tak bisa mengalami bahagia mereka. Bahagiaku adalah ketika melihat mereka berbahagia. Kau lihat diferensiasinya bukan?

Tetapi sering pula aku bertanya-tanya tentang esensi dari eksistensiku.  Karena, aku sendiri melihat ada manusia-manusia tak berbahagia. Mungkin mereka tertawa-tawa, tetapi di dalam lekuk bibir senyum mereka nampak ada air mata dan sesak sukma.  Bukankah ketidakbahagiaan adalah antonim dari esensi eksistensiku? Aku tak pernah mau jadi eksistensi yang tak bermakna. Makna yang harus aku konstruksi dalam ruang permainan interpretasi hidupku, haruslah mengerucut pada satu simpulan: mereka bahagia, sehingga aku berbahagia.  Ruang-ruang penafsiranku menjadi penuh dengan tembok bernama penundaan makna ketika aku melihat orang-orang tak berbahagia.


Hari ini aku melihat beberapa dari mereka. Lagi. 


Ada satu lelaki datang sendirian, dan ia juga pulang sendirian. Ia menyeruput secangkir kopi di kedai kopi bermerek internasional terkenal, yang kita semua tahu itu. Tak lupa ia sulut batang rokok kreteknya.  Kuduga ia akan berjanjian untuk bertemu dengan kawan-kawannya. Namun, setengah jam ada disana ia hanya sendirian, melongo, agak terlihat nestapa. Telepon genggam pun tak dipakainya padahal setiap pengunjung pasti memanfaatkan fasilitas internet bebas pakai di tempat itu.  Rasanya ia kesepian. Bau sepinya begitu menyengat hidungku.  Barangkali pacarnya baru saja menanggalkannya bak baju tak layak pakai yang harus dilempar ke dalam keranjang sampah.

Ohya, kau mungkin tahu tentang aksi boikot terhadap kedai kopi ini. Katanya pemilik modal kedai kopi ini adalah koruptor kelas kakap di negeri ini. Ah betapa sedihnya, melihat manusia-manusia egois yang membesarkan perut dengan keserakahan mereka.  Sedangkan di tempat-tempat lain aku dengar (ya! Aku dengar!) ada manusia-manusia yang masih hidup di bawah ambang batas kemiskinan.

Aku turut menjadi saksi tentang ibu yang membelikan baju untuk putrinya. Entah kenapa, harusnya setelah membeli ia terpuaskan. Tapi raut muka ibu itu melukiskan kesusahan. Waktu aku berusaha peka mendengar, aku memahami mereka. Ternyata ibu itu harus menggadaikan surat sepeda motornya supaya bisa membeli baju untuk putri mereka yang menjejak remaja.  Katanya anak remaja putri itu malu tak punya gaun untuk datang ke upacara 17 tahun temannya. Kasihan. Haruskah pergaulan mereka ditentukan dengan apa yang mereka pakai?

Aku juga tahu, ada karyawan-karyawan yang tiap hari mengeluh karena harus berpusing ria dengan tunggakan kreditan mereka. Mengeluh karena harga bahan makanan yang tak pernah bertambah murah.  Mengeluh karena mereka diperas untuk bekerja terus menerus, dengan istirahat yang sekenanya, dan uang bulanan yang pas-pasan.  Lalu mereka menjadi sasaran hasutan beberapa orang idealis kiri yang mungkin punya kepahitan di masa kecil dalam hal ekonomi.  Mereka pun berunjuk rasa atau berdemokrasi turun ke jalanan meminta tuntunan upah minimum yang besarannya sekian lipat dari gaji mereka saat ini. Kejadian-kejadian yang membuatku sepi pengunjung waktu itu. Aku sedih melihat mereka. Mereka ada di dalam eksistensiku tapi rasanya mereka tak memiliki esensi dari eksistensi mereka.  Mereka menjadi robot dan bukan manusia.  Mereka hanya hidup tapi tak berjiwa.  Mereka menjalani keseharian tapi tak memakna.  Batinku gelisah mengetahui kisah-kisah tentang manusia yang seperti ini.  Aku jadi krisis jati diri dan kehilangan identitas sampai kadang-kadang tak sanggup memaknai diriku sendiri. Kadang-kadang aku merasa akan hampir gila sebagai sebuah Mall. Nah, salah satunya yang mencegah kau dari kegilaan adalah persahabatan.

Aku bersyukur hari ini aku menemukan seorang sahabat. Sesosok manusia yang bisa mendengarkan suara-suaraku yang terdiam dalam pendam. Manusia sederhana yang mencoba untuk terus menghidupi esensi dari eksistensinya walau ia kerap jatuh dalam banalitas dunia metropolitan yang tak sungguh-sungguh ia cintai.  :) Senang bukan, kalau kau punya sahabat yang mendengar?

Maka aku memasrahkan gelisah batinku padanya. Tentang pertanyaan demi pertanyaan yang mengemuka di tiap kecemasan keseharian yang aku alami. Senang sekali ia senang menulis dan aku yakin ia akan menyampaikannya suatu hari nanti kepada dunia.


Ya, demikian ceritaku, semoga kita bisa mengenal lebih lanjut kalau kau mengunjungiku. Namaku adalah Mall. Oh, kalau kau bertanya siapa nama temanku, yang manusia itu, supaya kau bisa berbicara dengannya nanti tentangku, hmmmm, aku sukar menceritakannya. Tetapi kusebutkan saja inisialnya ya? Inisialnya adalah H. Aku yakin kalau kalau kau berbincang-bincang dengannya kau dapat menemukan aku di dalam dirinya.  Bukankah persahabatan adalah pertukaran jiwa satu dengan yang lainnya? :)



Salam,

Namaku adalah Mall




Tunjungan Plaza. Sekarang lagi membangun area yang disebut TP 6.
Dan di sebelahnya ada kampung-kampung kumuh yang rasanya kehadirannya begitu kontradiktif

#siang ini agak stuck dengan editan buku camp. Maka kuputuskan nge-Mall, nonton film anyarnya aktris favoritku tahun 2013: Jennifer Lawrence. Sebuah film tentang psikopat sadis, The Home At the End of The Street.  Film serem tapi real, tentang betapa manusia bisa kejam dan tak menjadi manusia. Semoga aku tetap menjadi manusia di tengah hiruk pikuk robotisasi manusia di kota metropolitan ini.

1 April 2014. Pregolan 36. Kamar di ujung lorong yang sunyi di tengah kota. Hahaha.


Btw, seriusan lho ada boikot terhadap Star**** silahkan baca artikelnya di sini.  Bagi pembaca yang kebingungan istilah-istilah "eksistensi" "memakna" Pelajarilah filsafat Heidegger untuk mengerti lebih utuh tulisan ini. Karya F. Budi Hardiman, Mistik Keseharian adalah buku terbaik dalam bahasa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar