Senin, 06 Oktober 2014

Tentang Komitmen

Akhir pekan yang lalu, aku mewarnai hariku dengan banyak kekecewaan. Yaitu tentang komitmen. Kecewa dengan komitmen teman-teman pemuda-remaja yang rasanya sulit sekali untuk memberi prioritas bagi pertemuan pemimpin kelompok pemerhatian. Kecewa pada komitmen teman-teman yang lain untuk meluangkan waktu pertama-tama bagi komunitas gerejawi dan segala sesuatu yang berbau "spiritual.. "
 
Tapi setelah merenung-renung, aku berusaha menyadari, memang berkomitmen adalah hal yang sulit dan tak mudah. Aku sendiri payah dalam hal berkomitmen. Sejak usai naik gunung Semeru, aku berkomitmen punya waktu lari minimal 30 menit tiap hari. Tak terealisasi. Bangun pagi setiap hari untuk olahraga, kacau. Pendalaman Alkitab pribadi minimal sebulan sekali, juga tak jelas jluntrungannya, aku jatuh bangun melakukannya. Setelah mengikuti IDMC bulan lalu di Singapore aku berkomitmen untuk hari Jumat menjadi hari menjalin relasi dengan mereka yang unchurch atau unchristian, sampai minggu kemarin gagal dilakukan karena ada pelayanan. Yah memang, kesibukan pelayanan kadang menjadi alasan, padahal menurutku, alasannya jelas karena kegagalanku untuk menjernihkan apa yang menjadi fokus hidupku, kegagalanku untuk memimpin diriku sendiri dan mendisiplin tubuh dan kedaginganku yang lemah ini. Oh Tuhan, ampunilah aku, orang berdosa ini.  Kalau aku kecewa, Tuhan pasti juga lebih dan bahkan berulangkali kecewa padaku.
 
Lalu aku teringat hari Jumat yang lalu aku membawakan renungan di sebuah persekutuan kantor, terambil dari Daniel 1. Yang menjadi sorotanku pada saat itu adalah ayat 8:
Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapa raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja. . . .
Kata "berketetapan" itu bisa kita terjemahkan sebagai "Daniel berkomitmen", "Daniel berjanji", atau "Daniel berikrar".  Menarik sekali, kalau kamu sudah sering tahu cerita Daniel, Daniel berkomitmen sesuatu yang berbeda, radikal, dan revolusioner di tengah keadaannya sebagai pendatang asing di tengah penjajahan Babilonia (ay. 1-2_.  Ia dan kawan-kawannya dituntut untuk makan dari makanan raja (ay.5). Saya membayangkan waktu Daniel dan trio Hananya, Misael, Azarya memutuskan itu, beberapa oknum pemuda Israel (yang tidak dicatat di pasal 1, hasil interpretasi-imajinatif saya) menuding-nuding Daniel: Goblok lu, lu bakal dibunuh sama pribumi! Tapi aku rasa sosok Daniel tak jauh beda dengan wagub DKI Jakarta Ahok yang keras kepala itu: tak gamang dan tak geming ketika menghadapi resiko yang harus ditanggung demi komitmen yang diambilnya.
 
 
Kembali pada pergumulanku di awal tadi, lalu aku bertanya apa yang membuat Daniel begitu berani mengambil komitmen?
 
1. Komitmen itu timbul karena kecintaannya kepada Tuhan. Kalau kita baca bagian kitab Daniel selanjutnya, tantangan terhadap Daniel tak berkurang, dan ia dikisahkan mempunyai waktu 3 kali sehari untuk beribadah kepada Tuhan. Jadi, iman Daniel kepada Tuhan bukanlah iman yang ritualis, yang diturunkan turun-temurun dari orangtua dan kakek buyutnya. Ini adalah model iman yang kebanyakan dipunyai oleh anak muda gereja sekarang ini. Iman yang tidak berani mati.  Iman Daniel adalah iman yang didapatkan dari perjumpaan yang otentik dengan Tuhan, Iman Abraham, Ishak dan Yakub. Iman yang menghasilkan relasi mendalam antara satu pihak dengan yang lain, sehingga Daniel tak mau sedikit pun menyakiti hati Sang Kekasihnya, yaitu Allah dengan hidup seperti bangsa-bangsa lain.
 
2. Komitmen itu tetap berlanjut dan menjadi fakta-kenyataan, karena adanya kedisiplinan. Aku rasa 10 hari tidak makan daging dan anggur, dan hanya minum air dan makan sayur (ay. 12) bukanlah perkara yang mudah. Kebayang kan, Daniel diintimidasi oleh rekan dan lawannya: kok lu nggak makan? Sok suci lu! Apalagi dengan pekerjaan, paper, makalah, hafalan bahasa, presentasi yang harus ia kerjakan di kuliahnya di Fakultas Ilmu Kebangsaan Babilonia Universitas Sinear. (eh, dugaanku usia Daniel waktu itu adalah usia mahasiswa sekarang ini loh, tak lebih dari 22 tahun). Lalu bagaimana mereka berempat bisa survive? Jelas mereka disiplin. Aku yakin mereka beristirahat cukup, berolahraga rutin, belajar dengan giat dan tidak bermalas-malas. Sehingga firman Tuhan mencatat "perawakan mereka lebih baik dan lebih gemuk dari pada semua orang yang telah makan dari santapan raja.(ay. 15)" Bahkan, didapati oleh raja 10 kali lebih cerdas daripada orang sebayannya! (ay. 20) Aku gak bisa mengira seberapa cerdas Daniel saat itu. Mungkin ia sekaliber dengan anak-anak binaan Prof. Yohanes Surya. Semua karena disiplin. Komitmen tanpa disiplin tidak akan menjadi apa-apa. Ia hanya akan menjadi impian di siang bolong. Ia tak akan jadi visi konkrit yang mengubahkan diri dan dunia di sekilingnya.
 
 
 
Tadi malam aku menuntaskan buku Presenced-Centered of Youth Ministry, tulisan Mike King. di bagian akhir bukunya, Mike menegaskan bahwa seorang Youth Pastor harus punya rule of life, aturan-aturan hidup, yang mendisiplin diri, dan menghasilkan regula fidei. Aku menulis di jurnal pribadiku: studi Alkitab dan teologi rutin tiap Senin malam, investasi waktu dengan para pemimpin, ada waktu untuk bergaul dengan mereka yang unchristian. Bulan ini aku berkomitmen untuk puasa nonton, menggantinya dengan lebih banyak membaca buku dan Alkitab, juga menulis renungan-renungan di blog ini.
 
Oh Tuhan, tolong aku untuk tidak menghakimi orang lain, memandang orang lain terlebih dahulu, tapi memperbaiki diriku lebih dulu.
 
Tolong kami untuk mengasihi engkau dengan lebih sungguh-sungguh, memandangMu sebagai pribadi paling berharga yang kami miliki di kehidupan kami. Engkaulah raja kami yang hidup, kami mau efektifkan hidup kami, prioritaskan waktu kami supaya Kerajaan Allah makin hadir di muka bumi. Amin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar