Senin, 14 Januari 2013

Hidup Beriman




Ibrani 11:8

Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. [Ibrani 11:8]

Selubung halimun masih membekap, sang bagaskara pun masih sayup-sayup enggan menampilkan diri. Gunung gemunung dihayuti mega-mendung, alam ciptaan bersenandung megatruh.  Melodi tak bersahabat menari dan berdansa bergemuruh mengusik menderu. Barangkali, kisah hidupku laksana Hanoman yang diutus Rahmayana ke Alengka menyelidik Dewi Sinta: tak mengerti arah, tak tahu tempat yang tertuju, tak mengerti apa yang harus dilaku, tak mendapat petunjuk kemana hendak berlabuh. Padahal kita sebagai manusia seringkali ingin membekap masa depan, artinya memiliki dengan aman hal-hal ini: waktu, keadaan, kejadian, pengharapan, bahkan, segala-galanya.

Tetapi hidup dengan kepastian dan pengertian penuh tentang segala sesuatu yang akan terjadi menurutku bukan hidup yang berseni. Tidak ada keterkejutan. Tidak ada dentuman-dentuman. Semua akan menjadi begitu datar, kering, hampa. Justru hidup yang penuh ombang-ambing gelombang dan letupan kebingungan itu adalah hidup itu sendiri. Dan itu adalah sebuah seni. Justru dalam kondisi itulah kita mampu merenungi diktum seorang filsuf Yunani: Hidup yang tak dikaji adalah hidup yang tak layak dihidupi. Karena penuh ketidakpastian itulah hidup perlu dikaji. Terus-menerus. Ah, sungguh karena itu aku begitu bangga atas hidupku.

Kuceritakan nanti lain kali, mengapa aku mendengungkan kalimat-kalimat itu. Yang aku hendak tuliskan adalah derai hidup seorang Abraham. Bapa leluhur bangsa Israil. Penulis surat Ibrani, yang anonim dan misterius itu mencatatnya dalam pena: Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.

Menurutku Abraham adalah orang yang punya seni. “Ia dipanggil untuk berangkat” kemana? “berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.” Ia tahu seni menjalani hidup dengan menikmati ketidakpastian, kegelapan masa depan, dan pekat kabut. Bayangkan, pikirkan, renungkan. Bukan dengan tergesa-gesa, tetapi dengan pelan-pelan. Ingatlah kisah yang detail ditulis oleh Kitab Kejadian. Ia dipinta –oleh Allah, pihak yang sebelumnya tidak dikenalnya- meninggalkan Haran, tempat tinggalnya yang nyaman, megah, dan stabil menuju sebuah tempat: Kanaan. Tempat yang terjanji, tetapi yang tak pasti. Dan bahkan dalam perjalanan, Abraham bertemu dengan segala kesusahan dan peliknya hidup. Bisakah kita sebut ia orang yang bodoh? Yang menenggelamkan diri dalam deru ketidakpastian hidup? Buatku, tidak. Ia orang yang penuh seni!

Karena iman Abraham taat.” Catatan ini memberi kita sebab-musabab mengapa Abraham begitu berseni. Imannya, yang membuatnya berani berdansa dalam kabut pekat hidup. Imannya, yang membuatnya menyanyi dalam dengung melodi ketidakpastian. Imannya, yang memampukannya berenang dalam lautan ketidaktahuan tujuan.

Tetapi sampai saat ini aku sendiri sedikit bingung tentang definisi iman. Ayat 1 catatan penulis Ibrani buatku tidaklah memberikan sebuah definisi. Hanya sebuah karakteristik. Bahwa iman memampukan orang untuk hidup dalam ketidakpastian. Bahwa iman menyanggupkan seseorang untuk tetap memegang harapan dan apa yang tak dilihat di masa depan. Apa itu iman taklah didefinisikan dalam bagian ini.

Kali ini aku enggan menyelidik buku-buku teologis, historis, lebih-lebih filosofis tentang definisi iman. Pemahaman linguistika bahasa ibuku hanya menjabarkan bahwa iman adalah sebuah kepercayaan, ketetapan batin. Abraham mempunyai kepercayaan dan ketetapan batin. Itulah yang mendasari langkah-langkah hidupnya yang tak pasti. Ketetapan batin terhadap satu pihak: Allah yang memanggilnya. Tuhan yang [baru] dikenalnya dan [berusaha] dikenalnya terus-menerus selama hidupnya. Iman yang membuat hidupnya begitu berseni.

Merenung hidup Abraham air mataku begitu luruh. Bukankah hidup kita sebagai seorang manusia, selalu, selalu, selalu diselubungi ketidakpastian? Senandung melodi kegelapan adalah hal yang wajar! Maka dari itu mari menjalani hidup dengan berseni. Selangkah demi selangkah, berdiri di atas sebuah ketetapan batin: iman.

Kawan, entah mengapa catatanku kali ini begitu melankolis. Tapi itulah pergelutanku beberapa waktu ini. Aku begitu tak tahu masa depan. Tetapi narasi Abraham membantuku untuk menantang, melawan, berdiri tegak terhadap kehidupan. Catatannya mengajarkan untuk memiliki sebuah ketetapan batin.

Bagaimana dengan hidupmu kawan?


*Seminari Alkitab Asia Tenggara, 13 April 2012.
Ditulis untuk para sahabat yang turut berjuang tentang masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar