Minggu, 08 Desember 2013

Wanita Berbaju Biru

 

Pernahkah engkau mencoba untuk mendekat pada sebuah hati? Pernahkah engkau menetapkan langkah untuk memiliki sebongkah cinta? Aku yakin kita semua pernah merasakan pengalaman itu.

Pengalaman itu pernah menghampiri hidupku, bersama dengan langkah gemericik nan merdu namun bersemangat dari seorang gadis berbaju biru.  Si empunya wajah sempurna bening mendamaikan laksana mata air yang masih suci. Mata belok bersinar dihiasi bulu mata lentik yang selalu menerbitkan ribuan kegembiraan ketika menatapnya. Senyum dari bibir manis yang menobatkan hati yang muram. Dan sejuta pesona-pesona kerupawanan lainnya. Ah. Pengalaman itu benarlah, indah.

Aksara seluruh bumi boleh digabungkan untuk merangkai untaian kata-kata sehingga lukisan alinea dapat menggambarkan pengalaman itu. Tapi mungkin tak bisa. Kau boleh kumpulkan sejuta warna yang dapat memberi matamu apa arti keindahan. Tapi mungkin jutaan warna itu juga tak sanggup mengungkap pengalaman itu. Sungguh, siapa yang pernah bisa mengungkapnya? Victor Hugo? Les Miserables sesungguhnya hanya menangkap satu dimensi dari pengalaman itu. Shakespeare? Ah, Romeo Juliet menurutku terlalu utopis, sehingga tak menggapai realitas dari pengalaman itu.  Siapa lagi sastrawan yang mampu kau sebut? Siapapun engkau: Platonis atau Derridean. Ateis atau fundamentalis. Sufi atau orang awam. Fisikawan atau biolog. Aku yakin, tak kan pernah kau mampu mendeduksi apa sebenarnya pengalaman ini. Einstein sendiri berkata kalau gravitasi bisa diukur, tapi soal pengalaman ini, siapa yang tahu?


Orang rasional seperti Sherlock Holmes dalam kisah fiksi Sir Arthur Conan Doyle sering digambarkan tak sanggup menghadapi pengalaman ini. Tentu saja. Orang yang sanggup menyelami fisika kuantum atau biologi molekuler tak mungkin memecahkan teka-teki pengalaman ini. Kau yang hafal geometri dan logaritma juga tak akan dapat menghitungnya dalam rumus-rumus matematis. Sosiolog hanya bisa menangkap gejala-gejala sosial dari pengalaman ini.  Psikolog juga hanya mampu berteori. Filsuf? Ah, mereka hanya mampu berabstraksi.

Tetapi semua orang mengalaminya. Ini adalah fakta, bukan opini. Tak perlu argumentasi panjang, atau apologet handal untuk membuktikannya. Penggagas pacaran konservatif Kristen Joshua Harris mengalaminya. Ateis-humanis macam John Lennon juga menghayatinya. Soal pengalaman ini, Christina Perri bahkan melantunkan lagu yang begitu merdu: I will die everyday waiting for you. . . .For a thousand years.  Ribuan tahun akan dijalani, karena pengalaman ini. Cincin di jari manis biasanya menjadi pertanda puncak dari pengalaman ini. Tetapi kadang-kadang (atau sering?) pengalaman itu cukup berakhir pada pergelutan di atas ranjang. Yang pasti, semua orang mengalaminya. Tak perlu menjadi milyarder sekelas Bill Gates untuk mampu membuat software yang membawamu ke dalam pengalaman ini. Tak perlu setampan David Beckham untuk membelenggumu dalam pengalaman ini. Tak perlu. Cukup bukalah ruang dalam batinmu. Pandanglah sekelilingmu. Lekat-lekat tatap seseorang.  Tunggu waktumu.  Maka engkau akan mengalaminya.


Ah, aku kok sok memberitahu. Aku sendiri sudah lama tak mengalaminya. Aku sudah menuntaskan pendidikanku dalam ranah kajian ilmu sosiologi sampai gelar master. Kenyataannya, ketika pergi nonton bioskop beberapa hari yang lalu, aku merasa malu. Karena ada dua sejoli berkemeja putih dan bawahan biru sudah saling berpegangan tangan, dan pipi mereka tersipu-sipu merah. Aku? Tergulung dalam ombak besar yang menggelombang bernama kesepian dan kepedihan. Kadang-kadang aku berpikir liar, mungkin lebih baik mati sebagai pengkhianat asmara daripada hidup tanpa romansa.


Dan, ketika hening perasaan begitu mencekam, maka yang kulakukan adalah sederhana: mengingatmu, hai wanita berbaju biru. Disitulah ruang simulakrum yang paling ultim dan sakral bagi diriku. Sayang sejuta sayang, senyummu yang selalu mendamaikan itu terenggut oleh leukosit-leukosit di dalam aliran darahmu, yang tidak matang dan berkembang biak secara ganas di sumsung tulangmu, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhmu. Mereka menghancurkan metabolisme tubuhmu. Menggusur segala mimpi-mimpimu. Menyapu janji-janji yang pernah kita buat. Membuatku kehilanganmu. Kehilangan pengalaman itu.


Ingatan akanmu masih begitu kuat. Menghalangi batas pandangku kepada makhluk lainnya. Karena sungguh, hanya engkau, hai wanita berbaju biru, yang sanggup merontokkan diriku, lalu menumbuhkan tunas-tunas hasrat yang begitu rimbun.


Kawan, apakah engkau mengalaminya saat ini? Sungguh, syukuri dan genggamlah erat-erat. Kehilangan pengalaman itu hanya akan membuatmu menyesal.



*Pregolan Bunder 36. 16 April 2013. “Aku” di dalam tulisan ini adalah tokoh tanpa nama. :) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar