Rabu, 16 Januari 2013

Renewing Your Promises: Yosua 24:1-28 (part one)




Pendahuluan

Saya yakin kita semua tahu Fauzi Bowo. Dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu ia mengajukan diri lagi sebagai gubernur, namun gagal. Yang menarik, ada sekelompok masyarakat melalui Facebook mendirikan Gerakan Anti Foke. Slogan mereka: “siapa pun gubernurnya boleh, asalkan bukan Foke.” Ternyata, mereka adalah kalangan yang kecewa pada Foke yang dianggap gagal sebagai pemimpin yang menepati janji. Pada tahun 2007 ketika ia menggantikan Sutiyoso, ia punya slogan “serahkan Jakarta pada ahlinya.” Tapi, kenyataan di lapangan mempertanyakan keahlian si Pak Kumis itu, buktinya kemacetan dan kemiskinan toh masih menjadi masalah. Foke Pak Kumis, dinilai gagal menepati janji.

Dapat kita lihat bahwa salah satu penilaian terhadap seorang pemimpin adalah kesanggupan menepati janji.  Padahal, bukankah pada hakikatnya hidup kita adalah rangkaian janji dan komitmen? Coba pikirkan, ketika menikah, ada tanda janji setia yang melingkar di jari manis. Pun demikian, dalam relasi kita dengan Tuhan, kita turut penuh dengan janji-janji dan komitmen-komitmen.
           
Problemnya, sebagai manusia yang rapuh, seringkali kita lupa tentang janji yang pernah kita ucapkan di hadapan Tuhan. Kita sering melantunkan nyanyian yang isinya adalah janji-janji kita bukan? Misalnya, janji hidup kudus, melayani setia dan lain sebagainya. Namun, sesering kita bernyanyi, sesering pula nyanyian itu berakhir menjadi karaoke rohani yang kosong, nyanyian tanpa arti karena janji yang lupa ditepati. Ketika, janji diingkari efeknya selalu negatif, hubungan dengan Tuhan memburuk dan seringkali berjalan di tempat. Oleh karena itu, sejatinya dalam kehidupan berelasi dengan Tuhan, adanya pembaharuan janji adalah perlu, supaya kita bisa melangkah dalam level yang baru hubungan kita dengan Tuhan.

Firman Tuhan dalam Yosua 24 ini mengajak kita untuk memperbaharui janji-janji kita sehingga hubungan kita dengan Tuhan pun diperbaharui. Pertanyaannya, janji apa saja yang perlu kita perbaharui?
Pertama, Janji hidup takut akan Tuhan
Penjelasan

Pasal 24, adalah puncak atau klimaks kitab Yosua, bahasa kerennya, final sequence menunjukkan pentingnya kisah ini. Latar belakang pasal 24 yaitu Sikhem adalah satu tempat istimewa bagi bangsa Israel. Setiap bangsa setidaknya selalu punya satu tempat istimewa yang bersejarah. Misalnya, Prancis dengan Arc de Triomphe yang adalah monumen kemenangan pada era Napoleon Bonaparte, atau Amerika Serikat dengan Patung Liberty-nya yang adalah monumen peringatan 100 tahun kemerdekaan Amerika. Israel punya Sikhem. Di situ Yosua meminta seluruh bangsa Israel berkumpul di hadapan Allah. Sikhem adalah tempat yang istimewa karena di sana banyak terjadi peristiwa penting. Ia adalah tempat di mana Tuhan pertama kali menampakkan diri pada Abraham, juga tempat Yakub mendirikan mezbah bagi Tuhan.  Jadi, dikumpulkannya Israel di Sikhem bertujuan mengingatkan bangsa ini akan sejarah perjumpaan dan karya Allah dengan para leluhur Israel.

Sebagaimana ayat 2-13 paparkan, dimulai frasa “beginilah firman Tuhan” Allah pun berfirman secara direct-speech, dengan percakapan langsung kepada Israel melalui Yosua. Yang menarik  isi percakapan ini adalah daftar perbuatan-perbuatan Tuhan dalam sejarah Israel: panggilan Abraham, janji keturunan yang digenapi dalam Ishak, pemeliharaan Allah pada keluarga Yakub, keluaran Israel dari Mesir, aksi spektakuler Tuhan dengan membelah laut Teberau, sampai perang dan kemenangan melawan bangsa-bangsa Kanaan.  Kalau di kampus saya, ada mata kuliah SGD, Sejarah Gereja Dunia, hari itu di Sikhem Israel mendapat mata kuliah SKT, Sejarah Karya Tuhan. Oleh karena itu, bukankah belajar sejarah itu sangat penting dan biblically?

Pertanyannya,  untuk apa Tuhan mengajarkan ulang tentang sejarah karyaNya?  Kalau kita perhatikan, usai percakapan langsung Allah-Israel, dalam ayat 14 fokus bergeser pada Yosua yang  berkata “oleh sebab itu.”  Ini adalah sebuah frasa yang merupakan frasa penghubung sebab-akibat antara bagian sebelumnya dan sesudahnya.  Artinya, sejarah karya Tuhan itu menjadi dasar kelanjutan relasi umat Israel dan Tuhan sebagai umat perjanjian. Allister McGrath, seorang sejarahwan teologi menguraikan bahwa studi sejarah itu berguna untuk memikirkan keputusan teologis di masa kini.  Di hari itu, Israel belajar sejarah karya Tuhan sebagai landasan keputusan pembaharuan janji dalam pembaharuan relasi mereka dengan Tuhan.

Hari ini coba kita mengingat-ingat sejarah karya Tuhan dalam hidup kita masing-masing sebagai dasar pembaharuan relasi kita dengan Tuhan. Yang paling mudah, ingatlah momen pertama kali kita bertemu dengan Tuhan dan kemudian berkomitmen menjadi hamba Tuhan. Atau ada sejuta sejarah karya Tuhan yang engkau ingat? Silahkan. Saya yakin ada banyak hal yang bisa kita ingat, saya membayangkan, kalau mahasiswa dibebastugaskan dari penulisan skripsi tetapi malah menulis tiap detail Sejarah Karya Tuhan dalam hidup mereka dalam buku, barangkali perpus Prothumia tidak akan cukup menampungnya bahkan tidak akan selesai-selesai. Hari ini kita mengingat sejarah karya Tuhan itu sebagai fondasi bagi pembaharuan relasi kita dengan Tuhan.

Mari kembali ke perikop kita. Dalam ayat 14, yang adalah ayat kunci perikop ini, Yosua berkata:  “Oleh sebab itu, takutlah akan Tuhan dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah.”  Ayat ini adalah gagasan utama perikop ini.  Ayat ini menyodorkan pada kita, janji-janji apa yang perlu dibaharui agar kita menggapai level yang baru dalam relasi kita dengan Tuhan. Dan gagasan itu tertuang dalam tiga kalimat imperatif yang ada.  Kita fokus pada kalimat imperatif yang pertama “takutlah akan Tuhan.”

Kalau kita lihat sepanjang PL dari Pentateukh, Kitab Sejarah, Mazmur, Amsal dan Nabi-nabi, takut akan Tuhan adalah karakter utama yang harus ada dalam kerohanian umat percaya.  Kitab Pengkhotbah merangkum pengajaran PL dengan penutup kitabnya, “Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintahNya. Karena ini adalah kewajiban setiap orang.”  Menimbang hal itu, maka sangat jelas bahwa takut akan Tuhan adalah IPK—indeks prestasi kerohanian—seorang anak Tuhan.

Takut akan Tuhan itu jenis ketakutan seperti apa? saya kemarin browsing dan menemukan setidaknya ada 130 jenis ketakutan yang bisa dianggap berlebihan atau fobia.  Misalnya Altophobia: takut akan ketinggian, Nycotophobia: takut akan kegelapan, Enetophobia - takut jarum atau suntikan. Itu yang umum kita dengar, tetapi ada yang buat saya aneh, misalnya Ablutophobia - takut mandi, mencuci, atau membersihkan, Gynophobia - takut perempuan, Philophobia - takut cinta.

Apakah konsep takut akan Tuhan ini sama dengan perasaan-perasaan takut jenis demikian? Tidak! Dalam teologi PL-PB, takut akan Tuhan itu adalah sebuah sikap takjub, sikap hormat anak-anak Allah kepada pencipta dan penebus-Nya. Ia adalah rasa takut yang muncul dari kesadaran bahwa manusia adalah sosok yang kerdil, yang telah diampuni oleh sosok yang Agung, Raja yang Mahakuasa. Di mana seharusnya, rasa takut akan Tuhan akan membuat manusia mendaraskan ketaatan kepada hukum Tuhan dan kerinduan untuk hidup kudus.

Sebagai umat yang sering tampak tidak takut akan Tuhan, melanggar kekudusanNya, tidak taat pada perintahNya, di Sikhem, Israel mengadakan perjanjian ulang, re-kovenan, pembaharuan hubungan antara mereka dan Allah. Dan janji yang pertama yang perlu dibaharui Israel adalah menjadi umat yang takut akan Tuhan. Oleh karena itu,  pagi hari ini, dengan mengingat sejarah karya Allah dalam hidup kita, mari kita juga memperbaharui hubungan dengan Tuhan, dengan berkomitmen menjadi orang yang takut akan Tuhan.

Ilustrasi
Sebuah lembaga survei di Amerika Serikat, yaitu Francis Schaeffer Institute of Church Leadership Development pernah melakukan penelitian terhadap kondisi pendeta-pendeta di ladang pelayanan. Mereka menemukan 72% dari para pendeta hanya membaca Alkitab ketika mereka mempersiapkan khotbah. Itu berarti hanya tersisa 38% yang membaca Alkitab untuk saat teduh pribadi.  Kemudian, 30% menyatakan bahwa mereka sedang memiliki perselingkuhan, dan hubungan seksualitas dengan jemaat mereka. Jumlah yang tidak sedikit dan tentu mengusik hati nurani kita. Mereka mengatakan bahwa statistik itu bisa saja lebih besar.  Bahkan, kesimpulan mereka, para pendeta itu sangat terdidik untuk memiliki kemampuan melakukan dosa di hari Sabtu dan berkhotbah di hari Minggu tanpa berpikir ada yang salah dan ada masalah dalam diri mereka.

Penelitian ini mengagetkan dan mengerikan. Penelitian itu menunjukkan kepada kita, betapa banyaknya mereka yang mengaku hamba Tuhan, tetapi tidak hidup takut akan Tuhan. 
 
Aplikasi
Seharusnya, makin kita dewasa secara teologis dan rohani, maka kita akan semakin takut akan Tuhan. Sikap takut akan Tuhan itu direfleksikan dengan kesadaran yang makin kuat akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita. Hamba yang takut akan Tuhan adalah ia yang memegang teguh integritas diri. Ia memperkatakan fakta bukan kebohongan. Ia memakai uang dengan bertanggung jawab bukan untuk kesenangan semata. Ia mengerjakan pelayanan dengan rasa hormat kepada Tuhan sehingga memberi yang terbaik, bukan yang asal-asalan. Ia hidup otentik bukan munafik. Ia melatih diri untuk terus berlari dalam lintasan hidup kudus, bukan tenggelam dalam kolam keberdosaan.  kalau sejauh ini kita melangkah dan mendapati diri kita tidak takut akan Tuhan, mari hari ini kita bertobat dan memperbaharui relasi dengan Tuhan dengan berkomitmen kembali menjadi seorang yang takut akan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar