Kamis, 06 November 2014

Corat-coret Eksistensi

Human Existence - What, Why, Who?

Aku ingin menembus ruang dan waktu untuk menjumpaimu. Bahkan kalau mampu, aku mau memutarbalikkan semesta untuk sejumput kenikmatan yang aku rasakan saat memandang titik hitam di tengah-tengah bola matamu. Karena sebenarnya, aku butuh pengakuan yang bermertamorfosis menjadi keangkuhan ketika mendaku sebagai pelindung yang rupawan di hadapanmu. Oh sungguh, tanpa memelukmu, serta merta duniaku laksana bumi yang menua ini, sakit, sepi dan kalah.  Bukankah kau adalah pusaran lubang hitam yang menarik partikel-partikel materi disekitarmu, menghancurkannya, lalu menyemburkannya kembali dalam ruang hampa, sampai mereka membentuk kebendaan dan keberadaan yang baru.  Bukankah, kau adalah pusat dari tata surya, inti dari galaksi, fondasi dari kontelasi semesta yang tak dapat rengkuh oleh tangan insan yang rapuh ini.  Merasakan suaramu, mendengarkan detak syaraf yang menjalar ketika kau berwicara, lagi bertatakrama, adalah sebentuk pertautan antara imanensi dan transendisi, momentum itu layak dihargai dengan apapun, bahkan semilyar megasekon kerjakeras untuk membayar utang supaya kita bertemu di titik koordinat yang saat ini tak kuketahui. 
 
Galaksi
Sayangnya, di waktuku ini, dimensimu begitu berbeda. Kau mengada dalam ruang ketidakjumpaan yang hegemoninya melindas kemewaktuan.  Jauh, begitu jauh, sampai jutaan tahun cahaya yang sanggup kucerna dengan hitungan fisikaku, tak mampu mendefinisikan jarak diantara aku dan kamu.  Fakta ini dikalikan dengan ketakberhasratanmu untuk menyediakan diri dirampas oleh renjana yang abadi di dalam sukmaku, mewujudkan sebuah deduksi sempurna yang memahitkan dan tak dapat dianalogikan dengan melodi segetir apa pun.  Kalau pun bisa kuputar galaksi ini dan kuremukkan gravitasi yang menarikku untuk tak bergerak dari sisi ini menuju dimensimu, aku hanya akan menemukan eksistensi yang menolak masa depan yang aku tawarkan.  Lalu tawaranku itu hanya akan menjadi mimpi yang didekonstruksi terus menerus, dan tak pernah bisa dibangun menjadi ruang simulacrum yang nyata. Maka dari itu, aku hanya bisa bersenandung sedih di sini, di dimensiku ini, menulis luapan eksistensiil yang mewakili megaliter air mata dan sekian juta teriakan sesak dari relung dada paling dalam yang tak terjangkau oleh homo sapiens mana pun. Mengotak atik mimpi, menawarkan alternatif opini, sampai aku menyadarkan alam sadarku sendiri, bahwa hidup sebenarnya hanya soal maukah kau mencandra, mengais, menyusun, merangkum, mengargumentasikan makna di dalam batas-batas ruang, waktu, dimensi, galaksi, dan gravitasi.
#Corat-coret nggak jelas saja, mau mengucap makasih untuk manusia-manusia yang berada dalam dimensi yang lain, namun ada dalam batin saya belakangan ini, menorehkan vaksin bagi kegamangan eksistensi saya:
Dee Lestari, Gelombang, buku ini memberi inspirasi untuk memaknai mimpi lebih dari perkara sederhana, juga keinginan untuk pergi ke area lain di muka bumi ini.
 
 
Christoper Nolan, Interstellar, filmnya menyadarkan saya akan luas dan hebatnya semesta kita, dan sejuta kemungkinan eksistensial yang masih bisa kita raih di masa mendatang. Film paling bagus yang kutonton belakangan ini, lebih bagus dari Fury.
 
Robert Downey, The Judge, tokoh yang diperankannya dengan epic, Hank mengingatkan saya korelasi antara menjadi professional dan urusan domestik.
 
Tan Malaka, D. N. Aidit, risalah-risalah mereka memercikkan harapan tentang Negara sosialisme Indonesia di masa mendatang.
[paul.jpg]
 
Paulus, surat Korintus yang pertama di pasal pertama ayat keempat mengingatkan saya filsafat hidup yang sederhana: nrimo dan mengucap syukur.
 
Untuk pemilik sepasang mata bening di ujung dunia sebelah sana yang takkan pernah bisa aku jumpai dalam situasi ideal yang aku inginkan, mungkin sampai aku mati, selamat merayakan hari menjadi keberadaan yang terlempar di tengah dunia ini.
 
When everything made to be broken, I just want you, to know who I am.
_Iris, Go Goo Dolls_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar