Kamis, 22 Januari 2015

Imitation Game: Homoseksualitas, Kekerasan dan Teologi Relasional


Akhirnya hari ini aku nonton juga Imitation Game, film yang paling kutunggu sejak akhir Desember. Dengan aktor utama Benedict Cumberbatch (sebagai Alan Turing) dan Keira Knightley, film yang ber-genre drama, thriller, dan berdasarkan kisah nyata ini sungguh bikin penasaran bagiku yang doyan teka-teki, atau kisah tentang seorang psikopat-genius. Rating imdb-nya 8.3 dan bagi mereka penggemar film yang bikin "mikir" dan film dengan "kritik sosial" nya tinggi, tentu dengan balutan estetika, sinematografi dan alur cerita yang dibungkus dengan ahli (nggak seperti Blackhat, yang sebenarnya ide dasarnya menggairahkan tetapi karena alur yang begitu lambat, dan sinematografi yang agak mengecewakan, jadi film yang buruk), Imitation Game menjanjikan hiburan yang akan membuat kita setelah keluar dari studio akan tersenyum puas. 

Aku nggak akan review dari sudut pandang ahli pembuat film, atau sineas, biarlah itu menjadi tugas mereka yang menekuni sinematografi dan kritikus film (silahkan liat di sini). Tapi aku lebih suka melihatnya dari perspektif hybrid theologian yang sedang hidup dalam konteks masyarakat perkotaan pascamodern.


1. Persoalan Homoseksualitas Serta Kecenderungan Kita untuk Menilai dan Menyeragamkan


Ternyata pahlawan perang sekutu vs Jerman itu adalah seorang homo! Gay! Gile bener, Inggris pada waktu itu adalah negara yang mencap homoseksualitas sebagai pelanggaran hukum. Akibat ketauan seorang homo, Alan Turing dihukum harus menjalani pengobatan yang bertujuan untuk "membetulkan" kecenderungan seksualitas-nya, supaya hormon yang ada di dalam tubuhnya membuatnya "sama" dengan pandangan sosial masyarakat waktu itu. Menyedihkan, Turing bunuh diri di usia 41 tahun: kesepian, hidup sendiri dalam sunyi tanpa penghargaan yang layak bagi pengorbanannya, dan terus bernostalgia dengan "kekasih" yang ia temukan di masa SMA: Christopher, yang kemudian mewujud dalam sebuah mesin pemecah sandi Enigma, yang membantu Sekutu mengalahkan Jerman.  Kamu tahu, katanya mesin pemecah sandi itu menginspirasi para ilmuwan untuk membuat "Mesin Turing" yang kemudian hari kita sebut sebagai komputer! 

Aku nggak mau ngomong panjang lebar tentang tinjauan teologis atau perspektif biblika atau sosiologis-psikologis tentang homoseksualitas, sudah banyak orang menulis riset tentang hal-hal itu. Namun ini pendapatku: sudah saatnya kita berhenti dari kebiasaan memberi cap buruk pada orang lain, apalagi dengan lensa kacamata kita yang begitu naif. Sudah waktunya, kita berhenti dari kebiasaan "menyeragamkan" orang lain, dan memaksa mereka keluar dari "keunikan", "keberbedaan" yang mereka miliki. Membuat orang lain sama dengan kita memang meminimalisir perasaan terancam dan kuatir yang acapkali menggejala di dalam batin setiap kita. Tapi itu sama dengan mencederai kemanusiaan (humanity). Guruku dari Nazaret, Seorang manusia sejati, selalu menerima mereka yang dianggap "berbeda" oleh konteks masyarakat. Ia menerima perempuan Samarian, pemungut cukai, orang berdosa dan kaum miskin-tertindas.  Penembakan teroris di Perancis, konflik antar agama, bullly yang sering dilakukan oleh anak-anak SMA adalah berasal dari kecenderungan kita untuk menyeragamkan orang dan menilai mereka dari perspektif kita.

Percakapan interogasi Turing dengan seorang polisi berakhir dengan kalimat jawaban dari detektif itu: "aku tak bisa menilaimu." Dan rasanya, kita juga begitu, kita tak bisa semena-mena menilai orang lain, menghakimi mereka dengan "balok di mata kita." Termasuk kepada kaum homoseksualitas. Saya sebagai seorang pembelajar teologi dengan peferensi teologi konservatif (dan seorang hetero tentu :p) sampai hari ini meyakini, homoseksualitas adalah sebuah "keanehan", untuk tidak mengatakannya sebagai sebuah "kesalahan." Tapi di sisi lain, salahlah jika kita menjadikan mereka sebagai outsider dari masyarakat, hanya gara-gara homoseksualitas. Kaum yang punya preferensi berbeda itu perlu diterima, dihargai sebagai seorang manusia yang sama dengan kita. Tentu tanpa perlu menyetujui preferensi mereka. Sayang gereja pun kadang-kadang sulit menerima orang yang berbeda dan terburu-buru menghakimi mereka sebagai orang berdosa, padahal semua kita adalah orang berdosa, bukan?


2. Kekerasan

Dalam film ini, Turing mengatakan hal yang menarik "kekerasan itu disukai oleh manusia karena menyenangkan." Maka tepatlah seorang antropolog Perancis bernama Rene Girard yang menyatakan bahwa sejarah dunia ini adalah sejarah dimana manusia mencari kambing hitam, dan itu penuh dengan kekerasan.   Turing pernah mengalami kekerasan ketika ia sekolah gara-gara ia murid yang terlalu pintar dalam hal matematika, namun punya kecerdasan berelasi dengan orang yang sangat buruk sekali. Kekurangan dalam berelasi dengan orang lain itu mengakibatkannya kesulitan memimpin timnya. Ia lebih suka bekerja sendiri, tidak sensitif pada perasaan, mengakibatkan ia pernah dibilang sebagai seorang "monster."  Saya rasa monster tidak lahir dalam ruang vakum. Monster tidak lahir dari sebuah ruang kosong, tapi dari sebuah medium narasi historis, yang manusia ciptakan. Monster itu muncul dari kekerasan.

Medan perang Bakumatsu melahirkan Sishio, yang kepengen jadi penerus Battosai si pembantai (nontonlah Rurouni Kenshin).  Kolonialisme dan Imperialisme negara Barat menampilkan sosok kejam Daendles (bacalah novel Pangeran Diponegoro, Remy Sylado) yang mengizinkan matinya banyak budak tanpa bayaran.  Orde Baru mengizinkan jutaan komunis (dan bukan komunis) mati setelah peristiwa 1965. Apa yang dilahirkan dari kekerasan? Dendam, kebencian, a monster.

Maka kita perlu makin meminimalisir kekerasan. Kebiasaan bully orang itu perlu pelan-pelan ditiadakan. Pemakaian kekuatan dalam berbagai bentuk (dalam bentuk intimidasi, apalagi kekuatan fisik) untuk memaksa orang mengikuti apa yang kita inginkan, perlu makin kita hindari. Kita perlu pendekatan yang lebih manusiawi, di sini dialog menjadi sesuatu yang musti. Keterbukaan untuk mendengarkan orang lain terlebih dahulu, menghargai perbedaan pandangan, adalah awal dimana perdamaian dimulai. Stop violence. Maka akan lahir sebuah generasi yang saling menghargai, relasi suami-istri yang lebih sehat dan hubungan antar pemeluk agama yang saling menumbuhkan.

“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles."

(Mahatma Gandi, Young India, 22 October 1925)” 


3. Teologi Relasional

Alan Turing adalah seorang introvert, manusia cerdas tapi rapuh, nggak punya temen untuk berbagi, (Narasi tentangnya membuatku teringat diriku sendiri beberapa tahun yang lalu, seorang introvert yang minim teman, dan terkagum-kagum pada ide gila Marxist-Leninis hahaha).  Akhir hidupnya menyedihkan ,walau pada 2013 Ratu Elizabeth memberikan kepadanya anugerah sebagai seorang pahlawan.  Bahkan cewek cantik sekelas Joan (Keira Knightley aduuuuh cakepnyaaa, sejak Pirates of Caribbean, gue demen sama orang ini), sangat sukar menjalin hubungan dengan Turing. Padahal Joan sudah nerima Turing apa adanya, sayang, karena ketidakterbukaan Turing, relasi itu tak bertumbuh menjadi relasi yang transformasional dan menghantarkannya pada kemanusiaan yang lebih manusiawi.

. . .ministry is about connection, one to another, about sharing in suffering and joy, about persons meeting persons with no pretense or secret motives. It is about shared life, confessing Christ not outside the relationship but within it. This, I learned, was living the gospel.
2 hari ini aku menyelesaikan Revisiting Relational Youth Ministry, buku Andrew  Root yang memikirkan ulang tentang teologi relasional berdasarkan karya Dietrich Bonhoeffer. Lalu aku menyimpulkan begini, kita semua seringkali memandang relasi berdasarkan perspektif material: menguntungkan atau tidak bagi kita. Bagi pelayanan Kristiani, apakah melalui relasi ini kita bisa memberikan pengaruh kepada orang tersebut?  Padahal relasi dalam perspektif teologi inkarnasi lebih dari itu. 

Relasi adalah sebuah konteks, tempat berbagi (place-sharing) bagi kita sebagai pribadi, dengan pribadi yang lain. Tempat berbagi itu akan menjadi sebuah tempat transformational ketika kita menjumpai Sang Transenden, dengan menyadari Yesus adalah person, pribadi yang ada di tengah-tengah relasi tersebut. Tempat dimana kita mengiyakan kerapuhan, kelemahan, keterlukaan kita sebagai manusia dan melangkah menjadi manusia yang seutuhnya, apa adanya.  Place-sharing itu menyadarkan kita akan kepalsuan yang seringkali ditawarkan oleh budaya dan konteks sosial dimana kita ada, dan menghantarkan kita kepada diri kita sendiri, manusia yang apa adanya dan oke dengan diri kita sendiri. Bukankah itu yang Yesus dari Nazaret itu lakukan?

Pengertian tentanag teologi relasional itu menurutku perlu, sebagai fondasi kita mengada di konteks masyarakat urban pascamodern ini, yang makin hari makin anonim, makin hari makin melihat orang berdasarkan seberapa tebal dompet, seberapa berkelas gaya hidup mereka, membedakan orang berdasarkan apa yang mereka miliki bukan apa yang membuat mereka menjadi (mengutip Erich Fromm di sini.)  Andai makin banyak orang menghidupi teologi relasional ini, aku rasa makin minim orang yang mengalami hidup yang menyedihkan seperti Alan Turing, Nietzsche, Marx, dan kawan-kawan lainnya. . . .


Epilog
Kalau kamu seorang mahasiswa, tinggal di perkotaan, nontonlah film ini. Akting Cumberbatch memuaskan sebagaimana ia di Sherlock TV Series, dan Star Wars. Apalagi konteks kita di perkotaan di mana homoseksualitas, transgender, kekerasan, adalah diskursus yang baru saja dimulai, mungkin film ini akan sedikit mencerahkan kita.

Akhir kata aku ingin mengutip konfesi GKI bagian kedua entah poin keberapa yang berbunyi demikian : "Kami percaya kepada Yesus Kristus. . . . yang mengasihi tanpa diskriminasi."


#Killiney Kopitiam, Grandcity Mall, Surabaya. 23 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar