Rabu, 08 Oktober 2014

Ruang Keraguan

Ada sebuah ruang di dalam diri saya, di mana saya selalu ragu. Ragu tentang apa? Ragu tentang apa artinya gereja. Apa artinya agama. Apa artinya menjadi seorang hamba Tuhan. Rasanya lebih relevan teori Marxist Revolusioner daripada segala sesuatu yang berbau agamawi, spiritual, dan rohani. Materialisme dialektis lebih terlihat menyentuh passionku terdalam daripada Injil yang belakangan ini, kuamati makin kabur keberadaannya di Kekristenan masa kini.
 
Masalahnya, apakah diperbolehkan ruang seperti itu ada dalam hidupku? Bukankah mereka yang berprofesi sama seperti saya, selalu dituntut untuk hebat, beriman kuat, pekat dalam pembacaan ayat-ayat suci, tak kalah sedikit pun dalam menjalani deru kehidupan dan banalitas masyarakat postmodern dewasa ini.  Tampilkanlah kelemahan maka engkau akan dibuang ke keranjang sampah. Menjadi sesuatu yang tak berarti.
 
 
Menurut saya ruang keraguan itu perlu adanya. Disanalah spiritualitas kritis mendampatkan habitat untuk bersemi, besar, bertumbuh dan mempengaruhi kehidupan. Tanpa ruang keraguan, kita akan mapan dengan kenyamanan. Tanpa ruang keraguan, kehidupan rohani kita akan dibelai dengan kenikmatan personal yang tak pernah berempati dengan ketidakmungkinan serta ketidakpastian. Jadi ruang keraguan itu adalah titik binerian yang perlu ada, karena kalau tidak, perlawananannya, yaitu iman, tidak akan pernah ada juga. Jika salah satu diantara dua ujung pendulum ini dihapus dalam ruang hidup kita, maka kita tak utuh. Hidup hanyalah sekedar ritual involutif: ritual tidak bermakna yang tidak bercengkerama dan berwicara dengan luasnya masa depan yang sanggup menghampiri kita.  Saya rasa titik ritual involutif itu banyak menjangkiti teman-teman seprofesi saya yang akhirnya seluruh hidupnya adalah pelarian dari idealism masa muda, tetapi masuk ke dalam jurang nista rutinitas, kebutuhan, dan zona nyaman.  Suatu hal yang paling ditakuti (dan tidak diinginkan) oleh pendaki gunung seperti saya.
 
 
Di titik dimana quarter life crisis ini begitu hebat merasuk jiwa saya yang terdalam, pada akhirnya aku terjatuh dalam ruang tunggu tanpa akhir. Ruang tunggu tanpa akhir di mana keraguan dan iman sedang bertatapan satu dengan yang lain, mencoba bersahabat dan bahkan berkelindan, mungkin mereka akan bercinta. Dan di sanalah akan lahir janin yang baru... yang tak saya tahu apa itu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar