Kamis, 10 Januari 2013

Ruang Simulakrum



Ini pemikiranku tentang ruang simulakrum. Definisinya? “Simulakrum adalah ruang yang disarati oleh duplikasi dan daur ulang berbagai fragmen yang berbeda2 di dalam satu ruang dan waktu yang sama (Baudillard). Dalam konteks ini, bisa diartikan juga bahwa simulakrum adalah alam tempat meleburnya realitas dan ilusi, diakibatkan oleh fantasi yang diduplikasi berulang2 dan berlipat2 ganda, hingga akhirnya objek yang nyata pun tak jelas lagi.” [1]  

Kita suka bermain-main dalam ruang simulakrum diri kita. Bercanda dan berdansa mesra dengan masa lalu, atau menari dan bernyanyi bersama dentuman keinginan yang ingin digapai di masa depan.  Bagi kaum Adam, biasanya tersihir dengan momen ini, ketika bergelut dengan “perempuan yang membangkitkan kenangan.”[2] Kaum Hawa juga sama, pria idola dengan rambut pendek rapi, berdompet tebal, bermulut lemah lembut, dengan badan tegap-gagah dan berhati pelindung akan membuat mereka mudah tersihir momen simulakrum ini. Kadang simulakrum hadir dalam senja yang tak bersahabat. Sering ia bangkit dalam malam sunyi tanpa keributan. Namun walau demikian, tidak ada waktu tepat yang menjadi wadah kemenjadian ruang simulakrum.  Apa simulakrummu? Apa simulakrumku? 

Simulakrum adalah dia yang ada dan pasti ada. Tidakkah jutaan karya yang tercipta dari karsa manusia, entah itu yang mewujud dalam cakrawala aksara, atau lukisan-lukisan, bahkan juga gemilang film, adalah janin yang dihasilkan oleh rahim simulakrum? Rahim tempat bertemunya sperma realitas dan sel telur imajinasi, sampai ia bertumbuh menjadi embrio seni dan ciptaan indah? 

Sayangnya, seperti sebuah pendulum yang terlalu sering mengayun pada ekstrim yang lain. Ruang simulakrum kita, sering hanya tertumbuk dan berhenti pada sisi imajinasi, sisi fiksi, sisi masa lalu, sisi keinginan. Kita tak sanggup menaburkan sisi-sisi yang lain yang seharusnya ada: realitas, fakta, masa kini, kenyataan.  Soren Kierkegaard, filsuf eksistensial itu pernah berkata “Live can only be understood backwards; but it must be lived forwards.”[3]  Bagiku kalimat itu menekankan sebuah keseimbangan antara masa lalu, masa kini. Antara kejadian yang harus dilupakan, dengan pelajaran yang harus diambil. Antara kegagalan, dan pengharapan untuk berhasil. Bagi ruang simulakrum kita: ia harus berada dalam titik yang seimbang. Manusia yang hanya mampu “bergerak dalam translasi dan rotasi”[4] masa lalu, ia yang dirantai oleh keinginan yang tak tercapai, yang matanya menjadi tunanetra harapan karena ia tertutup dalam tembok-tembok besar kegagalan hidupnya, adalah manusia yang terjebak dalam ruang simulakrum tak seimbang ini. Dan manusia jenis ini, tidak akan menghasilkan apa-apa. Dia hanya akan menjadi eksistensi yang tidak bermakna; berada dalam sebuah ruang dan waktu, tetapi tidak berdampak apa-apa bagi keberadaan yang lain. Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang simulakrummku?

Kulanjutkan. Seperti sejarah manusia yang selalu merupakan pergerakan sebuah pendulum, dari sisi yang lain ke sisi satunya lagi, demikianlah juga ruang simulakrum kita. Ada individu-individu, yang tak punya mimpi, tak punya imajinasi, tak punya fiksi, tak punya keinginan. Mereka adalah golongan yang berkata “ya hidupnya segini ini saya.” Mereka berhenti dan menyerah pada keadaan. Mereka terpenjara dibelenggu sekat-sekat dan tempurung pikir, yang dihasilkan oleh komunitas atau masyarakat dengan konsep-konsep dengkul -yang selalu berpihak pada mereka yang kuat.- Secara lahiriah, mereka tidak punya “kaki yang akan melangkah lebih jauh, tangan yang berbuat lebih banyak, mata yang melihat lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak, tekad yang setebal baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras serta mulut yang selalu berdoa.”[5] Ruang simulakrum manusia jenis ini tidak punya mimpi dan fiksi. Biasanya, mereka hanya akan jadi pegawai, dan mesin di tempat mereka bekerja. Mereka tidak akan menikmati hidup dan saripati hidup. Sekali lagi, mereka terjebak dalam hidup yang di sini dan saat ini.  Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang simulakrumku?

Ruang simulakrum harus seimbang. Aku melupakan apa yang telah dibelakangku. Dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di depanku.[6] Bagiku, wejangan seorang Yahudi abad pertama itu, menangkap maksudku tentang ruang simulakrum yang seimbang. Yang di belakang tetap ada, tetapi ia dilupakan, artinya tidak mengikat. Dan diri ini sebagai seorang manusia dalam sejarah, mengarahkan kepada apa-apa yang ada di depan sana. Ruang simulakrum yang seimbang mengizinkan fiksi dan mimpi, tetapi terus berlari dalam lintasan masa kini menuju masa depan.

Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang simulakrumku? Sudahkah ia menjadi sebuah ruang simulakrum yang seimbang, yang membentuk kita menjadi manusia yang sanggup memiliki “arti”? Karena jikalau benar gagasan there is nothing outside the text.[7] Maka, hidup kita yang adalah “teks” atau sebuah tulisan sebagai pusat dari segalanya. Sehingga, tidak ada yang lain di luar diri kita. Kitalah yang menentukan arti atau bagaimana mendedahkan sebuah kesunyataan tentang diri kita.[8] The Truth is what you believe.[9]  Kebermaknaan dan kebenaran diri kita, adalah tentang bagaimana kita memercayai diri kita seperti apa, bagaimana potret yang hendak kita bangun dalam diri kita. Dan, -perhatikan ini- dunia atau bahkan konteks kita berada tidak berhak menentukan siapa dan potret kita. Namun, aku mencoba untuk sedikit religius (dan Kristen), kebermaknaan itu hendaknya teosentris, bukan antroposentris.

Bagaimana ruang simulakrummu? Bagaimana ruang simulakrumku? Jadikanlah itu sebuah ruang yang seimbang.

#Ditulis usai bangun kesiangan, minum kopi hitam pekat, mendengarkan lagu-lagu rock baheula, baca Alkitab Kejadian 4-6 tentang Nuh. Dan agaknya, dihantui oleh dia yang “dengan ‘Jancuk” pun tak sanggup aku menjumpainya, dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatinya.”[10] Mungkin ini tulisan yang agak ribet dan tak jelas jluntrungannnya.


Klayatan 3/43. Himawan T. P.



[1] (Dee, Ksatria, Putri & Bintang Jatuh 24). Gampangnya, simulakrum adalah momen melamun.
[2]Lupa kutipan darimana
[3]Entah, tapi menurutku Kierkegaard sendiri hidupnya terjebak dalam ruang simulakrum yang tak seimbang. Itu terjadi ketika ia meninggalkan Regina Olsen, tunangannya, tanpa alasan yang jelas. Bukankah ini adalah contoh seseorang yang terbelenggu imajinasinya?
[4]Baca: berguling.
[5]Donny Dirganthoro, 5Cm
[6]Filipi 3:13. Kalau kau orang Kristen, ayat ini akan jadi ayat bagus ketika momen transisional dalam hidupmu sedang terjadi.
[7]il n’y pas de hors-texte. Kalimat Jacques Derrida, seorang filsuf postmodern Prancis yang dikenal dengan metode hermeneutik dekonstruksinya. Kalimat ini dimaksudkan untuk pembaca berfokus hanya pada teks, tidak pada dunia di luar teks. Juga tidak kepada penulis, atau author [yang, dalam bahasa Roland Barthes, sudah mati].
[8] Jawa  ke·su·nya·ta·an n kebenaran atau kenyataan
[9] Clara Ng, Dimsum Terakhir
[10]Sedikit diubah dari kalimat Mbah Sudjiwo Tedjo, Presiden Republik Jancukers, yang seorang Jawa-Progresif. Mohon maaf jika kata ini agak terdengar kasar. Namun, aku berharap pembaca melihat apa yang dimaksud oleh Mbah Tedjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar