Rabu, 11 Desember 2013

Memiliki Kehilangan


Wolstertoff pernah menulis bahwa hidup adalah rangkaian kehilangan. Dan memang demikianlah adanya. Kehilangan adalah masa ketika sesuatu yang pernah ada, diambil, direbut, direngkuh, dicuri, dari gengggaman tangan kita.  Kau boleh lulus sarjana psikologi atau pastoral konseling, tetapi menghadapi seseorang yang sedang mengalami masa kehilangan akan menerbitkan kesulitan-kesulitan tersendiri.


Suatu ketika komunitasku kehilangan seorang gadis muda berumur 19 tahun. Cantik. Rupawan. Masa depannya cemerlang dan gemilang. Tetapi ia direnggut oleh Sang Embuh. Pergilah ia. Kisah kasih berkemelut di sekeliling kematiannya. Kami menangis jutaan detik. Orang-orang berubah jadi zombie, mayat hidup yang berjalan dalam kepedihan dan duka. Merasa tak mengerti dan bertanya-tanya tentang keadilan pun ketidakdilan. Itulah kehilangan. Menghancurkan.


Aku pernah mengenal seseorang yang begitu mencinta sang kekasih. Lelaki gagah perkasa dewasa dan satria. Rela mengorbankan segala sesuatu demi panggilan hidup. Tetapi gara-gara itu, ia kehilangan kekasih yang telah berjalan dengannya selama 7 tahun. Sang perempuan meninggalkannya pergi ke benua biru dengan kalimat menyakitkan: kau hanya memikirkan dirimu sendiri!  Puluhan bulan kemudian mereka bernostalgia kembali, dan lelaki ini menerima pukulan2 menyakitkan tetapi penuh rindu di dadanya. Sang perempuan masih mencintainya dengan begitu dalam. Namun lelaki itu mencoba untuk berdiri walau rapuh: ia telah kehilangan wanita itu. Hubungan mereka telah berakhir. Lelaki itu kehilangan. Dan kehilangan itu merobek sukmanya begitu dalam. Butuh waktu sekian juta megasekon untuk memulihkan keramahtamahan hatinya untuk menerima perempuan yang lain. Itulah kehilangan. Melukai.


Pernah kuberkunjung dalam sebuah upacara duka. Bayi yang masih kecil dan belum beranjak untuk berjalan sudah dicuri oleh sang kehidupan. Ibunya yang tentu mengandung dengan susah derita menangis penuh ronta. Tak henti-henti air mata berderai mendedahkan pahit yang tak tersembuhkan. Itulah kehilangan. Air mata lah sahabatnya.


Kau bisa jadi sarjana matematika atau teknik kimia. Kau bisa jadi ahli geometri atau biotek. Kau boleh jadi sarjana terbaik ilmu komunikasi juga manajemen bisnis. Kau juga bisa saja ambil master dalam dua jenis ilmu yang berbeda. Kau boleh jadi filsuf handal, segala teori kau hapal. Tetapi menghadapi kehilangan, kau hanya akan jadi semut kecil yang terlindas kaki gajah. Itulah kehilangan. Kita jadi kalah karenanya.

Adakah cara untuk melawannya?

Hmmm. . perlukah melawannya?

Kehilangan adalah ketika kita merasa bahwa kita pernah memiliki sesuatu. Ah bagaimana, kalau, kehilanganlah yang kita miliki. Jadi jangan lawan kehilangan tapi milikilah kehilangan. Jadikan ia sahabat baik yang rela ada setiap waktu dalam hidupmu bermain-main denganmu. Jadikan ia kekasih yang membuatmu bertumbuh makin murni. Jadikan ia orangtua yang menegurmu untuk menjadi dewasa. Jadikan ia guru yang mengajarmu tentang arti dan makna. Jadikan ia bunga-bunga kapas dan engkaulah dandelion yang sedang tegar bertahan menjalani siklus kehidupan. Maka ia boleh terus ada, tetapi kau memilikinya, dengan cara yang berbeda.

Jika kau memilikinya. Maka kau akan berdansa bersamanya dengan gerak gelisah. Jika kau memilikinya maka kau akan menari dengan gemulai rancak keterkejutan. Jika kau memilikinya maka kau akan bernyanyi dalam suara nyaring walau serak memahitkan.  Jika kau memilikinya doa kau panjatkan walau iman seolah kabur ditelan kabut nestapa.

Aku pernah kehilangan.

Seorang ayah. Ada beberapa teman baik yang pergi karena harus menjalani hidup mereka. Pernah –orang-orang yang aku rasa sebagai sahabat tapi berkhianat. Pun eros yang harus dilepaskan karena hidup yang tak berpihak pada situasi hati. Ya. Aku juga sering kehilangan.

Kini pun aku terancam kehilangan. Seorang yang sedarah dan pribadi paling penting dalam hidupku sedang bertarung dengan virus ganas. Yang kapanpun dapat membunuh dan mengakhiri nyawanya. Ratusan juta dan obat telah diinfeksikan, entah sampai kapan sanggup menahan untukku tak kehilangan.

Tapi aku mau belajar untuk memiliki kehilangan. Karena hanya di dalam kehilangan aku akan mendapatkan. Karena hanya dengan tangan kehilangan kita bisa bebas mendekap. Karena dengan memiliki kehilanganlah aku akan belajar banyak hal.



Ad Majorem Dei Gloriam.

12 Oktober 2013. Sebuah subuh. Pregolan Bunder 36. Tak bisa tidur sepanjang malam.


Untukmu, untuknya, untuk dia, untuk mereka yang mengajariku arti kehilangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar